• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

2.4. Taman Hutan Raya (TAHURA)

TAHURA dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau buklan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan TAHURA peruntukkannya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan dalam berbagai hal berupa kenyamanan iklim ekologi karena vegetasi terpelihara dengan baik, ruang untuk usaha perekonomian petani berjalan dengan lancar tanpa melakukan eksploitasi sumberdaya alam, sistem sosial dan budaya masyarakat berinteraksi dengan harmonis dan komitmen pengelolaan kawasan-kawasan TAHURA terbangun dengan selaras, seimbang dan kolektif.

Taman Hutan Raya merupakan salah satu kawasan pelestarian alam dimana pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam, dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya (pasal 13 at 1 dan 2 UU No 5/1990). Selanjutnya dijelaskan pada Bab IX pasal 37, peran serta rakyat dalam konservasi sumbeerdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya-guna dan berhasil guna. Dengan demikian maka ruang buat masyarakat secara normatif cukup berpeluang dimana pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pengakajian, penelitian, pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (pasal 36 UU No. 5/1990). Namun faktanya tidak demikian, masyarakat lokal termasuk komunitas adat Kaili Ledo dan Tara di dalam kawasan TAHURA Sulteng yang juga disebut sebagai komunitas masyarakat adat tidak dilibatkan dalam proses penetapan tapal batas, pemerintah melakukannya sepihak,

bahkan lahan-lahan dan halaman masyarakat yang termasuk dalam kaplingan tidak disampaikan kepada komunitas masyarakat baik secara individu/personal maupun melalui institusi.

Dampak dari penerapan kebijakan yang tidak dikelola secara komprehenship (bersama), terjadi suatu kondisi yang meningkatkan ketidakamanan sumberdaya hutan yaitu banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidakpastian usaha (Kartodihardjo, 2003). Kerusakan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha HPH yang berusaha menerobos kawasan-kawasan konservasi yang diduga memiliki sumberdaya alam hutan ataupun tambang yang terdapat di dalam kawasan konservasi yang ada ; kendatipun kawasan cagar alam sudah dilarang adanya kegiatan eksploitasi, akan tetapi upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi tidak berkurang (Sembiring dan Husbani, 1999). Selain itu, penyerobotan kawasan konservasi seringkali dilakukan pengusaha yang wilayah konsesinya berbatasan atau berdekatan dengan kawasan konservasi dengan coba merambah hingga ke kawasan hutan lindung. Bahkan terdapat beberapa kasus yang lebih menyedihkan yaitu izin konsesi di wilayah satu namun melakukan aktivitas perambahan di kawasan hutan wilayah lain dengan menggunakan izin konsesi yang dimiliki (kasus izin konsesi Kabupaten Parigimoutong, aktivitas penebangan di Kabupaten Donggala). Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan dapat terjadi di kawasan TAHURA yang sulit dilakukan pengendaliannya karena dalam proses penetapan kawasan tersebut tidak memberikan ruang kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan termasuk dalam pengambilan keputusan.

Dengan melihat pengalaman di berbagai daerah yang prosesnya menggunakan pendekatan top down maka sudah saatnya merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan baik di kawasan lindung/konservasi, kawasan produksi, maupun konversi. Pengalaman yang dapat disimak untuk menjadi pembelajaran berupa yang dilakukan di Desa Sidoarjo Jawa Timur bahwa masyarakat sudah menjadi salah satu aktor di dalamnya (Afianto dkk, 2005). Selanjutnya dinyatakan, di kawasan hutan rakyatnya merupakan kawasan synekologi, tidak hanya berwujud lingkungan secara fisik,

namun juga terdapat sistem sosial manusia atau masyarakat yang saling berinteraksi secara harmonis.

Dalam pengelolaan kehutanan sudah harus membangun kerjasama dalam kesejajaran, keserasian, dan kesepadanan (cooperation) dengan berbagai staecholders

yang bertanggungjawab atas sehatnya lingkungan ; Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang bertanggungjawab atas lestarinya industri pengolah, dan perdagangan produk-produk olahan, dan Menteri Dalam Negeri yang mengelola proses desentralisasi dan otonomi daerah ; dimana sektor kehutanan secara bertahap juga dituntut untuk melakukan desentralisasi dan otonomi daerah (Iskandar dan Nugraha, 2004). Pola yang dikemukakan di atas sudah harus diterapkan, dalam beberapa kasus seperti hasil studi yang dilakukan Verbist dan Pasya (2004) di Lampung bahwa penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS). Selanjutnya dijelaskan, dalam pelaksanaan tata batas justru menimbulkan banyak konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah.

