• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Antioksidan 1 Uji LD50

Dalam dokumen Aktivitas antioksidan ekstrak selaginella (Halaman 88-200)

TINJAUAN PUSTAKA

2. Aktivitas Antioksidan 1 Uji LD50

Studi pendahuluan pada pengujian LD50 menggunakan dosis 15 g ekstrak/kg bb (bobot badan) bertujuan untuk mencari efek toksik. Pemberian ekstrak Selaginella dilakukan secara oral sebanyak satu kali. Mencit yang digunakan adalah mencit jantan, strain DDY (Deutch Danken Yolken) dengan bobot badan berkisar 28.5–34.5 g yang berumur 2.5−3 bulan. Jumlah mencit untuk setiap kelompok ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii masing-masing sebanyak 5 ekor. Pengamatan bobot badan dan kematian (mortalitas) dilakukan selama 7 hari (Harmita & Radji 2008).

Pengujian LD50 selanjutnya pada ketiga jenis ekstrak Selaginella dilakukan dengan menggunakan metode Weil (1952). Pemberian ekstrak pada hewan mencit diberikan secara oral dengan empat taraf dosis yang berbeda.

Pemilihan dosis mengikuti progresi geometris (Harmita & Radji 2008). Rumus yang digunakan sebagai berikut:

YN = Y1 RN-1 Keterangan: YN = dosis ke-N

Y1 = dosis pertama R = faktor pemacu N = deret dosis

Mencit yang digunakan adalah mencit betina, strain DDY dengan bobot badan berkisar 21.7–40.8 g yang berumur 2.5−3 bulan. Jumlah mencit untuk setiap jenis ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii masing-masing sebanyak 4 ekor. Selanjutnya efek toksik ekstrak dievaluasi selama 7 hari (Harmita & Radji 2008) dan dihitung dosis letal median (LD50). Rumus yang digunakan pada metode Weil (1952) sebagai berikut:

Log m = log D + d(f+1)

Keterangan: m = nilai LD50

D = Dosis terkecil yang diberikan d = log dari kelipatan dosis (log R) f = suatu faktor dalam tabel Weil

2.2 Pemberian Ekstrak Selaginella dan Cekaman Oksidatif

Metode pemberian ekstrak dan cekaman oksidatif merupakan modifikasi dari metode yang digunakan oleh Gayathri et al. 2005 dan Wresdiyati et al. (2007). Cekaman oksidatif diberikan dengan cara puasa (tidak diberi pakan) dan berenang selama lima menit setiap hari dengan pemberian air minum secara ad libitum selama 3 hari. Untuk menganalisis pengaruh ekstrak Selaginella terhadap aktivitas antioksidan secara in vivo digunakan mencit jantan dengan bobot badan

berkisar 21.3–43 g yang berumur 2.5−3 bulan. Kontrol terdiri dari: (1) kontrol negatif yaitu mencit yang tidak mendapat ekstrak, namun mendapat cekaman oksidatif, (2) kontrol positif yaitu mencit yang mendapat ekstrak (dosis 0.6 g ekstrak/kg bb), tetapi tanpa cekaman oksidatif, dan (3) kontrol netral yaitu mencit yang tetap mendapatkan pakan dan tidak mendapat cekaman maupun ekstrak. Pada setiap ekor mencit percobaan diberi 0.5 ml ekstrak dengan dosis sesuai perlakuan. Pada hari kelima mencit-mencit tersebut dimatikan dan contoh hati diambil.

2.3 Persiapan Homogenat Hati

Hati yang telah diperoleh dari hasil pembedahan direndam dengan NaCl 0.9% dan selanjutnya disimpan dalam larutan KCl 1.15% (Ohkawa et al. 1979). Dari larutan KCl 1.15%, dicuci dengan aquabides dan dibuat homogenat 25% menggunakan aquabides (Gayathri et al. 2005 dan Lampiran 9). Pembuatan homogenat dengan cara dihaluskan, disaring, dan disimpan pada suhu –20ºC untuk pengujian selanjutnya (Hasani et al. 2007). Dari bahan homogenat tersebut, diambil masing-masing 0.1–1 ml untuk analisis peroksidasi lipid dan analisis Superoksida Dismutase.

