• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Isi Sekum Mencit Balb/c

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench)

4.3 Nilai pH Feses dan Profil Asam Lemak Rantai Pendek (ALRP) Isi Sekum Mencit Balb/c

Serat pangan merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap pada usus halus sehingga menjadi substrat yang akan difermentasi oleh mikroflora ketika mencapai kolon. Produk fermentasi serat pangan

berupa asam-asam lemak rantai pendek (ALRP, yaitu asam asetat, propionat, dan butirat) serta gas-gas (CO2, CH4, dan H2) (Gambar 16). Produk akhir

tersebut selanjutnya akan dieksresikan pada kotoran atau diserap dari kolon (Henningsson et al. 2001).

Gambar 16 Fermentasi serat pangan pada kolon manusia (Henningsson et al. 2001)

Penelitian pada tahun 1960-an menyatakan bahwa ALRP sangat sedikit sekali diserap, serta menyebabkan diare melalui retensi cairan osmotik pada feses. Namun, belakangan diketahui bahwa sekitar 90% ALRP ternyata diserap secara cepat oleh kolon serta menstimulasi penyerapan air dan sodium. Fermentasi karbohidrat yang tidak tercerna mampu menurunkan beban osmotik serta masing-masing komponen ALRP ini memiliki peran spesifik, termasuk manfaat kesehatan (Ruppin et al. 1980).

ALRP yang diserap dari kolon dapat digunakan sebagai sumber energi bagi inangnya, namun hanya sedikit berkontribusi sedikit sekali (5-10%) dari total energi pada manusia sehat. Mukosa kolon mendapatkan energi dari ALRP dengan cara mengoksidasinya dengan urutan butirat > propionat > asetat. ALRP yang diserap kolon kemudian memasuki portal darah hati (hepatic portal blood) (Wolever 1991).

Pembentukan ALRP dari hasil fermentasi dilaporkan memiliki efek terhadap metabolisme karbohidrat dan kolesterol. Asam asetat diubah

Serat Pangan

Metabolisme mikrobial

Hidrogen Asetat

Karbon dioksida Propionat Biomassa Butirat

Flatus Feses Feses Darah

menjadi Asetil-KoA oleh hati, yang merupakan prekursor untuk lipogenesis, serta dapat menstimulasi glukoneogenesis (Remesy et al. 1992). Asam propionat juga dimetabolisme di hati dan diketahui mampu menghambat glukoneogenesis, meningkatkan glikolisis, serta menurunkan konsentrasi kolesterol plasma melalui penghambatan kolesterogenesis hati (Thorburn et al. 1993).

Tabel 12 Hasil pengukuran pH feses kelompok mencit

Kelompok Nilai pH feses

K- 7,92 ± 0,23b

K+ 7,97 ± 0,16b

S50 7,70± 0,34ab

S100 7,46 ± 0,35a

Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05)

Selain berperan sebagai sumber nutrisi bagi sel mukosa, ALRP juga memiliki efek spesifik yang lain, misalnya meningkatkan aliran darah pada mukosa (Mortensen et al. 1990). Penuruan pH lumen akibat produksi ALRP dapat menstimulasi penyerapan mineral melalui peningkatan kelarutan mineral (Coudray et al. 1997). Selain itu, penurunan pH lumen juga mampu menurunkan pembentukan asam empedu sekunder (Perrin et al. 2001). ALRP juga akan menurunkan pH feses yang akan mencegah degradasi konstituen pangan normal menjadi karsinogen potensial oleh mikroba (Slavin 2007).

Hasil pengukuran pH menunjukkan penggunaan tepung sorgum sebagai 100% sumber karbohidrat (kelompok S100) mampu menurunkan pH feses yang signifikan dibandingkan kelompok yang lainnya (Tabel 12, Lampiran 7). Hal ini menandakan kelompok S100 memiliki lebih banyak komponen serat pada sorgum yang lebih mudah difermentasi oleh bakteria kolon, sehingga akan lebih mampu mengasamkan feses. Sumber serat pada kelompok kontrol K- dan K+ adalah CMC (Carboxy Methyl Cellulose), sedangkan ransum kelompok S50 dan S100 mengandung serat CMC dan serat yang berasal dari sorgum.

