• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

1.1. Latar Belakang

Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi1. Dalam perspektif ini kawasan yang akan ditetapkan menjadi TAHURA idealnya bebas dari kegiatan rutinitas masyarakat dan pemukiman penduduk, namun kenyataan dari 17 wilayah di Indonesia yang dijadikan TAHURA dengan luasan 343.454,41 hektar, kebanyakan menuai permasalahan dengan penduduk lokal yang secara de fakto menempati kawasan sebelum penetapan suatu kawasan dilakukan (DepHut, 2004).

TAHURA SULTENG2 merupakan salah satu kawasan pelestarian yang dikukuhkan dengan KepMenHut No. 24/Kpts-II/1999, dengan luas 7.128 ha atau 0,186 % dari total luas hutan Sulawesi Tengah (3.833.330 ha) atau sekitar 1,174 % dari luas kawasan konservasi (607.100 ha) di Sulawesi Tengah (DepHut, 2004) atau berkisar 0,104 % dari luas Sulawesi Tengah (68.316,02 km2). Secara administratif kawasan tersebut termasuk dalam dua wilayah daerah tingkat II yaitu Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 ha (34,115 %) dan Kota Palu seluas 4.696,27 ha (65,885 %). Dari aspek historisnya kawasan ini merupakan penggabungan dari tiga kawasan, meliputi Cagar Alam Poboya seluas 1.000 ha, Hutan Lindung Paneki 7.000 ha dan lokasi PPN 30 seluas 100 ha, melalui Keputusan MenHut No. 461/Kpts-II/1995 dengan nama TAHURA PALU.

1

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. 2

Secara geografis wilayahnya berada pada posisi antara 1190 55’ - 1200 0’ 0” BT dan 00 48’ -00 59 LS. Pada bagian Utara dibatasi oleh oleh Wilayah Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), bagian Timur dengan Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung), bagian Selatan berbatas dengan Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala (Hutan Produksi Terbatas), dan bagian Barat berbatas dengan Desa Ngata Baru (Kapopo) Kabupaten Donggala, Kelurahan Tondo dan Poboya Kecamatan Palu Timur ; Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. Jarak dari Kota Palu sekitar 4-11 km arah Timur dengan jalur aksesibilitas melalui Universitas Tadulako (Vatutela), Kelurahan Poboya, Desa Ngata Baru (Kapopo), Gumbasa Paneki dan Kelurahan Layana Indah (Vindu).

Pertimbangan ditetapkannya wilayah ini menjadi TAHURA antara lain : (a) untuk melindungi flora dan fauna eksotik dan endemik yang mendekati kepunahan, (b) sebagai daerah penyangga (buffer area) untuk Kota Palu dan sekitarnya, (c) sebagai pensuplai air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, Paneki, Mamara-Ngia dan Vatutela, (d) keadaan fisik tanah yang labil (lempung berpasir) yang rawan erosi dan gundul dan (e) sebagai pengatur iklim mikro. Aspek-aspek tersebut merupakan isi sumberdaya TAHURA yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sumberdaya non hayati, sumberdaya hayati dan sumberdaya manusia (Mantjoro, 1999). Ketiga kelompok ini berada dalam satu sistem kehidupan bersama (ecosystem) yang seimbang dan serasi. Sumberdaya non hayati dan hayati berperan sebagai pemasok (supplier) dan sumberdaya manusia sebagai konsumer dan pengelola. Fungsi dan manfaat sumberdaya alam (hutan) bersifat interpretatif, bergantung cara pandang individu atau kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap hutan tersebut. Kegagalan sistem pengelolaan hutan seperti sekarang ini berakibat pada turunnya kualitas hutan serta kesejahteraan masyarakat dalam/sekitar hutan semakin termarginalkan.

Kebijakan penetapan TAHURA SULTENG berimplikasi pada beragam persepsi stakeholders dan masyarakat lokal Kaili di dalam/sekitar kawasan. Perspektif yang berbeda ini disebabkan tidak terjalinnya komunikasi kedua pihak, antar pengelolan (pemerintah) dengan masyarakat lokal Kaili. Situasinya menjadi krusial tatkala pemerintah melakukan pengukuran dan pemasangan tapal batas tahun 1997, beberapa tapal batas ditempatkan dalam kebun-kebun dan di halaman pekarangan warga masyarakat lokal3. Penentangan semakin terbuka ketika PT. Citra Palu Mineral (Rio Tinto Group) melakukan eksplorasi tambang emas di dalam Kawasan Cagar Alam Poboya yang seharusnya dalam persepsi normatif masyarakat dilindungi dari berbagai bentuk. Keyakinan semakin kuat dan membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyatnya, hanya mementingkan pihak kapital (swasta).

