• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PPAT DAN

B. Akta PPAT Sebagai Alat Pembuktian Jual Beli Atas Tanah

Di dalam Pasal 1847 KUH Perdata disebutkan Akta adalah suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, Demikian unsur-unsur yang penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tertulis.

Akta dapat dikategorikan dalam akta di bawah tangan dan akta otentik. Menurut M. Pahala Siahaan:98

Akta dibawahtangan sebagai suatu dokumen yang dibuat secara bebas dalam bentuk yang bebas sesuai keinginan pihak yang bersangkutan. Dokumen ini dibuat dalam bahasa Indonesia atau daerah yang umum digunakan oleh masyarakat setempat, disahkan dengan pembubuhan tanda tangan yang bersangkutan serta para saksi 2 (dua) orang atau lebih dan dikuatkan oleh lurah atau kepala desa dengan dibubuhi tanda tangan dan cap jabatan sebagai tanda telah mengetahui adanya peristiwa atau perbuatan hukum tersebut. Dari pendapat di atas, akta di bawah tangan merupakan suatu dokumen yang dibuat secara bebas oleh para pihak dan disertai dengan tanda tangan dan stempel jabatan dari Kepala Desa atau Lurah yang bertujuan menguatkan perbuatan hukum

97

Brahmana Adhie dan Hasan Nata Manggala, Reformasi Pertanahan, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 107.

98

M. Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 119.

tersebut. Walaupun akta di bawah tangan banyak digunakan dalam praktek jual beli sehari-hari tetapi sebenamya secara hukum, akta di bawah tangan belum memiliki kekuatan hukum penuh. Akta di bawah tangan masih dapat disangkal dan dapat menjadi pembuktian yang sempurna bila ditambah dengan bukti-bukti lain dan diakui oleh para pihak. Apalagi untuk perbuatan hukum seperti jual beli tanah. Untuk membuktikan adanya jual beli tanah diperlukan akta otentik yang memiliki kekuatan hukum dalam hal pembuktian yang sempurna.

Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh dan di hadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang untuk berbuat demikian itu di tempat di mana akta itu dibuat. Sehingga dari definisi akta otentik tersebut di atas, ada 3 (tiga) unsur adanya akta otentik yakni:

1. Unsur pertama adalah bahwa akta otentik dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, jenis akta yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang mengatur perbuatan hukum dimaksud oleh akta tersebut.

2. Unsur kedua adalah bahwa akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum, hal ini berarti akta otentik dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan perbuatan hukum dimaksud dalam akta.

3. Unsur ketiga adalah sahnya akta otentik bila akta itu dibuat di wilayah kewenangan pejabat yang membuatnya.

Selanjutnya ketentuan akta otentik sebagai alat pembuktian diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu akta otentik memberikan diantara

para pihak beserta ahli-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

Ketentuan di atas memberi kepastian bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi akta tersebut memuat perjanjian. Apabila terjadi sengketa maka apa yang tersebut di dalam akta otentik merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian yang lain. Disinilah letak arti pentingnya akta otentik yang dalam praktek hukum sehari-hari memberikan pembuktian dan kepastian hukum yang kuat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut pendapat Effendi Peranginangin yang dikutip oleh John Salindeho, bahwa untuk terhindar dari sengketa, anda harus membeli tanah dengan akta PPAT, jangan membeli tanah dengan akta di bawah tangan apalagi hanya dengan sekedar surat pernyataan atau kwitansi.99

Dari pendapat tersebut di atas, dapat dipahami perjanjian jual beli yang dilakukan dengan surat pernyataan dan hanya bukti kuitansi dapat menimbulkan sengketa dan merugikan pihak pembeli. Hal ini dikarenakan surat keterangan dan kuitansi belum dapat menjamin seseorang telah memiliki tanah secara utuh. Dalam hal ini keabsahan kepemilikan tanah tersebut masih bisa digugat kebenarannya. Dalam Hukum Agraria juga telah disebutkan bahwa sebuah sertifikat saja masih

99

John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal.. 59.

dapat digugat sejauh yang menggugat dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya, apalagi dengan bukti sebuah surat keterangan dan kuitansi.

Dalam Pasal 21 Pearaturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 secara tegas disebutkan:

1) Bahwa Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan Menteri.

2) Semua jenis akta PPAT diberi nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwin. Ketentuan ini diadakan agar tidak mempersulit warga desa yang bersangkutan, mengingat desa yang Kepala Desanya ditunjuk sebagai PPAT sementara merupakan desa yang benar-benar terpencil.

Dengan demikian dari definisi akta dalam Pasal 1874 KUH Perdata yakni suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani. Maka dapat dilihat unsur-unsur penting suatu akta yakni kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penanda tanganan tertulis. Oleh karena itu menurut Harun Al-Rasyid, ”fungsi akta dalam suatu bentuk peralihan khususnya jual beli sangat penting, karena berhubungan dengan pemindahan hak milik seseorang terhadap suatu barang tertentu yang menjadi miliknya”.100

PPAT merupakan pejabat khusus yang melaksanakan pembuatan akta sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. perbuatan hukum tersebut termasuk di dalam jual beli tanah. Bentuk Akta jual beli tanah telah

100

Harun Al-Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.. 64.

ditentukan oleh Menteri Agraria. Selain dari pada itu mengenai akta jual beli, Badan Pertanahan Negara (BPN) telah menyediakan akta yang telah dicetak secara standar. Hal ini berkaitan dengan Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang menyebutkan Pembuatan akta peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka akta peralihan yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik standar khusus, karena akta tersebut bentuknya telah ditentukan oleh pemerintah, dan juga dapat dijadikan sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tersebut.

Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu dan tempat di mana akta dibuatnya.

Untuk kesempurnaan kekuatan pembuktian, suatu akta otentik harus mengandung adanya 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian itu menurut Abdul Kadir Muhammad meliputi:

a) Kekuatan bukti lahir, b) Kekuatan bukti formil; c) Kekuatan bukti materil.101

101

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 136.

Kekuatan bukti lahir menyangkut syarat-syarat formil bagi suatu akta otentik terpenuhi atau tidak, jika terpenuhi maka syarat yang terlihat dari luar secara lahiriah sebagai akta otentik, dianggap sebagai akta otentik sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Kekuatan pembuktian formal menyangkut soal kebenaran dari peristiwa yang tersebut dalam akta. Sedangkan pembuktian materil menyangkut kebenaran isi akta otentik, maksudnya hal yang tercantum dalam akta otentik tersebut apakah sama dengan kenyataannya. Agar suatu akta PPAT mempunyai nilai yuridis yang mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka menurut Supranowo akta PPAT tersebut harus dipenuhi 3 (tiga) syarat:102

1. Syarat subjek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah pihak yang berwenang atau yang berhak.

2. Syarat Objek yaitu tanah yang dijadikan sebagai objek peralihan hak atas tanah sah menurut hukum (tidak dalam persengketaan, tidak dalam jaminan hutang dan lain-lain).

3. Syarat yuridis formal yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan tersebut adalah pejabat yang berwenang, dihadiri dua orang saksi yang sudah dewasa disetujui oleh ahli waris (dalam hal hibah) dan akta PPAT merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa akta jual beli yang dibuat PPAT merupakan akta otentik, yang dalam penyelenggaraannya harus memenuhi unsur-unsur yakni dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk yang telah ditentukan oleh BPN, ditandatangani oleh para pihak, dihadiri oleh lebih sedikit dua orang saksi sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

102

Supranowo, Himpunan Karya Tulis Bidang Hak TAnggungan dan PPAT, BPN, Jakarta, 1990, hal. 20.

Dokumen terkait