Kemampuan terfermentasi dari polisakarida non pati (non stacrh polysaccharide, NSP) sangat tergantung dari sifat fisikokimianya. Serat

pangan larut, seperti pektin dan β-glukan, dapat lebih mudah difermentasi dibandingkan serat pangan tidak larut, seperti selulosa (Nyman dan Ang 1982). Sumber serat pada kelompok kontrol merupakan CMC, yakni selulosa yang telah dimodifikasi dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat pada beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang membentuk tulang punggung selulosa. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya, CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air. CMC sebagai turunan selulosa memiliki kemampuan terfermentasi oleh bakteria kolon yang rendah (Metzler-Zebeli et al. 2010).

Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa kelompok S100 memiliki pH feses yang lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian Smits et al. (1997) yang menyatakan bahwa pH isi kolon tidak dipengaruhi oleh adanya pemberian CMC pada ransum ayam broiler.

Pada manusia dan babi, fermentasi serat pangan terjadi pada kolon bagian proksimal. Sebaliknya pada rodensia, tempat utama terjadinya fermentasi adalah sekum. Oleh karena itu, pengukuran ALRP pada penelitian ini menggunakan sampel isi sekum (Martin et al. 1998). Adapun total ALRP yang dinyatakan pada hasil penelitian ini merupakan penjumlahan dari komponen ALRP yang mampu terdeteksi oleh Gas Chromatography, yakni asam asetat, propionat, butirat, isobutirat, dan isovalerat.

Tabel 13 Hasil pengukuran asam lemak rantai pendek (ALRP) isi sekum kelompok mencit

Jenis ALRP Jumlah ALRP (µmol/g)

K- K+ S50 S100

Asam asetat 9,135 6,145 9,919 11,575

Asam propionat 2,082 0,760 2,029 3,589

Asam butirat 1,892 0,313 2,608 2,754

Total ALRP 13,641 7,423 14,996 18,324

Jumlah ALRP dari hasil fermentasi serat pangan pada sekum mencit dapat dilihat pada Tabel 13. Adapun hasil pengukuran ALRP merupakan hasil analisis dari sampel gabungan isi sekum dari semua mencit pada setiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya β-glukan dari

sorgum menyebabkan kelompok perlakuan S50 dan S100 memiliki jumlah ALRP yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ yang sumber seratnya berupa CMC. Hasil pengukuran total ALRP pada kelompok S100 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok S50 menunjukkan bahwa semakin banyak tepung sorgum yang ditambahkan menyebabkan β-glukan yang tersedia untuk difermentasi lebih banyak, sehingga jumlah ALRP yang dihasilkan juga semakin tinggi.

Karena kemampuan terfermentasinya yang rendah, sumber serat berupa CMC pada kelompok kontrol yang menyebabkan produksi ALRP yang lebih rendah dibandingkan kelompok sorgum. Hasil penelitian Smits et al. (1997) menunjukkan bahwa pemberian CMC pada ayam broiler menghasilkan jumlah ALRP yang lebih rendah dibandingkan pemberian pektin. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Metzler-Zebeli et al. (2010) yakni pemberian β- glukan pada ransum babi terlihat lebih meningkatkan jumlah ALRP pada feses bila dibandingkan dengan pemberian CMC.

Meskipun kelompok K- dan K+ menggunakan sumber serat pangan yang sama, yakni CMC, namun terlihat jumlah ALRP pada kelompok K+ lebih rendah dibandingkan kelompok K-. Hal ini dikarenakan adanya kondisi distress akibat induksi AOM-DSS yang menyebabkan menurunnya konsumsi ransum pada kelompok K+ (Tabel 9). Menurunnya konsumsi ransum pada kelompok ini menyebabkan jumlah serat pangan yang tersedia untuk difermentasi juga lebih sedikit. Akibatnya jumlah ALRP yang dihasilkan menjadi sangat rendah.

