II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) 2.1 Sorgum (Sorghum bicolor L Moench)
4.5 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel T Helper (CD4) dan En zim Kaspase-3 pada Kolon Mencit Balb/c dengan Pewarnaan Imuno-
4.5.1 Evaluasi Keberadaan Penanda Permukaan Sel Th (CD4)
Limfosit pada mukosa usus pertama kali berinteraksi dengan antigen dalam jaringan limfoid yang terorganisasi (Peyer’s patch dan folikel limfoid pada kolon), kemudian berdiferensiasi dan matang di pusat germinal pada folikel limfoid. Setelah itu, limfosit akan dengan cepat meninggalkan mukosa dan bermigrasi melalui mesenteric lymphoid nodes (MLN) dan duktus toraks (thoracic duct) untuk mencapai sirkulasi sistemik (Stephen dan Martin 1994). Serat pangan dapat memodifikasi proporsi sel limfosit T CD4 dan CD8 pada MLN. Sel Tc CD8 meregulasi perkembangan sel Th CD4 dengan memproduksi IFN- atau sitokin lainnya yang menekan perkembangan sel Th2 dan mendukung perkembangan sel Th2. Sel Th1 memproduksi IL-2, IFN- , dan limfotoksin, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4 dan Il-5. Pada tikus yang diberikan ransum mengandung pektin, proporsi CD4 yang tinggi dan proporsi CD8 yang lebih rendah terlihat dari jumlah IFN- yang terbentuk dibandingkan pada tikus yang diberi serat selulosa, chitosan, dan konjak mannan. Hal ini menunjukkan bahwa pektin mampu memediasi terjadinya diferensiasi sel T menjadi sel Th (CD4) (Lim et al. 1997).
Hipotesis mengenai kemampuan serat pangan dalam meningkatkan proliferasi sel limfosit dilaporkan berkaitan dengan produksi asam-asam lemak rantai pendek (ALRP), asetat, propionat, dan butirat, sebagai hasil fermentasi serat pangan (Schley dan Field 2002). Produksi ALRP, terutama butirat, di dalam kolon mampu menurunkan kebutuhan sel-sel epitel akan gluthamine, sehingga glutamin yang ada dapat digunakan oleh sel-sel lainnya,
misalnya sel imun (Jenkins et al. 1999). Produksi ALRP dikatakan mampu meningkatkan level glutamin dalam serum, yang mana glutamin merupakan sumber energi penting untuk sel limfosit (Wu et al. 1991).
Adanya komponen fenolik juga dapat berperan sebagai antioksidan yang mampu melindungi sel limfosit dari stress oksidatif, yang diduga melalui kemampuannya dalam mendonorkan elektron atau mekanisme menangkap (scavanger) radikal bebas menjadi produk non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam (quencher) sehingga tidak memicu terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH*) yang bersifat sangat reaktif merusak sel. Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000) radikal bebas dapat dihasilkan selama proses pembentukan ATP atau transport elektron, namun jumlah radikal yang dihasilkan dapat diseimbangkan oleh jumlah komponen fenolik ata sistem antioksidan yang ada dalam tubuh sehingga tidak terjadi stress oksidatif pada sel limfosit.
LH
+
LOO*ArOH + LOO* LOOH +ArOH* (a)
ArO* + LO* LOO – ArO
ArOH + M AOH – M (b)
Gambar 17 Reaksi scavanger (a) dan reaksi quencher (b) dari komponen fenolik (Hall dan Cuppet 1997)
Mekanisme scavanger senyawa antioksidan fenolik (ArOH) melalui pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO*) sehingga radikal peroksil tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil (ArO*) (reaksi a). Radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkoksil (LO*) membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-ArO) dan mekanisme pengkelat logam (reaksi b) (Hall dan Cuppet 1997). Dugaan mekanisme
komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stress oksidatif dapat dilihat pada Gambar 17.
Selain itu, peningkatan respon proliferasi sel limfosit juga diduga karena komponen fenolik seperti asam ferulat, p-caumarin, dan flavonoid, yang sangat mudah berikatan protein (Rooney 2005). Terikatnya senyawa fenol pada protein reseptor membran limfosit akan mengaktivasi sistem enzim membran yang berperan dalam proliferasi. Pengikatan komponen bioaktif sorgum pada reseptor permukaan sel T mengaktivasi protein G yang selanjutnya mengaktivasi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3), dua molekul yang berperan dalam penandaan membran sel. Inositol trifosfat berdifusi dari membran plasma ke sitosol dan berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik Calcium- sequestering Compartement. Pengikatan tersebut menyebabkan terbukanya pintu saluran Ca2+ dan berakibat pada peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim protein kinase C. Protein kinase C teraktivasi memfosforilasi atau memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na+-H+ dan berakibat pada peningkatan pH. Peningkatan pH tersebut memberi tanda pada sel untuk melakukan proliferasi. Pengikatan ion Ca2+ pada kalmodulin menyebabkan perubahan konformasi protein dan mengaktivasi enzim protein kinase C yang berperan dalam produksi interleukin-2 (IL-2) yang selanjutnya mengaktivasi sel limfosit B dan T untuk berproliferasi (Alberts et al. 1994, Tejasari 2007).
