• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Komposisi Kimia Dunaliella sp

A B C

Keterangan: A = umur kultur 0 hari B = umur kultur 7 hari C = umur kultur 14 hari

Gambar 12. Warna kultur Dunaliella sp. pada hari yang berbeda

Cahaya bersama klorofil berperan dalam proses fotosintesis. Pada penelitian ini, cahaya diperoleh dari sinar lampu TL dengan intensitas cahaya 3000 lux. Proses fotosintesis membutuhkan energi yang diperoleh dari penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pigmen yang menyerap cahaya pada Dunaliella sp. adalah klorofil a disamping pigmen lain seperti karotenoid dan xanthofil. Klorofil a terletak pada tylakoid yang tersebar di dalam kromoplasma. Selama penelitian ini, cahaya diberikan selama 24 jam sehingga kandungan klorofil a pada Dunaliella sp. semakin banyak. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Diharmi (2001) bahwa kandungan klorofil a pada Spirulina terus meningkat sejalan dengan semakin lama kultur dikenai cahaya. Selain itu, Diharmi juga menyatakan bahwa kandungan terendah klorofil a terdapat pada fase log sebesar 3,112 mg/l dan tertinggi pada fase stasioner sebesar 6,568 mg/l dengan intensitas cahaya 4000 lux dan lama pencahayaan selama 16 jam.

4.2 Komposisi Kimia Dunaliella sp.

Kandungan kimia tiap mikroalga berbeda-beda yang dipengaruhi oleh zat hara, kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya, lama pencahayaan, suhu, dan lain-lain. Kandungan kimia suatu mikroalga dapat dilihat dari kandungan protein,

lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Manfaat Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai antibakteri, jasad pakan yang cukup baik, sumber gliserol dan β-karoten hingga sebagai makanan kesehatan seperti halnya dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang tinggi. Hasil analisis proksimat Dunaliella sp. dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia Dunaliella sp.

Senyawa kimia Jumlah (%)

Air 65,22

Abu 6,17 Protein 18,12 Lemak 1,60 Karbohidrat 8,89

Kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat dari Dunaliella sp. adalah 65,22 %, 18,12 %, 1,60 %, 6,17 %, dan 8,89 %. Protein mempunyai peranan penting untuk pertahanan fungsi jaringan secara normal, perawatan jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak dan pembentukan sel-sel baru. Komponen penyusun protein adalah asam amino. Beberapa mikroalga dianggap

sebagai sumber protein karena kandungannya yang tinggi seperti

Chlorella vulgaris (35,30 %), Tetraselmis sp. (49,75 %), Dunaliella salina (57 %)

(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kandungan protein Dunaliella sp. adalah 18,12 % dan asam amino menentukan kualitas protein. Pembentukan asam amino

Dunaliella sp. diperoleh dari unsur hara yang terdapat pada medium tumbuhnya.

Lemak merupakan sumber energi paling tinggi. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 1997). Lemak disusun atas beberapa asam lemak yang merupakan komponen pembentuk. Kandungan lemak Dunaliella sp. senilai 1,60%. Kualitas lemak pada Dunaliella sp. juga ditentukan oleh asam lemak pembentuknya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Unsur hara dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak. Beberapa mikroalga seperti Dunaliella sp., Tetraselmis suecica akan menghasilkan kandungan lemak

yang rendah dan terus memproduksi karbohidrat bila lingkungannya terganggu (Becker 1994).

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji et al. 1989). Kandungan abu yang dimiliki Dunaliella sp. sebesar 6,17 %. Peningkatan kadar abu seiring dengan meningkatnya kandungan mineral. Mineral berperan dalam menjaga tekanan osmosis, komponen penting pembentuk struktur tulang dan gigi, menjaga keseimbangan asam dan basa tubuh.

Kadar karbohidrat Dunaliella sp. adalah 8,89 % yang dilakukan secara

by difference. Kadar karbohidrat ini tergantung pada faktor pengurangannya yaitu

kadar air, abu, protein dan lemak. Oleh karena itu, karbohidrat sangat dipengaruhi oleh kandungan zat gizi lainnya. Kandungan senyawa kimia Dunaliella sp. berkaitan dengan medium tumbuhnya. Medium tumbuh Dunaliella sp. yang digunakan dalam penelitian ini masih terdiri dari unsur teknis seperti pemakaian vitamin B12. Unsur hara dan faktor lingkungan seperti diketahui memiliki pengaruh terhadap kandungan senyawa Dunaliella sp.

