• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalam/sekitar Kawasan TAHURA SULTENG

5.1.2. Keadaan Sosial Budaya

Gambar 10. Peta Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG

5.1.2. Keadaan Sosial Budaya.

Masyarakat pemukim tetap di dalam kawasan merupakan komunitas masyarakat adat dari komunitas asli Kaili Ledo dan Kaili Tara. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebiasaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti halnya mengelola sumber air yang dikenal dengan “Ada’ Pombagi Uve” yang dilakukan oleh seorang Punggava yang ditunjuk Totua Nu Ada’ .

Untuk menanggulangi gangguan pada tanaman (hama dan penyakit) dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “Nompaura” (menolak bala’). Selanjutnya, jika terjadi kekeringan sepanjang tahun masyarakat secara

Tompu vintu Vatutela Bunti Pobau DAS Pondo Uentumbu Tompu Kws. Raranggonau

keseluruhan atas pimpinan Totua nu ada’ melakukan upacara adat “Nora’a Binangga” dengan memotong kambing di hulu sungai. Kegiatan ini diwajibkan diikuti oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan yang berpandangan bahwa interaksi alam dan kehidupan masyarakat yang terdapat di dalamnya tidak dapat dipisahkan. Interaksi yang harmonis dengan alam telah berlangsung lama dari generasi ke generasi. Kondisi seperti ini akan berpeluang besar dijadikan kekuatan dalam melestarikan kawasan ini, namun yang menjadi pertimbangan serius dan sebagai konsekwensi logis bahwa mereka dapat hidup dari sumberdaya kawasan tanpa mengeksploitasi sumberdaya alam (kayu) dalam TAHURA.

Masyarakat lokal Kaili dalam melakukan interaksi sosial dengan pihak lain dan atau antar sesamanya memberikan kesempatan kepada yang lebih tua dari aspek umur. Dalam pergaulan sehari-hari telah terbiasa dengan kondisi yang berlaku dalam struktur keluarga. Kebiasaan tersebut juga menjadi budaya yang terpelihara dalam komunitas masyarakat ini. Jika terdapat individu yang tidak mematuhi norma atau tatanan, akan terpinggirkan dan tidak mendapat penghargaan di tengah masyarakat, dan dianggap tidak mempunyai etika adat, dalam komunikasi bahasa Kaili Ledo disebut sebagai “le no’ada” atau Kaili Tara menyebutnya “ta no ada”. Budaya ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya masyarakat komunitas Kaili sangat terbuka dengan segala hal karena indikator keterbukaan suatu masyarakat dapat dilihat dari keterbukaannya menerima perubahan dalam berbagai hal.

Dalam melakukan aktivitas pertanian, secara tipologi dari tujuh komunitas yang masuk di dalam kawasan TAHURA berbeda-beda berdasarkan kondisi wilayah dan geografisnya. Masyarakat Raranggonau (Tanalando), dan Tompu mendiami pegunungan di kawasan Timur dari Kota Palu dengan ketinggian 600-1150 meter dari permukaan laut (mdpl). Komunitas Masyarakat Uentumbu menghuni kawasan hulu DAS Kavatuna, komunitas masyarakat Vatutela menghuni sekitar DAS Vatutela, dan komunitas masyarakat Vintu menghuni kawasan bukit Bulu Bionga dan DAS Vintu.

Masyarakat Tanalando dan Tompu adalah kmunitas lokal Kaili berdialek Ledo, masyarakat Uentumbu campuran dari dialek Kaili Ledo dan Kaili Tara ; kawasan ini berbatasan antara kawasan Tompu dan Poboya. Uentumbu

merupakan pertemuan kedua wilayah ini, dan sebagian masyarakat Tompu melakukan migrasi, dan demikian pula halnya masyarakat Poboya yang berdialek Tara.

