• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

4. Olo adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola. Olo dijadikan tempat penyimpan bente (sajian-sajian upacara adat) sebagai

5.6. Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA. Proses penetapan TAHURA menjadi kawasan pelestarian alam merupakan

5.7.3. Akses Stakeholder terhadap Pengelolaan TAHURA

Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk benda, jasa, ilmu pengetahan, dan lain-lain melalui individu, organisasi, komunitas masyarakat, kelompok tani, dan sebagainya.

Stakeholders yang berkepentingan dalam pengelolaan akses sumberdaya alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, disajikan dalam Tabel 18. Kepentingan tersebut menunjukkan keragaman penggunaan akses, dan melihat mekanisme pengelolaan akses siapa dan mendapatkan apa di dalam kawasan TAHURA tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Petani menggunakan sumberdaya alam melalui pemanfaatan lahan yang diperoleh dan mengalir dari leluhur (nenek moyang yang menurun berdasarkan garis keturunan) antar lintas generasi. Sementara stakeholder lain berupa pemanen rotan mengakses sumberdaya hasil hutan non kayu berdasarkan hak dejure yang dimiliki seperti izin pengolahan yang diperoleh dengan membayar provisi kepada Dinas Kehutanan, dengan jangka waktu tertentu dan volume produksi yang terbatas setiap produk.

Dari tujuh kawasan pemukiman di dalam dan sekitar TAHURA hak pemilikan atas sumberdaya khususnya lahan tidak ditemukan secara de jure, namun de fakto-nya masyarakat lokal Kaili telah memiliki dan mengelolanya

secara lintas generasi melalui pengakuan institusi adat dengan hubungan-hubungan sosial yang harmoni antar individu dan komunitas masyarakat setempat. Akses tersebut telah berlangsung lama dengan kebiasaan dan prosedur lokal yang dilakukan institusi adat kepada warganya. Hal yang sama terhadap hak kepemilikan (property right) komunal atas sumberdaya berupa tanaman kopi di lahan-lahan adat yang luasnya berkisar 30 hektar yang saat ini dikuasai oleh komunitas masyarakat lokal Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur. Namun sampai akhir penelitian dilakukan, belum memperlihatkan pengakuan pemerintah daerah terhadap kepemilikan sumberdaya komunal yang juga merupakan sumber pendapatan bagi warga masyarakat lokal Kaili di wilayah ini. Dalam konteks ini sangat ironis tatakala TAHURA menjadi kawasan pelestarian disatu sisi dan kepentingan ekonomi warga masyarakat untuk penghidupan keluarga petani di sisi lain. Kepentingan-kepentingan inilah yang menjadi sumber permasalahan jika mekanisme pengelolaan akses sumberdaya alam yang tertata batas dalam kawasan TAHURA tidak jelas. Pemerintah daerah dengan mengacu pada peraturan-peraturan yang ada, kepentingan-kepentingan stakeholders tersebut akan dapat terfasilitasi manakala pemerintah daerah merespon dan menindaklanjuti peraturan-peraturan yang dijabarkan sesuai dengan kondisi lokal wilayah, akan mendapatkan dukungan moril masyarakat lokal Kaili dalam kawasan dan stakeholder lainnya. Dari kedua kepentingan tersebut, masyarakat lokal Kaili tidak menolak kehadiran TAHURA sebagai kawasan pelestarian, namun perlu dipertimbangkan hak-hak de fakto yang juga menjadi sumber penghidupan dari 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa yang bergantung pada sumberdaya alam TAHURA.

Tabel 18. Kepentingan Stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA

Stakeholders Kepentingan atas sumberdaya alam TAHURA

Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah

Perlindungan dan pelestarian hutan alam, konservasi, pengaturan/pengelolaan, pemanfaatan dan penerapan peraturan.

DPRD Propinsi Sulawesi Tengah

Menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai TAHURA

Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs)

Penguatan masyarakat lokal Kaili dan konservasi alam.

Petani (subsisten) Pengelolaan lahan usahatani (akses terhadap lahan & kebun)

Perotan Mengakses sumberdaya alam (hasil hutan : kayu dan non kayu).

Pendulang emas Mengakses sumberdaya tambang di DAS Poboya (emas).

PT. Citra Palu Minerals Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya tambang di Cagar Alam Poboya TAHURA Sulawesi Tengah.

