• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma-Paradigma Dalam Sosiologi Hukum A. Pendahuluan

Sebagai ilmu monografis maka Sosiologi Hukum berurusan dengan kenyataan hukum sehari-hari (the full reality of law). Hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai sekumpulan materi hukum, seperti perundang-undangan dan putusan pengadilan, melainkan memiliki sosok atau jati diri.

Apakah yang dinamakan ’paradigma’ itu? Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat populer dipakai dalam berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk menyebut adanya “suatu pangkal (an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya”.

Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Dari pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu dengan persepsi interpretatif dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan yang

61 berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat pula.

Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Adanya paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang mengekspresikan paradigm tersebut. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika tidak dapat mengetahuinya.

Istilah paradigma itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift. Dijelaskan olehnya (Thomas S. Kuhn), The Structure of Scientific Revolutions : Chicago University Press, 1962, bahwa, sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian

62 didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula.

Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tak selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm shift itu.

Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu komunitas sebagai pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan bersaranakan pengetahun-pengetahuan berparadigma lama, dengan “beringsut untuk beralih” ke pengetahuan pengetahuan baru

63 Perbincangan mengenai teori-teori sosial tentang hukum yang dipulangkan balik ke buah pikiran Marx, Maine, Durkheim, dan Weber sesungguhnya adalah perbincangan tentang apa yang disebut oleh Luhman (Rechtsoziologie, 1972) sebagai awal perkembangan Sosiologi Hukum yang klasik. Teori-teori sosial tentang hukum yang dikemukakan oleh para pakar pada belahan akhir abad 20 ini yaitu seabad atau hampir seabad setelah masa hidup keempat tokoh perintis tersebut di muka tentu saja sudah kian lanjut lagi, dan tak mudah untuk masih dibilangkan sebagai awal yang klasik.

Namun begitu, asas-asas teori sosial yang mutakhir tentang hukum ini umumnya memang bisa pula kita pulangkan balik ke buah pikiran keempat pakar (atau lima kalau saja Eugen Ehrlich juga ikut dimasukkan ke dalam barisan) yang dibilangkan sebagai perintis-perintis dengan pemikiran-pemikirannya yang klasik itu.

Maka tak salahlah kiranya kalau untuk mengetahui teori-teori yang telah tumbuh-kembang hingga stadiumnya yang mutakhir kini orang bersedia menengok dan mengkaji ulang apa yang pernah dirintiskan oleh para peletak dasar Sosiologi Hukum yang modern itu (Wignjosoebroto, 2002).

64

B. Uraian Bahan Pembelajaran

Pendefenisian Paradigma

Tahun 1962 Kuhn telah memperkenalkan tentang The Structure od scientific revolution. Istilah paradigm kemudian memasuki halaman-halaman ilmu pengetahuan. Paradigm adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat sain. Paradigma secara etimologis berasal dari bahasa Yunani para (di samping atau berdampingan), dan Deigma (contoh). Dalam kerangka ilmu paradigm dipandang sebagai kerangka keyakinan (Ordering belief framework), atau komitmen para intelektual.

Pada dasarnya, paradigma merupakan model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan ilmiahnya, untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa dan melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.

Istilah paradigma berasal dari istilah latin paradeigma yang artinya pola. Istilah ini oleh Kuhn digunakan untuk menunjuk dua pengertian, pertama, totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi, maupun praktisi disiplin ilmu tertentu, yang memengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan, yang menjungkirbalikan semua asumsi dan aturan yang ada.

65 Dalam hal ini paradigm dirumuskan sebagai;

Suatu gambaran fundamental tentang subject matter dalam suatu ilmu. Paradigma berfungsi untuk merumuskan apa yang harus dikaji, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam mengartikan jawabab-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit yang paling luas dari consensus dalam suatu ilmu dan bermanfaat untuk membedakan antara suatu komunitas keilmuan atau subkomunitas keilmuan satu denga lainnya. Paradigma membuat penggolongan, merumuskan dan saling menghubungkan contoh-contoh, teori-teori dan metode-metode atau alat-alat yang ada di dalamnya (Anwar, 2008).

Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian tentang hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut dan silih berganti merebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik maupun dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma itu ialah paradigma teologik yang etik-normatif dan paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut pertama tampil sebagai mainstream yang dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di masa sejarah Yunani kuno,

66 sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-322 s.M.), sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada masa yang jauh lebih kemudian, ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang dikenali sebagai era renesains, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Galileo dari Galilea (1564 -1642).

