• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalam/sekitar Kawasan TAHURA SULTENG

5.1.1. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk kelurahan/desa yang termasuk dalam wilayah penelitian disajikan dalam Tabel 7. Masyarakat dari kelurahan/desa di sekitar TAHURA adalah komunitas asli (masyarakat lokal Kaili) yang memiliki akses cukup besar terhadap integritas dan keberlanjutan TAHURA Sulawesi Tengah.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah perkelurahan/desa di sekitar Kawasan TAHURA Sulawesi Tengah.

No. Kecamatan/ Kabupaten/Kota Kelurahan/ Desa Luas Wilayah (km2) Jumlah KK Jumlah Jiwa Kepadatan Penduduk Per-km2 1. Palu Selatan/Palu ¾ Kavatuna 20,67 613 2.666 126 2 Palu Timur/Palu ¾ Poboya

¾ Tondo ¾ Layana Indah 63,41 55,16 15,00 601 2.588 607 1.287 10.097 2.579 20 183 172 3. Sigi-Biromaru/ Donggala ¾ Pumbeve ¾ Ngata Baru ¾ Loru 44,80 224,32 57,68 553 284 496 1987 2367 1906 44 11 33 Jumlah 481,048 5.742 22.889

Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka (2004) ; Bappeda (2003)

Dari jumlah penduduk dalam Tabel 7 di atas, yang termasuk dalam kawasan TAHURA, menempati hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), pegunungan dan bukit berjumlah 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa, tersebar pada tujuh kawasan (dilihat Tabel 8). Jumlah pemukim dalam kawasan bila dibandingkan dengan penduduk kelurahan dan desa yang termasuk dalam tiga wilayah kecamatan, berkisar 9,21 % kepala keluarga atau 10,55 % jumlah jiwa. Angka tersebut jika ditilik dari prosentasenya masih rendah, namun bila dibandingkan dengan luasan TAHURA, dapat diprediksi akan mengalami proses degradasi

yang cepat manakala warga masyarakat yang memiliki akses di dalam kawasan tidak diberikan ruang sebagai salah satu komponen yang berperan aktif dan bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan itu.

Tabel 8. Jumlah penduduk dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. No. Kawasan Lokasi/ Pemukiman Jml KK Jml Jiwa

Aktivitas (Tanaman yang diusahakan) 1. Dusun Tompu Kalinjo Kambilo 47 36 230 200

Kebun coklat, merotan,

berladang, Berburu, padi ladang, menjual kayu bakar, kopi, mangga, durian,

2. Paneki Raranggonau 40 167 Merotan, berladang, kebun coklat, kayu bakar.

3. Hulu DAS Kavatuna

Uentumbu/ Valiri

86 357 Berladang, beternak kambing & sapi, merotan, kayu bakar, bambu.

4. Bukit Poboya (PPN 25-29)

Bunti Pobau 76 228 Usahatani bawang, jagung, kacang tanah, dan tanaman pelindung. 5. Hulu Das Pondo RT.6 RT.7 RT.8 28 25 37 143 129 198

Pendulang emas, berkebun coklat, mangga, durian, kelapa, bawang. 6. Vatutela Vatutela 80 317 Kebun cengkeh, kopi, berladang 7. Bulu Bionga Vintu (RT. 19) Paranjese (RT.18) 33 41 198 249

Kebun ubi, kopi, cengkeh, kayu bakar, kemiri, kelapa, sukun, jagung,

Padi ladang, mangga, asam, cabe, Pisang, dll.

Jumlah 529 2.416

Sumber : Data Kelurahan (RT) dan Dusun /Desa (2006)

Penduduk masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan, tertera pada Tabel 8 di atas, menunjukkan keberadaan pemukiman dalam kawasan saat ini adalah penduduk yang telah ada sebelumya. Mereka telah beranak pinang beratus tahun secara turun-temurun. Pemukiman yang dihuni saat ini dulunya adalah desa-desa tua yang kini telah menjadi dusun dan lingkungan dari kelurahan. Hal ini terjadi pergeseran karena perubahan dan perkembangan kota Palu dengan pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir rata-rata 3,15 % pertahun atau dari 269.083 jiwa tahun 2000 menjadi 304.674 jiwa tahun 2005. Pertambahan penduduk kota dalam

kurung waktu tertentu akan mempengaruhi situasi wilayah TAHURA yang hanya berjarak 4-11 km dari Kota Palu, terutama pada penguasaan lahan untuk pemukiman dan lahan untuk usaha pertanian. Dengan perkembangan yang cukup pesat ini yang di dalamnya juga kepentingan yang tidak mungkin dihindarkan, maka kebijakan seharusnya dapat menerjemahkan secara benar makna ”untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan Undang-Undang Pokok Agraria (Maria Sumardjono, 2005).

