• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Pada Zaman Klasik

7. Al-Hallaj

Al-Hallaj nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husein ibn Mansur ibn Muhammad al-Baidawi dan lebih dikenal dengan al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H/858 M di Tur, salah satu desa dekat Baida di Persia. Neneknya, Muhammad adalah seorang penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum ia masuk Islam.86

Al-Hallaj sejak kecil sudah banyak bergaul dengan orang-orang sufi terkenal. Pada waktu berumur 16 tahun, berguru kepada Sahl bin Abdullah at-Tusturi, salah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ke III Hijriah.

85Nicholson, op.cit.,hlm. 91.

Namun setelah dua tahun belajar kepadanya, dengan latihan-latihan berat ia hijrah ke Baghdad. Ia pernah hidup dalam pertapaan dari tahun 873 sampai dengan 879 M bersama dengan guru sufi-nya at-Tusturi, Amr al-Makki dan Junaid al-Bagdadi.87

Setelah itu al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya di bidang tasawuf, sehingga tidak ada seorang syekh ternama yang tidak dimintai nasehat dan bimbingannya. Dalam perjalanan dan pertemuannya dengan ahli-ahli sufi itu, timbullah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan para ulama karena konsep tasawufnya berbeda dengan yang lain. Perbedaan paham itu, menyebabkan Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa bahwa ajaran tasawuf al-Hallaj tentang al-hulul adalah sesat, atas dasar itu ia dipenjarakan. Namun setelah satu tahun dalam penjara ia dapat melarikan diri dan lari ke Sus wilayah Awas. Di sinilah ia bersembunyi selama empat tahun lamanya. Namun, pada tahun 301 H/903 M ia dapat ditangkap kembali dan dimasukkan ke dalam penjara delapan tahun lamanya. Pada tahun 309 H/ 921 M diadakanlah persidangan ulama di wilayah kepemimpinan al-Muktadirbilah, khalifah Bani Abbasiyah. Pada tanggal 8 Dzulqa’idah 309 H, ia dijatuhi vonis hukuman mati (gantung) dengan tuduhan menyebarkan paham al-hulul.88

Dalam menjalani vonis hukuman mati, pertama ia dipukul dan dicambuk dengan cemeti, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuhnya itu di gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan di Sungai Tigris.89

Dalam riwayat lain dikatakan, ketika ia tengah digantung ia dipukuli seribu kali tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipukul kepalanya dipancung,

87Ibid., hlm. 3

88Harun Nasution, Falsafat Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 87. Ada beberapa tuduhan yang menyebabkan al-Hallaj harus dihukum gantung; (a) Ia mempunyai hubungan dengan gerakan qaramitah, satu sekte Syi’ah Ismailiyah yang mempunyai paham komunis yang pernah menyerang Makkan tahun 930 M, merampas hajar aswad yang dikembalikan kaum Fatimi tahun 951 M, dan menetang pemerintahan Bani Abbasiyah mulai dari abad X sampai abad XI M; (b) Keyakinan para pengikutnya bahwa al-Hallaj mempunyai sifat ketuhanan. Pengikutnya di kalangan akyat biasa sangat besar; (c) ucapannya “ana al-Haqq” (akullah yang Maha Benar); dan (d) ibadah haji tidak wajib.

namun sebelum dipancung ia sembahyang dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, disiram dengan minyak dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai Tigris, sedangkan kepalanya di bawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat Islam dan sejarahnya.90

Kendatipun ia mati di tiang gantungan, namun selama hidupnya ia banyak mengarang buku-buku yang diperkirakan ada sekitar 48 jumlahnya, tetapi kebanyakan sudah hilang. Diantara buku karangannya yang terpenting adalah :

1. al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma’ al-Kulliyah. 2. Kitab al-Usul wa al-Furu’.

3. Kitab Sirr al-‘Alam wa al-Mab’us. 4. Kitab al-Adl wa at-Tauhid.

5. Kitab ‘Ilmu Baqa’ wa al-Fana.

6. Kitab Mad an-Nabi wa Masal al A’la. 7. Kitab Huwa-huwa.

8. at-Tawasin.