To ri Tompu atau komunitas masyarakat yang mendiami kawasan Tompu (pegunungan Bulili) dengan ketinggian 700-1000 mdpl, sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam. Komunitas ini adalah sub-Etnik Kaili Ledo sama dengan Raranggonau, dalam eksistensinya memiliki sistem pengelolaan dengan claim wilayah/tanah adat, hutan adat dengan azas kelola bersama untuk kepentingan bersama dan keberlanjutan bagi anak cucu. Aktivitas keadatan yang dapat dilihat disaat menyusun perencanaan pembukaan lahan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Notava’a adalah kegiatan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat yang memahami dan mengenal dengan benar sistem dan pengetahuan bertani. Kegiatan ini dilakukan beberapa orang pemangku adat yang dipimpin oleh pemimpin petani yang disebut Sobo. Sobo adalah totua nu ada (ketua pemangku adat) yang diangkat petani melalui musyawarah adat atau dalam komunitas masyarakat petani adalah pemimpin petani. Sobo dibantu oleh seorang wakil yang dikenal dengan sebutan Tuntu. Jika seorang petani ingin membuka lahan maka ritual adat yang dapat ikut dalam kelompok upacara tersebut adalah pemilik yang akan membuka lahan setelah dimusyawarahkan di pertemuan pemuka adat. Bahan-bahan dalam acara ritual tersebut yang harus disediakan oleh pemilik yang akan membuka lahan adalah sambulu gana yang meliputi antara lain pinang muda, daun dan buah sirih, kapur sirih satu genggam, gambir, daun taba, daun cocor bebek, dan sesajian lainnya berupa makanan dari beras ketan putih, telur satu butir dan ayam jantan putih satu ekor. Bahan-bahan tersebut disajikan di daun Kambuno dan atau pisang mentah, dan diletakkan pada posisi tengah areal dimana rencana akan dibuat kebun. Selanjutnya Sobo melaksanakan acara ritual dengan diakhiri melepas ayam jantan putih tersebut di areal dimaksud. Proses untuk menunggu apakah areal tersebut dapat dibuka untuk menjadi lahan kebun, ditunggu selama tujuh hari terhitung mulai saat melakukan acara ritual tadi. Informasi atau kontak spritual langsung dilakukan oleh Sobo, petani yang

akan membuka areal tersebut datang menanyakan kepada Sobo tentang peluang boleh atau tidak diberikan membuka lahan di areal dimaksud. Jika informasi yang disampaikan Sobo bahwa areal tersebut tidak boleh diganggu, maka petani tadi mencari lokasi lain untuk dilakukan kembali ritual yang namanya Tava’a.

2. Nantalu. Kegiatan yang dilakukan ketika membuka kebun dengan menebang pohon-pohon, dengan syarat bahwa pohon yang besar di atas diameter 100 m tidak boleh ditebang. Untuk mengawali penebangan dilakukan oleh Sobo sebagai prasyarat menandakan lokasi yang telah dilakukan ritualnya tadi telah direstui untuk dijadikan kebun atau ladang. Sobo selain melakukan penebangan awal sebagai pertanda lokasi tersebut dapat dijadikan ladang, sekaligus melaksanakan tugasnya meminta kepada sang pencipta dan penguasa alam untuk memberikan izin dan rejeki pada petani yang bersangkutan agar ladang tersebut menghasilkan produksi yang optimal. Dalam waktu yang bersamaan Sobo menentukan posisi sentral (tengah/pusat) kebun yang disebut Pobanea dengan syarat tanah subur (kaisia).

3. Nogane adalah rangkaian ritual dalam setiap akan melakukan aktivitas dan atau akan mengolah lahan, demikian pula halnya akan menerima hasil produksi. Aktivitas tersebut dilakukan jika akan memohon sesuatu kepada sang pencipta baik untuk memproteksi gangguan dari dalam maupun dari luar, agar kesinambungan usahatani dapat berkelanjutan.