Pertambahan penduduk dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin tinggi akan mempercepat proses perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang berekses pada penguasaan sumberdaya alam. Perubahan ini juga tidak terlepas dari intervensi pemerintah untuk merubah struktur kehidupan sosial masyarakat yang tadinya sangat kental dengan pola kehidupan yang sepenuhnya bergantung kepada sumberdaya alam, bagaimana dapat merubah pola kehidupan pada sektor-sektor jasa. Peran ini sepenuhnya dilakoni pemerintah sebagai pemegang kendali akses sumberdaya dan memiliki pawer dalam banyak hal. Pembangunan yang dilakoni pemerintah sejak orde baru hingga sekarang masih menganut pola-pola top down dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan sepihak. Tidak sedikit masyarakat yang menerima dampak dari perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Kasus Dompu dan Taman Hutan Raya Marhum di Sulawesi Tenggara perlu menjadi bahan perenungan bagi pengambil kebijakan, betapa lemahnya keadilan atas rakyat yang juga bagian dari negeri ini (Noerdin & Nainggolan dalam Suporahardjo, 2006)10.

Masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan ini juga dijuluki sebagai masyarakat tradisional yang menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan. Sudah merupakan sebuah kebudayaan untuk memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana untuk menghindari dampak buruk dari alam (Marten, 2001). Dalam konteks inilah masyarakat lokal Kaili menganggap kehadiran pihak luar di lingkungan mereka merupakan ancaman bagi kelestarian

10

Kelompok tani Cando Permai dan Mada Feli memiliki niat baik dan berkeinginan untuk mengelola kawasan hutan yang telah rusak dan telah berhasil menjadi hutan kembali, justru bukan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Dompu, namun sebaliknya ”mereka ditangkap dan dijebloskan kepenjara dengan cara sewenang-wenang oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu dan selanjutnya dituntut oleh Kejaksaan Negeri Dompu dan dihukum penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Dompu antara 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan penjara (Noerdin, W dan Nainggolan L, 2005; 23).

alam khususnya sumberdaya hutan. Pihak luar dipersepsikan sebagai pembawa pembaharuan dan perubahan yang dapat menciptakan malapetaka bagi mereka terutama kelompok-kelompok yang akan mengakses sumberdaya hutan berupa penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar. Jika mereka yang datang hanya bermaksud mengambil hasil hutan berupa kayu tanpa ada rekomendasi dari kepala desa kami halau dan kalau tidak mau pergi akan dilaporkan kepada pemangku adat untuk diproses lanjut.

Persepsi masyarakat lokal Kaili tentang Taman Hutan Raya, diketahui hanya terbatas pada singkatan TAHURA. Dari 52 responden di komunitas masyarakat sekitar 17,31 % yang hanya mengetahui singkatan TAHURA, namun fungsi dan kegunaan Taman Hutan Raya terhadap kelestarian hutan tidak diketahui atau sekitar 82,69 % dari jumlah responden. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan persepsi masyarakat tentang Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.

Tabel 9. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah

Persepsi Kelompok Umur

Responden

Jumlah Responden

Tahu Tidak Tahu

27 - 30 6 2 4 31 - 35 9 1 (ragu-ragu) 8 36 - 40 13 2 11 41 - 50 13 3 10 > 51 12 1 11 Total 52 9 44

Informan selain masyarakat lokal Kaili, para pejabat yang memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan kawasan TAHURA juga sebagai sumber informasi yang dapat djadikan petimbangan dalam analisis. Pemangku kepentingan dimaksud disajikan dalam Tabel 10. Persepsi para responden/informan yang juga bagian dalam penentuan keputusan pengelolaan Taman Hutan Raya, berbeda satu sama lain. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa instansi sektoral yang sesungguhnya pemegang kunci (stakeholder kunci) justru tidak dapat memberikan penjelasan yang menggambarkan pengelolaan TAHURA dalam konsteks kebijakan, dan belum membagi peran masing-masing sektor secara teknis.

Hasil dari indepth interview (wawancara mendalam) dengan masyarakat lokal Kaili dan instansi sektoral secara terpisah menunjukan perbedaan informasi yang cukup signifikan. Masyarakat berpendapat bahwa pemerintah tidak memperdulikan rakyatnya dalam beragam aspek termasuk dengan menjadikannya wilayah ini sebagai TAHURA. Tidak sedikit lahan milik masyarakat yang dieksploitasi, dan dimasukkan dalam areal TAHURA dengan tidak mengganti rugi atau tanpa kompensasi.