3

Sanarudin (56 th), tenaga kerja harian pemasangan tapal batas thn 1997, wawancara 19 Juli 2006 di Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan.

Keadaan tersebut mempengaruhi sistem sosial masyarakat lokal Kaili yang berjumlah 529 KK (2.416 jiwa) atau sekitar 10,55 % dari total jumlah jiwa tiga wilayah kecamatan (22.889 jiwa) yang termasuk dalam wilayah TAHURA. Masyarakat lokal Kaili secara de fakto telah terbangun sistem itegratif dengan alam kehidupannya secara lintas generasi, namun kenyataan menunujukkan lain, kenyamanan terganggu tatkala kawasan ini diklaim menjadi kawasan pelestarian yang membatasi ruang gerak mereka untuk mengakses sumberdaya (hasil kebun) yang berbeda dari sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili yang tinggal dalam/sekitar kawasan ini memiliki hubungan dialektika yang erat dengan lingkungan sumberdaya alam (hutan). Hutan dalam perspektif masyarakat lokal Kaili bukan hanya menjadi tempat tinggal dan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, namun memiliki fungsi sosial, budaya dan religiusitas (Murtijo dan Nugraha, 2005). Nilai-nilai spiritual (religiusitas) dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan sumberdaya alam (Kartodihardjo, 2006). Keadaan ini dapat diamati dalam masyarakat lokal Kaili dari beragam upacara adat, dan ritual yang selalu mengiringi kegiatan praktek bertani ladang yang interaksinya berulang-ulang. Interaksi yang berulang tersebut, maka terbangun suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat yang menyatu dengan ekosistem hutan4. Ritual adat dimulai dari pemilihan lahan5, pembukaan lahan, pembersihan (noropu), penanaman sampai pemanenan. Kearifan-kearifan tersebut dapat berlangsung secara sistematis jika institusi (kelembagaan)6

4

Hutan adalah bagian integral, merupakan kesatuan ekosistem kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Hubungan interaksi antar masyarakat dan lingkungan hutan telah berlangsung berabad-abad dari generasi ke generasi. Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, dan hutan menjadi penyedia lahan untuk pertanian ladang dan pemenuhan kebutuhan hidup (Nugraha, 2005).

5

Laudjeng, Hedar (2003), adat pombui di rumpun Kaili Da’a memperlihatkan hubungan erat antar pengelolaan hutan dengan kepercayaan religius khususnya dalam pemilihan lahan. Proses pemilihan lahan oleh petani disampaikan kepada pimpinan petani (sobo). Setelah disetujui Sobo, baru dilakukan bersama dengan pemilik untuk mempersiapkan ritual-ritual yang harus dipenuhi petani berupa adat Tava’a (Lahandu, 2002). Adat Tava’a dilakukan tujuh hari sebelum perencanaan pembukaan lahan. Setelah tujuh hari pelaksanaan adat Tava’a terdapat fenomena alam yang berubah di lokasi rencana pembukaan kebun tersebut, maka Sobo akan melakukan pemindahan lokasi kebun yang lebih layak menurut perspektif adat Tava’a.

6

Kelembagaan adalah institusi masyarakat adat, kelompok yang terkait, untuk mengatur anggotanya baik secara teknis maupun aspek nilai-nilai moral dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG. Masyarakat adat menurut Ter Haar dalam Fay dkk (2000)

masyarakat seperti kelembagaan adat setempat kuat. Perilaku masyarakat termasuk pengaturan pola usahatani, hubungan sosial baik antara individu, antar kelompok maupun dalam organisasi yang sama. Kelembagaan adat merupakan satu-satunya yang dihargai, didengar dan ditaati anggota masyarakatnya dalam berbagai hal termasuk pola mengakses sumberdaya apalagi merubah struktur permukaan tanah dan tutupan lahan seperti hutan.

