• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kurva Pertumbuhan Dunaliella sp

Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa sel dan disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru (Becker 1994). Penghitungan jumlah sel dilakukan pada penelitian pendahuluan.

Sampling dilakukan setiap hari dengan pengamatan langsung menggunakan

mikroskop dan hemasitometer. Jumlah sel yang didapatkan kemudian diplotkan ke dalam suatu grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan

Dunaliella sp. dapat dilihat pada Gambar 11.

Kurva pertumbuhan Dunaliella sp.

5 5.5 6 6.5 7 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Umur kultur (hari)

Log jumla h s e l

Gambar 11. Kurva pertumbuhan Dunaliella sp.

Pertumbuhan mikroalga dibagi dalam lima fase pertumbuhan (Fogg 1975), yaitu fase lag, fase log, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Berdasarkan penelitian ini, pertumbuhan Dunaliella sp. memiliki pola pertumbuhan yang dimulai dari fase log, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase menuju kematian. Kultur dilakukan pada suhu ruang dengan intensitas cahaya 3000 lux dan penyinaran 24 jam. Gambar 11 menunjukkan bahwa fase log dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-8, fase penurunan laju pertumbuhan dicapai pada hari ke-9 sampai hari ke-11, fase stasioner terjadi pada hari ke-12 sampai hari ke-29 dan fase menuju kematian mulai hari ke-30 sampai ke-34. Tabel kepadatan sel Dunaliella sp. dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan pola pertumbuhan Dunaliella sp. tidak terdapat fase lag. Hal ini terjadi karena Dunaliella sp. yang diinokulasi tersebut diambil dari kultur yang berada pada fase log sehingga tidak mengalami fase lag. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Spencer (1954) diacu dalam Fogg (1975) bahwa lamanya fase lag tergantung dari umur inokulum, bahkan fase lag tidak terjadi bila inokulum telah mencapai fase log. Selain itu, sel Dunaliella sp. ditempatkan dalam medium dan lingkungan yang sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya sehingga tidak diperlukan waktu untuk adaptasi. Pada fase lag terjadi pemulihan konsentrasi enzim dan komponen sel mikroalga menjelang pertumbuhan eksponensial.

Fase log dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-8 dan ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan yang disertai dengan meningkatnya kepadatan sel.

Kepadatan sel hari ke-0 adalah 2,8 x 105 sel/ml dan hari ke-8 adalah 3,4 x 106 sel/ml. Sel Dunaliella sp. melakukan pembelahan sel secara aktif

dengan kecepatan maksimum dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Hal ini didukung oleh ketersediaan nutrien dan lingkungan yang baik sehingga pertumbuhannya cukup optimal. Ciri metabolisme selama fase log adalah aktivitas fotosintesis yang tinggi untuk pembentukan protein dan komponen penyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam pertumbuhan (Fogg 1975). Keadaan ini ditandai dengan warna kultur yang semakin hijau dibandingkan pada awal kultur.

Pertambahan jumlah sel memasuki fase penurunan laju pertumbuhan sedikit lebih lambat dibandingkan pada fase log. Fase penurunan laju pertumbuhan dimulai pada hari ke-9 dengan kepadatan sel 3,8 x 106 sel/ml sampai hari ke-11 (4,5 x 106 sel/ml). Hal ini terjadi karena keterbatasan substrat, kepadatan populasi, dan ketersediaan oksigen yang semakin rendah. Selain hal tersebut, timbunan produk metabolisme yang toksik dapat menurunkan kecepatan pertumbuhan sehingga akan menuju tahap stasioner (Schlegel dan Schmidt 1994).

Fase stasioner merupakan tahap pertumbuhan yang konstan dimana laju reproduksi sama dengan laju kematian. Penambahan dan pengurangan jumlah mikroalga relatif sama atau seimbang sehingga kepadatannya tetap (Becker 1994).

Kepadatan sel hari ke-12 adalah 4,6 x 106 sel/ml dan hari ke-29 adalah 4,6 x 106 sel/ml. Hal ini juga menunjukkan bahwa selama fase stasioner masih

terjadi pembelahan sel. Walaupun nutrien semakin berkurang, pembelahan sel masih dapat berlangsung.

