• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Pada Zaman Klasik

1. Hasan al-Basri

Hasan al-Basri, nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa’id. Tempat lahirnya adalah di Madinah, pata tahun 21 Hijriah atau 642 Masehi, dan dia meninggal di Basrah pada tahun 110 Hijriah atau 728 Masehi. Dia adalah putra Zaid bin Sabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris nabi Muhammad Saw. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi, termasuk tujuh puluh diantara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badar.1

1Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002,

Hasan al-Basri, hidup di lingkungan orang-orang saleh yang mendalam agamanya. Ibunya bernama Ummu Salamah, seorang hamba sahaya, istri Nabi. Ia termasuk perawi hadits, yang menerima hadits dari sejumlah sahabat; dan diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengagumi akan kehebatan ilmunya. Dalam sebuah riwayat dikatakan, tatkala Ali bin Abi Thalib masuk ke dalam masjid Basrah didapatinya dalam masjid itu seorang anak muda sedang bercerita di hadapan umum. Ali mendekatinya dan bekata; “Hai budak! Aku hendak bertanya kepadamu mengenai dua perkara, jika kedua perkara ini dapat engkau jawab, boleh engkau meneruskan berbicara di hadapan manusia.” Anak muda itu mendatangi Ali dengan tawadhu’, dan berkata; “Tanyakanlah, ya amir al-mu’minin, apa yang dua perkara itu?” Maka berkatalah Ali r.a.; “Ceritakan kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusakkannya?” Hasan al-Basri menjawab: “Yang menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang merusakkannya adalah tama’.” Ali tampak sangat gembira dan berkata kepada Hasan al-Basri; “Benar engkau dan teruskanlah bicaramu, orang yang semacam engkau ini layak berbicara di hadapan orang banyak.”2 Demikianlah, Hasan al-Basri, banyak pengakuan yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Hasan al-Basri dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Qatadah: “Bergurulah kepada Syeikh ini! Saya sudah menyaksikan sendiri, tidaklah ada orang tabi’in yang menyerupai sahabat Nabi, kecuali beliau ini.”3 Kemasyhuran Hasan al-Basri dalam hidup kerohaniaan telah menjadi perbincangan dalam kitab-kitab tasawuf, seperti Qut al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki,

Tabaqat al-Kubra karya asy-Sya’rani, Hilya al-Auliya karya Abu Nu’aim

dan lain-lainnya.

Hasan al-Basri adalah seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabi’in. Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan Sunnah Nabi; bahkan beliaulah yang mula-mula mem-perbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara menyucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.

2Ibid, lihat juga; Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Semarang:

Ramadhani, 1984, hlm. 245-246.

3Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniaannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,

Dasar pendirian Hasan al-Basri adalah hidup zuhd terhadap kehidupan duniawi, yang tahu terhadap dosanya dan yang selalu beribadah kepada Allah. Tentang kehidupan zuhd, beliau berkata: “Dunia adalah tempat kerja bagi orang yang disertai perasaan tidak senang dan tidak butuh kepadanya; dan dunia merasa bahagia bersamanya atau dalam menyertainya. Barangsiapa menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan pada hal-hal yang tidak tertanggungkan oleh kesabarannya.”4

Dalam suratnya yang ditujukan kepada seorang temannya yang mulia, Hasan al-Basri berpesan:

“Waspadalah terhadap dunia ini. Ia seperti ular, lembut sentuhannya tapi mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya, sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya. Bukankah Anda lihat kefanaannya dan tahu benar bahwa Anda akan dipisahkan darinya? Tabahlah dalam menghadapi kekerasannya, maka akan lapanglah jalan Anda. Kian ia memesonamu, kian waspadalah Anda. Karena manusia di dunia ini, begitu terpesona dan sujud kepadanya, serta-merta dunia akan menghempaskannya. Ingat, waspadalah terhadap dunia ini, pesonanya pendusta dan disitulah Anda terancam bahaya yang berupa kesenangan semu, bencana mendadak, duka-cita atau nasib malang. Pesona kehidupan ini tidak berdampak bagi yang bijak, tapi berbahaya bagi yang senang; karena itu waspadalah terhadap bencana dan yakinlah akan nasib akhirnya.”5

Demikianlah sebagian dari isi surat tersebut, yang menggambarkan sikap beliau terhadap dunia, sikap zuhd yang mengisi seluruh hidup dan kehidupannya.

Al-Taftazani mengatakan, konsep zuhd Hasan al-Basri berdasarkan rasa takut yang mendalam kepada Allah Swt. Mengenai hal ini, Al-Sya’rani dalam kitabnya Al-Tabaqat berkata: “Dia penuh diliputi rasa takut sehingga neraka hanyalah seakan diciptakan untuk dirinya seorang.”. Sedang Ibn Abi al-Hadid dalam Nahj al-Balagah menulis sebagai berikut: “Jika seseorang menemui Hasan al-Basri, dia pasti akan mengira Hasan sedang tertimpa suatu musibah. Hal ini karena rasa sedih dan rasa takutnya.” Kemudian, ucapan-ucapan Hasan al-Basri yang lain, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Hamka, adalah sebagai berikut:

4Ibid.

5 A.J. Arberry, Sufism, an Account of the Mystics of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979, hlm. 33-34.

- “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram, lebih baik daripada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.”

- “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana’ walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.” - “Dunia ini adalah seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk.” - “Orang yang beriman berduka-cita pagi-pagi dan berduka-cita di waktu sore. Karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasan yang akan ditimpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang sedang mengancam.”

- “Patutlah orang insyaf bahwa mati sedang mengancamnya dan kiamat menagih janjinya.”

- “Banyak berduka-cita di dunia memperteguh semangat beramal saleh.”6 Dalam hubungan ini Dr. Muhammad Mustafa Helmi, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Hamka, mengatakan bahwa zuhd beliau itu, yang didasarkan pada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Tetapi setelah ditelaah lebih dalam, kata Hamka, ternyata bukanlah takut akan neraka itu yang menjadi sebab. Yang menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekurangan dan kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhd Hasan al-Basri bukanlah takut akan masuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan. Dalam hal seperti ini, orang kadang-kadang bersikap, biarlah masuk neraka, daripada kena murka.7