4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri

Penelitian ini menggunakan pelarut heksana, etil asetat, metanol dalam mengekstrak senyawa antibakteri dari Dunaliella sp. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Pada fase log dihasilkan produk metabolit primer yang dapat berpotensi sebagai antibakteri seperti asam lemak, polisakarida, dan golongan senyawa dipeptida. Komponen penyusun antibiotik dari alga diketahui terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida, alkohol (Metting dan Pyne 1986 diacu dalam Setyaningsih et al. 2000). Pada fase stasioner terjadi akumulasi produk toksik yang merupakan inhibitor (Mckane dan Kandel 1985). Kultur Dunaliella sp. dipanen pada hari ke-7 yang mewakili fase log dan hari ke-14 yang mewakili fase stasioner.

Pemisahan biomassa sel dengan filtrat dilakukan menggunakan sentrifuse. Teknik pemisahan biomassa dan filtrat dengan menggunakan sentrifuse

merupakan salah satu cara yang sangat efisien (Vonshak 1990). Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya yang disebut metabolit intraseluler, sedangkan produk yang diekskresikan ke medium tumbuhnya disebut metabolit ekstraseluler (Stewart 1974). Metabolit intraseluler tersebut terdapat pada biomassa sedangkan metabolit ekstraseluler terdapat pada filtrat.

Biomassa dan filtrat dikeringbekukan untuk menghilangkan komponen air dan menghindari kerusakan komponen bioaktif yang terkandung dalam bahan. Pengeringan beku dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -75 ºC agar komponen bioaktif yang terkandung tidak rusak. Hasil dari proses pengeringan beku tersebut berupa filtrat dan biomassa kering. Filtrat dan biomassa kering Dunaliella sp. disajikan pada Gambar 13. Kemudian biomassa kering dilakukan proses pemecahan sel dengan menggunakan glass bead.

Selanjutnya dilakukan pengadukan (stirring) menggunakan pengaduk magnet (magnetic stirrer) dengan tujuan memecah sel sehingga komponen yang diinginkan dapat keluar, memperbesar kemungkinan tumbukan antar partikel sehingga komponen yang telah keluar dapat terikat dan larut dalam pelarut, serta memperbesar pengikatan komponen dengan pelarut yang digunakan. Maserasi ini dilakukan secara terus menerus selama 24 jam untuk memperbesar kemungkinan reaksi antara senyawa yang diinginkan dengan pelarut.

A B

Keterangan : A = Filtrat kering fase log dan fase stasioner B = Biomassa kering fase log dan fase stasioner

Gambar 13. Filtrat dan biomassa kering Dunaliella sp.

Tahap selanjutnya adalah evaporasi yang bertujuan menguapkan pelarut dan memperoleh senyawa hasil ekstraksi yang diinginkan. Penguapan pelarut ini dengan menggunakan rotary evaporator vacuum pada suhu 35 ºC. Penggunaan

sebaiknya menggunakan suhu antara 30-40 ºC agar komponen bioaktif yang terkandung tidak rusak (Harborne 1987).

Ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut yang berbeda yang diawali dari pelarut heksana (pelarut non polar), kemudian pelarut etil asetat (pelarut semi polar), dan terakhir pelarut metanol (pelarut polar). Penggunaan berbagai pelarut ini dilakukan agar zat aktif yang terkandung dan belum diketahui sifatnya dapat terekstrak secara optimal sesuai kepolarannya. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut dapat dilihat pada Tabel 4.

Berat biomassa kering yang dihasilkan pada umur panen fase stasioner (1,54 gram) lebih besar dibandingkan pada fase log (1,10 gram). Hal ini disebabkan oleh jumlah sel Dunaliella sp. pada fase stasioner lebih tinggi dibandingkan pada fase log, meskipun laju pertumbuhan pada fase stasioner mengalami penurunan. Jumlah sel pada fase stasioner cenderung tetap karena sel telah mencapai titik jenuh.

