• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Pada Zaman Klasik

6. Al-Junaid

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihwandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah-belah dan keponakan Surri Saqti serta teman akrab Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297 H/910 M. Dia termasuk seorang tokoh sufi yang luar biasa, teguh dalam menjalankan syari’at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuai mazhab yang dianutnya, mazhab Abu Sauri; serta teman akrab Imam al-Syafi’i.

Dikatakan bahwa diantara para sufi pada masanya, Al-Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, dan mampu membahas secara mendalam, khususnya tentang paham tauhid dan fana’. Karena itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh Al-Ta’ifah); sementara al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah menyebutnya sebagai Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul keluarga al-Junaid berasal dari Nihawan, tapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat pendidikannya, al-Junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin ‘Asad al-Muhasibi.

Mengenai kelebihan al-Junaid dari sufi-sufi yang lain, A.J. Arberry mengatakan:

“Sejauh menyangkut isi dokumentasi yang dapat dipercaya, tampaknya tanggung jawab mengembangkan doktrin fana’, sebagai bagian integral dari suatu teosofi yang terkoordinasi dengan baik, dimiliki oleh al-Junaid, murid al-Muhasibi, yang pada waktu-waktu kemudian disebut sebagai “Syekh Tarekat”, yang tak pelak lagi merupakan cendikiawan sejati paling tajam diantara para sufi sezamannya. Sementara yang lain sebelum dia dan sufi sezamannya meraih -lewat kilasan-kilasan intuisi cemerlang salah satu puncak spiritual yang kini mulai menggoyahkan keunggulan mereka, dia seakan-akan berada di atas puncak pemikiran analitis; dengan pandangannya yang luas, dicakupnya seluruh pemandangan spekulasi mistik yang terhampar di bawahnya. Dan dengan mata seniman, disatukannyalah hal itu ke dalam pengertian dan keutuhan dengan kanvas tunggal. Dalam serangkaian surat dan risalah singkat yang kini baru diketahui, dia menguraikan, dengan kata-kata renungan yang dalam

dan begitu tinggi, satu sistem teosofi Islami yang konsisten, yang tentu saja masih utuh, dan yang membentuk inti perkembangan selanjutnya.74 Kemampuan al-Junaid untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya dalam menyuruhnya untuk tampil di muka umum, sebagaimana diceritakan oleh R.A. Nicholson: Surri Al-Saqti seringkali meminta al-Junaid agar berbicara di depan umum, namun demkian al-Junaid enggan memenuhinya, karena ia enggan menerima kehormatan seperti itu. Pada suatu hari Jum’at, ia mimpi bertemu Rasulullah yang memintanya agar mau berbicara di depan umum. Ia bangkit dan kemudian pergi ke rumah Surri al-Saqti sebelum subuh, kemudian mengetuk pintunya. Surri membuka pintu dan berkata: “Engkau tak pernah percaya padaku, hingga Rasulullah harus datang dan menyuruhmu.”75

Dalam hubungan ini Annemarie Schimmel mengatakan:

Seperti banyak ahli-ahli mistik yang lain, al-Junaid berasal dari Iran; ia dilahirkan di Wihawand, tinggal di Baghdad dan belajar fiqh sesuai dengan mazhab Syafi’i. Dalam tasawuf, ia dididik oleh pamannya, Surri al-Saqti; pandangan psikologi al-Muhasibi tampaknya mengesankannya, dan pengaruh al-Kharraz pada pembentukkannya jelas lebih besar daripada yang telah dibuktikan sampai saat ini. Salah seorang diantara sufi-sufi temannya, al-Haddad, dikabarkan pernah mengatakan: “Seandainya akal itu berwujud manusia, ia itu al-Junaid.” Ungkapan ini menunjukkan kesungguhan, ketenangan dan ketajaman pikiran al-Junaid.76

Sebagaimana disebutkan di atas, ulama dalam melihat perkembangan ajaran tasawuf, khususnya setelah tampilnya Abu Yazid al-Bustami, terbagi kepada dua golongan, yakni kelompok yang bersikap moderat dan kelompok yang bersikap ekstrim. Dalam hal ini, al-Junaid dipandang sebagai sufi yang moderat. Atau dengan kata lain, dia mewakili tasawuf para fuqaha yang mendasarkan diri pada al-Quran dan as-Sunnah secara riil. Dalam ungkapan al-Junaid yang berikut, barangkali tergambar metodenya dalam tasawuf. “Barangsiapa tidak menghafal al-Quran dan tidak menulis hadits, dia tidak boleh dijadikan panutan dalam masalah itu (maksudnya: tasawuf). Sebab ilmu kita ini terikat pada al-Quran dan as-Sunnah.” “Semua jalan tertutup bagi semua makhluk kecuali bagi orang-orang yang meneladani

74Arberry, op.cit., hlm. 56-57.

75Nicholson, op.cit., hlm. 52.

atsar Nabi, mengikuti sunnahnya dan konsisten dengan jalannya. Baginya semua jalan kebajikan terbuka.”

Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qusyairi: Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab: “Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Pengertian tauhid yang diberikan al-Junaid di atas tidak keluar dari pengertian yang diberikan oleh para teolog, sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandangan para sufi. Menurutnya, akal-budi tidak mampu memahami itu. Sebab, “Seandainya pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran itu akan berakhir dengan kebingungan.” Dan katanya pula: “Ungkapan terbaik tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Shiddiq: Maha Suci Dzat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenalnya.”77

Pengertian tauhid, sebagaimana diberikan oleh al-Junaid, dan dikutip oleh banyak penulis kemudian, bahwa ia mengandung unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan yang fana’. Dengan menjadikan perjanjian azali sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Quran (QS. al-A’raaf [7]: 172) -menurut tafsiran sufi-, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya manusia dalam memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan Tuhan dahulu kala, al-Junaid menulis: “Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu Adam) belum maujud, tapi sudah maujud dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah kemaujudan yang lazim dari ciptaan-ciptaan Allah. Namun kemaujudan ini merupakan suatu kemajuan yang hanya diketahui oleh Allah.”78

77Al-Taftazani, op.cit., hlm. 114.

Tauhid yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang hudus.79 Ketika menjelaskan sebuah hadits: “Manakala Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya, hingga melalui-Ku ia mendengar, “Al-Junaid berkata: “Kalau demikian, maka Allah lah yang memampukannya. Dia lah yang menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dia lah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.80

Tauhid yang begini, menurut al-junaid, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma’, menuturkan: “Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas). Jawabnya: Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah dimana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah Swt.”81

Al-Junaid memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diuraikan dengan akal dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman di hadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap orang-orang sunni yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan alasan inilah ia menolak Al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta dan penyatuan. Oleh karenanya, al-Junaid memperhalus seni bicara melalui isyarat -suatu kecenderungan yang mula-mula diprakarsai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khas pengungkapan sufistik. Bahasa yang indah itu lebih menutupi daripada membukakan makna sebenarnya.82

Dari pendapat al-Junaid di atas tampak jelas isyarat-isyarat pada tauhid bentuk khusus yang berdasarkan kefanaan. Dan kefanaan dalam

79Al-Taftazani, loc.cit.

80Arberry, op.cit., hlm. 58.

81 Al-Taftazani, loc.cit.

tauhid adalah pengetahuan yang dapat dicapai jiwa manusia dalam alam lain. Pemikiran ini tampak paralel dengan paham Plato tentang telah adanya jiwa manusia dalam alam ide, sebelum turun ke dalam tubuh. Karena itu Plato berpendapat bahwa “Ilmu adalah memori dan kebodohan adalah lupa.” Menurut at-Tusi, pendapat al-Junaid tersebut berdasarkan firman Allah Swt.: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan

anak-anak Adam dari sulbi mereka, serta Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya, kami (keturunan Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal (keesaan Tuhan) ini.” (QS. [7]: 172).

Al-Junaid menandaskan bahwa tasawuf berati bahwa “Allah akan menyebabkan kau mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh al-Junaid disebut fana’, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur’ani “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya” (QS. [55]: 26-27); dan hidup dalam Dia disebutnya baqa’.83

Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tak habis-habisnya: “Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan pemutusan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita.” Baginya, kehidupan tasawuf berarti usaha abadi manusia untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal-mula segala sesuatu, sehingga akhirnya dia bisa mencapai suatu keadaan “dimana dia berada sebelum berada”. Yakni hanya suatu keadaan perjanjian purba, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian.84

Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik khas sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya. Cerita berikut ini dapat sedikit menggambarkan salah satu sisi ajarannya.

Seorang yang baru selesai menunaikan ibadah haji, kemudian datang kepada al-Junaid. Al-Junaid pun berkata: “Selama jam-jam pertama kepergian

83Arberry, loc.cit.

Anda, yakni ketika Anda mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah, apakah Anda juga sudah mulai menjauhi segala perbuatan dosa?” Orang tersebut menjawab: “Tidak!” Oleh karena itu, kata al-Junaid: “Sesungguhnya Anda belum melaksanakan perjalanan (haji) tersebut.” “Pada setiap tahapan dimana Anda berhenti untuk bermalam, apakah Anda sudah memasuki terminal-terminal perjalanan menuju Tuhan?” “Tidak” jawab orang itu pula. Oleh sebab itu, ujar al-Junaid: “Anda belum menapaki jalan setahap demi setahap.” “Apakah ketika Anda mengenakan pakaian haji, Anda sudah menanggalkan atau melepaskan seluruh sifat-sifat manusia (yang tidak terpuji) sebagaimana Anda menanggalkan baju?” “Tidak!” kembali orang tersebut menjawab. Maka, lanjut al-Junaid: “Sesungguhnya kamu tidak mengenakan baju ihram.”85

Sebagian dari percakapan antara al-Junaid dengan seorang yang baru selesai menunaikan ibadah haji, yang kita kutipkan di atas, menunjukkan keteguhan al-Junaid memegangi syariat islam. Dan bagaimanapun adanya, yang terang al-Junaid adalah tokoh penting dalam sejarah tasawuf. Hal ini mengingat pendapat-pendapatnya yang kaya, sikapnya yang memadukan syariat dengan hakikat, dan dia termasuk kelompok sufi yang tidak suka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh. Bahkan dia lebih men-dahulukan kesadaran ketimbang kondisi ketidaksadaran, dan lebih mendahulukan kebaqaan ketimbang kefanaan. Dia adalah guru yang terkenal dan mempunyai murid yang dia ajari tasawuf serta dia tunjuki dengan wawasan tentang kesempurnaan ilmu dan amal.