Kitabnya yang bernama at-Tawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit untuk dipahami, sehingga kata at-Taftazani sebagaimana dikutip oleh Asmaran AS mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksud penulisnya. Selain itu, kitab-kitab tersebut merupakan rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak mudah dimengerti.91

Riwayat hidup al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis seperti dikemukakan di atas, telah banyak mendapat perhatian ulama dan penganut ajaran tasawuf. Karena ia seorang yang alim, hafal al-Quran, menguasai ilmu fikih dan hadits dan tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf.  Ajaran Tasawuf al-Hallaj tentang al-Hulul.

Paham al-hulul dapat dipandang sebagai lanjutan atau bentuk lain dari paham al-ittihad yang diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Bustami.92

90Syeikh Ibrahim Azur Ilahi, Mengungkat Misteri Sufi Besar Mansur al-Hallaj “Anal Haqq”, terjemah oleh Hr. Bandaharo dan Joebaar Ajoeb, Jakarta: Rajawali Press, 1993, hlm. V.

91Asmaran AS., op.cit. hlm. 308; lihat juga, M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan

Tetapi diantara kedua paham itu terdapat perbedaan, dalam ittihad, diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam al-hulul, diri al-Hallaj tidak hancur. Dalam paham ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam al-hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh. Herbert W. Mason telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal al-hulul, yakni penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Namun dalam kesimpulannya al-hululnya al-Halaj bersifat majasi tidak dalam pengertian yang sesungguhnya.93 Kemudian menurut Abu Nasr at-Tusi, al-hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.94 Paham bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ini didasarkan kepada suatu pemikiran filosofis yang dapat dilihat sebagai berikut;

Menurut filsafat al-Halaj, bahwa Allah Swt mempunyai dua natur atau sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, selain mempunyai sifat kemanusiaan (nasut) juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya.95 Bagaimana kita dapat memahami jalan pikiran al-Hallaj seperti itu yang menyatakan Tuhan yang Maha Suci itu mempunyai sifat dasar kemanusiaan? Tentang hal ini Annemarie Schimmel menjelaskan bahwa menurut al-Hallaj kita harus ingat bahwa dalam sifat dasar Tuhan terkandung sifat dasar manusia. Sifat dasar manusia ini tercermin dalam penciptaan Adam dan Adam pun menjadi manusia, dari keterangan ini dapat diketahui dasar pemikiran al-Hallaj berasal dari teori penciptaan Adam.96

Teori penciptaan Adam ini dapat dilihat dalam kerangka pemikiran berikut ini: Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya dapat melihat diri-Nya sendiri. Karena pada saat itu yang ada hanyalah Allah Swt semata, sedangkan makhluk yang selain Allah Swt belum ada diciptakan. Maka

92Reynold Alleyne Nicholson, The Idea of Persoality in Sufism, New Delhi: Idarah al-Adabiyah, 1976, hlm. 28.

93Herbert W, Mason, op.cit. hlm. 5.

94Abd. al-Qadir Mahmud, al-Falsafah as-Sufiyat fi al-Islam, Dar al-Fikr al-‘Arabi, al-Qahirah. 1966, hlm. 336. dalam teks Arabnya; ﺔﻳﺮﺸﺒﻟا ﱏﺎﻌﻣ ﺎﻬﻨﻋ لازاو ﺔﻴﺑﻮﺑرا ﱏﺎﻌﻤﺑ ﺎﻬﻴﻓ ﻞﺟ ﺎﻣﲝﺴﺟا . ﻄﺻا ﷲا نا

95Ibid.

96Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, State University of New York,

Al-Bany, 1986, hlm. 73.; lihat juga Annemarie Schimmel, Islam an-Introduction, State

dalam kesendirian itu, Tuhan berdialog dengan dirinya sendiri, dialog yang didalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf, yang dilihat Allah Swt hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya. Allah Swt melihat kepada Dzat-Nya dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan, cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Tuhan pun mengeluarkan dari “yang tiada” (ex nihilo) bentuk (copy) dari dirinya yang mempunyai segala sifat dalam nama-Nya. Bentuk (copy) itulah adalah Adam. Setelah Tuhan menjadikan Adam dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta kepada Adam. Pada diri Adam lah Allah Swt muncul dalam bentuknya.97

