• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIOLOGI HUKUM. Penulis: M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO, M.Si

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SOSIOLOGI HUKUM. Penulis: M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO, M.Si"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

i

SOSIOLOGI HUKUM

Penulis:

(2)

ii

BUKU AJAR

SOSIOLOGI HUKUM

Penulis

M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si

Judul Buku : Sosiologi Hukum

Nama

: M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si

NIPS

: 137 030 233

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas

: Hukum

Universitas : Iqra Buru

Alamat e-mail : chairulbasrun@gmail.com

SOSIOLOGI HUKUM

vii + 167 hal; 14,8 x 21 cm

Hak Cipta

@ M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si. 2016

Cetakan I, November 2013 (Belum ber-ISBN)

Cetakan II, Maret 2016

Penerbit

FAM PUBLISHING

ISBN

(3)

iii

Kata Pengantar

Menjalani aktifitas sebagai sivitas akademika,

tentunya kita akan menyaksikan banyak

fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, dan itulah

realitas yang semestinya kita pikirkan. Banyak hal yang

kemudian bisa kita analisa dan memberikan kontribusi

untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali

Sosiologi Hukum.

Buku ini berupaya menyajikan berbagai gambaran

umum serta kajian materi yang sederhana namun

komprehensif, setidaknya dapat membantu mahasiswa

untuk memahami proses belajar dan proses penciptaan

pemahaman.

Tulisan yang sederhana, coba ditampilkan dengan

tujuan untuk menggugah rasa keingintahuan mahasiswa,

agar

nantinya

upaya

untuk

menyempurnakan

pemahaman Sosiologi Hukum lebih terjewantahkan lewat

berbagai kajian yang ada pada buku ajar ini.

Banyak hal yang kemudian penulis rasakan belum

terakomodir dalam penulisan buku ajar ini yakni

(4)

iv

perkembangan terupdate menjelang akhir tahun 2013

hingga saat buku ini diterbitkan, dengan harapan besar

untuk tahun-tahun mendatang akan bisa lebih

disempurnakan lagi.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada mereka yang telah memberikan dorongan moral,

khususnya, Istri tercinta, Yusmidar Umanailo serta kedua

anak-anakku, Annisa Retrofilia Umanailo dan Askar Daffa

Sophia Umanailo, yang selalu mendorong dan

memberikan kekuatan moral selama penulisan buku ajar

ini. Tak lupa kepada mahasiswa-mahasiswa saya tercinta

di Fakultas Hukum Universitas Iqra Buru yang mau

membantu memfasilitasi berdiskusi selama penyusunan

penulisan.

Melalui kajian-kajian dalam buku ini, sekiranya ada

nilai lebih yang bisa kita dapatkan bersama-sama, dan

semoga juga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Tidak

lupa, penulis harapkan adanya dinamika berpikir yang

lebih konstruktif demi perbaikan dalam buku ini, maka

saran kritik sangat penulis harapkan.

Namlea, Maret 2016

M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si

(5)

v

Daftar Isi

Sampul ………... i

Identitas Penulis ………..……….………..………... ii

Kata Pengantar ………...………... iii

Daftar Isi ………...………...…….…….. v

Glosarium ………...………... vi

Bahan Pelajaran I Pemahaman Dasar Tentang

Sosiologi Hukum...……...

1

Bahan Pelajaran II Sejarah dan Perkembangan

Sosiologi Hukum ...……....…...…...…..

21

Bahan Pelajaran III Pendekatan dan Aliran Yang

Ada Dalam Sosiologi Hukum...……... 31

Bahan Pelajaran IV Paradigma-Paradigma

Dalam Sosiologi Hukum ...……… 47

Bahan Pelajaran V Teori-Teori Sosiologi Hukum …….. 66

Bahan Pelajaran VI Hukum dan Solidaritas Sosial…... 98

Bahan Pelajaran VII

Hukum dan Perubahan

Sosial……. 177

Bahan Pelajaran VIII Hukum dan Pembangunan

di Indonesia... ………. 134

Bahan Pelajaran IX Perencanaan Penelitian

Sosiologi Hukum ...……...…………..…….. 155

(6)

vi

Glosarium

Civil Law Sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis.

Das sein Merupakan peristiwa konkrit yang terjadi Das sollen Segala sesuatu yang merupakan keharusan,

atau yang mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap tindak secara tertentu dalam menghadapi pekerjaan atau masalah tertentu. Deskriptif Bersifat deskripsi; bersifat menggambarkan

apa adanya

Difusi hukum Penyebaran hukum di kalangan masyarakat agar diketahui dan dipahami meskipun belum tentu ditaati oleh warganya

Dimensi hukum Segi hukum yg menjadi pusat tinjauan ilmiah Egosentris Menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat

pemikiran (perbuatan); berpusat pada diri sendiri (menilai segalanya dari sudut diri sendiri)

Fakta Hal (keadaan, peristiwa) yg merupakan kenyataan; sesuatu yg benar-benar ada atau terjadi

Fungsionalisme Teori yg menekankan bahwa unsur-unsur di dl suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan menjadi kesatuan yg berfungsi; doktrin atau ajaran yg menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional

Hukum positif Adalah Peraturan hukum yang berlaku pada saat ini/ sekarang untuk masyarakat dari dalam suatu daerah tertentu. Ius Constitutum merupakan hukum yang berlaku untuk suatu masyarakat dalam suatu tempat pada suatu waktu tertentu

Hukum Peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2 undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3 patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; 4 keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis;

(7)

vii

Integritas Mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran;

Komprehensif Bersifat mampu menangkap (menerima) dng baik; luas dan lengkap (tata ruang lingkup atau isi); mempunyai dan memperlihatkan wawasan yg luas Kontekstual Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat

yang dapat mengandung atau menambah kejelasan makna. Kontekstual adalah makna kata yang sesuai dengan konteks nya.

Metafisika Ilmu pengetahuan yg berhubungan dng hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan

Objek hukum Objek atau kepentingan yg dilindungi dalam hukum Objektifikasi Adjektiva objektifikasi (komparatif lebih objektifikasi,

superlatif yang paling objektifikasi) Diperlakukan sebagai objek

Positivisme Positivisme hukum (dihitung dan tak terhitung, positivisms hukum plural) Sebuah sekolah pemikiran dalam yurisprudensi di mana hukum dipandang sebagai terpisah dari nilai-nilai moral

Positivisme Sebuah sistem filsafat berasal oleh Tengah August Comte, yang berkaitan dengan hanya positif. Ini tidak termasuk dari filsafat segala sesuatu tetapi fenomena alam atau sifat-sifat hal dapat diketahui, bersama dengan hubungan mereka berubah-ubah koeksistensi dan suksesi, seperti yang terjadi dalam ruang dan waktu.