2.4 Analisis Peroksidasi Lipid

Analisis peroksidasi lipid untuk penentuan konsentrasi MDA (malondialdehyde) dalam nmol/µg protein dimulai dengan analisis protein. Analisis protein pada homogenat hati mencit menggunakan metode biuret. Metode biuret merupakan salah satu cara yang terbaik untuk menentukan kadar protein suatu larutan (Apriyantono et al. 1989).

Pereaksi biuret terdiri dari larutan 3 g CuSO4.5H2O dan 9 g Na-K-Tartrat dalam 500 ml NaOH 0.2 N. Selanjutnya larutan ditambah 5 g KI kemudian diencerkan sampai 1000 ml dengan menggunakan NaOH 0.2 N. Larutan protein standar merupakan larutan bovine serum albumin (BSA) dalam aquades dengan konsentrasi 5 mg/ml.

Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan BSA dengan konsentrasi 5 mg/ml pada 7 macam volume yang berbeda yaitu 0 (blanko), 0.1,

0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1 ml larutan protein standar dengan menambahkan aquades sampai volume total masing-masing 4 ml. Selanjutnya larutan ditambah dengan 6 ml pereaksi Biuret dan dicampur dengan menggunakan vortex. Larutan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit sampai pembentukan warna biru sempurna dan pengukuran absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 520 nm.

Untuk penetapan sampel sebanyak 0.5 ml dilakukan dengan membagi homogenat ke dalam tabung reaksi seperti pada waktu penetapan standar, kemudian ditambah air sampai volume total masing-masing 1 ml. Selanjutnya larutan ditambah 1 ml Trichloroacetic acid (TCA) 10% sehingga protein akan terdenaturasi. Selanjutnya larutan disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit sampai protein yang terdenaturasi mengendap, dan supernatan dibuang dengan cara dekantasi. Endapan ditambah 2 ml etil eter dan dicampur merata lalu disentrifus kembali untuk menolong menghilangkan residu TCA dan dibiarkan mengering pada suhu kamar. Selanjutnya endapan kering ditambah 4 ml aquades dan dicampur merata, sampai larut seluruhnya. Larutan ditambah dengan 6 ml pereaksi Biuret, dan larutan alkali dalam pereaksi ini akan melarutkan endapan yang tersisa. Larutan tersebut dicampur dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit sampai terbentuk warna biru sempurna dan pengukuran absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang ( ) 520 nm.

Analisis peroksidasi lipid diuji dengan sistem Fe2+ - askorbat (Gayathri et al. 2005). Campuran reaksi terdiri dari 0.1 ml homogenat hati 25%, 0.1 ml larutan penyangga Tris-HCl 1M (pH 7), 0.1 ml asam askorbat 1.5 mM, 0.1 ml Fe-ammonium sulfat 4 mM, dan 0.1 ml aquabides hingga seluruhnya mencapai volume 0.5 ml. Campuran kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 1 jam. Kandungan peroksidasi lipid diukur sebagai senyawa asam tiobarbiturat yang terukur dengan metode dari Ohkawa et al. (1979) dan Mihara et al. (1980).