Pedagang sumberdaya hasil hutan

Membeli hasil hutan kayu dan non kayu (rotan)

Dinas Kehutanan (pemerintah) secara normatif adalah pemegang wewenang dalam pengelolaan Taman Hutan Raya, dan mengatur stakeholders sesuai dengan kepentingannya masing-masing, namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak kebijakan yang tumpang tindih, hak pemilikan individu maupun komunal umumnya tidak mendapatkan pengaturan yang jelas, termasuk zona pengelolaan dan pemanfaatan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat dalam kawasan. Kepentingan stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA tersebut dipetakan berdasarkan aliran akses dengan fakta lapangan sebagaimana disajikan dalam gambar 18 di bawah ini.

Legenda :

: Relasi bisnis (antar stakeholder dan atau donatur). : Interaksi kapital mutualistis.

: Akses Institusi Adat atas komunitasnya terhadap sumberdaya alam. : Aliran akses atas sumberdaya

: Pemicu & mediasi.

: Klaim kawasan oleh pemerintah.

Gambar 18. Peta akses stakeholders dalam pengelolaan TAHURA SULTENG

Dari gambar tersebut menunjukkan karakteristik dan peta penggunaan akses oleh stakeholder atas sumberdaya alam TAHURA. Akses stakeholders khususnya masyarakat lokal Kaili yang direpresentasikan oleh petani, pendulang emas dan perotan berjalan secara alami dengan hubungan-hubungan sosial yang telah terbangun bertahun-tahun, baik internal maupun hubungan dengan pihak luar. Masyarakat lokal Kaili adalah pengguna akses (gain) atas sumberdaya alam dan de faktonya, mereka sebagai pemilik sebagian sumberdaya alam berupa lahan dan tanaman-tanaman keras yang ada di dalamnya. Pemilikan ini merupakan warisan dari tetua (totua) yang mengalir secara turun-temurun. Selain masyarakat lokal Kaili yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, terdapat pihak lain yang memanfaatkan aliran akses dari petani, perotan dan pendulang emas seperti pedagang hasil hutan (PHH). PHH adalah pemanfaat akses dengan perantaraan stakeholder lain dengan menggunakan kemampuan kapitalnya. Dengan kapital yang dimiliki, dalam keadaan tertentu berkemampuan mengendalikan akses dari sumberdaya alam yang ada. Dalam kenyataannya di lapangan, ditemukan

Kades Sumberdaya TAHURA SULTENG Petani LSM Donatur PHH Pekayu/ Perotan Militer PEMDA/ DISHUT CPM Pdlg Emas konflik Klaim Pemerintah K. adat

beberapa penggarap (tenaga kerja) bukan pemilik lahan. Pemilik lahan adalah pemodal (beberapa pejabat di daerah) yang mempekerjakan sekelompok masyarakat sebagai tenaga kerja harian. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada petani bawang di Bunti Pobau. Pemanfaat akses selain masyarakat lokal Kaili adalah militer dan atau pihak yang memiliki kekuasaan dan teknologi untuk dijadikan kekuatan mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan-hubungan dengan stakeholder yang mengakses langsung. Proses-proses tersebut berjalan secara normal tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif.

Kebijakan pemerintah melalui KepMenHut No. 461/Kpts-II/1995, maka ditetapkan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN 30 menjadi TAHURA, klaim-pun terjadi pada tahun 1997 dengan membatasi akses masyarakat lokal Kaili melakukan aktivitas usahatani dan kegiatan ekonomi lainnya di dalam kawasan yang telah dipatok (di tata batas sementara). Kemudian penetapan tata batas permanen dilakukan tahun 1999 dengan mengganti tapal batas yang terbuat dari kayu dengan tapal batas yang terbuat dari semen bertulang besi. Dari proses penataan batas tahun 1997, maka tahun 1998 pengusiran dan pemindahan terhadap masyarakat lokal Kaili yang berada dalam kawasan ke wilayah lain juga dilakukan seperti komunitas masyarakat Vatutela, Poboya, Tompu dan Raranggonau, namun masyarakat tetap bertahan dan melakukan perlawanan12. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mengakui kepemilikan de fakto (praktek kepemilikan adat), dan masyarakat tidak dapat menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara (Affif, 2002). Ketidakpedulian negara atas pemilikan de fakto berdampak pada situasi yang tidak kondusif yaitu keadaan menjadi krusial, perlawanan laten di masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan telah tercipta dan menjadi borok yang disembunyikan. Perlawanan laten tersebut terakumulasi beriring dengan proses waktu, terekpresikan secara reflektif tatkala pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang emas di Cagar Alam Poboya kepada PT. Citra Palu Mineral dan melakukann eksplorasi Tahun 1994-1995, dilanjutkan tahun 1997-200213. Dalam proses eksplorasi ini konflik horisontal dan vertikal terjadi. Konflik horisontal adalah kelompok yang berpihak pada swasta dengan