Paradigma Aristotelian:

Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini berhakikat sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut‘order’ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti bahwa ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Alam semesta itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam wujudnya yang empirik dalam alam amatan manusia. Lebih lanjut lagi alam pemikiran Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan sesuatu “ada sebelum ada” (pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya keselarasan (harmony) yang final dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud hanya karena adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna, yang oleh sebab itu juga mengisyaratkan adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa finalis) pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat

67 diganggu. Episteme Aristotelian yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang preestablished, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (teleos = tujuan) ini, menggambarkan semesta ini sebagai suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya ‘tak akan dapat diganggu’ akan tetapi juga ‘tak boleh diganggu’. Tak ayal lagi, alam semesta ini lalu juga dipahamkan sebagai suatu alam yang berkeniscayaan mutlak karena bersumber dari moral kesempurnaan Tuhan, yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik adalah pencipta kebaikan dan keindahan yang tak terbantah.

Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan kearifan illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral seperti ini (yang anorganik maupun yang organik, tak kurang-kurangnya juga manusia) sudah dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang sudah kodrati itu, deikian rupa agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib semesta ini akan senantiasa terjaga.

Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali dapatlah disebut sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian dari masa yang boleh dibilang sezaman dengan maraknya paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis peletakan dasar-dasar ontologik dan epistimologik bagi perkembangan ilmu pengetahuan fisika modern. Sebagai

68 pemikir dalam garis Aristotelian, alam pemikiran Leibniz tak terlalu berbeda dengan episteme Aristotelian yang dikuasai oleh pemikiran metafisikal yang meyakini kebenaran konsep, bahwa kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu imperativa keselarasan.

Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal mulanya sebagai suatupreestablished harmonius order yang tak sekali-kali mengenal adanya pertentangan. Leibniz menggambarkan hadirnya keselarasan semesta semisal hadirnya keselarasan yang dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz disebutmonad yang independen) telah “memainkan” bagian masing-masing yang sekalipun masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total terwujudlah suatu berkeselarasan.

Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain karena adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak awal mula oleh sang komposer, lama sebelum musik dimainkan oleh para monad itu dan tersaksikan secara indrawi. Partitur itu telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam setiap diri satuan (pemain) yang sama-sama hadir di dalam totalitas sistem (orkestra).

69 Paradigma Galilean:

Paradigma Galilean, yang mencabar paradigma lama yang Aristotelian, marak pada suatu zaman tatkala sejumlah manusia pencari kebenaran mencoba memahami keteraturan alam semesta ini tidak lagi berhakikat sebagai a harmonious pre-established God’s order.

Paradigma baru ini mengetengahkan pemikiran bahwa seluruh tertib semesta inisesungguhnya merupakan himpunan fragmen variabel dalam jumlah yang tak terhingga, yang secara terus-menerus berhubungan secara interaktif dalam suatu proses kausalitas di ranah indrawi, yang sekalipun tampak seperti suatu kekisruhan (chaos), yang berlangsung secara= berterusan seolah tanpa mengenal titik henti yang final, namun yang sesungguhnya di tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu sedang berproses secara progresif dengan keniscayaan yang tinggi, bergerak dari suatu situasi keseimbangan yang semula ke suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad infinitum. Inilah yang kelak, dalam sains fisika, disebut homeostasis.

Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik dalam pemikiran yang Galilean ini bahwa semesta itu adalah sesungguhnya suatu jaringan variabel yang interaktif, yang

70 bergerak secara dinamik dan progresif di tengah alam indrawi yang objektif, tunduk pada imperativa kausalitas yang berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun.

Imperativa kausalitas ini meniscayakan terjadinya keterulangan hubungan interaktif antar-variabel yang progresif, yang oleh sebab itu akan memungkinkan para pemantau yang dengan tekun menyimaknya untuk menengarai adanya universalitas dalam hubungan antar-variabel itu, yang pada gilirannya akan memungkinkan para pemantau ini dapat membuat prediksi apa yang akan terjadi apabila satu variabel dikontrol dan/atau dihadirkan terhadap variabel yang lain.

Di sinilah letak keistimewaan paradigma Galilean yang non-teologik melainkan saintifik, yang memungkinkan terjadinya “transfer” dari episteme (pengetahuan yang murni dengan idiom-idiomnya yang normatif)

ke techne (pengetahuan yang aplikatif dengan

idiomidiomnya yang lugas dan rasional untuk mengatakan apa adanya).