Setelah diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37ºC, campuran tersebut ditambah dengan 0.5 ml larutan Trichloroacetic Acid (TCA) 0.1% (w/v) yang mengandung Butylated Hydroxytoluene (BHT) 1mM pada suhu 4ºC. Homogenat tersebut kemudian ditambah 3 ml larutan H3PO4 2% (v/v) dan 1 ml TBA 0.6% (w/v) dalam TCA 20% (w/v). Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 100ºC

selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai suhu ruang. Setelah dingin campuran ditambah 4 ml n-butanol 100% (v/v) kemudian di kocok dengan kuat menggunakan vortex. Fase butanol dan fase larutan dipisahkan dengan sentrifugasi 3000 rpm selama 30 menit (Labofuge 400R). Absorbansi kompleks TBA-MDA pada fase butanol diukur dengan spektrofotometer pada 532 nm, sedangkan untuk nilai absorban non spesifik diukur pada 520 nm. Konsentrasi MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid dapat dihitung dengan mengurangi nilai absorban pada 532 nm dengan nilai absorban pada 520 nm.

Tingkat peroksidasi lipid dicerminkan oleh konsentrasi MDA yang terbentuk yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

MDA Ɛ x d

Keterangan: [MDA] = Konsentrasi MDA yang terbentuk (nmol) A = Selisih nilai absorban

Ɛ = Nilai ekstansi MDA (155 mM-1cm-1) d = Lebar kuvet (cm)

v = Volume sampel (ml)

Persen penghambatan dari pembentukan peroksida lipid ditentukan dengan cara membandingkan hasil dari contoh yang diberi dan tidak diberi perlakuan ekstrak Selaginella.

2.5 Analisis Superoksida Dismutase (SOD)

Analisis SOD menggunakan metode Kubo et al. (2002), Wijeratne et al. (2005), dan Prangdimurti et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Penggunaan metode ini untuk mengukur aktivitas menangkap radikal anion superoksida yang dihasilkan secara enzimatis oleh sistem xantin-xantin oksidase.

Sebanyak 0.06 ml homogenat hati direaksikan dengan larutan yang terdiri dari 2.7 ml bufer Natrium Karbonat 40 mM yang mengandung EDTA 0.1 mM (pH 10), 0.06 ml Xantin 10 mM, 0.03 ml BSA 0.5%, dan 0.03 ml NBT (nitroblue tetrazolium) 2.5 mM. Selanjutnya larutan ditambah dengan 100 µl (0.1 ml) Xantin

Oksidase (0.04 units). Absorbansi yang dihasilkan setelah 30 menit diukur pada panjang gelombang 560 nm. Sebagai kontrol digunakan larutan yang digunakan dalam persiapan sampel hati yaitu 11.5 g/l KCl (PBS yang mengandung 11.5 g/l KCl). Aktivitas SOD (%) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

B Keterangan: A= absorbansi larutan sampel

B= absorbansi larutan kontrol

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan uji sidik ragam (ANOVA). Jika dari hasil analisis ragam perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) dengan tingkat kepercayaan 95%.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Kondisi mencit dan Nilai LD50 (Dosis Letal Median)

Mencit yang digunakan dalam uji LD50 adalah strain DDY berwarna putih (Lampiran 1) yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam penentuan LD50. Adapun alasan digunakan mencit dalam percobaan karena selain hewan-hewan tersebut ekonomis, mudah didapat, dan mudah dirawat, data-data toksikologinya sudah tersedia sehingga memudahkan pembandingan toksisitas zat kimia satu dengan yang lain (Harmita & Radji 2008).

Studi pendahuluan penentuan LD50 menggunakan dosis 15 g ekstrak/kg bb bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas bahan alami pada Selaginella. Hasil studi pendahuluan LD50 menunjukkan bobot badan mencit yang masih hidup pada ketiga macam ekstrak Selaginella berbeda-beda. Pada akhir pengamatan, mencit yang memperoleh ekstrak S. ornata dan S. plana mengalami peningkatan bobot badan berturut-turut 1.1 dan 0.5 g, sedangkan mencit yang memperoleh ekstrak S. willdenovii mengalami penurunan bobot badan 1.2 g (Gambar 6 dan 7).