TAHURA SULTENG dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan sosial yang mengarah pada perseturuan antara pemilik legal tambang PT. Citra Palu Mineral yang pemilik saham terbesar berkisar 90 % dari Rio Tinto Group dengan komunitas masyarakat adat Kelurahan Poboya (Walhi, 2006). Menurut izin kontrak karya untuk menambang emas di Sulawesi Tengah, luas areal konsesi berkisar 561.050 hektar yang meliputi wilayah Kabupaten Buol, Donggala dan Palu (Poboya). Kandungan emas yang akan dieksploitasi diperkirakan 18 juta ton biji emas dengan kandungan 3,4 gram/tonnya. Eksplorasi telah dilakukan sejak tahun 1997 sampai tahun 2001 dengan mendapatkan 22 titik bor termasuk di dalam kawasan TAHURA seluas 500 hektar.

Dengan diizinkannya eksplorasi tambang tersebut, maka hak-hak tradisional rakyat (masyarakat adat Kaili) akan terancam dan menuai konflik besar ke depan. Status pelestarian TAHURA adalah wewenang pemerintah daerah, namun realitasnya

tidak digubris dan atau hanya sebuah rekayasa politik dengan berbagai alasan, dan daerah akan menghindar dari permasalahan rakyatnya.

2.5. Hak Kepemilikan (Property right) Masyarakat Lokal terhadap

Sumberdaya Alam .

Salah satu sumberdaya publik yang belum banyak menjadi perhatian dalam proses pengambilan kebijakan adalah sumberdaya lahan. Kepemilikannya secara operasional masih sangat lemah, namun dari aspek konsepsional dapat dilakukan pendekatan-pendekatan, dan kajian untuk bisa mendapat perhatian pengambil kebijakan. Djajadiningrat (2001) menjelaskan bahwa sasaran penetapan kepemilikan lahan adalah pendefinisian yang meliputi batasan, jumlah, dan kualitas sumberdaya bersama publik dan semi publik. Pendefinisian tidak hanya penting untuk mengendalikan pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan, tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi kondisi sumberdaya (universalitas), kepemilikan (eksklusivitas), pengambilalihan dan pengamanannya. Suatu jenis penggunaan lahan misalnya TAHURA, merinci dengan jenis tugas dan kewajiban setiap stakeholder yang berkepentingan. Pemerintah sebagai pemegang mandat masyarakat Sulawesi Tengah khususnya maasyarakat Kota Palu adalah pemilik dan pengatur pemanfaatan TAHURA bagi kepentingan banyak pihak. Pengelola dan stakeholder lain dapat mengimplementasikan “aturan” pemerintah dan memperoleh insentif pengelolaan. Masyarakat dapat menikmati TAHURA dengan pelayanan berkualitas disertai kewajibvan insentif pemeliharaan dan pelestarian TAHURA.

Masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan negara sudah jamak mempunyai kisah atau pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Pengalaman-pengalaman ini berkaitan dengan adanya aturan-aturan atau larangan-larangan tertentu yang diterapkan pemerintah. Awang, Sepsiaji dan Himmah (2002), menjelaskan aturan-aturan tersebut apabila dilanggar oleh masyarakat, akan berkonsekwensi berupa denda atau sanksi hukuman kurungan. Warga yang diangap

bersalah karena melanggar peraturan pada akhirnya akan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat.

Dalam sistem produksi dikenal sedikitnya lima (5) tipe yang berkaitan dengan tanah di kalangan masyarakat lokal (adat) di Indonesia, menurut Ruwiastuti dkk (1997), yaitu pertama, tipe peramu murni terdapat pada beberapa suku di Propinsi Irian Jaya yang hidup di rawa-rawa seperti orang Asmat, orang-orang Mentawai di pulau Siberut, Maluku Utara dan orang-orang Dayak Punan di Kalimantn Barat.

Kedua, tipe peladang berpindah (berputar), terdapat pada orang-orang Kaili Laudje, Kaili Da’a, Kaili Unde, dan Kaili Kori di Gunung Sulawesi Tengah, Orang-orang Togean di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah, orang-orang Manggarai Tengah di Flores bagian Barat, dan orang-orang Ekari di Paniai Irian Jaya. Ketiga, perpaduan antara tipe peramu dan peladang berputar terdapat pada orang Nias dan orang-orang Auwyu di Irian Jaya bagian Selatan. Keempat, tipe peladang menetap dengan masa istrahat tanah beberapa tahun, terdapat pada orang-orang Batak Toba di Pulau Samosir, Orang-orang Muyu di hulu Kali Digul dan orang-orang Dani di Lembah Baliem, Irian Jaya. Kelima, adalah tipe campuran antara peladang menetap untuk tanaman keras/hutan, dan berputar untuk ladang tanaman pangan dengan variasi meramu hasil hutan, terdapat antara lain pada orang-orang Wondama di Teluk Cenderawasih Irian Jaya. Dari konsep hak di atas ditemukan dua tipe dengan berbagai variasi di dalamnya. Tipe pertama, hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lain dipahami sebagai hak publik kerajaan yang sebagiannya diperkenankan bagi kehidupan penduduk pendatang yang memohon atau diberi nafkah dari sumber-sumber tersebut. Tipe kedua, hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dipahami sebagai Hak Perdata Perorangan dari penduduk asli setempat yang diperolehnya secara alamiah, turun temurun berdasarkan kebiasaan setempat dan dijamin hukum mereka sendiri. Hak-hak pengelolaan hutan oleh komunitas adat Kaili Oma di Desa Toro Kecamatan Kulawi Sulawesi Tengah telah mendapat pengakuan dari dunia Internasional yang secara empirik dapat dijadikan contoh pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal, namun dalam kenyataanya di lapangan memperlihatkan belum adanya niat baik dan kepedulian yang serius dari pemerintah daerah terhadap masyarakat di dalam kawasan hutan untuk mengelola hutan mereka sendiri. Laudjeng (2003), pengelolaan masyarakat lokal (masyarakat adat) tentang