Selain itu, komposisi asam asetat, propionat, dan butirat yang dihasilkan selama fermentasi juga tergantung jenis serat pangan. Meskipun proporsi relatif dari ALRP dapat berbeda-beda, namun asam asetat umumnya merupakan produk utama. Pektin merupakan sumber yang baik untuk asam asetat. Arabinogalaktan dan guar gum merupakan sumber yang kurang baik bagi asam asetat, namun mampu menghasilkan asam propionat dalam jumlah tinggi. Pati, inulin, raffinosa dan β-glukan diketahui mampu menghasilkan asam butirat dalam jumlah tinggi selama fermentasi (Casterline et al. 1997).

Adapun fermentasi CMC cenderung lebih menghasilkan asam asetat dan propionat Metzler-Zebeli et al. (2010).

Kelompok S50 dan S100 memiliki jumlah asam butirat yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K- dan K+ (Tabel 13). Jumlah asam butirat juga meningkat seiring semakin banyaknya tepung sorgum yang ditambahkan pada ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Casterline et al. (1997) yang menyatakan bahwa fermentasi β-glukan akan menghasilkan jumlah asam butirat yang tinggi. Pemberian β-glukan yang berasal dari oat dan barley pada tikus percobaan menunjukkan distribusi molar asam butirat sebanyak 15% dan sebanyak 26% pada penelitian in vitro (Henningsson et al. 2001).

Selain jenis serat, waktu juga berperan terhadap adaptasi mikroflora yang selanjutnya akan menentukan pola ALRP yang akan terbentuk selama fermentasi. Pemberian pati kentang mentah pada tikus selama 4 minggu menunjukkan peningkatan proporsi asam butirat yang signifikan pada sekum. Namun, penambahan lama waktu adaptasi menjadi 6 minggu ternyata tidak memberikan efek terhadap proporsi asam butirat (Henningson et al. 2001).

Asam butirat merupakan substrat energi utama bagi sel-sel kolon dan dimetabolisme menjadi glukosa dan glutamin, yang memenuhi 70% kebutuhan mukosa kolon. Asam butirat dilaporkan berperan penting dalam pencegahan dan perawatan dari penyakit mukosa kolon, misalnya peradangan kolon bagian distal serta kanker kolon (Scheppach et al. 1995). Hal ini didukung oleh penelitian mengenai pemberian diet kaya β-glukan dari oat mampu menurunkan sakit abdominal dan refluks gastroesofageal pada pasien ulcerative colitis (radang usus). Hal ini dikarenakan diet kaya β-glukan dari dedak oat diketahui dapat meningkatkan konsentrasi asam butirat pada feses (Henningsson et al. 2001).

Meskipun asam butirat berperan sebagai sumber energi utama untuk epitel kolon normal dan menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon, namun pertumbuhan sel tumor pada kolon justru terhambat. Asam butirat juga mampu meningkatkan diferensiasi sel dan menstimulasi apoptosis pada sel tumor. Pada hewan model, konsentrasi asam butirat yang tinggi pada kolon yang dihasilkan dari fermentasi dedak gandum, pati resisten, dan

fruktooligosakarida diketahui mampu menjadi agen protektif terhadap karsinogenesis kolon akibat induksi karsinogen (Perrin et al. 2001b).

Karena asam butirat diketahui bermanfaat bagi kesehatan kolon, maka terdapat beberapa penelitian mengenai usaha pemberian butirat dalam bentuk tunggal secara oral kepada hewan percobaan. Deschner et al. (1990) mencoba memberikan 5% tributirin dalam diet mencit yang diinduksi azoksimetana (AOM), namun tidak terlihat adanya efek protektif terhadap pembentukan tumor kolon. Caderni et al. (1998) memberikan 1,5% (b/b) sodium butirat (150 mg butirat per hari) yang akan terlepas secara lambat hingga mencapai kolon tikus F344 yang diinduksi AOM, namun tidak terlihat manfaatnya terhadap pencegahan pembentukan kripta aberan (prekursor kanker kolon), meskipun jumlah butirat yang tersedia pada kolon lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal yang sama juga terlihat bahwa pemberian pellet 1,5% (b/b) sodium butirat tidak menunjukkan adanya efek butirat terhadap apoptosis sel- sel tumor (Caderni et al. 2001). Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami perbedaan peranan butirat yang diberikan dalam bentuk tunggal maupun yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan dalam perkembangan karsinogenesis kolon.