12

Hasil wawancara ”Muslima” (67 th), tokoh masyarakat Vatutela, 17 Juli 2006. 13

”Sarjun (43 th)” warga Poboya yang menjadi tenaga eksploratif tambang tahun 1997-1998. Pada eksplorasi ditemukan 22 titik bor yang siap dieksploitasi oleh PT. Citra Palu Minerals (anak perusahaan Rio Tinto Group). Wawancara 27 Juli 2006.

masyarakat yang mempertahankan eksistensi kawasan tetap terlindungi dari eksploitasi. Masyarakat dari kelompok konservasionist dibantu oleh kelompok pekerja sosial termasuk LSM yang melakukan penguatan terhadap masyarakat agar tetap melakukan perlawanan dan mempertahankan eksistensi cagar alam sebagai yang perlu mendapat perlindungan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (Dinas Kehutanan) dengan eksistensi TAHURA menjadi buruk dan dianggap tidak bertanggung jawab serta melanggar komitment. Pemerintah dalam perspektif masyarakat atas keberlanjutan eksistensi TAHURA adalah kendali atas akses, yang mengatur pengelolaan konservasi agar tetap berkelanjutan, namun faktanya justru sebaliknya ; berpihak kepada pemilik modal (kelompok kapitalis).

Pengelolaan akses di tataran implementasi, institiusi adat sangat besar peranannya khususnya dalam proses pengaturan anggota (warganya) dalam melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam sekalipun institusi adat tidak melakukan akses langsung secara teknis. Dalam perilaku masyarakat lokal Kaili (komunitas masyarakat adat) sangat taat dengan keputusan adat dan tunduk dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan religiusitas.

Mekanisme akses dari pemanfaatan sumberdaya alam di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 19 di bawah ini :

Tabel 19. Peran stakeholders berdasarkan mekanisme akses sumberdaya TAHURA Mekanisme akses

Stakeholders Pengguna akses (Gain) Kendali akses (Control acces) Memelihara akses (Maintain akses) Dinas Kehutanan 9 9 PT. Citra Palu Minerals 9 Petani (subsisten) 9 9 Perotan 9 9 Pendulang emas 9

Pengumpul batu kali 9

LSM 9

Traeler 9

Institusi adat 9 9 9

Sumber : Ribot dan Peluso (2003).

Dinas Kehutanan adalah pemegang wewenang terutama untuk mengendalikan akses sumberdaya kawasan TAHURA. Dengan ditetapkannya kawasan ini menjadi wilayah konservasi maka tanggung jawab penuh berada pada Dinas Kehutanan, baik propinsi maupun kabupaten/kota, yang mewakili pemerintah atas negara. Jika kontrol akses dilakukan dengan baik berdasarkan

mekanisme tersebut di atas, konflik atas pemanfaatan sumberdaya alam akan dapat ditekan dan dieliminir, pada gilirannya akan dapat dilakukan pengelolaan kolaboratif berdasarkan fungsi yang sebenarnya. Fakta menunjukkan mekanisme tidak berjalan dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam pemanfaatan sumberdaya, sengketa antar petugas lapangan dari instansi pemerintah sering saja terjadi dalam areal petani yang dimanfaatkan untuk tanaman bawang dan palawija lainnya14.

Stakeholders yang berfungsi menjadi pengendali akses adalah Dinas Kehutanan, dan pada level implementasi adalah institusi adat (kelembagaan adat) setempat. Dinas Kehutanan (pemerintah) melakukan kontrol pada tataran kebijakan termasuk pengaturan pemberian izin pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan melihat mekanisme yang ditunjukkan dalam Tabel 19 di atas, keragaman pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya dapat berjalan jika sistem governance terhadap pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan baik.