‐1.5 ‐1 ‐0.5 0 0.5 1 1.5 SO SP SW Perubahan bobot badan (g) Jenis ekstrak

Gambar 6 Perubahan bobot badan mencit di akhir uji pendahuluan LD50 pada S. ornata (SO), S. plana (SP), dan S. willdenovii (SW).

Tingkat mortalitas (kematian) untuk masing-masing ekstrak Selaginella sama yaitu 80% (4 ekor) (Lampiran 2). Mencit mengalami kematian setelah 24 jam pemberian ekstrak Selaginella. Pada mencit yang masih hidup dan mendapat ekstrak S. ornata dan S. plana mengalami peningkatan bobot badan mulai dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-4, setelah itu bobot badan berfluktuasi sampai hari ke-7. Mencit yang mendapat ekstrak S. willdenovii mengalami penurunan bobot badan pada hari ke-4 (2.6 g), kemudian mengalami peningkatan kembali pada hari ke-5 (3.1 g), dan selanjutnya mengalami penurunan kembali pada hari ke-7 (1.6 g) (Gambar 7 dan Lampiran 2). 

 

Gambar 7 Perubahan bobot badan mencit selama uji pendahuluan LD50 dengan 15 g ekstrak/ kg bb. Mencit mendapat ekstrak S. ornata ( ), S. plana ( ) dan S. willdenovii ( ).

26 27 28 29 30 31 32 33 34 0 1 2 3 4 5 6 7 Bobot badan (g)

Hari setelah pemberian ekstrak

Pengujian LD50 selanjutnya dari ketiga jenis ekstrak Selaginella dilakukan dengan empat dosis yang berbeda. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan bobot badan yang berbeda-beda pada mencit yang masih hidup. Pada umumnya tingkat mortalitas meningkat dengan meningkatnya dosis pemberian ekstrak Selaginella. Tingkat mortalitas mencit yang mendapat ekstrak S. ornata dan S. plana mengalami peningkatan setelah mendapat dosis 9 g ekstrak/kg bb,

sedangkan tingkat mortalitas pada mencit yang mendapat ekstrak S. willdenovii mengalami peningkatan mulai dari pemberian dosis 3 g ekstrak/kg bb (Tabel 1 dan Lampiran 3).

Tabel 1 Pengujian LD50 ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii Jenis ekstrak Dosis

(g ekstrak/kg bb)

Jumlah mencit mati (ekor) Mortalitas (%) S. ornata 1 2 50 3 0 0 9 2 50 27 4 100 S. plana 1 0 0 3 0 0 9 4 100 27 4 100 S. willdenovii 1 0 0 3 3 75 9 3 75 27 4 100

Berdasarkan jumlah kematian mencit diperoleh nilai LD50 yang berbeda dari ketiga jenis ekstrak. Nilai LD50 ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii berturut-turut 9, 5.2, dan 3 g ekstrak/kg bb (Lampiran 4). Selanjutnya untuk pengujian in vivo digunakan tiga macam dosis yaitu 0.3, 0.6, dan 1.2 g ekstrak/kg bb. Penentuan dosis ini berdasarkan kurva hubungan antara sifat kurva dosis dengan efek kuantal yang menunjukkan adanya suatu jarak antara ED50 dengan LD50 sebesar sepersepuluh sampai seperduapuluh dari hasil distribusi frekuensi kumulatif (Harmita & Radji 2008).

2. Efektifitas Pemberian Cekaman Oksidatif

Cekaman oksidatif bertujuan untuk mengetahui efektifitas perlakuan cekaman oksidatif yang diberikan pada mencit dengan mengamati tingkat MDA dan aktivitas SOD pada mencit yang mendapat cekaman dan tidak mendapat cekaman. Mencit yang diuji efektifitas cekaman oksidatif tersebut tidak mendapat ekstrak Selaginella.