Preskriptif Bersifat memberi petunjuk atau ketentuan; (2) bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yg berlaku

Strukturalisme Sebuah teori sosiologi yang memandang elemen masyarakat sebagai bagian dari kohesif, struktur mandiri. (Biologi) Sebuah sekolah pemikiran biologis yang berhubungan dengan perilaku hukum seperti struktur organisme dan bagaimana hal itu dapat berubah, menekankan bahwa organisme keutuhan, dan karena itu perubahan dalam satu bagian harus selalu mempertimbangkan sifat saling terkait dari seluruh organisme

Yurisprudensi Hukum berdasarkan putusan hakim yang mengandung kaidah hukum tertentu yang dijadikan ajaran, pedoman dan/atau diikuti oleh hakim lain dalam memutuskan perkara yang serupa atau sejenis

(8)
(9)

1

BAHAN PEMBELAJARAN I

Pemahaman Dasar Tentang Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan

Sosiologi Hukum merupakan cabang yang termuda pada pohon ilmu pengetahuan hukum dan usianya yang muda itu tampak pada hasil-hasilnya yang hingga kini masih sedikit (Alpeldoorn, 1983:425). Itu disebabkan karena ilmu pengetahuan yang baru itu harus mempertahankan diri pada dua kancah perang, sebab hak hidupnya sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri ditentang baik oleh para ahli Hukum maupun oleh para ahli Sosiologi.

Sosiologi Hukum tidak pertama-tama hendak mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau sejumlah kaidah khusus yang berlaku, itu adalah bagian dari kajian-kajian ilmu hukum yang dikonsepkan dan dibataskan sebagai Jurisprudence.

Sosiologi Hukum adalah cabang kajian khusus dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial yang disebut Sosiologi. Kalaupun Sosiologi Hukum juga mempelajari hukum sebagai seperangkat kaidah khusus, maka yang dikaji bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri melainkan kaidah-kaidah positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan

(10)

2 segala keberhasilan dan kegagalanya (Wignjosoebroto, 2002).

Dibalik semua itu, tidak perlu dipertentangkan konsepsi dasar bagaimana Hukum ataupun Sosiologi mendeterminasi setiap pemahaman yang berlaku didalam terminologi masing-masing. Ada kekhawatiran akan muncul segmentasi metodologis yang semakin membuka jarak egosentris kedua disiplin tersebut semakin melebar. ada pemaknaan yang sangat berarti ketika konstruksi pemahaman Sosiologi Hukum dibangun dengan mengakulturasikan hukum pada ranah subtansi sementara Sosiologi berada pada metodologi yang saling terkait. Alhasil, Sosiologi Hukum sebagai suatu disiplin yang mandiri tidak akan terdeterminasi oleh Hukum maupun Sosiologi bahkan termarjinalkan tapi sebaliknya mampu menjadi disiplin yang memiliki integritas dan kerangka pikir yang konstruktif serta metodologi yang semakin baik.

Sering yang terjadi pada kajian-kajian yang selalu menafsir secara subjektifitas integritas dari Sosiologi Hukum, sebagaimana dikuti Ada beberapa faktor sebagai penyebab kurangnya perhatian para Sosiolog terhadap hukum (Mastur, 2013);

Pertama : Para Sosiolog mengalami kesulitan untuk menyoroti sistem hukum semata-mata

(11)

3 sebagai himpunan kaedah-kaedah yang bersifat normatif sebagimana halnya dengan para yuris. Para Sosiolog sulit menempatkan diri dalam normatif karena Sosiologi merupkan suatu disiplin yang kategoris.

Kedua : Pada umumnya para Sosiolog dengan begitu saja menerima pendapat bahwa hukum merupakan himpunan peratuaran-peraturan yang statis. Hal ini tercermin pada pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan para ahli hukum; hukum apakah yang mengatur Perpajakan, hukum apakah yang mengatur penanaman modal asing dan lain sebagainya.

Ketiga : Sosiolog sering mengalami kesulitan untuk menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian banyaknya yang pernah dihasilkan oleh beberapa generasi ahli-ahli hukum.

Keempat: Lambatnya perkembangan Sosiologi

Hukum adalah kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan antara para Sosiolog dengan para ahli hukum karena kedua

(12)

4 belah pihak tidak mempergunakan bahasa dan kerangka pemikiran yang sama. Sosiologi Hukum diperlukan dan bukan merupakan penanaman yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada.

Dalam kajian Soejono Soekanto, suatu fakta yang merupakan penghalang besar terhadap hubungan antara Sosiologi dengan Hukum dan pada kahirnya menyebabkan lambatnya perkembangan Sosiologi Hukum adalah kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan antara para Sosiolog dengan para ahli hukum, karena kedua belah pihak tidak mempergunakan bahasa dan kerangka pemikiran yang sama.

Bahasa yang dimengerti oleh pihak-pihak yang mengadakan hubungan, merupakan suatu persyaratan mutlak bagi terjadinya dan berhasilnya komunikasi antara pihak-pihak tersebut. Hal itu menyebabkan ketidakpastian pada pihak-pihak yang mengadakan hubungan, sehinga sulit untuk mengadakan pendekatan yang interdisipliner. Sulitnya komunkasi antara seorang Sosiolog dengan ahli hukum dipertajam dengan kenyataan, bahwa masing-masing mempunyai pusat perhatian yang berbeda.

(13)

5 Sosiologi Hukum sebagai ilmu pengetahuan, maka haruslah berbeda denan pengetahuan yang non-ilmiah, untuk itu Sosiologi Hukum sebagai ilmu pengetahuan memiliki konsekuensi yang harus dipenuhi yaitu:

1. Sosiologi Hukum harus memiliki proses yang merupakan aktivitas penelitian, yang terdiri dari rasional, kognitif, dan teleologis.

2. Sosiologi Hukum harus memiliki aktivitas berupa metode ilmiah paling tidak menyangkut pola-pola, analitis, penggolongan, perbandingan dan survey.

