• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran-Aliran Yang Mempengaruhi Terbentuknya Sosiologi Hukum

43 Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon Austin (1790-1859), ia mengatakan bahwa: hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan tertinggi (law is command of the lawgivers), atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan karena ajarannya dinamakan Analitical Jurisprudence. Ajaran Austin kurang/tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:

1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia

2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia, hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua) bagian: a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang

tepat disebut sebagai hukum, jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sebenarnya mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang sebenarnya terbagi 2 (dua):

44 Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain.

Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.

b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan hukum yang merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari unsur Sosiologis berarti bahwa ajaran Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein / kenyataan sosial.

45 Hukum merupakan sollens kategori (seharusnya) dan bukan seins kategori(adanya): orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkhis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar. Ringkasnya ajaran Kelsen ini adalah:

o Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. o Hukum tidak mempersoalkan “bagaimana hukum

seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is).

o Hukum tidak lain adalah kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah negaranya.

o Bagi Kelsen Hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan dengan isi (materia).

46 o Suatu hukum dapat saja tidak adil, namun tetap saja merupakan hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

o Keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. o Kelsen dipandang sebagai tokoh pencetus Teori

Jenjang (Stufentheorie), yang semula diperkenalkan oleh Adolf Merkl.

o Hukum adalah suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.

o Semakin tinggi suatu norma, maka akan semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma, maka akan semakin konkrit.

Mazhab Sejarah dan Kebudayaan

Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah senyatanya mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan mazhab formalisme. Dalam hal ini mazhab sejarah dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum tersebut timbul.

Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal :

47 1. Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang dipandang tidak memperhatikan fakta sejarah.

2. Semangat revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih mengutamakan rasio.

3. Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang telah dapat memecahkan semua masalah hukum.

Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) berasala dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum (bahkan Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah peletak dasar mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (valksgeist). Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan berasal dari pembentukan undang-undang. Ringkasnya pendapat Savigny yaitu:

o Hukum adalah suatu produk dari kekuasaan yang tidak disadari (unconscious force).

o Hukum beroperasi secara diam-diam di tengah masyarakat.

48 o Sumber utama hukum adalah adanya kesetiaan dari anggota masyarakat, kebiasaan dan kesadaran dari anggota masyarakat.

o Di setiap masyarakat, tradisi dan kebiasaan tertentu yang secara terus menerus dipraktekkan berkembang menjadi peraturan hukum dan diakui oleh organ-organ negara.

Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888), ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mana masih sederhana kepada masyarakat yang senyatanya sudah modern dan kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada masyarakat sederhana secara berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada kaidah-kaidah hukum sudah modern dan kompleks.

Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif atas masyarakat yang relatif bersifat statis homogen, dengan masyarakat yang komplek (modern), dinamis dan relatif heterogen. Sehingga sangat membantu dalam perkembangan bahkan memprediksi bangunan Sosiologi hukum baik secara teoritis maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan

49 masyarakat dengan segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat dihindari, apalgi suatu negara dan bangsa yang sangat majemuk (seperti Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak dibatasi sebagai proses hukum, melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah juga proses sosial.

Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Ia berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat berbentuk:

1) Langsung berupa adat istiadat, 2) Melalui undang-undang,

3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Aliran Utilitarianisme

Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) yaitu:

50

“Dalam teorinya tentang hukum, Bentham

menggunakan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme yakni bahwa manusia bertindak untul memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan… setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang diperlakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan”.

Jeremy Bentham (1748-1832)

Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kerusakan. Tugas Hukum adalah memelihara kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya pemidanaan haruslah bersifat spesifik untuk tiap jenis kejahatan, dan seberapa besar pidana itu boleh diberikan, hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah timbulnya kejahatan.

Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan penderitaan itu sendiri diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Sehingga keadilan dan penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti sama bagi setiap manusia.

51 Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering (1818-1892) yang ajarannya disebut sosial utilitarianisme. Ihering berpendapat:

“… hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana merela menjadi warganya… hukum juga merupakan suatu alat yang dapat

dipergunakan untuk melakukan

perubahan-perubahan sosial”. Rudolf Von Jhering (1818-1892)

Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya ia penganut paham sejarah (yang dikembangkan oleh Savigny). Namun pada akhirnya ia justru menentang pendapat dari Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi adalah pernyataan dari jiwa bangsa Romawi, dan oleh karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi). Hal inilah yang dibantah oleh Jhering, Jhering mengatakan seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya. Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum Romawi pada hakekatnya juga mengalami hal ini. Suatu barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat

52 nasionalis tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya hukum itu makin mendapat ciri universal.

Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi bersifat nasional, akan tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga hukum tersebut lebih bersifat universal daripada nasional (Darmodiharjo, 1999: 112-116).

John Stuart Mill (1806-1873)

Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan psikologi. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia mencari kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Ia dalam pemikirannya menjelaskan hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan individu dan kepentingan umum.