Mencit yang mendapat cekaman menunjukkan nilai konsentrasi MDA yang lebih tinggi dan nilai aktivitas SOD yang lebih rendah dibandingkan mencit yang tidak mendapat cekaman. Dalam pengertian lain, mencit yang tidak mendapat cekaman menunjukkan aktivitas peroksidasi lipid yang lebih rendah dan aktivitas SOD yang lebih tinggi (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cekaman efektif menyebabkan mencit mengalami cekaman oksidatif.

Tabel 2 Pengujian efektifitas pemberian cekaman oksidatif pada mencit dengan nilai MDA dan SOD

 

Cekaman MDA SOD

(nmol/µg protein) (%)

− 0.360±0.048 52.600±0.481

+ 1.010±0.006 32.000±0.127

Keterangan: Mencit mendapat cekaman (+) (kontrol negatif) dan mencit tidak mendapat cekaman (−) (kontrol netral). Nilai rata-rata dengan standar deviasi pada masing-masing peubah yang diamati.

3. Peroksidasi Lipid

Pengaruh pemberian ketiga jenis ekstrak Selaginella terhadap konsentrasi MDA bergantung pada dosis yang diberikan. Ekstrak S. ornata menunjukkan aktivitas penghambatan peroksidasi lipid yang paling besar pada dosis 0.6 g ekstrak/kg bb yang mampu menekan kadar MDA sampai dengan 0.170 nmol/µg protein. Ekstrak S. plana juga menunjukkan aktivitas penghambatan peroksidasi lipid yang relatif sama dengan ekstrak S. ornata hingga pada dosis 0.6 g ekstrak/kg bb (0.240 nmol/µg protein), namun pada dosis 1.2 g ekstrak/kg bb kembali menunjukkan konsentrasi MDA yang tinggi. Pemberian ekstrak dengan dosis 0.3 g ekstrak/kg bb sudah menunjukkan nilai konsentrasi MDA yang relatif rendah pada ketiga jenis ekstrak Selaginella, yaitu berturut-turut 0.590, 0.615, dan 0.565 nmol/µg protein. Hal ini berarti dengan menggunakan dosis 0.3 g ekstrak/kg bb sudah cukup membuktikan kemampuan aktivitas penghambatan terhadap peroksidasi lipid. Namun demikian, hasil penelitian dari ketiga macam dosis, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak S. ornata dan S. plana dengan

dosis 0.6 g ekstrak/kg bb merupakan dosis terbaik karena mampu menekan kadar MDA sampai tingkat terendah berturut-turut 0.170 dan 0.240 nmol/µg protein (Gambar 8 dan Lampiran 6).

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 0 0.3 0.6 1.2 MDA (nmol g protei n) Dosis (g ekstrak/kg bb)

Gambar 8 Konsentrasi MDA mencit yang mendapat ekstrak S. ornata ( ), S. plana ( ), dan S. willdenovii ( ) pada empat taraf dosis ekstrak setelah mendapat cekaman oksidatif. Mencit yang mendapat dosis 0 merupakan kontrol negatif, yaitu mencit yang tidak mendapat ekstrak, namun mendapat cekaman.  

Data hasil pemberian ekstrak dengan dosis 0.6 g ekstrak/kb bb sangat menarik terlihat pada mencit yang tidak tercekam, pemberian ketiga jenis ekstrak Selaginella tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi MDA. Namun demikian, jika dibandingkan dengan mencit yang tercekam, konsentrasi MDA dari kedua jenis ekstrak yaitu S. ornata (0.170 nmol/µg protein) dan S. plana (0.240 nmol/µg protein) relatif sama dan jauh lebih rendah daripada konsentrasi MDA pada mencit yang mendapat ekstrak S. willdenovii (1.255 nmol/µg protein). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak S. ornata dan S. plana dapat menekan tingkat peroksidasi lipid jauh lebih besar daripada ekstrak S. willdenovii (Gambar 9).