3.

Sosiologi Hukum sebagai ilmu harus merupakan produk pengetahuan yang sistematis (Utsman, 2013:87).

(14)

6

B. Uraiaan Bahan Pembelajaran

Defenisi Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum adalah satu cabang dari Sosiologi yang merupakan penerapan pendekatan Sosiologis terhadap realitas maupun masalah-masalah hukum. Oleh karena itu harus dipahami bahwa Sosiologi Hukum bukanlah suatu cabang dari studi ilmu hukum, melainkan cabang dari studi Sosiologi. Sosiologi Hukum berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsungnya di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat (Chairuddin, 1991:30).

Sosiologi Hukum adalah bagian dari Sosiologi Jiwa manusia yang menelaah sepenuhnya realitas Sosial Hukum, dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan lahiriah, di dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif. Sosiologi Hukum menafsirkan kebiasaan-kebiasaan ini dan perwujudan-perwujudan materi hukum berdasarkan intinya, pada saat mengilhami dan meresapi mereka, pada saat bersamaan mengubah sebagian dari antara mereka (kebiasaan dan perwujudan materi hukum).

Sosiologi Hukum memulai khususnya dari pola-pola pelambang hukum tertentu sebelumnya, seperti mengorganisasi hukum, prosedur-prosedur, dan sanksi-sanksinya, sampai pada simbol-simbol smbol-simbol hukum

(15)

7 yang sesuai, seperti kefleksibelan peraturan-peraturan dan kespontanan hukum (Johnson, 1994;64).

Pemikiran Sosiologi Hukum lebih berfokus pada keberlakuan empiric atau factual dari hukum. Hal ini memperlihatkan bahwa Sosiologi Hukum tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kenyataan sistem kemasyarakatan yang didalamnya hukum hadir sebagai pemeran utama. Objek utama Sosiologi Hukum adalah masyarakat dan pada tingkatan kedua adalah kaidah-kaidah hukum.

Hal tersebut di atas berbeda dengan ilmu hukum normative yang memandang hukum dalam hukum itu sendiri (apa yang tertuang dalam peraturan). Dalam hal ini Sosiologi Hukum mencoba untuk memperlakukan sistem hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Pada dasarnya, Sosiologi Hukum berpendapat bahwa hukum hanyalah salah satu dari banyak sistem sosial dan bahwa justru sistem sosial lain, yang terdapat dalam masyarakat, memberi arti dan pengaruh terhadap hukum (Anwar, 2008).

Untuk lebih mengkonseptualisasikan Sosiologi Hukum, kita perlu mengadopsi beberapa pengertian Sosiologi Hukum dari beberapa ahli terkemuka;

(16)

8 - Soejono Soekanto

Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.

- Satjipto Raharjo

Sosiologi Hukum (Sociology of Law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.

- R. Otje Salman

Sosiologi Hukum adalah ilmu yan mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis - H.L.A. Hart

menurut Hart, suatu konsep hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan masyarakat (Ali, 2005; 1).

C.J.M. Schuyt, mengemukakan bahwa yang menjadi pusat perhatiannya adalah peranan hukum di dalam masyarakat dalam hal pertahanan pembagian kesempatan hidup serta bagaimana peranan nisbi hukum untuk

(17)

9 mengubah pembagian yang tidak merata, dan pembagian kesempatan hidup itu sendiri tidak bisa terlepas dari adanya struktur kelas di dalam masyarakat sehingga karenanya muncullah persoalan ketidakadilan dan ketidakmerataan.

“……salah satu tugas Sosiologi Hukum…… tak lain adalah mengungkapkan sebab musabab ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan tertib masyarakat dalam kenyataan (Utsman, 2013;2).

George Gurvitch (1961) seorang professor terkemuka bidang Sosiologi Hukum yang berasal dari Universitas Sorbonne, secara runtut mendefenisikan sebagai berikut:

“Sosiologi Hukum ialah bagian dari Sosiologi sukma manusia yang menelaah kenyataan sosial sepenuhnya dari hukum, mulai dengan pernyataan yang nyata dan dapat diperiksa dari luar, dalam kelakuan kolektif yang efektif. Sosiologi Hukum menafsirkan kelakuan dan manifestasi material hukum ini menurut makna batinnya seraya mengilhami meresapinya, sementara itupun untuk sebahagian dirubahnya. Sosiologi Hukum khususnya bertindak dari pola hukum ke lambang yang ditetapkan sebelumnya, seperti hukum, prosedur dan sanksi-sanksi yang reorganisasi, sampai pada lambang-lambang hukum semata, seperti peraturan yang mudah menyesuaikan diri dan hukum yang serta merta. dari yang tersebut belakangan ini

(18)

10 Sosiologi Hukum bertindak kepada nilai-nilai dan gagasan hukum, dan kepada kepercayaan serta lembaga-lembaga kolektif yang bercita-citakan nilai ini dan memahami gagasan-gagasan ini, dan mewujudkan dirinya dalam fakta-fakta normative yang serta merta sumber kesahan (validity), yakni keabsahan dari kepositifan segala hukum” (Utsman, 203; 116).

Manfaat dan Kegunaan Mempelajari Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum adalah cabang dari Ilmu Pengetahuan sosial yang mempelajari hukum dalam konteks sosial. Sosiologi Hukum membahas tentang hubungan antara masyarakat dan hukum; mempelajari secara analitis dan empiris pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya. Memperkenalkan masalah-masalah hukum yang menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh para sarjana Ilmu Sosial, maka dalam mempelajari suatu ilmu pengetahuan, tentunya akan membawa manfaat tersendiri terkait dengan apa yang kita pahami serta kita pelajari. Manfaat yang dapat kita peroleh tersebut yakni :

- Hasil dari kajian Sosiologi Hukum mampu untuk membuka serta menambah cakrawala berpikir dalam memahami permasalah serta

(19)

11 perkembangan hukum yang ada di dalam masyarakat.

- Mampu mengkonsepkan permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi serta memberikan gambaran maupun alternatif pemecahan sesuai dengan kerangka konsep dan teori yang tersaji dalam kajian-kajian teoritik Sosiologi Hukum.

- Memahami perkembangan hukum positif di dalam suatu negara dan masyarakat dengan konstruksi perpaduan antara Sosiologi dan Hukum.