Kelembagaan adat dalam memfasilitasi warganya untuk mengakses sumberdaya alam didasarkan pada kearifan-kearifan lokal yang didominasi norma dan etika yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan (Kartodihardjo, 2006). Masyarakat lokal Kaili Ledo dan Tara di lokasi penelitian, tergolong dalam kelompok penerima manfaat/pengguna dari sumberdaya alam di kawasan ini. Stakeholders yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah petani, pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral, traeler, dan institusi adat. Dalam proses memanfaatkan sumberdaya, beberapa stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini sekaligus memelihara sumberdaya yang diakses, kecuali pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral dan traeler (pedagang/pengusaha hasil hutan). Institusi adat merupakan stakeholder yang termasuk dalam kelompok pengguna tidak langsung, pemelihara akses sumberdaya melalui kearifan-kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan sebagai pengontrol akses melalui etika moral yang sudah merupakan keharusan dan dogma terhadap warga (anggota) komunitas masyarakat adat bersangkutan.

Dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi mereka berupa mengambil sumberdaya alam di dalam kawasan tetap dalam koridor etika yaitu

14

”Ali Djaludin M (57 th), sengketa pemanfaatan lahan untuk pembibitan tanaman Jarak dari PemDa Kota Palu dengan masyarakat petani bawang di Bunti Pobau Poboya, wawancara 7 Agustus 2006.

memperhatikan hak-hak alam seperti rotan yang berada di sekitar hulu sungai tidak boleh diambil atau ditebang15.

Tabel 20. Ringkasan dari right, responsibility dan revenues di TAHURA SULTENG

Stakeholders Right Responsi bility

Revenues

(1) (2) (3) (4)

Hak : ada Petani

subsisten Akses : ada

Ada Menerima pemasukan dari penjualan hasil padi ladang, coklat, kemiri, buah-buahan, sayuran dan lain-lain.

Hak : tidak ada Pendulang

emas Akses : ada

Tidak ada Menerima penjualan emas hasil dulangan, sebesar Rp. 20.000-Rp. 50.000/hari atau 2-5 kaca/hari.

Hak : tidak ada Penambang

batu kali Akses : ada

Tidak ada Menerima hasil penjualan batu kali dan kerikil.

Hak : ada Petani

bawanhg Akses : ada

Ada Menerima hasil penjualan bawang sebesar 2,5 s/d 9 juta per panen.

Hak : ada Pengambil

rotan Akses : ada

Ada Menerima hasil penjualan rotan sebesar Rp. 292.500 per bulan (pdpt, beresih).

Hak : tidak ada Pedagang

rotan Akses : ada

Tidak ada Menerima manfaat/produksi rotan dari petani kelompok pengambil rotan.

Kepala Dinas Kehutanan

Hak : ada Akses : ada

Ada Menerima hasil pengurusan hak (berupa Izin, restribusi) sumberdaya hutan kayu dan non kayu (mendapatkan fee dari hasil hutan).

Hak : tidak ada Pimpinan

DPRD Akses : ada

Tidak ada Mendapatkan fee dari hasil pengurusan izin eksploitasi/eksplorasi sumberdaya.

Hak : ada PT. Citra Palu

Minerals Akses : ada

Tidak ada Dapat melakukan eksplorasi dan data-data/tiik-titik pemboran (5 titik bor = 3 ttk dalam kawasan, 2 ttk sekitar kawasan. Hak : tidak ada

LSM

Akses : ada

Ada Mendapatkan manfaat dari donor, melalui akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Hak : tidak ada

Babinsa

Akses: tidak ada

Tidak ada Manfaat langsung dan tidak langsung dengan pedagang rotan dan kayu (hasil sumberdaya hutan).

Hak : tidak ada PPL

Akses : ada

Ada Manfaat langsung berupa honor dari aktivitas yang dilakukan.

Hak : tidak ada Kepala Dinas

Pertambangan Akses : ada

Tidak ada Manfaat izin berupa fee dari perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan.

Hak : ada Kades/Kepala

Dusun/RT Akses : ada

Ada Menerima pungutan hasil kesepakatan dengan petani/perotan dll (untuk kas dusun/RT, sebagian ke desa/kas kelurahan). Dari ringkasan right, responsibility dan revenues di atas menunjukan bahwa proporsi masing-masing stakeholder berbeda-beda terhadap kawasan TAHURA, baik dalam bentuk tanggung jawab maupun manfaat yang diterima.