4. Novunja adalah kebiasaaan yang dilakukan setelah panen atau biasa disebut dengan ada’ mpae. Aktivitas Novunja hanya dilakukan pada komoditas padi ladang dan atau padi sawah yang pelaksanaannya sudah menjadi aturan adat atau semua aktivitas mengikuti aturan keadatan masing-masing lokasi dan komunitas tertentu.

Kearifan-kearifan tersebut berlangsung secara sistematis yang diwariskan dari leluhur secara berurutan dalam keturunan masing-masing keluarga. Dogma keadatan diberikan kepada turunan yang dikomunikasikan secara lisan tanpa dokumen tertulis. Sistem ini telah terkomunikasi dengan teratur dan telah menjadi pemahaman kolektif dalam suatu komunitas masyarakat lokal. Sistem ini secara

sistematis diterima dan dipahami baik oleh generasi mereka tanpa kecuali,, suatu keyakinan bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau komunitas bersangkutan berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas masyarakat lokal Kaili di Sulawesi Tengah adalah “Nerapi tupu ntana” (bila tidak dilaksanakan akan meminta korban).

Kultur bertani masyarakat lokal Kaili adalah berladang. Sawah merupakan introduksi atau yang diadopsi dari luar. Sistem bertani ladang di tanah Kaili membagi dua tipe yaitu Talua dan Pampa. Talua secara filosofis, dimaknai sebagai suatu aktivitas bertani yang produksinya akan dapat memenuhi kebutuhan selama satu periode panen. Masyarakat lokal Kaili melakukan sistem pergiliran (rotasi) berkebun ladang selama satu tahun atau berdasarkan umur padi lokal 5-6 bulan. Pampa adalah sistem usahatani pekarangan dan atau di luar pekarangan. Pampa dalam pertanian modern hampir sama atau identik dengan mix farming (sistem usahatani campuran). Pampa dikelola untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara rutin (sehari-hari) selama menunggu panen padi ladang atau produksi tanaman tahunan dari kebun besar (talua). Pampa dikelola dengan luas tidak melebihi dari 0,5 hektar (0-0,5 hektar). Produksi hasil usahatani pampa tidak untuk komersil atau dijual, kecuali konsumen yang datang ke pampa atau ke rumah tangga petani untuk membelinya dengan takaran tertentu. Sistem penukarannya-pun tidak dibatasi dengan nilai tukar uang, bisa barter seperti warga dari wilayah pesisir (pantai) membawa ikan atau garam, dibarter dengan ubi jalar, singkong, jagung, sayur atau beras padi ladang. Dengan demikian maka indikator pampa bukanlah dalam bentuk barang, benda atau suatu komoditas (jenis kayu, rotan, atau tanaman tertentu). Pampa juga merupakan proses atau pola bertani masyarakat Kaili. Sebelum membuka hutan (lahan baru), didahului mengerjakan lahan untuk pampa agar dalam proses pembukaan lahan baru tidak kekurangan pangan. Tanaman-tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman musiman atau berumur pendek seperti ubi jalar, jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Dalam proses pembukaan awal dilakukan dengan ritual adat melalui pemangku adat atau sobo.

Kaili Tara dan Kaili Ledo di kawasan TAHURA, berprinsip bahwa hubungan alam dengan manusia pada hakekatnya untuk manusia (Mattulada, tt).

Perspektif tersebut menggambarkan bahwa alam sekitar bagi masyarakat ini harus diperlakukan dengan baik agar dapat memberikan penghidupan untuk selamanya dan menjamin antar generasi. Makna penggambaran tersebut bahwa alam beserta isinya (sumberdaya alam) harus dikelola dengan kearifan-kearifan yang menghargai hak-hak alam, karena di alam banyak mahluk lain selain manusia yang membutuhkan sumber penghidupan yang sama, termasuk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Untuk itu dalam proses pengelolaannya selalu diawali dengan ritual-ritual yang intinya memohon kepada yang kuasa (penguasa alam) dapat mengizinkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat manusia. Jika dalam proses awal terdapat gejala yang mengindikasikan tidak dapat dibuka untuk ladang, maka harus dicari tempat lain untuk ladang yang layak dan terjamin dari aspek ekologis.