- Mengetahui efektifitas hukum yang diakui, dianut maupun berlaku dalam masyarakat. - Memetakan dampak maupun konsekuensi yang

terjadi akibat penerapan hukum dalam masyarakat

Tentunya manfaat yang akan didapatkan tidak serta merta datang dengan sendirinya, melainkan penggiat Sosiologi Hukum juga harus terus menggali dan mengembangkan berbagai sumber yang ada. Pada bagian tersendiri bila seorang mahasiswa hukum mempelajari Sosiologi bukanlah sesuatu yang mudah, sebab gaya berpikir Sosiologi yang konstruktif dan metodologis

(20)

12 membuat sedikit banyak mahasiswa hukum mengeluarkan tenaga dan bekerja keras untuk memahaminya. Ada kalanya penguatan pemahaman Sosiologi di awal pembelajaran Hukum sangat diperlukan mengingat objek hukum adalah masyarakat.

Hal inipun berlaku sebaliknya ketika seorang Sosiolog harus mempelajari hukum, mereka juga harus bekerja keras untuk mampu memahami konsepsi hukum dengan segala perspektif serta logika pikir yang sangat luas untuk dipelajari. Kesimpulan kecil bahwasanya manfaat ilmu menjadi berarti ketika pemahaman yang kita miliki bisa terbagi kepada orang lain, dan mampu menjadi alat pemecahan masalah yang ada di dalam masyarakat.

Purbacaraka dan Soejono Soekanto memaparkan kegunaan Sosiologi Hukum sebagai berikut:

1. Memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial.

2. Mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum tertulis (bagaimana mengusahakan agar suatu undang-undang melembaga di masyarakat). 3. Mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum

tertulis, misalnya mengukur berfungsinya suatu peraturan di dalam masyarakt (Utsman,2013:131).

(21)

13 J.Van Houtte. (1970) menyatakan:

1. Pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa kepada Sosiologi Hukum harus diberikan suatu fungsi yang global. artinya, Sosiologi Hukum harus menghasilkan suatu sintesis antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan sebagai sarana keadilan. Di dalam fungsinya itu, maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari Sosiologi Hukum, di dalam mengidentifikasikan konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.

2. Pendapat-pendapat lain menyatakan, bahwa kegunaan Sosiologi Hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkaidahan (Ustman, 2013: 133).

Objek Sosiologi Hukum

Dalam masyarakat terdapat konstruksi hukum yang terjalin dari kebiasaan hingga terstruktur menjadi hukum tertulis dengan kesepakatan bahwa konsensus menjadi kekuatan kepercayaan antar individu. Hukum sendiri berdiri pada tatanan struktural dimana hukum diciptakan untuk sebuah keteraturan atau keharmonisan dalam berkehidupan

(22)

14 sosial masyarakat tanpa harus menunggu konsesus bersama dari individu, maka sering disebut hukum memiliki unsur pemaksa.

Ketika kedua disiplin ini dipertemukan, maka harus ada persamaan wilayah bersama untuk saling mengisi, Sosiologi tidak bisa memaksa Hukum untuk melepaskan struktural dan mengikuti alur berpikir masyarakat begitu pula Hukum yang sangat mengikat dan memaksa tidak kemudian mereduksi Sosiologi untuk menciptakan pola pendekatan masyarakat yang opportunitis.

Ada hal yang bisa kita simpulkan bersama sebagai ranah bersama untuk kedua disiplin tersebut yaitu;

1) masyarakat, 2) lembaga, 3) interaksi.

Masyarakat sebagai akumulasi individu yang diikat dengan interaksi menjadi objek bersama bilamana kemudian Sosiologi berangapan bahwa masyarakatlah yang menciptakan dan menghancurkan suatu tatanan hukum, sama ketika hukum beranggapan bahwa sumber hukum selalu berasal dari masyarakat dan kembali berpulang masyarakat. Hukum yang diciptakan selalu untuk masyarakat, yang menjalani hukum tersebutpun adalah

(23)

15 masyarakat, serta dampak yang dihasilkan tentunya akan kembali ke masyarakat.

Sosiologi mencerna lembaga sosial sebagai suatu keinginan bersama dari masing-masing individu yang terlembaga dimana kemudian akan dipatuhi dan di jalani bersama apa yang telah di atur oleh lembaga tersebut, hukum melihat lembaga sosial sebagai eleman penting untuk menjadi konduksi pengawasan berjalannya hukum dalam masyarakat. Jadi sama seperti Sosiologi Hukum juga memiliki kepentingan tersendiri pada tataran lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.

Yang terakhir adalah interaksi, bahwasanya menjadi kebutuhan bersama pada Sosiologi maupun hukum melihat interaksi sebagai pola perilaku maupun tindakan yang memiliki arti tertentu, setiap tindakan yang memiliki arti bagi Sosiologi adalah tindakan sosial sementara setiap tindakan yang melahirkan konsekuensi bagi orang lain juga suatu tindakan hukum.

Walaupun digolongkan ke dalam bilangan ilmu pengetahuan sosial, namun akhir-akhir ini hasil kajian Sosiologi Hukum tersebut mulai banyak dirujuk juga oleh para ahli hukum. Kini banyak ahli hukum yang tidak sekedar berbicara tentang kesahan-kesahan yuridis suatu aturan hukum saja, akan tetapi juga mulai merasa perlu

(24)

16 mengetahui sejauhmana berlakunya aturan hukum berpengaruh pada terselenggaranya kehidupan bermasyarakat yang teratur dan tertib.

Kajian seperti itu memberikan kesempatan luas kepada para ahli hukum untuk menjelajahi alam pengetahuan yang lebih bersifat kontekstual daripada yang terlalu sempit dan tekstual. Demikian penting alam kontekstual bagi para ahli hukum, bahkan yang semula hanya berpandangan preskriptif tanpa ragu berpendapat bahwa Sosiologi Hukum harus diakui dan dimasukkan sebagai bagian dari ilmu hukum, termasuk beberapa teoretisi hukum di Negeri Belanda seperti Meuwissen dan Brugink (Match Day 25).

Objektifikasi antara kedua disiplin tersebut hanya bisa dipahami ketika aktor maupun institusi mau menempatkan kebutuhan pemahaman pada tataran yang konstruktif, tidak serta merta ada hegemoni suatu disiplin kepada disipin lain. Pada Hakekatnya, mulanya sangat sulit dipahami bahwa Sosiologi dan Hukum dapat dipersatukan, karena para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah quid juris, sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan quid facti dalam arti mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan hubungan. Inilah yang menyebabkan kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli

(25)

17 filsafat hukum yang menanyakan apakah Sosiologi Hukum tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai norma, sebagau suatu asa untuk mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian.