Teori penciptaan Adam ini lebih jelas dapat dilihat dalam ungkapan sya’irnya sebagai berikut:

Artinya: Maha Suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia

cahaya ke-Tuhanan yang gemilang. Kemanusiaan bagi makhluknya secara nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.98

Sebaliknya manusia juga mempunyai sifat ke-Tuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilihat dari tafsiran al-Hallaj tentang kejadian Adam. Lihat firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah [2]: 34;

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat;

sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”99

Menurut al-Hallaj, Allah Swt memberikan perintah kepada malaikat

َنﺎَﺤْﺒُﺳ

ْﻦَﻣ

ﺎَﻧَﺮَﻬْﻇَأ

ُﻪُﺗﺆُﺳ

َﻻ ﺎَﻨَﺳَّﺮِﺳ

ِﻪِﺗﻮُﻫ

ِﺐِﻗﺎَﺜﻟا

ا َﺪَﺑ َّﻢُﺛ

ِﻪِﻘْﻠَﺨﻟِ

اًﺮِﻫﺎَﻇ

ِﰱ

ِةَرْﻮُﺻ

ﻵا

ِبِرﲝَﺸﻟاَو ِﻞِﮐ

.

øŒÎ)uρ $oΨù=è% Ïπs3Íׯ≈n=uΚù=Ï9 (#ρ߉àfó™$# tΠyŠKψ (#ÿρ߉yf|¡sù HωÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4’n1r& uy9õ3tFó™$#uρ tβ%x.uρ z⎯ÏΒ š⎥⎪ÍÏ≈s3ø9$# ∩⊂⊆∪

97Harun Nasution, op.cit,. hlm. 88.

98Muhammad Jalal Syaraf, al-Hallaj, Dar al-Matba’ah al-Jami’ah, al-Iskandariah,

1974, hlm. 54.

99Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera,

untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah Swt menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah Swt menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah Swt menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah bentuk (copy) dari diri Tuhan.

Paham ini berawal dari sebuah hadits yang berpengaruh besar bagi kaum sufi, yaitu berbunyi; “Sesungguhnya Allah Swt menciptakan Adam

sesuai dengan bentuk-Nya”. Berdasarkan uraian tersebut dapatlah dikatakan

bahwa dari penciptaan Adam ini dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa dan mungkin terjadi dalam bentuk al-hulul. Pernyataan-pernyataan seperti inilah menurut Muhammad Jalal Syaraf yang membuat marah para ulama tradisional pada waktu itu, sulit untuk diterima akal dan mengkafirkan ajaran tasawuf al-Hallaj.100 Sebenarnya prinsip mengkafirkan berasal dari ketidakmampuan para ulama dan penguasa dalam menterjemahkan bahasa-bahasa sufi yang sulit untuk dimengerti, selain itu ada alasan politik untuk menghancurkan al-Hallaj karena pengikutnya cukup banyak. Jadi bukan semata-mata karena ucapan “ana al-haqq” atau ajaran tasawufnya.

Selanjutnya bagaimana caranya agar sufi itu dapat bersatu dengan Tuhan? Manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan jalan fana. Jika sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, maka disitulah baru Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia. Tentang bersatunya Tuhan dan manusia, al-Hallaj melukiskannya seperti pada sya’ir berikut ini;

Artinya: Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan

dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku.101

ْﺖَﺟِﺰُﻣ

َﻚُﺣْوُر

ِﰱ

ِ. ْوُر

ﺎَﻤَﻛ

ُجَﺰْﻤُﺗ

َةَﺮْﻤَﺨﻟْا

ِءﺎَﻤْﻟﺎِﺑ

ِلَﻻﺰُﻟا

ِﺎَﻓ

اَذ

َﻚ َّﺴَﻣْ

ٌﺊْﻴَﺷ

ىِِﻦ َﺴَﻣ

لِﺎَﺣ ِّﻞُﮐ ِﰱ َﺎﻧَا َﺖْﻧَا اَذِﺎَﻓ

.

100Muhammad Jalal Syaraf, op.cit,. hlm. 50-51.

Pada sya’ir lain al-Hallaj mengatakan;

Artinya: Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku.

Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.102

Berdasarkan ungkapan-ungkapan atau syair di atas, tampak jelas bahwa Hallaj membawa hulul. Adapun yang dimaksud dengan

al-hulul disini adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan,

atau dengan kata lain, sesuai dengan terminologi yang dipergunakanya yakni lahut atau sifat ketuhanan dan nasut atau sifat kemanusiaan. Selain itu dalam al-hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Tuhan, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah Swt. Manusia menurutnya sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya.

Dengan cara itulah al-Hallaj, seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi, ketika al-Hallaj berkata “ana al-haqq” (Akulah Yang Maha Besar) bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Halaj sebenarnya tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Hal ini pernah ia tegaskan dalam sya’irnya, yaitu:

Artinya: Akulah adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang

maha besar itu aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami. Aku adalah mata Allah Swt dalam segala hal, maka nyata di alam ini kecuali mata kami?103

Pada bagian lain al-Hallaj mengemukakan, bahwa mereka (para ulama dan penguasa) menganggap saya berhulul dan berittihad akan tetapi hati

102Ibid., hlm. 70. 103Ibid., hlm. 73.

ُﻪَﺗﺮ َﺼْﺑَا ﲎَِﺗﺮ َﺼْﺑَااَذِﺎَﻓ ﺎَﻧ َﺪَﺑ ﺎَﻨﻠَﻠَﺣ ِنﺎَﺣْوُر ُﻦْﺤَﻧ ﺎَﻧاَ ىَﻮْﻫَا ْﻦَﻣَو ىَﻮْﻫَا ْﻦَﻣ ﺎَﻧا

.ﺎَﻨَﺗﺮ َﺼْﺑَا ُﻪَﺗﺮ َﺼْﺑَااَذِاَو

ﰱِ ﺮﻬَﻇ ْﻞَﻬَﻓ ءَﺎﻴْﺷَﻻا ِﻟﻠﻪا ُﲔَْﻋ َ ﺎﻧَا َ ﺎﻨَ.ْﻴَﺑ ْقِّﺮَﻔَﻓ ٌّﻖَﺣ َ ﺎﻧَا ْﻞَﺑ َ ﺎَﻧَأ ُّﻖَﺤﻟْاﺎَﻣ ِّﻖَﺤْﻟا ُّﺮِﺳﺎَﻧا

.ﺎَﻨ ﻋ ﻻاْ ِنﻮُﻜﻟا

saya tetap bertauhid kepada Allah Swt.104 Apa yang ditegaskan al-Hallaj ini menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang yang murtad keluar dari agama Islam, tetapi tetap beraqidah Islam seperti kaum muslimin secara keseluruhan.

Oleh karena itulah ucapan al-Hallaj, “ana al-haqq” harus dipahami sebagai kata-kata yang timbul dari diri seorang sufi yang dalam keadaan fana,105 lebur, dan dalam ketidaksadarannya karena ia sedang mabuk cinta kepada Allah Swt. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat atau menyatu dengan Allah Swt dan cinta itu pulalah yang membuatnya tidak mau terpisah dengan yang dicintainya, artinya Allah Swt baginya merupakan Dzat yang dicintai.

Dengan memahami ungkapan-ungkapan al-Hallaj itu, berarti menolak dirinya sebagai Tuhan. Namun suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri ia telah berkata “ana al-haqq” -ana (aku) pada dasarnya bukanlah dirinya. Hanya saja perlu dimengerti bahwa perkataan itu tidaklah diucapkan dalam keadaan sadar. Sadar disini barangkali tidak seperti yang kita pahami selama ini tetapi sadar dalam pemahaman kaum sufi, khususnya al-Hallaj. Ucapan-ucapan itulah yang telah membuat golongan ulama tradisional menuduh kaum sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan lebih dari itu menganggap bahwa tasawuf bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini kemungkinan besar disebabkan terbatasnya pengetahuan mereka tentang ajaran-ajaran sufi serta mereka sangat terikat dengan formalitas ibadah dan belum mampu menangkap hakikat atau tujuan ibadah yang sebenarnya sebagaimana yang terdapat di kalangan kaum sufi.