15

Sanatanji (58 th), tokoh masyarakat di Uentumbu : Syarat-syarat rotan yang layak diambil. Jenis rotan yang diambil adalah jenis batang yang ukurannya berdiameter 4-7 cm dengan panjang antara 10-20 meter setiap batangnya.

Demikian pula terhadap pemegang wewenang (yang memberikan hak) pengelolaan kepada stakeholder. Dengan ringkasan tersebut dapat diihat siapa-siapa yang mendapatkan hak, akses dan manfaat, dan siapa-siapa saja yang tidak mendapatkan hak, tetapi mendapatkan akses dan manfaat dari sumberdaya, bahkan dapat dilihat pula siapa-siapa yang tidak mendapatkan hak dan akses namun mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut.

Keragaman yang mendapatkan sesuatu dari sumberdaya tersebut bagi aktor/stakeholders bisa jadi karena memang berdasarkan legal hukum mendapatkan haknya, dan tanpa legal hukum namun memiliki akses karena interaksi dan hubungan-hubungan sosial, pengakuan adat yang telah berlangsung turun-temurun untuk mendapatkan hak dan menerima manfaat. Selain hubungan kelembagaan, dapat pula manfaat diterima karena hubungan sosial yang dijalin secara personal lalu dilegalisasi melalui konvensi (hukum adat), berdasarkan realitas wajar mendapatkan akses dan hak dengan kriteria-kriteria yang situasional. Hubungan-hubungan sosial ini menurut Faucault dalam Peluso dan Ribot (2003), dalam situasi tertentu masyarakat memiliki kekuatan yang lebih ketika memiliki hubungan sosial.

Petani subsisten (masyarakat lokal) yang merupakan stakeholder utama telah mendapatkan kepemilikan de fakto yang diwariskan leluhurnya dan dilegitimasi oleh adat, pengakuan sosial komunitas masyarakat setempat sehingga akses yang dimiliki juga berdasarkan pemilikan yang keabsahannya diakui berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian tanggung jawab terhadap sumberdaya juga besar dimana alam merupakan sumber penghidupan satu-satunya yang harus dijaga kelestarian dan kesinambungannya untuk anak cucu (generasi yang akan datang). Fakta-fakta yang dapat membuktikan kuat dan besarnya akses terhadap sumberdaya dimaksud adanya berupa tanaman-tanaman perkebunan (coklat, cengkeh, kelapa, kemiri, durian, langsat) dan tanaman musiman seperti berbagai sayur mayur, tanaman pangan, padi ladang dan pohon-pohon tanaman leluhur. Selain tanaman tersebut penamaan lokasi-lokasi kebun dan pekuburan tua secara massal. Dari fenomena yang ada, Tawney dalam Ribot dan Peluso (2003), mulai memperluas definisi property menjadi kepemilikan akses pasar. Selanjutnya dikemukakan aspek “tangible” dan “ingtangible” dalam

menilai suatu komoditas, bahwa dalam suatu kepemilikan terdapat berbagai hubungan sosial.

Untuk pendulang emas dan penambang batu kali memiliki akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Pondo yang mengandung emas. Pendulang emas tersebut malakukan aktivitas tanpa menggunakan legal formal berupa hak pemanfaatan sumberdaya seperti atribut hukum (izin pengolahan, keterangan dari pemerintah setempat, dll).

Hak dan akses merupakan dua konsep yang berbeda dalam perspektif pemanfaatan sumberdaya alam. Hak (right) adalah pemilikan sesuatu sumberdaya yang dibuktikan dengan atribut hukum berupa perizinan dan sejenisnya yang dikeluarkan oleh lembaga atau intansi pemerintah yang diberikan wewenang berdasarkan aturan perundang-undangan. Akses dalam perspektif masyarakat lokal Kaili merupakan suatu pemilikan yang telah lama berlangsung, dan beriteraksi dengan alam dan sumberdaya di dalamnya. Situasi ini masyarakat merasakan dampak yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses aktivitas berusaha, khususnya kegiatan usaha di sektor pertanian dan tanaman keras. Stabilitas sumberdaya alam selama dikelola oleh masyarakat adat tidak berkurang dalam pengertian kemampuan lahan untuk mengakomodasi siklus ekologi kawasan yang ada saat ini. Masyarakat lokal Kaili (adat) menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan, dan percaya bahwa semua kejadian langsung atau tidak, merupakan sebuah konsekwensi dari perilaku manusia. Persepsi masyarakat lokal Kaili di TAHURA tentang alam tersebut hampir sama dengan konsep ekologi manusia, bahwa perbuatan manusia akan menghasilkan efek berantai melalui ekosistem dan sistem sosial (Marten, 2001). Oleh karena itu dalam proses pengaksesan sumberdaya selalu mengikuti kaidah dan etika, nilai-nilai yang ada selama ini, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui (reneweble resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (Non reneweble resources), dimana alam dipahami mempunyai sifat keseimbangan yang mudah rusak jika manusia merubah ekosistem dari kondisi alamnya (Kartodihardjo, 2006).