Itu pula sebabnya sebagian ahli Sosiologi tidak membenarkan adanya Sosiologi Hukum. Mereka khawatir, melalui Sosiologi Hukum akan dihidupkan kembali penilaian-penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta-fakta sosial. Karena tugas Sosiologi mempersatukan apa yang dipecah-pecah secara sewenang-wenang oleh ilmu-ilmu sosial, selain itu para ahli Sosiologi menegaskan ketidakemungkinan mengasingkan hukum dari keseluruhan kenyataan sosial, dipandang sebagai suatu totalitas yang tak terbinasakan (Johnson, 1994;10).

Karena Sosiologi Hukum adalah cabang khusus Sosiologi, maka metode kajian yang dikembangkan adalah metode yang telah dilazimkan dalam Sosiologi itu. Sebagaimana diketahui, sosiologi mencoba melihat objek-objek kajiannya dengan kacamata penglihatan deskriptif. Artinya, ia pertama-tama hanya hendak mengetahui dan memahami ihwal nyata objeknya itu, tanpa memberikan penilaian apa-apa tentang baik buruknya. Dari kacamata itu Sosiologi dan Sosiologi Hukum “hanya” akan memberikan keadaan kualitas dan/atau kuantitas objeknya sebagaimana

(26)

18 “apa adanya”. Sosiologi hanya akan mempertanyakan apakah kualitas tertentu ada atau tak ada dalam objek yang tengah diteliti itu; dan kalau ada, berapa besarnya kuantitasnya itu? (Wignjosoebroto. 2002).

Sesungguhnya, Sosiologi Hukum berusaha juga menyelidiki pola-pola dan simbol-simbol hukum, yakni makna-makna hukum yang berlaku berdasarkan pengalaman di suatu kelompok dan dalam satu masa tertentu, dan berusaha membangun simbol-simbol itu berdasarkan sistimatika. Dengan demikian, perlu juga kiranya mengetahui apa saja yang disimbolkan, yang berarti berupaya mengamati kembali segala sesuatu yang mereka nyatakan dan menganalisa segala sesuatu yang mereka sembunyikan. Inilah tugas Sosiologi Hukum, selain itu kriteria-kriteria yang digunakan mengabstraksikan makna-makna simbol yang normatif, yang lepas sepenuhnya dari kenyataan hukum, maupun asas-asas yang mengilhami tersusunya suatu sistem bersifat khusus dari makna-makna yang dibangun oleh ilmu hukum, tidak dapat terselenggara kecuali dengan dukungan Sosiologi Hukum (Johnson, 1994;17).

(27)

19

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Bermula dari maraknya pemikiran bahwa hukum as it is in society, not as it is in the book sebagai bagian dari kajian tentang hukum dalam eksistensinya sebagai institusi masyarakat, menghasilkan topik-topik dalam perbincangan Sosiologi Hukum akan memaparkan berbagai masalah dan pemikiran mengenai hukum sebagaimana yang dinyatakan as it is in society (Match Day 25).

Dalam kajian bahan perkuliahan tersebut diurai dari perspektif hukum bahwasanya hukum lebih faktual dan memiliki objektifikasi atas Sosiologi, lebih lanjut coba saya cuplik dari apa yang dituliskan (Match Day 25);

Pertama, Sosiologi Hukum akan menjelaskan apakah yang dimaksud dengan hukum yang menjadi objek kajiannya itu, baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam Sosiologi Hukum, kedua ragam hukum itu (yang berlegalitas formal dan yang berlegitimitas sosial) sama-sama dibicarakan dalam suatu hubungan yang mungkin fungsional dan sinergis, atau bahkan mungkin disfungsional dan kontroversial.

Kedua, Sosiologi Hukum akan menjelaskan ihwal lembaga-lembaga negara yang berfungsi membentuk atau membuat serta menegakkan

(28)

20 hukum itu. Selain itu, dikemukakan dan diperbincangkan juga ihwal sumber otoritas yang akan dijadikan dasar normatif untuk membenarkan dilaksanakannya fungsi-fungsi tersebut oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya, sejarah perkembangan sistem hukum berikut struktur yang berfungsi sebagai penopang otoritasnya juga akan dibicarakan disini. Ihwal yang sering dibicarakan berkisar kebijakan-kebijakan unifikasi dan fakta riil tentang bertahannya pluralisme dalam sejarah perkembangan hukum.

Ketiga, Hubungan interaktif antara sistem hukum yang formal (sebagaimana ditopang oleh otoritas negara) dan tertib hukum rakyat (yang bertumpu pada dasar-dasar moralitas komunitas). Perbincangan akan tertuju ke pencarian jawab tentang sejauh manakah hukum akan mampu bekerja secara efektif, baik dalam peran yang konservatif sebagai sarana kontrol maupun dalam peran yang lebih progresif sebagai salah satu faktor fasilitator yang akan memudahkan terjadinya perubahan sosial. Memperbincangkan ihwal keefektifan hukum, diskusi akan berkisar di

(29)

21 seputar usaha mengidentifikasi berbagai variabel sosial dan variabel kultural yang boleh diduga akan berpengaruh pada bekerjanya hukum dalam masyarakat itu.

Pada perkembangan selanjutnya, Sosiologi lebih didominasi oleh ahli-ahli hukum yang mencitrakan bahwasanya Sosiologi Hukum berasal dari ilmu hukum sendiri dan sosiologi hanya sekedar menjadi instrument untuk mengkaji masyarakat yan dikehendaki, namun semua ini tidak perlu diperdebatkan kembali yang jelas sinergitas antara kedua disiplin tersebut dapat melahirkan suatu perubahan yang sekiranya berguna bagi kita semua.