Dari paradigma yang tak hanya mengetengahkan perlunya mengetahui berbagai peristiwa kausalitas di alamnya yang objektif dan “buta nilai”, melainkan yang juga menyadari adanya kemungkinan mengontrol sebab untuk memproduksi dan mereproduksi akibat inilah lahirnya ilmu

71 pengetahuan (science/sains) berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebabakibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga yang teknologik.

Sejarah Perkembangan Paradigma Sosiologi Hukum

Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis baru dimulai sejak abad ke-17, ketika Descrates dan para pengikutnya mengembangkan positivisme, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental, khusunya di Prancis, dengan dua eksponennya yang terkenal, Henry Saint Simon dan Aguste Comte. Positivisme adalah suatu paham yang menuntut, agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menentukan kebenaran hendaknya memerlukan realitas sebagai suatu eksis, sebagai suatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macan prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.

Positivisme dalam ilmu pengetahuan ini dibidani oleh dua pemikir Prancis, Henry Saint Simon dan muridnya Aguste Comte. Dalam perkembangannya yang banyak memperkenalkan positivisme ini adalah Aguste Comte dan

72 kemudian menjadi paham filsafat ilmu pengetahuan sejak awal abad ke-20.

Positivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

1. Bebas nilai (objektif) dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Peneliti hanya melalui fakta-fakta yang teramati terukur maka pengetahuan tersusun dan menjadi cerminan realitas (korespondensi).

2. Fenomenalis, pengetahuan yang abash hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang hanya mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah.

3. Nominalisme, positivism berfokus pada yang individual particular Karen itulah kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata pemahaman dan bukan kenyataan itu sendiri.

4. Reduksionisme, alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.

5. Naturalisme, paham tentang keteraturan dari peristiwa-peristiwa alam, yang menisbikan penjelasan adikodrati.

73 6. Mekanisme, paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin (Anwar, 2008).

Selain Positivisme, ada juga Teori kritis. Aliran pemikiran ini lebih senang menyebut dirinya sebagai ideologically oriented inquiry, yang merupakan suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas, yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.

Teori kritis lahir dalam ilmu pengetahuan karena realitas cara pandang positivis terlalu direduksi. Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang hanya dengan menatap dari kursi goyang para ilmuan belaka dan tidak pernah turun ke lapangan secara langsung

Dari dua perkembangan teori kritis tersebut, Hubert mencatat ada tiga karakteristik dari teori kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer.

Pertama, teori kritis diarahkan oleh suatu kepentingan perubahan fundamental pada masyarakat. untuk kepentingan ini harus ditumbuhkan sikap kritis dalam mengintepretasikan realitas yang dinilai terdistorsi.

74 Kedua, teori kritis dilandaskan pada pendekatan

berpikir historis.

Ketiga, teori kritis ada upaya pengembangan berpikir komprehensif.

Konstruktivisme merupakan salah satu paradigm yang berhasil memikat sebagian para ilmuan modern, konstruktivisme berpendapat bahwa alam semesta secara epistemologis adalah sebagai hasil konstruksi sosial. Disamping itu, paham ini hampir merupakan antithesis dari paham yang meletakan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.

Secara sederhana, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi (bentukn) dari yang mengetahui sesuatu. Filsafat konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahuinya. Pengetetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik tetapi sutau proses menjadi tahu.

Semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri. Proses konstrutivisme harus mempunyai kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, kemampuan mengambil keputusan mengenai persamaan

75 dan perbedaan dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.

Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam tahap konstruktivisme;

1. Konstruktivisme radikal adalah konstruktivisme yang mengesampingkan hubungan pengetahuan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivisme radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis subjektif tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.

2. Realisme hipotesis, menurut aliran ini, pengetahuan (ilmiah) kita pandang sebagai suatu hipotetsis dari struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas.

3. Konstruktivisme yang biasa adalah filsafat yang menyatakan pengetahuan kita merupakan suatu gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk suatu objek dari dalam dirinya sendiri (Anwar, 2008).