Tabel 4. Berat ekstrak Dunaliella sp. dengan jenis pelarut

Umur

panen Volume ( liter) biomassa Berat basah

Berat biomassa

kering

Jenis

pelarut ekstrak Berat Rendemen ekstrak kering (%) Heksana 0,02 gram 1,81 % Etil asetat 0,05 gram 4,54 % Fase log 10 liter 3,78 gram 1,10 gram

Metanol 0,06 gram 5,45 % Heksana 0,02 gram 1,29 % Etil asetat 0,03 gram 1,94 % Fase

stasioner 10 liter 5,04 gram 1,54 gram

Metanol 0,04 gram 2,59 %

Rendemen ekstrak kering pada fase log yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut metanol (5,45 %) lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak dari ekstraksi pelarut etil asetat (4,54 %) dan pelarut heksana (1,81 %). Hal yang sama juga terjadi pada fase stasioner, dimana rendemen ekstrak kering yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut metanol (2,59 %) lebih besar dibandingkan rendemen ekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat (1,94 %) dan juga pelarut heksana (1,29 %). Hal ini menunjukkan bahwa Dunaliella sp. lebih banyak mengandung senyawa yang dapat larut dalam pelarut polar. Selain itu, pelarut metanol diketahui sebagai pelarut yang mampu mengekstraksi kelompok senyawa gula, asam-asam amino, glikosida, juga dapat melarutkan

kelompok senyawa yang larut dalam petroleum eter, heksana, kloroform, etil asetat, etanol, air dalam jumlah dan proporsi berbeda-beda sehingga diperoleh hasil ekstraksi metanol cukup besar (Houghton dan Raman 1998). Contoh perhitungan rendemen ekstrak kering dapat dilihat pada Lampiran 3.

Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh pada fase log berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,05; 0,06 gram. Pada fase log terjadi metabolisme primer dimana polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat merupakan produk metabolit primer. Komponen-komponen tersebut merupakan penyusun utama suatu makhluk hidup (Manitto 1992). Berat ekstrak-heksana, ekstrak-etil asetat, ekstrak-metanol yang diperoleh pada fase stasioner berturut-turut nilainya adalah 0,02; 0,03; 0,04 gram. Pada fase stasioner terjadi metabolisme sekunder yang merupakan keseluruhan proses sintesis dan perombakan produk metabolit primer (Herbert 1995), terjadinya penumpukan produk beracun dan kehabisan nutrien (Pelczar dan Chan 2005), serta menghasilkan komponen-komponen yang berfungsi untuk pertahanan hidup Produk senyawa metabolit sekunder seperti senyawa fenol, alkaloid, terpenoid,

Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi Dunaliella sp. berbentuk pasta dengan warna yang berbeda-beda. Ekstraksi dengan pelarut heksana menghasilkan ekstrak-heksana berwarna coklat kekuningan, ekstraksi dengan pelarut etil asetat menghasilkan ekstrak-etil asetat berwarna kecoklatan, dan ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak-metanol berwarna hijau tua. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan berbagai pelarut dapat dilihat pada Gambar 14.

a b c b c a A B Keterangan: a = ekstrak-heksana b = ekstrak-etil asetat c = ekstrak-metanol A = ekstrak fase log

B = ekstrak fase stasioner

Gambar 14. Ekstrak Dunaliella sp. yang diperoleh dengan menggunakan berbagai pelarut.

Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi menghancurkan membran sel dan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan sehingga menghasilkan warna tersebut (Shahidi dan Naczk 1995). Pelarut non polar misalnya heksana mampu mengekstrak hidrokarbon, asam lemak, asetogenin, dan terpen. Pelarut semi polar misalnya etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid. Pelarut polar misalnya metanol mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tanin (Harborne 1987). Ekstrak-heksana yang berwarna kuning kecoklatan diduga karena kandungan karotenoid. Karotenoid adalah pigmen berwarna kuning, jingga, atau merah yang terdapat di berbagai macam plastid berwarna (kromoplas) (Salisbury dan Ross 1995). Pigmen warna ini mudah diekstraksi dalam pelarut lipid seperti heksana, kloroform. Demikian juga ekstrak-etil asetat yang berwarna kecoklatan diduga karena kandungan karotenoid.

Ekstrak-metanol yang berwarna hijau tua diduga disebabkan oleh klorofil yang terekstrak. Penelitian Sugiastuti (2002) mendapatkan ekstrak-etanol daun sirih berwarna hijau kehitaman yang juga disebabkan oleh kandungan klorofil dari daun sirih. Klorofil merupakan zat hijau daun yang penting dalam fotosintesis (Salisbury dan Ross 1995). Hasil dari ekstraksi tahap awal ini masih berupa ekstrak kasar dan umumnya ekstraksi dengan pelarut tidak dapat menghasilkan komponen yang diinginkan secara sempurna kecuali dilanjutkan dengan pemurnian.

Dokumen terkait