Sebelum jauh kita diskusikan isi buku ini, selayaknya kita uraikan sejauhmana ruang lingkup dari Sosiologi Hukum itu sendiri, sebagai hal dimaksud untuk menjelaskan setiap fenomena maupun argument sebagai penjelas fakta. Untuk mengetahui kita akan bertolak dengan apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu ajaran tentang kenyataan yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (preskriptif).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan bahwa letak antara ruang lingkup Sosiologi Hukum ada 2 (dua) hal, yaitu:

1. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. sebagai contoh dapat disebut

(30)

22 misalnya: Hukum Nasional di Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan 2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial

lainnya. sebagai contoh dapat disebut misalnya: - Undang-undang tentang hak cipta

- Undang-undang mengenai Pemilihan Presiden secara langsung terhadap gejala politik (Ali, 2005: 4).

Karakteristik kajian Sosiologi Hukum adalah fenomena hukum di dalam masyarakat dalam mewujudkan: (1) Deskripsi, (2) Penjelasan, (3) Pengungkapan, (4) Prediksi.

1. Sosiologi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktik-praktik hukum. Apabila praktik-praktik itu dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang, penerapan dalam pengadilan maka ia juga mempelajari bagaimana praktik yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan tersebut.

2. Sosiologi Hukum bertujuan untuk menjelaskan: mengapa suatu praktik-praktik hukum didalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya, dan sebagainya. Satjipto

(31)

23 Raharjo mengutip pendapat Max Weber yang menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta efek dari tingkah laku sosial. dengan demikian, mempelajari Sosiologi Hukum adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum sehingga mampu mengungkapkannya. 3. Sosiologi Hukum senantiasa menguji kesahihan

empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi sesuatu hukum yang sesuai dan atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.

4. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarri (Ali, 2005;8).

(32)

24

C. Penutup

Sosiologi Hukum merupakan salah satu domain dari ilmu sosial yang menggabungkan dua pendekatan dalam setiap aplikasinya, yaitu dengan mempergunakan pendekatan hukum dan pendekatan sosiologi. Ada hal yang bisa kita simpulkan bersama sebagai ranah untuk kedua disiplin tersebut yaitu; 1) masyarakat, 2) lembaga, 3) interaksi.

Mengkonseptualisasikan Sosiologi Hukum yaitu menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, juga termasuk didalamnya pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya dan berbagai gejala hukum yang tampak dari kehidupan masyarakat.

Mempelajari Sosiologi Hukum tidak sekedar mengartikan atau pula mendefenisikan namun terlebih lagi kita juga harus mamahami kebermanfaatan yang salah satunya memetakan dampak maupun konsekuensi yang terjadi akibat penerapan hukum dalam masyarakat juga memilah-milah objektifitasi dari Sosiologi Hukum yaitu hukum dan masyarakat.

Selain itu perlu juga kita batasi ruang lingkup dari Sosiologi Hukum dengan memahami dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum dan efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya.

(33)

25

Latihan

1. Sebutkan salah satu pengertian dari Sosiologi Hukum yang anda ketahui?

2. Jelaskan manfaat dan kegunaan yang bisa didapatkan dengan mempelajari Sosiologi Hukum?

3. Uraikan secara singkat salah satu objek dari Sosiologi Hukum?

4. Jelaskan 2 domain dari ruang lingkup Sosiologi Hukum?

5. Gambarkan dan jelaskan karakter berpikir dari Sosiologi Hukum?

(34)

26

BAHAN PEMBELAJARAN II

Sejarah dan Perkembangan Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan

Dilihat dari sudut historis istilah Sosiologi Hukum untuk pertama kali digunakan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Dari sudut perkembangannya Sosiologi Hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran-pemikiran para ahli pemikir, baik dibidang Filsafat Hukum, ilmu hukum maupun Sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu, akan tetapi berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir yang pada garis besarnya mempunyai pendapat yang tidak banyak berbeda. Betapa besarnya pengaruh filsafat hukum dan ilmu hukum terhadap pembentukan Sosiologi Hukum, nyata sekali dari ajaran-ajaran beberapa mazhab dan aliran yang memberikan masukan-masukan pada Sosiologi Hukum.

Masukan yang diberikan dari aliran dan mazhab sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung bagi Sosiologi Hukum. Sosiologi Hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupkan ilmu sosial yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama

(35)

27 manusia dengan sesamanya, yakni kehidupan sosial atau pergaulan hidup,singkatnya Sosiologi Hukum mempelajari masyarakat, khususnya gejala hukum dari masyarakat.

Aristoteles di Zaman Purba (385-322 SM) dan Montesquieu di jaman modern (1689-1755) adalah hampir mendekati hukum metodis. Aristoteles mengemukakan keseluruhan masalah-masalah yang semestinya harus dipecahkan; Montesquieu, yang dipengaruhi oleh “fisika sosial” dari Hobbes dan Spinoza telah menghilangkan prasangka-prasangka kesusilaan pada telaahan berdasarkan kepada pengamatan empiris secara sistematis (Johnson, 1994; 71). Dengan demikian untuk memahami arti keadilan Aristoteles terlebih dahulu menggambarkan berbagai macam hukum positif, dalam hubunganya yang nomos (tata tertib sosial yang benar-benar efisien), Philia (sociality atau solidaritas sosial) dan kelompok-kelompok tertentu, dan negara hanya merupakan mahkotanya.

Singkatnya, Aristoteles, meskipun ia mengintegrasikan Sosiologi Hukum dengan metafisika dogmatisnya, telah berhasil memperoleh suatu pandangan singkat mengenai masalah-masalah asasi dari mikrososiologi hukum, Sosiologi diferensial, dan Sosiologi Hukum genetis, tetapi hanya dilapangan Sosiologi Hukum genetis, dan selanjutnya pula

(36)

28 dikhususkan kepada hukum negara Yunani masa itu (Johnson, 1994; 71).

Sosiologi Hukum Monstequieu karena faktor banyak jumlahnya dan bercorak ragam bentuknya, yang terjalin di dalamnya, yang dikembangkan, dimasukan ke dalam telaah semangat sejarah dengan kecendrungannya kepada individualisasi fakta-fakta. Sosiologi Hukumnya mengarahkan syarat-syarat naturalistik untuk menelaah pola tingkah laku kolektif sebagai benda-benda fisik pada pengamatan empiris yang nyata dan konsekuen; ia mengganti rasionalisme yang begitu menonjol bahkan di antara orang-orang sesudah Monstequieu seperti Condorcet dan Comte dengan empiris radikalnya.