Komunitas di dalam/sekitar kawasan ini mengelola sumberdaya hutan, mengelompokannya dalam lansekap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut :

1. Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat To ri Tompu, Tori Lando bo To po Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamak dan atau disebut dengan hutan alam primer.

2. Pangale yaitu hutan alam yang pernah dijamak manusia, namun telah kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa disebut dengan hutan sekunder.

3. Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 (> 10) tahun dan telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih dibawah diameter 40 cm.

4. Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau antara 5-10 tahun.

5. Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima (< 5) tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar. Ova cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah tumbunh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.

6. Olo, kawasan yang dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya. Kawasan ini merupakan area yang dijaga sebagai sumber mata air, berelevasi di atas 30 % dan zona-zona penyangga dalam beragam perspektif. Selain sebagai zona penyangga, kawasan ini dijaga keutuhannya termasuk sumberdaya tambang, habitat hidupan liar (flora dan fauna) endemik yang harus mendapat perlindungan secara kolektif yang disepakati dalam musyawarah adat, dan telah menjadi komitmen turun-temurun antar generasi.

Lansekap hutan menurut perspektif masyarakat Kaili Ledo (Topo Ledo) dan Topo Tara, mirip dengan komunitas masyarakat adat Ngata Toro (To ri Toro) di dataran Lindu Kecamatan Kulawi dan Topo Da’a di pegunungan Marwola dan Gawalise Kecamatan Marawola . To ri Toro membagi lansekap hutan (Sangaji, 2001; Adiwibowo, 2005) sebagai berikut :

1. Wanangkiki untuk jenis hutan lumut dan menjadi habitat berbagai satwa dan hewan-hewan liar. Dalam kategori hutan ini tidak ada aktivitas manusia di sana. Luas Wanangkiki sekitar 2.300 ha.

2. Wana adalah kawasan hutan primer yang belum pernah ada kegiatan pengolahan kebun. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Pada aliran sungai yang mengandung emas dilakukan pendulangan oleh masyarakat. Luas Wana seluas 11.290 hektar.

3. Pangale yaitu untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah menjadi hutan. Pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah atau ladang. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan, kayu, pandan hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale berkisar 2.950 hektar (hasil pemetaan).

4. Oma adalah hutan bekas kebun yang sering diolah utamanya untuk tanaman kopi, coklat, dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya Oma terdiri atas tiga jenis yaitu (a) oma ntua yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun, (b) oma ngura yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara tiga hingga belasan tahun, yang merupakan

jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Tumbuhan yang tumbuh masih dapat ditebas dengan menggunakan parang, semak dan belukar merupakan ciri khasnya, (c) oma ngkuku adalah bekas kebun yang berusia antara satu sampai dua tahun, vegetasi dominan rerumputan.

5. Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya enam bulan sampai satu tahun, sering dimanfaatkan untuk palawija.

Untuk komunitas Topo Da’a di pegunungan Marawola yang mengelompokkan diri sebagai To Pakava atau To Pinembani (Laudjeng, 1998) dan To Kamalisi di pegunungan Gawalise (Saleh, 2001), pengelolaannya identik sebagai berikut :

1. Pangale, hutan primer yang belum pernah disentuh atau dikelola untuk kebun. Vegetasi utama adalah kayu jenis pohon, rotan dan tumbuhan lain. Kawasan hutan tersebut dimanfaatkan untuk tempat buruan binatang dan satwa.

2. Ova, untuk bekas ladang yang telah ditinggalkan antara 5-10 tahun. Jenis vegetasi utama adalah kayu jenis tihang yang dimanfaatkan untuk kayu bakar dan ramuan rumah, termasuk berbagai jenis rotan.

Dokumen terkait