hutan yang dapat dijadikan acuan dan inspirasi bagi pengambil kebijakan telah banyak, baik di pusat maupun di daerah. Di Papua dan Kalimantan Timur misalnya ”adat” telah dipakai untuk mengklaim tanah sebagai kepunyaan orang atau kelompok tertentu dengan alasan keturunan raja atau pejabat kerajaan. Kalau ditelusuri lebih jauh, hal ini berakar dari politik kerjasama simbiosis mutualistik antara raja-raja pada masa lalu dengan persekutuan dagang VOC atau pemerintah Hindia Belanda.

Politik hukum mengenai hak-hak masyarakat lokal (adat) atas tanah termuat dalam Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), menegaskan adanya antara hak-hak perdata perorangan dan hak-hak publik persekutuan hukum atas sesuatu wilayah tertentu (Ruwiastuti, Fauzi dan Bchriadi, 1997). Masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi dan atau pelestarian memiliki kepentingan terhadap hak dan nilai sosial mereka yang sebagian dan atau bahkan seluruhnya akan habis dan tidak dapat dipanen lagi karena pelarangan-pelarangan untuk masuk dalam kawasan melakukan aktivitas berkebun dan aktivitas lainnya. Dengan kondisi ini muncul image bahwa kehadiran program konservasi dan atau pelestarian alam adalah pemiskinan kembali masyarakat lokal yang haknya telah dieksploitir negara demi kepentingan sepihak.

Dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan Agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, yang akan menjadi acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun demikian fakta menunjukkan belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap proses pemilikan khususnya tanah-tanah masyarakat baik kepemilikan komunal/kepemilikan adat maupun kepemilikan perseorangan dalam/sekitar kawasan pemanfaatan. Dalam kenyataannya di lapangan, pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat masih dalam tataran wacana. Tidak sedikit sumber-sumber konflik yang hanya disebabkan karena lemahnya hak masyarakat dalam mengakses suatu sumberdaya karena ketidakpunyaan bukti legal formal dari pemerintah, sementara kenyataannnya hak itu telah dimiliki turun temurun. Berikut ini digambarkan bagaimana lemahnya akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya alam.

Gambar 2. Skema pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA SULTENG

Gambar di atas menunjukkan bahwa akses yang berdasarkan atas hak, menurut Kartodihardjo (2006), ketika suatu komunitas masyarakat melakukan aktivitas untuk memperoleh sumberdaya alam dinyatakan incompatible oleh pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan sumberdaya alam (penyelenggara negara). Hak (right) dalam perspektf normatif adalah pemilikan sesuatu yang sah dengan pembuktian-pembuktian keabsahannya berupa atribut hukum atau pengakuan oleh adat dan hubungan sosial. Kenyataan dalam kehidupan yang dirasakan masyarakat tidak demikian halnya, masyarakat tidak dapat melakukan akses yang lebih luas terhadap suatu sumberdaya jika belum mendapatkan lagitimasi dari pemberi hak berupa izin, dan atau atribut hukum lainnya. Dalam hal ini seseorang tidak mendapatkan haknya dalam pengelolaan sumberdaya tatkala sumberdaya tersebut mendapat klaim dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Ribbotdan Peluso (2003) membagi mekanisme akses menjadi dua aspek yaitu akses berdasarkan Hak (legal dan illegal), dan berdasarkan struktural dan relasional. Struktural meliputi akses terhadap teknologi, kapital (modal), pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, serta hubungan sosial dapat membentuk atau mempengaruhi akses.

Pemerintah Masyarakat Sumberdaya Alam TAHURA SULTENG Legal Illegal Tdk dpt right Ability/Kemampuan Incompatible

Sumber :Diadaptasi dari Kartodihardjo, 2006 Pihak III

Dokumen terkait