Demikianlah untuk pertama kalinya Sosiologi Hukum Monstequieu membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecendrungan-kecendrungan metafisika yang dogmatis, dan membawanya lebih dekat barangkali terlalu dekat kepada telaah perbandingan hukum. Bagaimanapun juga, monstequieu dengan mengguraikan isi konkret dari pengalaman hukum dalam tipe-tipe peradaban yang berbagai jenisnya, lebih daripada semua orang sebelumnya mampu berkata tentang hukum membawa “ia berbicara tentang apa yang ada, bukan tentang apa yang seharusnya”

(37)

29 dan bahwa ia “tidak menilai kebiasaan-kebiasaan melainkan menerangkannya” (Johnson, 1994; 79).

Namun demikian ada pandangan yang mengartikan keterpengaruhan Sosiologi Hukum terhadap Filsafat hukum, Ilmu Hukum dan Sosiologi yang berorientasi pada hukum sebagai awal berkembangnya Sosiologi Hukum itu sendiri. Pada segmentasi Filsafat Hukum Hans Kelsen mengungkapkan bahwasanya hukum tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya, sementara kajian ilmu hukum sendiri mengganggap “hukum sebagai gejala sosial” dan hal ini berbeda seperti yang diungkapkan oleh Kelsen menanggapi hukum sebagai gejala normative.

Untuk Sosiologi yang berorientasi pada Hukum terwakili oleh Durkheim dan Weber; dalam setiap masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas organis dan ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis, yaitu yang terdapat pada masyarakat sederhana, hukumnya bersifat represif yang diasosiasikan seperti dalam hukum pidana. Lain halnya dengan solidaritas organis, yaitu terdapat pada masyarakat modern, hukumnya bersifat restuitif yang diasosiasikan seperti hukum perdata (Ali, 2005;2-3).

(38)

30

B. Uraian Bahan Pembelajaran

Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum

Perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan kepada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan, niscaya menimbulkan konflik. Keadaan seperti itu ditunjuk sebagai faktor yang mendorong kehadiran Sosiologi Hukum. Schuyt menghubungkan perkembangan serta kemajuan Sosiologi Hukum di Skandinavia, Amerika Serikat, Jerman dengan perubahan sosial serta situasi situasi konflik yang terjadi di negara-negara tersebut. Schuyt melaporkan bahwa di Skandinavia, dimana Sosiologi Hukum dalam arti modern pertama muncul (1948-1952), berlangsung perubahan menuju kepada pemerintahan sosialis.

Pada latar belakang itulah, Sosiologi Hukum muncul di negara tersebut. Dalam bidang ekonomi dikeluarkan peraturan-peraturan perundangan untuk mempercepat perubahan dan munculnya negara kesejahteraan. Kebijaksanaan tersebut berbenturan dengan cara berpikir tradisional yang berorientasi liberal. Para pengusaha ingin mempertahankan hak milik privat atas alat-alat produksi. Benturan antara ideologis sosialistis dan liberal sangat mendorong penelitian-penelitian secara Sosiologi Hukum (Raharjo, 2010;12).

(39)

31 Perkembangan yang patut dicatat pula dalam kajian-kajian Sosiologi Hukum adalah mulai ditinggalkannya kemudian sikap dan wawasan yang Eropa sentris atau Amerika sentris yang semula mendominasi kegiatan para pengkajinya. Seusai Perang Dunia ke II, para pengkaji Sosiologi Hukum mulai memperhatikan pula apa yang terjadi dalam konteks Cultural encounters antara “sistem hukum Eropa yang eksis dan terteruskan sebagai struktur supra yang modern dan nasional di negeri-negeri berkembang” dan “basis-basis kultural yang dikukuhi oleh masyarakat bumi puteranya sebagai bagian dari kekayaan tradisionalnya”.

Perhatian ini telah mengalahkan kajian-kajian baru yang mendekatkan kajian-kajian bergaya sosiologis ke kajian yang lebih bergaya antropologis. Inilah kajian-kajian yang harus lebih dikenali sebagai kajian-kajian-kajian-kajian tentang transplantasi kultural daripada sebagai kajian-kajian tentang transformasi sosial (Wignjosoebroto. 2002).

Awal Perkembangan Sosiologi Hukum Di Indonesia

Tesis tentang perubahan masyarakat sebagai penggerak Sosiologi Hukum juga memperoleh kebenarannya di Indonesia, oleh karena perkembangan Sosiologi Hukum di negeri ini juga tidak dapat dilepaskan

(40)

32 dari perubahan-perubahan yang terjadi secara susul menyusul sejak revolusi kemerdekaan. Pencapaian kemerdekaan negera Indonesia tidak berlangsung secara Yuridis Tradisional, melainkan secara Politik Sosiologis.

Perubahan yang secara yuridis “Tidak normal” itu menimbulkan situasi-situasi konflik sehingga mendorong orang untuk melihat kembali kepada hakikat fungsi hukum, batas-batas kemampuan hukum dan lain-lain atau yang tidak lazim dibicarakan dalam wacan hukum tradisional yang didominasi oleh pemikiran analistis-positivisme (Raharjo, 2010;13).

Meskipun pada hakekatnya Sosiologi Hukum secara relatif masih muda usianya dan masih baru bagi Indonesia sehingga belumlah tercipta lapangan kerja yang jelas dan tertentu. Apa yang yang telah dicapai sekarang ini pada umumnya merupakan pencerminan daripada hasil-hasil karya dan pemikiran yang para ahli yang memusatkan perhatiannya pada Sosiologi Hukum.

Mereka memusatkan perhatiannya pada Sosiologi Hukum, oleh karena kepentingan-kepentingan yang bersifat teoritis atau karena mereka mendapatkan pendidikan baik dalam bidang sosiologi maupun ilmu hukum, atau oleh karena mereka memang mengkhususkan diri dalam penelitian Sosiologis terhadap Hukum. Namun pada

(41)

33 perkembangannya Sosiolog kurang memeperhatikan dibidang Hukum. Ada beberapa faktor sebagai penyebab kurangnya perhatian para Sosiolog terhadap Hukum;

Pertama: Para Sosiolog mengalami kesulitan untuk menyoroti sistem hukum semata-mata sebagai himpunan kaedah-kaedah yang bersifat normatif sebagimana halnya dengan para Yuris. Para Sosiolog sulit menempatkan diri dialam normatif karena Sosiologi merupkan suatu disiplin yang kategoris.