Akses7 masyarakat lokal Kaili di wilayah ini telah berlangsung ratusan tahun, namun dengan adanya klaim pemerintah, maka di dalam wilayah ini terdapat kelompok kepemilikan sumberdaya yaitu kepemilikan comunal (communal property), kepemilikan warga (private) dan kepemilikan negara (state property). Jika dikelompokkan terdapat dua sifat kepemilikan yaitu kepemilikan de fakto dan de jure. Adanya dua kepemilikan tersebut akan menimbulkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas sumberdaya (lahan, tanah, hutan). Mereka mendapatkan akses dan menguasai sebidang tanah, sumberdaya alam berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan hukum yang berlaku untuk legitimasi kepemilikannya (Affif, 2002). Dalam suatu kepemilikan terdapat beberapa hak (boundle right) dan menunjukkan berbagai hubungan sosial (Ribot dan Peluso, 2003 ; Ostrom dalam Kartodihardjo, 2003). Dari aspek politik ekonomi, penting ketika membagi aktivitas dalam hubungan sosial menjadi pengguna (gain), kendali akses (control acces), dan pemelihara akses (maintan acces). Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan, kendali akses merupakan kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain ; sementara kendali akses itu sendiri adalah memeriksa, mengatur dan menggerakkan aktivitas.

adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas.

7

Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan benefit dari sesuatu, termasuk benda, orang ataupun lembaga (Ribot & Peluso, 2003).

Untuk mengelola mekanisme akses seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dari beragam pemangku. Hal ini dapat berjalan jika pengambil kebijakan di daerah dapat memahami dan mengimplementasikannya dengan memperhatikan beragam kepentingan melalui pendekatan holistik. Menurut Dunn (2000), Darusman dkk (2003), Kartodihardjo dan Wollenberg (2003) bahwa kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang memiliki karakteristik yaitu (1) suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Kebijakan tidak eksis tunggal, tetapi berantai, terikat dengan kebijakan lainnya. Kebijakan pengelolaan TAHURA harus sinkron dengan kebijakan tata ruang wilayah propinsi seperti ruang penggembalaan bagi ternak rakyat, kawasan pemanfaatan bagi petani dan pemanfaatan hasil hutan, (2) Keberhasilan suatu kebijakan sehingga perubahan-perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik, (3) Kebijakan mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost imposible menjadi possible, dan (4) Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat.

Secara konseptual terdapat dua aturan hukum dalam pengaturan kegiatan hutan yaitu hukum formal (positif) sebagai peraturan pemerintah serta hukum adat yang menjadi acuan masyarakat (Nugraha dan Iskandar, 2004). Kecenderungan yang berkembang di lapangan berkaitan dengan landasan aturan kegiatan pengelolaan hutan yaitu dominasi hukum posistif formal sebagai produk peraturan pemerintah (penguasa). Sementara kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat merupakan sebuah aturan sosial yang berjalan sejak sebelum peraturan positif ada. Dalam konteks penetapan kebijakan pengelolaan hutan secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari sistem, tata nilai, norma-norma atau paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang budaya para birokrat pembuat kebijakan.

Bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili dan mekanisme akses dijalankan dalam pengelolaan suatu Taman Hutan Raya, telah

dilakukan penelitian tentang analisis kebijakan8 pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

1.2. Kerangka Pemikiran

TAHURA SULTENG merupakan bentuk kebijakan pemerintah dengan mengacu pada Undang-undang No. 5 Tahun 1990, dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Untuk kepastian hukum, Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar rujukan pemerintah daerah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999 yang menetapkan status dan tata batas dengan luas 7.128 hektar. Keputusan tersebut merupakan perubahan dari Surat Keputusan No. 461/Kpts-II/1995, dengan luas 8.100 hektar sebagai penggabungan dari tiga kawasan pelestarian yaitu Cagar Alam Poboya 1.000 hektar, Hutan Lindung Paneki 7.000 hektar dan Taman Wisata Alam Kapopo (Eks PPN 30) seluas 100 hektar dengan nama TAHURA PALU.

Kawasan TAHURA yang berjarak sangat dekat dengan pusat kota berkonsekwensi dan akan mengalami proses perubahan yang cepat baik dari aspek fisik maupun non fisik. Untuk itu beberapa hal yang harus diingat bahwa dalam pengelolaan tidak melupakan aspek sosial budaya (masyarakat lokal/adat) dan keterlibatan stakeholders dari prakondisi hingga kebijakan operasional.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berlangsung sejak Januari 2001 mengakibatkan berkurangnya peran dan kendali pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah daerah khususnya kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan untuk mengurus sumber daya alam di wilayahnya (hutan, tambang, perkebunan, pertanian). Dengan kewenangan ini pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan kemandirian dalam membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pemanfaatan

8

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas inetelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 2000 ; Kartodihardjo, 2006). Proses analisis kebijakan mempunyai lima tahap (perumusan masalah, peramalan, pemantauan, evaluasi dan rekomendasi) yang saling bergantung yang secara bersama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak linear. Aktivitas-aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya dan melekat dalam proses kebijakan yang bersifat kempleks, tidak linear, dan pada dasarnya bersifat politis.

sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya (Dephut, 2002). Hal ini mendorong bagi pengambil kebijakan/keputusan untuk menempuh jalan pintas dalam menggali sumber-sumber pembiayaan, diantaranya sampai mengeksploitasi hutan lindung dan Taman Nasional (kasus Poboya dan Dongi-dongi). Keadaan ini dalam implementasi menimbulkan benturan dengan masyarakat lokal (adat) sebagai penghuni dan pemilik wilayah secara de fakto. Dalam banyak kasus sering terjadi pertikaian antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Secara khusus walaupun kawasan secara de jure dikontrol pemerintah, namun secara de fakto di kontrol masyarakat lokal/adat (kasus kawasan Tompu TAHURA SULTENG), sementara pelaku bisnis lokal mengeksploitasi kawasan ini, dengan memanfaatkan individu-individu dalam komunitas bersangkutan tanpa konsultasi institusi adat. Ketika masyarakat lokal tidak efektif dalam bekerjasama dengan pemerintah di lapangan untuk melakukan kontrol, maka kawasan pelestarian/perlindungan akan tereksploitasi. Kondisi ini merupakan ekspresi dari tragedi of the commons yaitu musnahnya sumberdaya alam tatkala sumberdaya ditetapkan menjadi milik umum (common property) karena penggunaan berlebihan, sejalan dengan kehawatiran Hardin dalam Dephut (2002). Keadaan ini akan berdampak pada perubahan ekologis, sosial budaya dan ekonomi berupa banjir, erosi, kekeringan dan meningkatnya suhu (panas bumi), konflik kepentingan, menurunnya hasil produksi pertanian dan meningktnya serangan hama pada tanaman pertanian.

Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik, produktivitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan, dan eksistensi masyarakat lokal (Nanang dan Devung, 2004). Hasil studi kasus dari Romwe di lahan komunal Chivi, Zimbabwe Selatan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dapat berjalan dengan sangat baik dalam konteks kolaborasi (pengelolaan bersama) dengan lembaga lokal (Nemarundwe, 2005). Makna dari pengalaman ini bahwa dalam pengelolaan TAHURA harus diatur sedemikian rupa dengan pola-pola tertentu sesuai dengan karakteristik wilayah dan struktur masyarakat lokal di dalam kawasan. Aturan main dan peraturan diperlukan sebagai penyusunan kelembagaan (institusi) . Aturan main

dan peraturan digunakan masyarakat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegaskan aturan (Orstrom, 1998 dalam Nemarundwe, 2005).

Dalam konteks pengelolaan TAHURA bahwa akses yang berdasarkan hak (right) adalah sebuah akses yang melibatkan kelompok komunitas (dalam arti seluas-luasnya), negara atau pemerintah yang dapat melegalkan sebuah klaim (Kartodihardjo, 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa hak milik (property right) yang berdasarkan hukum mencakup akses melalui pemilikan dokumen legal untuk sebuah property yang nyata (sertifikat tanah, izin, lisensi dan sejenisnya). Pemegang hak milik dapat menyatakan haknya dengan beberapa mekanisme tertentu untuk mempertahankan kendalinya atas akses. Dengan demikian Ribbot dan Peluso (2003) menyatakan, yang perlu diatur mekanisme akses adalah siapa yang mendapatkan akses (gain), mengendalikan (control) dan memelihara akses (maintain acces) terhadap sumberdaya alam. Selanjutnya ia membagi mekanisme akses menjadi dua bagian yaitu akses berdasarkan hak (legal dan Illegal) dan akses berdasarkan struktural dan relasional. Akses berdasarkan struktural adalah kategori-kategori untuk mengilustrasikan jenis hubungan kekuasaan yang mempengaruhi jenis-jenis akses berdasarkan hak, adalah akses terhadap teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, ilmu pengetahuan, pihak yang berwenang, identitas dan hubungan sosial.

Untuk menganalisis peran-peran stakeholders terhadap akses sumberdaya TAHURA SULTENG digunakan perangkat analisis right, responsibility, revenue dan relasionship (4 R). Perangkat tersebut akan mengkaji hak-hak stakeholders, tanggung jawab dan seberapa besar manfaat yang diterima (dirasakan) dari sumberdaya. Keadaan yang akan dihasilkan dari right, responsibility dan revenues tersebut dipengaruhi oleh hubungan antar stakeholders (Meyers, 2005). Kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut :

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh masyarakat Kaili di SULTENG.

Dokumen terkait