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40

S. ornata S. plana S. willdenovii

MDA (nmol g protei n) Jenis Ekstrak

Gambar 9 Konsentrasi MDA mencit pada tiga jenis ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii setelah mendapat ekstrak dengan dosis 0.6 g ekstrak/kg bb. Mencit yang mendapat cekaman oksidatif ( ) dan mencit yang tidak mendapat cekaman oksidatif ( ).

4. Aktivitas SOD (Superoksida Dismutase)

Dalam analisis Superoksida dismutase yang dilakukan, radikal superoksida dihasilkan terlebih dahulu dari reaksi antara xantin dan xantin oksidase. Radikal superoksida akan mengoksidasi garam tetrazolium (berwarna kuning) menjadi formazan yang berwarna biru. Semakin tinggi aktivitas SOD berarti semakin banyak radikal superoksida yang dinetralisir, dan hal ini menunjukkan bahwa semakin rendahnya jumlah formazan yang terbentuk.

Pemberian jenis ekstrak Selaginella pada mencit memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai aktivitas SOD. Ekstrak S. ornata dan S. willdenovii menghasilkan nilai aktivitas SOD berturut-turut 51.9% dan 49.0 %, lebih tinggi daripada S. plana (43.8%). Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ekstrak Selaginella tersebut mampu menetralisir radikal superoksida yang lebih baik dibandingkan S. plana (Gambar 10 dan Lampiran 7).

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0

Kontrol S. ornata S. plana S. willdenovii

SOD (%

)

Jenis Ekstrak Kontrol

Gambar 10 Nilai SOD (%) kontrol dan perlakuan ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii pada semua mencit yang mendapat cekaman. Kontrol merupakan mencit yang tidak mendapat ekstrak, namun mendapat cekaman.

Dosis pemberian ekstrak Selaginella berpengaruh nyata terhadap nilai aktivitas SOD (Lampiran 7). Semua dosis yang diberikan menunjukkan aktivitas SOD yang lebih tinggi daripada kontrol (32%). Pemberian ekstrak menggunakan dosis 0.3 g ekstrak/kg bb menunjukkan nilai aktivitas SOD paling tinggi (54.6%). Namun demikian, nilai aktivitas SOD pada dosis 0.3 g ekstrak/kg bb ini tidak berbeda secara nyata dengan nilai aktivitas SOD dosis 0.6 g ekstrak/kg bb (54.4%) dan dosis 1.2 g ekstrak/kg bb (52.4%). Hal ini berarti pemberian dosis 0.3 g ekstrak/kg bb sudah cukup untuk meningkatkan aktivitas SOD (Gambar 11).

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 0 0.3 0.6 1.2 SOD (% ) Dosis (g ekstrak/kg bb)

Gambar 11 Nilai SOD (%) mencit yang mendapat ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii dengan dosis 0.3, 0.6, dan 1.2 g ekstrak/kg bb dan mendapat cekaman.

Pembahasan

Pemanfaatan Selaginella sebagai antioksidan sudah mulai banyak dilakukan. Pengujian aktivitas antioksidan dimulai dengan pengujian LD50 untuk mendapat tingkat toksisitas bahan alami pada Selaginella. Hasil pengujian LD50

dari ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii menunjukkan nilai yang bervariasi. Pengujian toksisitas akut (LD50) dilakukan sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam untuk memperoleh tingkat toksisitas zat kimia yang diuji (Weil 1952; Harmita & Radji 2008). Berdasarkan toksisitas relatif dari klasifikasi zat kimia oleh Harmita dan Radji (2008), maka ekstrak S. ornata dan S. plana dikategorikan hanya sedikit toksik, sedangkan ekstrak S. willdenovii dikategorikan cukup toksik. Pada umumnya semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya. Ekstrak S. ornata memiliki nilai LD50 terbesar dibandingkan dengan dua jenis ekstrak lainnya. Dengan demikian, ekstrak S. ornata memiliki toksisitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedua jenis ekstrak Selaginella lainnya dan diharapkan akan memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi.