Tabel 10. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan dengan keberlanjutan TAHURA.

Konsep pengelolaan

Informan/ Responden

Jabatan Instansi/ Institusi

Peme rintah Tidak jelas Peme rintah + Masy. P.emeri ntah+ Masy + Stakhld Haerul Anantha, Ir. Kepala Dinas Dinas Kehutanan Propinsi Sulteng 9 Trimuljono Admomartono, Ir. Kepala Balai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Palu-Poso Sulteng

9

Istanto, M.Sc Kepala Balai

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) VI Sulawesi 9 Said Awad, MH, Drs. Kepala Badan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sulteng 9 Ardin T.Tayeb, MT, SE Kasie Perencanaan dan Tata Ruang Wilayah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sulteng 9 Helmy D. Yambas, SE

Wakil Ketua DPRD Propinsi Sulteng 9

Hedar Laudjeng, SH

Ketua Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), Perkumpulan Bantaya

9 Rusdi Mastura Walikota Pemerintrah Kota Palu. 9 9

Zainal Arifin H. Tongko, MS. Ir.

Kepala Dinas

Dinas Kehutanan Kota Palu. 9 Usman, SH. MH Kepala Biro Hukum Sekretariat Pemda Sulteng 9 9 Harun Lapasere, Drs. Sekretaris LPPM Universitas Tadulako 9

Dari hasil wawancara mendalam dengan para pimpinan instansi yang juga merupakan elemen yang bertanggung jawab dalam proses penetapan dan

keberlanjutan Taman Hutan Raya, namun faktanya memperlihatkan berbagai perspektif dan konsep yang berbeda dalam pengelolaan TAHURA. Dinas Kehutanan misalnya memberikan pernyataan dan menjelaskan dengan lugas bahwa pengelolaannya hanya dapat dilakukan pemerintah tanpa peran pihak lain (kelola mono sektoral). Dalam perspektif ini menunjukkan ego sektoral dari setiap instansi cukup tinggi, sementara pengelolaan yang ideal adalah megkolaborasikan berbagai konsep yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi tipikal wilayah bersangkutan dan melakukannya secara bersama dengan peran fungsional masing-masing. Hal lain menunjukkan bahwa pengelolaan TAHURA masih berpegang pada pengelolaan preservasi tanpa memperbolehkan aktivitas lain sekitar dan dalam kawasan, sementara fakta menunjukkan terdapat ratusan hektar lahan milik warga dan komunal serta ribuan jiwa penduduk penghuni dengan aktivitas usahatani dan sejumlah kearifan yang dimiliki dalam mengelola sumberdaya alam. Keadaan inilah yang menyebabkan salah satu timbulnya proteksi masyarakat terhadap lahan-lahan yang de fakto-nya telah dimiliki secara turun temurun, sementara pihak pemerintah daerah tidak memberikan kesempatan bagi pemilik lahan melakukan akses dari pemilikan berbagai bukti berupa tanaman keras dan sumberdaya lainnya.

Hal yang serupa namun berbeda versi adalah Biro Hukum Sekretariat Daerah, menyatakan pengelolaan sepenuhnya dilakukan pemerintah, untuk pelibatan masyarakat dalam memanfaatkan lokasi-lokasi yang telah ditetapkan pemerintah menjadi TAHURA, perlu dilihat kembali aturannya. Berkaitan dengan fungsi biro hukum yang bertanggung jawab terhadap penyusunan peraturan daerah tentang TAHURA, namun sampai saat ini pemikiran untuk melakukan upaya-upaya penguatan dari aspek hukum atas sumberdaya TAHURA belum ada11. Kondisi ini menunjukkan betapa tidak pedulinya pihak-pihak yang berkompeten terhadap sebuah kawasan yang merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat Kota Palu.

11

Usman Suhudin, SH,MH (Kepala Biro Hukum PemDa Sulteng) menyatakan “tidak tahu menahu hal tentang TAHURA, silahkan ditanyakan kepada Dinas Kehutanan, saya mau rapat”. Dalam perspektif Kepala Biro Hukum, TAHURA adalah sepenuhnya wewenang dinas teknis, termasuk penyusunan peraturan yang berhubungan dengan kawasan dimaksud, dan biro hukum bertugas untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan sekretariat, dan memfilekan keputusan-keputusan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Disini nampak mekanisme dan koordinasi sangat lemah dan tidak berjalan.

