• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram positif, yaitu

Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif, yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui

aktivitas antibakteri pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol dari metabolit intraseluler (biomassa) dan metabolit ekstraseluler (filtrat). Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif. Konsentrasi masing-masing ekstrak yang diteteskan pada paper disc adalah 300 µg/disc. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 4. Optical Density (OD600) masing-masing bakteri adalah Staphylococcus aureus (0,64), Bacillus cereus

(0,68), Escherichia coli (0,65), dan Vibrio harveyi (0,67). Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak Dunaliella sp. disajikan pada Tabel 5.

Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji walaupun kemampuannya tergolong lemah. Besarnya aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh besarnya zona bening yang terbentuk di sekitar paper disc. Ekstrak-metanol dan ekstraseluler tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antibakteri Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen Diameter zona hambat (mm) pada bakteri uji Umur

panen Ekstrak S. aureus B. cereus E. coli V. harveyi

Heksana 3 4 3 5 Etil asetat 2 2 2 3 Metanol - - - - Fase log Ekstraseluler - - - - Heksana 2 2 1 4 Etil asetat 2 3 2 4 Metanol - - - - Fase stasioner Ekstraseluler - - - - Kloramfenikol 19 20 24 26 Pengujian ekstrak-heksana pada fase log terhadap bakteri uji

Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi

menghasilkan diameter zona bening di sekitar paper disc berturut-turut sebesar 3, 4, 3, dan 5 mm. Diameter zona bening dari ekstrak-etil asetat dengan bakteri uji tersebut, berturut-turut adalah 2, 2, 2, dan 3 mm. Berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan, ekstrak-heksana dan etil asetat termasuk kategori yang memiliki aktivitas lemah (rata-rata diameter zona hambat < 5 mm) (Davis dan Stout 1971).

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat pada fase stasioner terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,

diameter zona hambat < 5 mm) dengan diameter zona hambat masing-masing sebesar 2, 2, 1, dan 4 mm, serta 2, 3, 2, dan 4 mm.

Komponen aktif yang dapat diekstrak dari suatu bahan tergantung pada kepolaran pelarut yang digunakan. Senyawa yang terikat pada pelarut non polar misalnya heksana antara lain hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan terpen (Riguera 1997). Ekstrak-heksana diduga mengandung asam lemak dan terpen. Beberapa jenis asam lemak bebas yang terbukti memiliki daya hambat antibakteri diantaranya linoleat, arakhidonat, linolenat terhadap Clostridium welchii (Kabara 1983). Senyawa terpen contohnya triterpenoid merupakan golongan yang berpotensi sebagai antimikroba terutama banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit (Robinson 1995)

Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid (Harborne 1987). Senyawa yang berperan sebagai antibakteri dalam ekstrak-etil asetat diduga adalah fenol dan terpenoid tersebut. Sejumlah komponen penyusun antibiotik dari alga laut diketahui diantaranya terdiri dari terpenoid dan penghambat fenolat (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000). Kelompok fenolik merupakan aneka ragam senyawa yang terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen flavonoid, antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, stilbena, tanin, serta pigmen kuinon (Harborne 1987).

Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak kelompok senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne 1987). Ekstrak-metanol pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Hal ini dapat diduga bahwa senyawa aktif yang terdapat pada

Dunaliella sp. adalah senyawa yang bersifar non polar dan semi polar. Selain itu,

polaritas pelarut metanol berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri. Hiserodt et al. (1998) diacu dalam Parhusip (2006) menyatakan bahwa polaritas suatu senyawa mempengaruhi aktivitas antibakteri seperti 6-gingerol yang mempunyai rantai alkil lebih polar daripada 10-gingerol memberikan penghambatan lebih rendah terhadap Mycobacterium avium. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa polar seperti metanol juga cenderung mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih rendah.

Ekstraseluler tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hal ini diduga bahwa metabolit ekstraseluler yang terdapat pada filtrat menguap karena perlakuan freeze drying dan pada penelitian ini, hasil ekstraseluler tidak dilakukan maserasi. Selain itu, Dunaliella sp. diduga tidak mensekresikan substansi organik yang berfungsi sebagai komponen aktif ke medium tumbuhnya.

Ekstrak Dunaliella sp. yang dipanen pada umur 7 hari yang mewakili fase log dan umur 14 hari yang mewakili fase stasioner memiliki aktivitas antibakteri walaupun tergolong lemah. Senyawa antibakteri pada Dunaliella sp. dihasilkan pada fase log dan stasioner. Selama fase log dihasilkan produk metabolit primer seperti polisakarida, asam amino, asam lemak, gula, asetil koenzim, asam mevalonat, dan nukleotida (Manitto 1992). Beberapa produk metabolit primer ini dapat berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak, polisakarida, dan golongan senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga diketahui terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida, alkohol (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000). Produk antibakteri alami sering juga berasal langsung dari senyawaan pembangun metabolit primer seperti golongan senyawa dipeptida (Quinn 1988 diacu dalam Lailati 2007). Panen Dunaliella sp. dilakukan pada hari ke-7 yang waktunya mendekati fase awal stasioner sehingga selain dihasilkan produk metabolit primer juga mulai dihasilkan produk metabolit sekunder.

Selama fase stasioner, senyawa antibakteri diproduksi karena sel bertahan untuk hidup dengan nutrien semakin berkurang dan populasi yang padat. Selain itu, terjadi akumulasi produk toksik yang merupakan inhibitor. Metabolit sekunder yang diproduksi selama fase stasioner misalnya senyawa terpen, alkaloid, pigmen (Manitto 1992). Pigmen Dunaliella sp. juga dapat berpotensi sebagai antibakteri. Banyak mikroorganisme berpigmen yang memiliki sifat-sifat antibiotik (Schlegel dan Schmidt 1994). Produk antibakteri alami umumnya berasal dari hasil senyawaan metabolit sekunder dari berbagai kelompok yaitu senyawa fenol, alkaloid, terpenoid, flavonoid (Quinn 1988 diacu dalam Lailati 2007).

Perbedaan-perbedaan aktivitas antibakteri dapat disebabkan oleh sifat kerentanan dari masing-masing bakteri. Bakteri memiliki kerentanan terhadap

sarana fisik dan bahan kimia yang berbeda. Resistensi mikroorganisme terhadap beberapa jenis antibiotik dapat disebabkan oleh sifat yang dimiliki oleh mikroorganisme itu sendiri (Pelczar dan Chan 2005). Beberapa hal yang dapat menyebabkan mikroorganisme dapat rentan terhadap antibiotik adalah struktur sel yang kurang lengkap, dinding sel yang impermeabel, dan jenis antibiotik (Brock dan Madigan 2003).

Zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak heksana dan etil asetat terhadap bakteri Escherichia coli lebih kecil bila dibandingkan dengan zona hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Ketahanan

Escherichia coli diduga karena menghasilkan protease serin yang aktivitasnya

berkorelasi dengan tingkat infeksi yang ditimbulkan (Budiarti dan Suhartono 1999). Selain itu, bakteri Escherichia coli juga termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki susunan dinding sel lebih kompleks (berlapis tiga) dibandingkan dengan dinding bakteri Gram positif yang berlapis satu. Menurut Nikaido dan Vaara (1985) diacu dalam Parhusip (2006), bakteri Escherichia coli termasuk golongan bakteri enterik dan mempunyai membran luar yang sangat efektif dalam mempertahankan dirinya dibandingkan bakteri Gram negatif lainnya. Membran luar sel Escherichia coli merupakan protein asam yang dibuat bila lingkungannya tidak mendukung pertumbuhan terutama jika bakteri keluar dari saluran pencernaan. Escherichia coli sensitif terhadap antibiotik jenis kloramfenikol, kanamisin, penisilin, dan sulfonamid (Tortora et al. 1989).

Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif yang peka terhadap

ekstrak non polar karena bakteri ini mempunyai lapisan peptidoglikan yang mengandung asam amino dan bersifat hidrofobik sehingga lebih mudah ditembus senyawa non polar (Franklin dan Snow 1989 diacu dalam Parhusip 2006).

Staphylococcus aureus juga tidak memiliki molekul reseptor spesifik dan susunan

matrik sistem dinding selnya relatif terbuka sehingga penetrasi oleh senyawa antibakteri akan lebih mudah (Russel 1991 diacu dalam Parhusip 2006).

Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin,

dan kloramfenikol tetapi resisten terhadap polimiksin dan polynes (Pelczar dan Chan 2005)

Zona hambat yang terbentuk dari ekstrak Dunaliella sp. terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi disajikan pada Gambar 15.

Escherichia coli Bacillus cereus

K K FL ES FS HS MS EL HL K ML HS MS HL ML EL FS FL ES

Vibrio harveyi Staphylococcus aureus HS K ML HL EL MS HS ES FL FS K HL EL MS ES FS FL ML HS ML FL FS ES MS EL HL K FS FL ES HS EL MS HL ML K

Keterangan: ML = ekstrak metanol fase log MS = ekstrak metanol fase stasioner HL = ekstrak heksana fase log HS = ekstrak heksana fase stasioner EL = ekstrak etil asetat fase log MS = ekstrak etil asetat fase stasioner FL = ekstrak ekstraseluler fase log FS = ekstrak ekstraseluler fase stasioner K = kloramfenikol

Gambar 15. Aktivitas ekstrak kasar Dunaliella sp. terhadap bakteri patogen Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus. Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif yang mampu menghasilkan enzim protease. Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat diduga mampu menghambat aktivitas enzim protease. Senyawa antibakteri dapat merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dan menghambat kerja enzim intraseluler (Kim et al. 1995; Rawel

et al. 2001 diacu dalam Parhusip 2006). Sistem enzim yang terpengaruh akan

komponen sel secara struktural. Bacillus cereus termasuk bakteri yang peka terhadap minyak atsiri (cinnamon, oregano, thyme, karvakrol, perilaldehyde, resorcyclic acid dan dopamine) dan antibiotik streptomisin, penisilin G (Friedman

et al. 2004 diacu dalam Parhusip 2006)

Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat mempunyai aktivitas yang spesifik terhadap Vibrio harveyi dengan terbentuknya zona hambat yang lebih besar daripada bakteri lainnya. Vibrio harveyi menghasilkan enzim protease, gelatinase, lipase, elastase, dan urease yang berperan dalam proses metabolisme (Masini

et al. 2007). Ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat diduga dapat menghambat

enzim yang dihasilkan Vibrio harveyi sehingga menyebabkan metabolisme bakteri tersebut terganggu.

Setiap enzim yang terdapat di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu senyawa antibakteri yang akan bersaing dengan substrat sehingga enzim tidak aktif. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel (Pelczar dan Chan 2005). Vibrio harveyi sensitif terhadap antibiotik rifampisin, kloramfenikol, oksitetrasilin, dan hampir semua antibiotik (Greenwood et al. 1995).

Kloramfenikol sebagai kontrol positif menghasilkan diameter zona hambat lebih besar daripada diameter zona hambat masing-masing ekstrak dengan konsentrasi yang sama. Hal ini disebabkan kloramfenikol merupakan zat antibakteri murni sedangkan ekstrak Dunaliella sp. masih berupa ekstrak kasar (crude extract) yang mengandung bahan organik lain selain antibakteri. Senyawa organik lain dapat menurunkan aktivitas zat antibakteri dengan cara menginaktivasi dan mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel bakteri sehingga dapat melindungi bakteri dari zat antibakteri tersebut (Pelczar dan Chan 2005). Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesa protein sel bakteri yang berlangsung di ribosom (Setiabudy dan Ganiswara 1995). Ekstrak

Dunaliella sp. perlu dimurnikan untuk mendapatkan aktivitas antibakteri yang

lebih baik.

4.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pengujian KLT terhadap ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat menghasilkan pemisahan spot meskipun belum terlalu baik. Kombinasi pelarut

yang digunakan terdiri dari pelarut heksana dan etil asetat dengan perbandingan 2:1 (v/v). Perbandingan pelarut tersebut didasarkan pada kandungan mikroalga yang sebagian besar merupakan golongan asam lemak yang mudah larut dalam pelarut non polar seperti heksana. Ekstrak-heksana menghasilkan empat spot dan ekstrak-etil asetat menghasilkan tiga spot. Artinya bahwa jumlah komponen aktif

yang terdapat pada ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat sebanyak 4 dan 3 komponen. Tabel 6 menunjukkan nilai Rf, warna spot secara visual, dan warna

dibawah UV masing-masing fraksi yang terbentuk.

Tabel 6. Nilai Rf, warna spot secara visual, dan warna di bawah UV masing-masing fraksi yang terbentuk.

Ekstrak Fraksi Rf Warna visual Warna UV (λ=365 nm)

1 0,027 Hijau kekuningan Kuning menyala

2 0,068 Kuning Ungu menyala

3 0,137 kuning Kuning menyala

Heksana

4 0,524 kuning Kuning menyala

1 0,034 Hijau Ungu menyala

2 0,565 Hijau kekuningan Kuning menyala

Etil asetat

3 0,951 Kuning Kuning menyala

Perbedaan nilai Rf (Retention factor) menjelaskan tentang perbedaan berat molekul senyawa yang terkandung pada ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat dari Dunaliella sp. Contoh perhitungan Rf dapat dilihat pada Lampiran 6. Senyawa yang memiliki berat molekul rendah akan diadsorbsi terlebih dahulu sehingga akan menghasilkan spot yang paling tinggi atau nilai Rf yang dihasilkan paling besar. Warna yang tampak secara visual diduga sebagai warna pigmen yang berikatan dengan senyawa yang terkandung pada ekstrak-heksana dan ekstrak-etil asetat. Untuk menduga jenis komponen yang terdapat pada masing-masing ekstrak dapat digunakan senyawa pembanding atau standar yang telah diketahui jenisnya seperti alkaloid.

Masing-masing fraksi mempunyai nilai Rf yang berbeda-beda. Nilai Rf ini digunakan sebagai dasar identifikasi senyawa yang terdapat pada bahan dan untuk membedakan warna fraksi yang satu dengan yang lain pada saat pengamatan fraksi yang terbentuk.

Dokumen terkait