Perbedaan hasil pengujian LD50 ditunjukkan dengan adanya perbedaan respon pada setiap mencit yaitu perubahan bobot badan mencit di akhir pengamatan uji LD50. Perubahan bobot badan mencit diduga karena perbedaan tingkat toksisitas dan kandungan senyawa dari jenis ekstrak Selaginella dengan jumlah dan kadar tidak sama. Tingkat toksisitas tanaman berhubungan dengan metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya (Hutapea 1999). Tingkat toksisitas hanya sedikit toksik pada ekstrak S. ornata dan S. plana mampu meningkatkan bobot badan mencit berturut-turut 1.1 dan 0.5 g, sedangkan tingkat toksisitas cukup toksik pada ekstrak S. willdenovii menyebabkan penurunan bobot badan (1.2 g) (Gambar 6 dan 7). Senyawa metabolit sekunder yang utama pada Selaginella adalah biflavonoid (Seigler 1998). Akan tetapi, informasi lain dari hasil uji fitokimia dengan menggunakan pelarut etanol menunjukkan bahwa S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii yang diambil dari pulau Jawa juga mengandung alkaloid, tanin, saponin, dan steroid (Chikmawati et al. 2007), dan diduga S. willdenovii lebih toksik karena kandungan saponinnya lebih tinggi dari S. ornata dan S. plana.

Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan ekstrak Selaginella dilakukan dengan pemberian cekaman pada mencit. Pemberian cekaman telah menunjukkan efektivitasnya untuk menyebabkan mencit mendapat cekaman oksidatif. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak Selaginella dengan uji peroksidasi lipid yang memperoleh konsentrasi MDA yang berbeda-beda pada mencit yang tercekam dan tidak tercekam. Pada kondisi tercekam membutuhkan senyawa penghasil energi. Secara fisiologis, pada kondisi kekurangan pangan, tubuh harus mempertahankan kadar glukosa darah. Glikogen hati hanya dapat menyediakan glukosa selama beberapa jam, dan setelah itu terjadi proses glukoneogenesis dalam hati yang membutuhkan substrat dari jaringan lain. Substrat tersebut berasal dari asam amino glikogenik dan lemak (Montgomery et al. 1983). Lemak netral dikatabolisme menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak merupakan bahan bakar utama. Katabolisme asam lemak pada saat kondisi normal berbeda dengan kondisi saat kelaparan. Katabolisme asam lemak pada kondisi normal terjadi di dalam mitokondria melalui proses β -oksidasi. Akan tetapi, pada kondisi kelaparan, terjadi peningkatan proses β -oksidasi pada peroksisom (jalur minor proses β-oksidasi). Peningkatan aktivitas β -oksidasi di dalam peroksisom tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah radikal bebas (oksidan) yang merupakan hasil samping metabolisme (Orellana et al. 1992; Wresdiyati & Makita 1995). Alfarabi et al. (2010) melaporkan bahwa radikal bebas yang diproduksi dari proses biokimia dari dalam tubuh seperti ROS dapat mengakibatkan peningkatan peroksidasi lipid dari lipid tak jenuh. Lipid yang mengandung asam lemak tak jenuh tersebut mudah diserang oleh radikal bebas pada ikatan gandanya dan membentuk peroksidasi lipid yang menyebabkan terjadinya kerusakan strukturnya. Serangan radikal bebas tersebut selanjutnya akan berakibat munculnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung, aterosklerosis, stroke, dan kanker (Hariyatmi 2004; Alfarabi et al. 2010).

Pengujian tingkat peroksidasi lipid dengan mengukur konsentrasi MDA dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator adanya kerusakan oksidatif, terutama dari asam lemak tak jenuh (Ohkawa et al. 1979). Pemberian ekstrak S. ornata pada mencit menyebabkan tingkat peroksidasi lipid yang paling rendah dibandingkan dengan kedua jenis ekstrak Selaginella lainnya.

Pada kondisi tercekam, pemberian ekstrak S. ornata menggunakan dosis 0.6 g ekstrak/kg bb mampu menekan peroksidasi lipid sampai dengan 0.170 nmol/µg protein (14% lebih rendah) dibandingkan mencit yang tidak mendapat ekstrak (1.010 nmol/µg protein) (Gambar 8). Aktivitas penghambatan peroksidasi lipid pada hati mencit diduga terjadi karena kandungan biflavonoid Selaginella berpotensi sebagai antioksidan (Gayathri et al. 2005; Chikmawati et al. 2007). Biflavonoid pada Selaginella memiliki gugus pendonor hidroksil (OH) yang diduga dapat menghambat proses terjadinya peroksidasi lemak pada tahap inisiasi, sehingga radikal bebas tidak dapat berkembang membentuk radikal bebas yang baru (Rahman et al. 2007). Ekstrak Selaginella yang memiliki kandungan senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat dengan menghambat terjadinya peroksidasi lipid. Kandungan senyawa tersebut diduga memiliki kemampuan untuk melindungi membran sel dari serangan radikal bebas (Saija et al. 1995).

Pemberian ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii pada mencit dapat menekan tingkat peroksidasi lipid yang relatif sama pada dosis 0.3 g ekstrak/kg bb. Namun demikian, pemberian ekstrak S. plana (1.2 g ekstrak/kg bb) dan S. willdenovii (0.6 dan 1.2 g ekstrak/kg bb) menyebabkan meningkatnya aktivitas peroksidasi lipid yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ekstrak dosis 0.3 g ekstrak/kg bb. Tingginya tingkat peroksidasi lipid pada kedua ekstrak Selaginella tersebut diduga telah menunjukkan efek toksik (Gambar 8). Hal ini berarti pemberian ekstrak S. plana dan S. willdenovii menggunakan dosis tersebut tidak memberikan efek antioksidan. Efek toksik diduga karena kandungan bahan bioaktif lainnya yang terkandung di dalam ekstrak Selaginella, diantaranya saponin dan alkaloid. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak S. willdenovii memiliki kandungan saponin yang lebih banyak dibandingkan ekstrak lainnya (Chikmawati et al. 2007). Nio (1989) melaporkan bahwa saponin mempunyai rasa pahit dan mempunyai efek racun yang kuat untuk ikan dan amfibi. Bahan bioaktif lainnya yaitu alkaloid yang mempunyai rasa pahit dan berfungsi sebagai antiserangga yang diduga juga dapat mempengaruhi efek toksik (Zulak et al. 2006).

Data yang sangat menarik juga terlihat pada mencit yang tidak mendapat cekaman, namun mendapat ekstrak Selaginella dengan dosis 0.6 g ekstrak/kg bb. Nilai-nilai MDA untuk ketiga pemberian ekstrak tersebut berturut-turut 0.045, 0.140, dan 0.155 nmol/µg protein untuk ekstrak S. ornata, S. plana, dan S. willdenovii (Gambar 9). Ketiga nilai MDA tersebut lebih rendah dari nilai MDA mencit yang tidak mendapat cekaman dan tidak mendapat ekstrak (0.360 nmol/µg protein) (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak Selaginella dapat menekan tingkat peroksidasi lipid tidak hanya pada mencit yang mendapat cekaman tetapi juga pada mencit yang tidak mendapat cekaman. Hal ini berarti ekstrak Selaginella yang berpotensi sebagai antioksidan dapat dimanfaatkan untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif).

Superoksida dismutase merupakan enzim yang berada pada cairan intraseluler yang berpartisipasi pada proses degadrasi senyawa radikal bebas intraseluler, seperti anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen.

Dalam dokumen Aktivitas antioksidan ekstrak selaginella (Halaman 88-200)

Dokumen terkait