Sel memiliki cadangan energi sehingga masih dapat menggunakan komponen tersebut untuk melakukan pertumbuhan dan mempertahankannya walaupun kecepatannya sangat rendah (Schlegel dan Schmidt 1994). Mikroalga mampu memanfaatkan substrat organik seperti gula dan asam-asam organik sebagai sumber karbon untuk mempertahankan pertumbuhannya. Selama energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan sel masih dapat diperoleh maka sel mikroalga mampu mempertahankan hidupnya untuk masa yang panjang. Mikroalga dapat menghasilkan substansi toksik yang disebut autoinhibitor yang diakumulasikan dalam medium pertumbuhan sehingga berakibat pertumbuhannya stasioner (Fogg 1975). Selama fase stasioner, warna kultur juga lebih hijau dibandingkan pada fase log.

Pertumbuhan Dunaliella sp. memiliki fase menuju kematian. Pola pertumbuhan dapat dibagi menjadi tujuh (Buchanan 1918 diacu dalam Jordan et al. 1947), yaitu fase lag, fase peningkatan laju pertumbuhan, fase log, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, fase menuju kematian, dan fase kematian. Fase menuju kematian menunjukkan jumlah sel yang mati lebih banyak daripada jumlah sel yang hidup. Hal ini disebabkan oleh nutrien dalam medium yang telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup. Selama fase menuju kematian terjadi penurunan jumlah sel, dimulai pada hari ke-30 (4,2 x 106 sel/ml) sampai hari ke-34 (3,5 x 106 sel/ml). Kematian sel disebabkan oleh kehabisan nutrien dan akumulasi sisa metabolisme atau bahan toksik spesifik. Laju pertumbuhan menurun sampai akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis karena tidak mendapat suplai nutrien lagi. Sel yang lisis akan menyebabkan perubahan warna (Clifton 1958 diacu dalam Sidabutar 1999)

Selama pertumbuhan, juga terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna ini terjadi mulai dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu mulai dari warna hijau bening, hijau tua, sampai warna hijau bening kembali dengan terbentuknya endapan hijau yang terdapat di dasar tempat kultur. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda selama kultivasi dapat dilihat pada Gambar 12. Perubahan

warna tersebut menandakan terjadinya peningkatan kepadatan sel mulai dari kepadatan rendah, kemudian menjadi tinggi dan selanjutnya mengalami penurunan kembali. Dunaliella mengandung klorofil a dan b, karotenoid dan xanthofil termasuk β-karoten, α-karoten, cis-γ-karoten, lutein, lutein 5,6-epoxid, antheraxanthin, violaxanthin, zeaxanthin, dan neoxanthin. Namun yang lebih menonjol adalah lutein dan β-karoten (Borowitzka dan Borowitzka 1988).

A B C

Keterangan: A = umur kultur 0 hari B = umur kultur 7 hari C = umur kultur 14 hari

Gambar 12. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda

Cahaya bersama klorofil berperan dalam proses fotosintesis. Pada penelitian ini, cahaya diperoleh dari sinar lampu TL dengan intensitas cahaya 3000 lux. Proses fotosintesis membutuhkan energi yang diperoleh dari penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pigmen yang menyerap cahaya pada Dunaliella sp. adalah klorofil a disamping pigmen lain seperti karotenoid dan xanthofil. Klorofil a terletak pada tylakoid yang tersebar di dalam kromoplasma. Selama penelitian ini, cahaya diberikan selama 24 jam sehingga kandungan klorofil a pada Dunaliella sp. semakin banyak. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Diharmi (2001) bahwa kandungan klorofil a pada Spirulina terus meningkat sejalan dengan semakin lama kultur dikenai cahaya. Selain itu, Diharmi juga menyatakan bahwa kandungan terendah klorofil a terdapat pada fase log sebesar 3,112 mg/l dan tertinggi pada fase stasioner sebesar 6,568 mg/l dengan intensitas cahaya 4000 lux dan lama pencahayaan selama 16 jam.

Dokumen terkait