Dalam perspektif masyarakat lokal Kaili pendidikan merupakan faktor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah, namun kenyataan di lapangan menunjukkan ketidakpedulian kepada masyarakat lokal di dalam kawasan TAHURA yang semakin termarginalkan dalam berbagai aspek. Sentuhan pembangunan hanya diperuntukkan kepada wilayah-wilayah yang secara kasat mata dan selalu dilalui oleh para pejabat daerah dan atau pejabat negara. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dilokasi penelitian menunjukkan persentase terbesar adalah masyarakat yang hanya dapat menikmati jenjang pendidikan formal pada Sekolah Menengah Pertama ke bawah. Keragaman masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan formal merupakan indikasi rendahnya kemampuan masyarakat dari aspek ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh komunitas masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini masih dapat dikategorikan rata-rata berpendidikan rendah. Jenjang pendidikan formal masyarakat lokal Kaili dari tujuh komunitas yang tersebar dalam kawasan TAHURA berdasarkan sampel penelitian, disajikan dalam Tabel 11 berikut :

Tabel 11. Jenjang Pendidikan Formal Informan dalam/sekitar TAHURA SULTENG.

Jenjang Pendidikan (Orang) Komunitas Desa/ Kelurahan Kecamatan Jumlah Informan Tamat SD/SR Tamat SMP Tamat SLTA Tamat PT (1) (2) (3) (4) (5) Vintu Layana Indah Palu Timur 8 7 - 1 -

Vatutela Tondo Palu Timur 8 4 2 2 -

Bunti Pobau Poboya Palu Timur 9 2 4 3 -

Hulu DAS Pondo

Poboya Palu Timur 7 - 1 6 -

Uentumbu/ Hulu Das Mamara Kavatuna Palu Selatan 9 7 1 1 -

Tompu Ngata Baru Sigi Biromaru 7 6 1 - - Raranggo nau Pumbeve Sigi Biromaru 4 3 1 - - Jumlah 52 29 10 13 -

Dari jumlah tersebut di atas menggambarkan sumberdaya manusia masyarakat lokal yang berdomisili di dalam kawasan TAHURA dapat

dikategorikan masih rendah atau perlu dilakukan peningkatan sumberdaya melalui berbagai program pendidikan. Sumberdaya manusia dari masing-masing kawasan sangat beragam, yang secara keseluruhan dapat diproporsikan yang menamatkan pendidikan Sekolah Dasar sebesar 55,77 %, menamatkan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) sebesar 19,23 %, menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 25,00 % dan menamatkan Pendidikan pada Perguruan Tinggi negeri maupun swasta belum ditemukan dari tujuh (7) kawasan yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan kelemahan dan terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh informasi termasuk mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di jalur pendidikan formal. Selain kesempatan mendapatkan akses pengetahuan, juga dibatasi oleh rendahnya pendapatan petani pada umumnya yang berada dalam dan sekitar kawasan TAHURA. Ketaatan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya program yang menetapkan status kawasan mereka menjadi kawasan pelestarian (preservasi), sesungguhnya cukup tinggi, hanya saja pihak pengelola yang diberikan wewenang negara belum mengkomunikasikannya dengan pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat lokal Kaili.

Pembangunan dalam era sebelumnya bahkan sampai sekarang belum memperdulikan keberadaan masyarakat lokal khususnya yang berada dalam kawasan TAHURA. Masyarakat lokal Vatutela misalnya, sebelum ada pembangunan Universitas Tadulako, kebutuhan air belum mrenjadi masalah bagi mereka. Setelah hadir Universitas Tadulako dengan bertambahnya pembangunan BTN di kawasan Kelurahan Tondo, masyarakat Vatutela semakin terdesak dan kebutuhan air juga semakin lama kian bermasalah. Sumber air DAS Vatutela mulai dibendung dan dibuat bak penampung untuk dialirkan ke Kampus Universitas Tadulako dan Perumahan Dosen, maka kekeringan sudah sering melanda masyarakat di DAS Vatutela dan kini masalah utama bagi kehidupan masyarakat Vatutela.

Akses masyarakat terhadap air DAS Vatutela hilang karena kekuasaan dan terbatasnya kapital dalam mengakses air untuk didistribusikan kepada publik. Karena air masih dianggap publik goods, pihak Universitas Tadulako dan pemerintah daerah menganggapnya bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan

dan dikaji, sesungguhnya siapa yang lebih memiliki akses untuk mendapatkan air tersebut.

Pemukiman-pemukiman tersebut digambarkan pada peta penyebaran pemukiman penduduk dan lahan kebun rakyat di dalam kawasan TAHURA SULTENG sebagai berikut :

Gambar 10. Peta Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG

Dokumen terkait