• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar

Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh undang-undang.

Dalam ketentuan Umum KUHPidana alasan penghapus pidana ini dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51. Sedangkan pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No. 3Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya)

Pasal 44 KUHPidana berbunyi:

1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum.

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.

3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Dalam pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan:

Berdasarkan ayat (3) dari pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut. Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.111

b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)

Pasal 48 berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan, tidak boleh di hukum. Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan paksan itu adalah “ee kracht,

een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu

kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat di lawan tidak dapat di tahan).112

Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat di jadikan alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat di lawan atau di elakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak pidana. Paksaan mana ; biasa di kenal dengan istilah pakasaan yang absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang di pegang oleh orang lain yang lebih kuat.

111

R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61

112

c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk mebela diri)

Pasal 49 ayat (1) berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum. Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela /tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain.

2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan perbuatan yang di ujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.

3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut. Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional /seimbang. Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.113

Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang melampaui batas) berbunyi:

Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.

Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu

113

pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum , akan tetapi pelakunya di nyatakan tidak bersalah, keselahan nya di hapuskan.114

d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan)

Pasal 50 berbunyi:

Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh di hukum.

Dalam penjelasan pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh di hukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional /seimbang misalnya seorang Polisi yang menembak seorang penjahat (kambuhan) dapat di benarkan dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang melarikan diri.115 114 Ibid. hal. 64-65 115 Ibid. hal. 66

e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah)

Pasal 51 ayat (1) berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di hukum.

Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang di perintah melaksanakanya karena sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.116

Pasal 51 ayat (2) (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap syah) berbunyi:

Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi.

Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

116

1. Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah 2. Dilakukan dengan itikad baik

3. Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia lakukan).

Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.117

Dalam bagian kedua, terdapat juga bagian khusus yang terdapat dalam buku kedua (Tentang Pengaturan Khusus) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana yaitu alasan pembenar, yaitu sebagai berikut:

a) Pasal 166

Pasal 166 berbunyi:

Ketentuan pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya (isterinya ) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya.

Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan pasal 165 yang memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan tertentu yang sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat di hindarkan atau di cegah. Sanksi pidana ini baru dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi.

117

Jadi menurut paal 166, kedua pasal tersebut (pasal 164 dan 165 ) tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga dalam keturunan lurus dan kesamping samai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan.118

b) Pasal 186 ayat (1)

Pasal 186 ayat (1) berbunyi:

Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat di hukum.

Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab VI KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan satu,” yang terdapat dalam pasal-pasal 182 sampai dengan pasal 186. Akan tetapi saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini (misalnya dalam olah raga tinju, karate, dan lain sebagainya) tidak boleh di hukum berdasarkan pasal 186 ayat (1) ini.119

c) Pasal 314 ayat (1)

Pasal 314 ayat (1) berbunyi:

Kalau orang yang di hinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah.

118

Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. Hal. 224-225

119

Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang di tuduhkan/di hinakan) kepada orang itu, terbukti benar sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang yang di hinakan/di cemarkan nama baiknya ini telah di jatuhi pidana terhadap perbuatan yang di hinakan/ dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghina atu pencemar nama baik tersebut di hapuskan (hilang).120

d) Pasal 352 ayat (2)

Pasal 352 ayat (2) berbunyi:

Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan” pasal 352 ayat (1), yang pelaku di ancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (2) pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat di pidana; merupakan alasan penghapus pidana. seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu Pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di pidana.121

120

M. Hamdan. 2008. Jurnal Hukum: Pembaharuan Hukum Tentang Alasan

Penghapusan Pidana. Fakultas Hukum USU. Medan Desember. 2008. hal. 56-57

121

Bahwa para terdakwa pada perbuatan pidana penganiayaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm merupakan perbuatan pidana yang tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat membebaskannya dari sifat melawan hukum perbuatan itu. Selama persidangan, Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik berdasarkan alasan pembenar maupun alasan pemaaf, oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Perbuatan para terdakwa tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar, karena para terdakwa melakukan tindakan penganiayaan tersebut:

a) Dalam keadaan sehat dan tidak sakit/terganggu jiwanya (Pasal 44 KUHP) b) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa (Pasal 48 KUHP) c) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka untuk mebela diri (Pasal 49

ayat (1) KUHP)

d) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)

e) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melakukan perintah jabatan yang syah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsur-unsur tindak pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197 KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut:

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus

dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

Ketiga unsur tindak pidana, dalam kasus tindak pidana penganiayaan sebagaimana termaktup dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm, yaitu memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan telah terpenuhi, maka hakim memutuskan bersalah kepada para terdakwa dengan alat alat bukti yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:

1. Keterangan para saksi, dimana atas keterangan para saksi tersebut, para terdakwa membenarkan dan tidak keberatan.

2. Keterangan para terdakwa, dimana para terdakwa mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak keluarga, sehingga memohon hukuman yang seringan-ringannya.

3. Hasil Visum et Repertum, dimana atas pembacaan Visum et Repertum tersebut, para terdakwa menyatakan tidak keberatan

Antara keterangan para saksi, keterangan para terdakwa dan hasil Visum et Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian korban Nanang Subekti akibat adanya luka-luka pada bagian dalam perut dimana luka-luka tersebut akibat dianiaya oleh para terdakwa.

Meskipun para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan kekejaman, kekerasan dan

dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm., namun demikian, terdapat ketidaktepatan dalam pengajuan para Terdakwa dalam persidangan di Peradilan Umum, mengingat bahwa para Terdakwa belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, seharusnya tetap diajukan ke Sidang Anak. Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut di atas, jelas bahwa batas umur minimum anak nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan batas maksimum 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal anak melakukan tindak pidana, maka tetap diajukan ke Sidang Anak, meskipun usianya telah melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahu, jika pada saat melakukan perbuatan tindak pidana tersebut masih di bawah umur dan belum pernah menikah. Sedangkan usia para Terdakwa pada waktu tindak pidana “secara bersama-sama melakukan

kekejaman, kekerasan dan penganiayaan terhadap anak sehingga anak mati”,

adalah:

1. Terdakwa I DA bin DULMANGIN (18 tahun/lahir 19 Juli 1992). 2. Terdakwa II CMS bin MISKUN (19 tahun/lahir 26 Maret 1991) 3. Terdakwa III JR bin SUJAROH (16 tahun/lahir 27 Septermber 1994)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindak pidana secara bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan kematian, sebagaimana telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Para pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dimana perbuatan dilakukan lebih dari satu orang.

2. Telah memenuhi perbuatan dan pelakunya serta pasal-pasal yang terkait dengan masalah dasar dalam mengadili dan memutus perkara.

B. Saran

Hakim dalam memutus perkara diharapkan memperhatikan pidana yang terbaik bagi anak supaya tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan kepribadian sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.