Masyarakat lokal Kaili merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb), dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat

yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan atas bentukan desa dengan LKMD-nya (Fay dkk, 2000). Kehidupan komunitas masyarakat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara, bangsa yang lebih besar dan berformat nasional (Wignyosoebroto, 1999a dalam Fay dkk, 2000), sehingga rumusan-rumusan mengenai masyarakat adat yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan perubahan. Sementara rumusan masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan perubahan. Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu (Maria Sumardjono, 2005). Selanjutnya dijelaskan, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak), dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah dan sumberdaya alam (hutan), dan perbuatan-perbuatan hukum. Hak-hak menurut Fay dkk (2004) berisi wewenang untuk : (a) mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/perladangan baru) dan pemeliharaan tanah, (b) mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu), dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll). Wewenang hak ulayat tersebut menyatarakn bahwa hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Maria Sumardjono, 2005).

Akses yang didapatkan dalam bentuk penerimaan secara langsung maupun tidak langsung merupakan sebagian dari konsekwensi adanya kemampuan yang dimiliki pada masing-masing stakeholders selain hak yang dimiliki, seperti kelompok pengambil/pemungut rotan. Besar-kecilnya akses kelompok ini sangat bergantung pada pemegang hak legal (pemilik izin) pengelolaan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Manfaat yang

diterima secara langsung (revenues) oleh stakeholder dari akses sumberdaya alam di TAHURA disajikan dalam Tabel 21 berikut :

Tabel 21. Pendapatan rata-rata warga masyarakat lokal (adat) per bulan di lokasi penelitian.

Komunitas

masyarakat Sumber penghasilan

Penghasilan Rata-rata (bln, panen) Pengeluaran (Biaya produksi) Pendapatan Vintu Komoditas campuran, karyawan perusahaan rotan 520.000 30.000 490.000

Vatutela Coklat, cengkeh, kopi, batu kali,

karyawan perusahaan roti

300.000 - 300.000

Bunti Pobau Komoditas Bawang 1.000.000 113.300 886.700 DAS Pondo Emas, coklat,

bawang, kemiri

1.106.000 123.330 983.330

Uentumbu Rotan (hasil hutan non kayu) 382.500 99.000 292.500 Tompu Komoditas campuran, rotan 280.000 - 280.000 Raranggonau Komoditas campuran 800.000 125.000 675.000

Tabel 21 di atas menunjukkan besarnya penerimaan stakeholders dari pengelolaan akses sumberdaya alam di dalam kawasan TAHURA yang umumnya belum memiliki hak de jure kecuali pengelola rotan yang menggunakan izin pengolahan dari salah seorang pemegang hak (eks HPH). Penerimaan yang bersumber dari sumberdaya alam non hutan berupa produk-produk pertanian seperti bawang, sayur-sayuran, padi, coklat, kopi, cengkeh dan tanaman perekebunan lainnya merupakan kepemilikan de fakto atas pengolahan lahan untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Akses terhadap sumberdaya lahan/tanah dari masing-masing individu dan atau keluarga berbeda, brgantung kemampuan dan kebutuhan keluarga petani serta kepemilikan yang dipersyaratkan dari komunitas adat yang diwariskan dari leluhur tetuanya.

Analisis ”3R” (Right, responsibility, Revenues) mempresentasikan siapa yang memiliki tanggung jawab besar melalui penilaian bersama yang dilakukan kelompok komunitas masyarakat dengan bobot tertentu, stakeholder mana yang

Dokumen terkait