• Tidak ada hasil yang ditemukan

al-Hubb/al-Mahabbah (Love)

C. Pengalaman Kejiwaan dalam Tasawuf (al-Hal/Ahwal)

2. al-Hubb/al-Mahabbah (Love)

Al-hubb atau al-mahabbah dalam bahasa Indonesia diartikan dengan

cinta. Harun Nasution menjelaskan arti al-hubb atau al-mahabbah kepada tiga hal, yaitu :

a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.

b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.64

63Kalabazi, op.cit., hlm. 128.

64Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 70.

Bila ditelusuri dalam sejarah, dapat dilihat bahwa hubb atau

al-mahabbah merupakan satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati,

maka al-hubb atau al-mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi “diri yang dicintai”. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali

al-hubb atau al-mahabbah itu adalah manifestasi dari ma’rifah kepada

Tuhan. Keberadaan di hadhirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.65

Namun demikian, dalam mengartikan hadhirat (kehadiran) Tuhan itu, ternyata terdapat perbedaan konseptual, perbedaan ini bersumber dari ketidaksamaan konsepsi mereka mengenai hakikat Tuhan dan manusia. Sebagian sufi berpendapat bahwa Allah adalah puncak Kecantikan dan Kesempurnaan, sementara yang lain menyatakan sebagai iradah, Nurul

Anwar (cahaya dari segala cahaya) dan juga disebut Ilmu atau Ma’rifah.

Di pihak lain, diyakini bahwa manusia dan alam ini adalah mazhohir atau radiasi dari hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari

Nurul Anwar.66

Menurut as-Sarraj67, bahwa al-hubb atau al-mahabbah itu memiliki tiga tingkatan, yaitu :

 Pertama, cinta orang banyak, yakni mereka yang selalu ingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.  Kedua, cinta para mutahaqqiqin, yakni mereka yang sudah kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain sebagainya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dengan Tuhan, dengan demikian ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta

65M.Mujeeb, The Indian Moslem, Chapter VI-XIV, London, hlm. 114.

66M.M. Syarif, (ed.), A History of Moslem Philosophy, Weisbaden: Otto Harzswitz,

1963, hlm.123.

yang kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

 Ketiga, cinta para shiddiqin dan ‘arifin, yakni mereka yang kenal betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Adapun untuk mencapai hadhirat Tuhan, seorang sufi harus melalui penyucian jiwa atau takhalli dan berlanjut kepada kontemplasi atau tahalli kemudian berakhir pada tingkat illuminatif atau tajalli. Ketiga proses ini harus diisi dengan melalui stasiun-stasiun atau maqamat.68 Keseluruhan

maqamat itu adalah latihan oleh kerohanian melalui serangkaian amal

ibadah yang ketat dan khas sufi. Oleh karena itu tipe tasawuf semacam itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha yang berat itu, seseorang harus dilandasi rasa cinta kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya.69

Ada dasarnya makanya cinta disini mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah, rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagaimana disenandungkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).

“Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu, karena takut neraka-Mu, campakkanlah aku ke sana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar

ْﻮَﻟ – ِ. ﻟا

ُﺖْﻨُﻛ

َك ُﺪُﺒْﻋأَ

ﺎًﻓْﻮَﺧ

ْﻦِﻣ

َكِرَﺎﻧ

ِﲎْﻗِﺮْﺣَﺄَﻓ

اَذِاَو , ْﻢَّﻨَﻬَﺟِرﺎَﻨِﺑ

ُﺖْﻨُﻛ

َك ُﺪُﺒْﻋَا

ﺎًﻌَﻤَﻃ

ِﰱ

َﻚِﺘَّ. َﺟ

ﺎَﻬﻴِ ْﻣِﺮْﺣَﺄَﻓ

ﺎَﻣإَو

ْنِا

ُﺖْﻨُﻛ

ْﻦِﻣ ِﲎْﻣِﺮْﺤَﺗ ﻼَﻓ َﻚِﺘَّ َﺤَﻣ ﻞﺟَا ْﻦِﻣ َكُﺪُﺒْﻋَا

. َﻚَﻬْﺟَو ِةَﺪِﻫﲝَﺸَﻣ

70

68Qamar Kailaniy, op.cit., hlm. 27.

69Ibid., hlm. 29-30.

70Ibid., hlm. 1. Lihat juga, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islam, Kairo: Dar as-Saqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, 1979, hlm. 86; A.J. Arberry, An Account of the Mystics of Islam, London: George Allen & Unwin Ltd, 1979, hlm.64.

Mu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-menyembah-Mu, janganlah tutup wajahmenyembah-Mu dari pandanganku.”

Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai dengan melalui proses perjalanan panjang dan berat (riyadhah dan mujahadah) sehingga pengenalannya kepada Allah menjadi sangat jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali mahabbah itu adalah pintu gerbang mencapai ma’rifah kepada Allah.

Tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan dan menghayati konsep

al-hubb atau mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Tentang paham mahabbah-nya Rabi’ah al-Adawiyah secara rinci sudah dijelaskan dalam

Bagian Kedua buku ini.

Konsep al-hubb atau mahabbah memiliki dasar dalam al-Quran, diantaranya sebagai berikut :

 QS. al-Maidah [5]: 54;

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-diberikan-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

 QS. Ali Imran [3]: 31;

ö≅è%

βÎ)

óΟçFΖä.

tβθ™7Åsè?

©!$#

‘ÏΡθãèÎ7¨?$$sù

ãΝä3ö7Î6ósãƒ

ª!$#

öÏøótƒuρ

ö/ä3s9

ö/ä3t/θçΡèŒ

3

ª!$#uρ

Ö‘θàxî

ÒΟ‹Ïm§‘

∩⊂⊇∪

öΝåκ™:Ïtä† 5Θöθs)Î/ ª!$# ’ÎAù'tƒ t∃öθ|¡sù ⎯ÏμÏΖƒÏŠ ⎯tã öΝä3ΨÏΒ £‰s?ötƒ ⎯tΒ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ Ÿωuρ «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû šχρ߉Îγ≈pgä† t⎦⎪ÍÏ≈s3ø9$# ’n?tã >﨓Ïãr& t⎦⎫ÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã A'©!ÏŒr& ÿ…çμtΡθ™6Ïtä†uρ ∩∈⊆∪ íΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 4 â™!$t±o„ ⎯tΒ ÏμŠÏ?÷σム«!$# ã≅ôÒsù y7Ï9≡sŒ 4 5ΟÍ←Iω sπtΒöθs9 tβθèù$sƒs†

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa bila kita cinta Allah, maka syaratnya adalah dengan mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya, melalui al-Quran dan as-Sunnah. Kita belum atau tidak dikatakan orang mencintai Allah sebelum mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan-Nya. Oleh karenanyalah para sufi berusaha semaksimal mungkin mengikuti semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya, demi cintanya kepada Allah, serta mengharap pula Allah mencintainya.