Aliran Sociological Jurisprudence

Ajaran-ajaran aliaran Sociological Juriprudence berkembang dan menjadi popular di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-1964). Roscoe berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau dipandang

53 sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (Law in Action) yang dibedakannya dengan hukum tertulis (Law in The Books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum subtansif maupun hukum ajektif. Ajarannya tersebut menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pol-pola perikelakuan. Ajarannya tersebut dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata.

Baik Sosiological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum mempunyai pokok perhatian yang sama. Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial, bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan-pertentangan.

G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode fungsional untuk menggantikan istilah Sociological Jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya

54 kerancuan antara “Sociological Jurisprudence” dengan “Sosiologi Hukum” (Sociology of law). Menurut Lily Rasjidi, ada perbedaan antara keduanya, Sosiologi Hukum memandang hukum sebagai gejala soaial belaka, dengan pendekatan dari masyarakat ke hukum, untuk Sosiological

Jurisprudence mendekati hubungan hukum dengan

masyarakat, mulai dari hukum ke masyarakat (Rasjidi, 1993:84). Pelopor aliran Sosiological Juriprudence adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

Eugen Ehrlich (1862-1922)

Ia melihat adanya perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak yang lain. Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hukum atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aliran Realisme Hukum

Aliran ini diprakarsai oleh Karl Liewellyn (1893-1962), Jereme Frank (1889-1957) dan Justice Oliver Wendell Halmes (1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari

55 Amerika. Konsep mereka sangat radikal tentang proses peradilan, dikatakannya bahwa hakim-hakim tidaklah hanya menentukan hukuman, tetapi bahkan membentuk hukum. Seorang hakim selalu harus memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam menentukan pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang akan menang dalam suatu perkara. Sering kali suatu keputusan hakim telah mendahului penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Kemudian konsep keadilan dirasinalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis.

Aliran realisme hukum sangat memperhatikan tentang konsep keadilan, namun secara ilmiah mereka menyadari bahwa keadilan, atau hukum yang adil itu sendiri paling tidak sangat sulit ditentukan kalau tidak dikatakan tak bisa ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak lebih hanyalah proses dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu, maka dia akan menerima derita sebagai sanksi dan atau sebaliknya sesuai dengan proses keputusan yang ditetapkan.

- Essensi hukum ada pada penerapannya, yang terdapat dalam putusan-putusan pengadilan. - Keputusan-keputusan hakim sebagai essensi

hukum diputuskan dan dilaksanakan sesuai kebutuhan masyarakat.

56 - Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya pada akar dari hukum itu sendiri, yaitu yang berada di dalam kebutuhan masyarakat itu sendiri (in social need).

John Chipman Gray (1839-1915)

Gray adalah salah seorang penganut Realisme hukum di Amerika. Semboyannya terkenal: All the law is judgemade law. Ia menyatakan di samping logika sebagai unsur undang-undang, maka unsur kepribadian, prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum.

Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)

Holmes memandang apa yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) itulah yang disebut dengan hukum. Holmes juga menyatakan: Di samping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moralitas hidup dan kepentingan-kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim.

Axel Hagerstorm (1868-1939)

Axel adalah tokoh Realisme Hukum Skandinavia. Pemikirannya tentang (realisme) hukum dapat dilihat dari pendapatnya tentang bagaimana rakyat Romawi mentaati hukum. Menurutnya, rakyat Romawi mentaati hukum secara Irrasional, yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan.

57

C. Penutup

Sosiologi Hukum adalah disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang saat sekarang ini. Pada prinsipnya, sosiologi hukum (Sociology Of Law) merupakan derivatif atau cabang dari Ilmu Sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum. Ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai Sosiologi Hukum, melainkan disebut sebagai Sociological Jurispudence.

Aliran Sosiologi Hukum yang melihat hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat.

Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan konstruksi hukum yang didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Perilaku masyarakat yang dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi ini muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam mempengaruhi pembentukan sebuah hukum positif.

58 Ilmu-ilmu sosial yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis tergolong sebagai ilmu hukum (dalam arti luas). Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok yakni: ilmu hukum normatif, yang juga popular disebut sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum empirik. Kelompok disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal studies, masuk ke dalam kelompok ilmu hukum empirik.

Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau dogmatika hukum adalah disiplin hukum yang paling rendah tingkat abstraksinya. Sedangkan filsafat hukum adalah disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling tinggi. Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum terdapat teori hukum (Jurisprudence).

Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen tentulah bertetangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya yang nota bene adalah ilmu sosial. Sosiologi Hukum adalah anak dari Ilmu Sosiologi. Antropologi Hukum adalah anak dari antrpologi budaya dan Sejarah Hukum adalah anak dari Ilmu Sejarah.

59

Latihan

1. Jelaskan pengertian dari pendekatan maupun aliran dalam Sosiologi Hukum?

2. Berikan penjelasan tentang pendekatan hukum sebagai nilai dan pendekatan hukum sebagai institusi?

3. Jelaskan aliran-aliran yang mempengaruhi Sosiologi Hukum?

4. Jelaskan perbedaan mazhab formalisme dengan mazhab sejarah dan kebudayaan?

60

BAHAN PEMBELAJARAN IV

Paradigma-Paradigma Dalam Sosiologi Hukum