Adapun ekspresi CD4 dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 18. Adanya protein penanda permukaan ini menunjukkan adanya sel limfosit Th pada kolon mencit. Meskipun sel Th tidak bersifat sitotoksik bagi sel kanker, tetapi dapat berperan dalam respon antikanker dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan oleh sel Tc menjadi sel efektor. Sel yang mengandung kanker akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC I yang kemudian membentuk kompleks melalui TCR (T-cell Receptor) dari sel Tc dan mengaktivasi sel Tc untuk menghancurkan
sel kanker tersebut. Namun, sebagian kecil dari sel kanker akan mengekspresikan antigen kanker bersama MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk kompleks dengan limfosit T helper. Hal ini menyebabkan sel Th teraktivasi, terutama subset Th1, untuk mensekresi limfokin IFN- dan TNF-α yang mana keduanya akan merangsang antigen kanker untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I dan sensitivitas sel kanker terhadap lisis oleh sel Tc. Hal ini akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel Tc terhadap sel-sel kanker (Delves dan Roitt 2000a).
Gambar 18 Fotomikrograf kolon mencit dengan histopatologi IHK menggunakan antibodi anti-CD4. K- (Kelompok kontrol nega- tif), K+ (Kelompok tanpa sorgum + AOM-DSS), S50 (Kelom- pok sorgum 50% + AOM-DSS), S100 (Kelompok sorgum 100% + AOM-DSS). = positif CD4 ditandai warna coklat.
Hasil pengujian atau skoring penanda CD4 pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung sorgum sebanyak 50% dan 100%
K- K+
sebagai pengganti sumber karbohidrat maizena tidak mampu meningkatkan ekspresi CD4 pada mencit yang diinduksi kanker kolon. Hal ini ditunjukkan oleh skor penanda CD4 kelompok S50 dan S100 yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K+ (Tabel 15, Lampiran 9).
Tabel 15 Pengujian penanda CD4 pada kolon mencit dengan pewarnaan IHK menggunakan antibodi anti-CD4
Kelompok Skor penanda CD4
K- 1,20± 0,45a
K+ 1,67± 1,63ab
S50 2,33± 1,03ab
S100 2,67± 0,82b
Ket. : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0,05)
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa β-glukan, yang merupakan salah satu komponen serat pada sorgum, diketahui bermanfaat bagi kesehatan karena dapat meningkatkan fungsi imun dan memiliki efek antitumor (Knudsen et al. 1993). Suplementasi β-glukan dari ekstrak Saccharomyces cerivisiae pada babi, menunjukkan bahwa β-glukan mampu berperan sebagai imunomodulator dengan menumbuhkan reaksi imun spesifik dan meningkatkan imunitas nonspesifik serta toleransi terhadap antigen oral. Babi yang disuplementasi 0,02% β-glukan terlihat memiliki jumlah MHC II (Major Histocompatibility Complex), CD4, dan CD8 yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok babi yang diberi antibiotik, antibiotik dan 0,02% β-glukan, serta kelompok tanpa antibiotik atau β-glukan (Hahn et al. 2006).
Penelitian Suzuki et al. (1989) menunjukkan bahwa mencit yang disuplementasi 40 dan 80 mg/kg β-glukan dari filtrat kultur jamur Sclerotina sclerotiorum memiliki respon proliferatif sel-sel limfosit yang lebih tinggi dibandingkan pada mencit yang diberikan ransum standar. Adminitrasi 80 mg/kg β-glukan secara oral juga mampu meningkatkan aktivitas sel natural killer dan aktivitas enzim lisosomal dari makrofag peritoneal.
Puspawati (2009) juga melaporkan bahwa pemberian tepung sorgum yang disosoh selama 20 detik sebanyak 50 dan 100% pada tikus percobaan
mampu meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit sebesar 70 dan 63%. Secara in vitro, ekstrak sorgum menggunakan pelarut etil asetat, etanol, dan heksana juga dilaporkan mampu menstimulasi proliferasi sel-sel limfosit (Salimi 2012).