76 Alam Pemikiran Eropa Barat

Ketika membahas alam pemikiran Sosiologi Hukum Eropa Barat maka terbesit pikiran kita dengan beberapa tokoh yang sangat terkenal pada masanya, seperti Karl Marx, Henry S Maine, maupun Emile Durkheim. Dari ketiga tokoh tersebut terbangun beberapa hal pokom dalam sosiologi hukum; Marx sendiri menganggap bahwa hukum dan kekuasaan politik merupakan sarana kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana ekploitasi.

Dari kajian Marx, dapat kita simpulkan bahwa hukum bukan sekali-kali model idealisasi moral masyarakat, atau setidak-tidaknya bahwa masyarakat adalah manifestasi normative apa yang telah dihukumkan, melainkan merupakan pengembangan amanat kepentingan ekonomi para kapitalis yang tak segan memarakkan kehidupannya lewat eksploitasi-eksploitasi yang lugas. Pokok pikiran Marx dalam Sosiologi Hukum adalah sebagai berikut.

1. Hukum adalah adat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok dominan.

77 2. Hukum bukan alat integrasi tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan yang dapat membentuk perpecahan kelas.

3. Hukum dan kekuasaan merupakan sarana-sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggenggkan kekuasaannya.

4. Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat bukanlah manifestasi normative dari apa yang telah dihukumkan (Anwar, 2008).

Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonis. Dalam pandangannya, watak dasar seperti ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial, yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat didamaikan karena perbedaan kedudukan mereka dan tatanan ekonomi.

Henry S Maine, menghasilkan pemikiran bahwa pada asumsinya masyarakat bukan suatu tipe ideal yang permanen, melainkan sebagai suatu sistem variable yang tak pernah bisa terbebas dari berlakunya dinamika proses. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa mayarakat bukanlah yang serba laten. Pemikiran Maine dalam sosiologi hukum sebagai berikut;

78 1. Masyarakat bukanlah masyarakat yang serba laten melainkan yang bersifat contingent. Dari sinilah ia cetuskan sebagai Bapak teori Evolusi klasik. Teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang progresif adalah masyarakat yang bergerak dari status ke kontrak.

2. Dalam masyarakat terdapat askripsi-askripsi tertentu, yang sesungguhnya merupakan peanugrahan atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat yang bersangkita dengan posisi masing-masing di dalam tatanan status yang telah ditradisikan dalam masyarakat. hubungan antara status dihubungkan atas dasar askripsi tersebut.

3. Kenyataan dalam masyarakat berubah tatkala masyarakat melakukan transisi ke situasi-situasi baru, yang berhubungan dengan membesarnya agregasi dalam kehidupan. Juga kian meningkatnya interdepedensi antara segmen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi (Anwar, 2008).

Selain Marx dan Maine, Durkheim merupakan Sosiolog yang mempunyai perhatian tertentu bagi kajian-kajian hukum. Dalam mengungkapkan idenya tentang hukum,

79 Durkheim bertolak dari penemuan yang terjadi dalam masyarakat. dengan metode empirisnya, ia melihat jenis-jenis hukum dengan tipe solidaritas dalam masyarakat. Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial, pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum menurutnya adalah cerminan solidaritas. Menurut Durkheim, hukum dirumuskan sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringanya suatu sanksi tergantung kepada suatu pelanggarana dan anggapan masyarakat sendiri tentang sanksi tersebut.

Bagi Durkheim, ketika masyarakat masih berada pada tahap diferensiasi segmental, masyarakat tampak sebagai himpunan sekian banyak satuan pilihan, yang masing-masing berformt kecil dan antara yang satu dengan yang lain seragam. Solidaritas yang dominan dalam masyarakat yang terdeferensiasi secara segmental ini, dikategorikan sebagai tipe solidaritas mekanis dengan hukum yang represif. Dalam solidaritas ini, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. hal ini dapat terjadi dengan indikasi cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat serta intensif daripada cita-cita masing-masing warganya secara individual.

80 Hukum yang menindak mencerminkan masyarakat yang bersifat kolektif, sedangkan hukum yang mengganti merupakan cerminan masyarakat yang telah terdiferensiasi dan terspesialisasi ke dalam fungsi-fungsi. Keadaan ini menciptakan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman dan pandangan. Tipe inilah yang dinamakan oleh Durkheim dengan tipe solidaritas organis. Hukum dibutuhkan bukan untuk menindaklanjuti tetapi memberikan pergantian, sehingga keadannya menjadi pulih kembali seperti semula.

Sementara itu, Max Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan-aturan yang dikelompokan dan dikombinasikan dengan konsesnsus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya