• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench)

4.4 Aktivitas Enzim β glucoronidase pada Mencit Balb/c

Penelitian mengenai kemampuan bakteria kolon dalam pembentukan berbagai mutagen, karsinogen, dan promotor tumor, baik dari makanan yang dikonsumsi maupun prekursor yang diproduksi secara endogenus telah banyak dilakukan (Rowland 1995). Bakteria ini mampu berperan dalam berbagai aktivitas metabolik, termasuk pembentukan metabolit yang bersifat toksik, transformasi asam empedu, serta hidrolisis dari obat-obatan. Reaksi- reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteria kolon, sehingga pengukuran mengenai enzim tersebut akan memberikan indikasi mengenai kemampuan bakteri dalam mendukung terjadinya transformasi (Shiau dan Chang 1983).

Salah satu enzim bakteria kolon yang memiliki aktivitas penting adalah β-glucoronidase. Enzim ini menghidrolisis MAM-GlcUA (metilazoksi-

metanol-glukoronida), yang merupakan hasil konjugasi MAM (metilazoksi- metanol) dengan asam glukoronat ketika mencapai kolon. MAM dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase I dari AOM (azoksimetana) oleh Cytochrome P450 di hati. MAM-GlcUA yang dihasilkan dari reaksi detoksifikasi fase II tersebut bersifat non karsinogen, namun adanya β-glucoronidase akan menghidrolisis konjugat tersebut melepaskan MAM bebas yang merupakan karsinogen aktif. Konsentrasi MAM bebas yang tinggi pada mukosa kolon akan meningkatkan oksidasi MAM oleh ADH (Alcohol Dehidrogenase) melalui reaksi alkilasi menghasilkan ion methyl carbonium. Ion tersebut bersifat hidrofilik dan mampu berkonjugasi dengan DNA. Terjadinya mutasi DNA tersebut merupakan awal dari karsinogenesis kolon (Takada et al. 1982, Rosenberg et al. 2009)

Humblot et al. (2007) menyatakan bahwa β-glucoronidase mampu menjadi biomarker pembentukan kanker kolon karena enzim ini berpotensi mengaktifkan toksin glukoronida hati dan mutagen. Kadar β-glucoronidase pada kolon dapat menggambarkan resiko karsinogenesis kolon. Kadar enzim ini dilaporkan meningkat seiring meningkatnya konsumsi protein dan lemak hewani, serta menurun seiring meningkatnya konsumsi serat pangan (Shiau dan Chang 1983).

Aktivitas enzim β-glucoronidase berhubungan dengan sekresi asam empedu. Asam empedu tersebut disekresikan pada duodenum dalam bentuk konjugat, yang kemudian didegradasi oleh enzim yang dihasilkan bakteri usus menjadi produk dekonjugasi atau asam empedu sekunder. Ekskresi konjugat

asam empedu mampu meningkatkan ekskresi β-glucoronidase oleh

Eschericia coli dan Clostridium perfringens. Ekskresi asam empedu pada feses dilaporkan meningkat seiring tingginya konsumsi lemak (Fujisawa dan Mori 1997).

β-glucoronidase diproduksi oleh bakteria kolon, terutama oleh Eschericia coli dan Clostridium perfringens (Jenab dan Lilian 1996). Secara umum, adanya spesies Bifidobacterium dan Lactobacillus berkaitan dengan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam pembentukan karsinogen. Hal ini dikarenakan bakteri asam laktat hanya sedikit sekali menghasilkan β-

glucoronidase. Oleh karena itu, peningkatan proporsi bakteri asam laktat di dalam usus dapat menurunkan aktivitas enzim tersebut (Saito et al. 1992).

Tempat utama terjadinya fermentasi serat pangan pada usus besar terjadi pada bagian sekum (Zdúczyk et al. 2006). Sekum merupakan bagian awal usus besar, setelah akhir usus halus. Oleh karena itu karena itu pengukuran aktivitas enzim mikroba dapat dilakukan pada bagian sekum. Penelitian ini mengukur aktivitas β-glucoronidase pada dinding sekum. Hal ini dilakukan karena enzim ini selain terdapat pada isi sekum juga bisa ditemukan pada dinding sekum (Gadelle et al. 1985).

Pengukuran aktivitas β-glucoronidase dilakukan menggunakan phenolphtalein glucoronida. Adanya enzim β-glucoronidase di dalam sampel akan melepaskan phenolphtalein dari glukoronida, sehingga dapat digunakan sebagai prinsip pengukuran aktivitas enzim ini. Aktivitas β-glucoronidase sebanding dengan jumlah phenolphtalein yang dilepaskan, yang mana diperkirakan menggunakan kurva standar phenolphtalein. Aktivitas spesifik dihitung sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/mg protein sekum/menit, sedangkan aktivitas total β-glucuronidase ditentukan sebagai nmol phenolphthalein yang dilepaskan/ mg sekum/menit (Jenab dan Lilian 1996).

Tabel 14 Aktivitas enzim β-glucoronidase pada kelompok mencit Kelompok

Aktivitas β-glucuronidase

Aktivitas spesifik

(nmol PP/ mg protein sekum/ menit)

Aktivitas total

(nmol PP/ sekum/ menit)

K- 6,16 ± 2,46a 241,80 ± 103,71a

K+ 21,45 ± 6,36c 504,48 ± 128,64c

S50 11,32 ± 2,55b 343,29 ± 62,05b

S100 10,79 ± 3,72b 247,46 ± 76,49ab

Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05).

Tabel 14 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas enzim β- glucuronidase pada kelompok mencit. Adanya induksi AOM-DSS tanpa pemberian tepung sorgum pada kelompok K+ menyebabkan mencit pada kelompok ini memiliki aktivitas spesifik dan aktivitas total β-glucuronidase yang secara signifikan lebih tinggi diantara kelompok yang lain. Pemberian

tepung sorgum pada mencit percobaan yang diinduksi AOM-DSS (kelompok S50 dan S100) menunjukkan bahwa serat pada tepung sorgum secara signifikan mampu menurunkan aktivitas spesifik dan aktivitas total β- glucoronidase dibandingkan pada kelompok K+ (Lampiran 8). Penurunan aktivitas enzim β-glucoronidase menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum mampu menurunkan resiko kanker kolon. Adapun penurunan aktivitas enzim tersebut diduga adanya pengaruh dari jenis serat yang digunakan dalam komposisi ransum.

Kelompok kontrol menggunakan sumber serat berupa CMC, sedangkan kelompok perlakuan menggunakan campuran serat CMC dan serat yang berasal dari sorgum. Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan β-glukan. Serat tidak larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin umumnya tahan terhadap degradasi mikrobial sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua serat larut β-glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. β- glukan diketahui berpotensi mencegah terjadinya penyakit degeneratif seperti hiperglikemia, hiperkolesterolemia, obesitas, penyakit kardiovaskular, kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik (Laroche dan Michaud 2006).

Karena β-glukan lebih difermentasi secara sempurna, maka β-glukan akan lebih disukai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dibandingkan selulosa. Dengan adanya kandungan serat β-glukan, pemberian sorgum diduga akan lebih meningkatkan jumlah bakteri asam laktat, yang mana bakteri ini sedikit sekali memproduksi enzim β-glucoronidase, sehingga akan menurunkan aktivitas enzim tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CMC memiliki kemampuan terfermentasi yang rendah sehingga lebih sedikit menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek yang dapat mengasamkan lingkungan kolon. Hal ini dapat menyebabkan kelompok kontrol (K- dan K+) memiliki jumlah bakteri asam laktat yang lebih sedikit dibandingkan kelompok sorgum (S50 dan S100). Hanya saja penelitian mengenai jumlah bakteri asam laktat pada isi sekum tidak dilakukan pada penelitian ini.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Metzler-Zebeli et al. (2010) yang menyatakan bahwa babi yang displementasi CMC memiliki jumlah Lactobacilli yang lebih rendah dibandingkan pada babi yang disuplementasi β-glukan. Meskipun kelompok K- memiliki sumber serat yang sama dengan kelompok K+ yakni berupa CMC, namun aktivitas β-glucoronidasenya terlihat lebih rendah dibandingkan pada kelompok yang diberikan sorgum. Hal ini dikarenakan kelompok K- tidak diberikan induksi karsinogen, sehingga aktivitas hidrolisis produk konjugasi hasil detoksifikasi karsinogen juga lebih rendah.

Shiau dan Chang (1983) melakukan penelitian mengenai peranan beberapa jenis serat pangan terhadap aktivitas spesifik enzim β- glucoronidase. Penelitian ini menggunakan jenis serat berupa guar gum, pektin, karagenan, dan selulosa (masing-masing sebanyak 15% dalam diet) yang dibandingkan dengan pemberian diet bebas serat pada kelompok tikus percobaan. Kelompok tikus bebas serat memiliki aktivitas spesifik β- glucoronidase yang paling tinggi dibandingkan kelompok tikus yang lain, yakni 5,8±0,7 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N), diikuti karagenan (1,8±0,6 mol phenolphtalein/ (menit*mg N)), selulosa (1,2±0,4 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)), guar gum (1,0±0,3 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)), dan pektin (0,8±0,1 µmol phenolphtalein/ (menit*mg N)). Hal yang sedikit berbeda terlihat pada hasil pengukuran aktivitas total. Kelompok tikus bebas serat masih memiliki aktivitas total yang paling tinggi, yakni 894±207 µmol phenolphtalein/ (menit*hari), kemudian diikuti selulosa (303±110 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), karagenan (243±108 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), guar gum (208±55 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)), dan pektin (112±32 µmol phenolphtalein/ (menit*hari)).

Pada penelitian ini, penurunan aktivitas β-glucoronidase pada kelompok sorgum diduga hanya terjadi karena adanya peningkatan jumlah bakteria asam laktat yang hanya sedikit sekali memproduksi enzim tersebut. Hal ini dikarenakan enzim β-glucoronidase memiliki pH optimum sekitar 6,5 – 7,0 (Gadelle et al. 1984). Hasil pengukuran pH feses menunjukkan bahwa semua kelompok mencit memiliki pH feses di atas 7,0. Hasil tersebut menandakan

bahwa semua kelompok mencit memiliki pH lingkungan kolon yang bukan merupakan pH optimum bagi β-glucoronidase ini. Oleh karena itu, penurunan aktivitas enzim ini diduga terjadi karena penurunan jumlah enzim yang diproduksi akibat meningkatnya proporsi bakteria asam laktat.

4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4) dan En-