Kedua: Pada umumnya para Sosiolog dengan begitu saja menerima pendapat bahwa hukum merupakan himpunan peratuaran-peraturan yang statis. Hal ini tercermin pada pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan para ahli. Ketiga : Sosiolog sering mengalami kesulitan untuk

menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian banyaknya yang pernah dihasilkan oleh Beberapa generasi ahli-ahli hukum.

Keempat: Lambatnya perkembangan Sosiologi Hukum

adalah kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan antara para sosiolog dengan para ahli hukum karena kedua belah pihak tidak

(42)

34 mempergunakan bahasa dan kerangka pemikiran yang sama ( Mastur, 2013).

Seperti juga halnya di negara-negara lain, munculnya Sosiologi Hukum di Indonesia masih tergolong cukup baru. Namun demikian sebagaimana juga telah dibicarakan sebelumnya bahwa sebagi suatu pendekatan (approach) ia sudah hampir sama tuanya dengan Ilmu Hukum itu sendiri. kalau dikatakan bahwa Sosiologi Hukum itu merupakan disiplin yang relatif baru di Indonesia, maka hal itu tidak mengurangi kenyataan, bahwa Van Vollenhoven sudah sejak di awal abad ini menggunakan pendekatan Sosial dan Sosiologis terhadap hukum. Untuk kesimpulan awal, wacana hukum yang melibatkan pendekatan Sosiologis sudah dimulai sejak sebelum didirikan lembaga pendidikan tinggi (Raharjo, 2010;32).

Keadaan dan perubahan yang demikian itu pada gilirannya menimbulkan dampak terhadap pemikiran mengenai hukum. perilaku dan dengan demikian juga perilaku hukum yang berubah sangat mempengaruhi hukum di Indonesia. Sebagai mata kuliah, Sosiologi Hukum memasuki kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia dengan nama “Hukum dan Masyarakat”. Pada tahun 1980 terbit buku dengan nama yang sama, yang merupakan karya pertama yang agak lengkap mengenai filsafat, pendekatan dan analisis Sosiologis terhadap Hukum. Di tahun 90-an, mata kuliah tersebut sudah makin biasa diberikan di Fakultas

(43)

35 hukum serta menggunakan nama “Sosiologi Hukum” (Raharjo, 2010; 38).

Keterasingan para mahasiswa dan para sarjana hukum dari paradigma, teori dan metode sosiologi (hukum) itu lebih diperkuat lagi tatkala pendidikan hukum di Indonesia hingga kini masih saja dimaksudkan secara kurang realistis sebagai studi profesi yang monolitik semata, yang meyakini bahwa kehidupan bermasyarakat yang kompleks ini dapat begitu saja diatur secara apriori menurut model-modelnya yang normatif-positif, yang ditegakkan berdasarkan prosedur-prosedur bersanksi.

Bermaksud begitu, pendidikan hukum di Indonesia menganut tradisi Civil Law dari Eropa Kontinental lalu cenderung memperlakukan hukum sebagai kaidah-kaidah positif (yang terumus secara eksplisit dan terinterpretasi secara konsisten) yang terorganisasi di dalam suatu sistem normatif yang tertutup, dengan metodenya yang monismus yang ternyata dimaksudkan untuk hanya bisa mengenali prosedur-prosedur penalaran yang formal-deduktif saja. Karena metode deduksi ini hanya bermanfaat untuk menemukan dasar pembenaran atau dasar legitimasi (itu pun hanya yang formal saja), dan tidak sekali-kali mampu menemukan hubungan antarvariabel di alam amatan sebagaimana halnya metode induksi, maka tak pelak lagi “ilmu hukum” ini sulit digolongkan ke dalam bilangan ilmu; yaitu ilmu dalam artinya yang khusus sebagai (empirical) science (Wignjosoebroto. 2002).

(44)

36

C. Penutup

Seperti halnya di negara-negara lain munculnya Sosiologi Hukum di Indonesia masih tergolong , cukup baru, ilmu hukum di Indonesia datang dan di usahakan melalui kolonialisasi belanda atas negeri ini, pendidikan tinggi hukum yang boleh di pakai sebagai lambang dari kegiatan kajian hukum baru di mulai pada tahun 1942, yaitu dengan di bukanya rechtchogeschool di Jakarta yang didirikan pada tahu 1909, dengan masa belajar dengan enam tahun.lembaga ini belum dapat di maksudkan ke dalam kategori lembaga keilmuan, karena separuh dari masa itu masih juga di pakai untuk melakukan pendidikan menengah atau SLTP atas untuk di ketahui pendidkan menengan atas baru ada di Indonesia pada tahu 1919.

Kendati perubahan sudah mulai terjadi sejak kolonialisasi oleh belanda atas Indonesia, namun karena sempat ‘’ mengadap’’ selama ratusan tahun,maka hilanglah kualitas perubahan tersebut bahkan masa di bawah penjajahan belanda sudah di sebut sebagai “zaman norma” perubahan dan keguncangan sosial yang kemudian berlangsung secara akumulatif,benar-benar di mulai sejak kapitulasi Belanda di hadapan jepang. Itulah saatnya bangsa Indonesia benar-benar merasakan terjadinya suatu “perubahan guncangan dalam hidupnya” keadaan tak seperti biasa, zaman normal dan sudah lewat (Rahardjo,2010:32-34).

(45)

37 Keadaan dan perubahan yang demikian itu pada gilirannya menimbulkan dampak terhadap pemikiran mengenai hukum. Prilaku dan dengan demikian juga prilaku hokum yang berubah sangat mempengaruhi praktik hokum di Indonesia, apabila pada masakolonial hukum relative mampu menjadi sarana berlangsungsungnya proses-proses dalam masyarakat secara teratur, tidak demikian keadaanya sesudah terjadi gelombang perubahan tersebut di atas, dapat dikatakan, hukum telah kehilangan cengkramannya terhadap masyarakat.

Dalam suasana demikian itu adalah sangat logis apabila pemikiran dan studi hukum positivistis,yaitu yang mendasar pada telaah perundang undangan mengalami gugatan. Pada waktu orang berpaling ke ilmu hokum dan mencari tahu bagaimana dapat terjadi perubahan seperti itu,teori-teori hukum yang positivistis tidak mampu memberi jawaban atau penjelasan. Sebuah artikel sederhana pada tahun 1971 telah mengemukakan kekurangan tersebut, yaitu tentang keterbatasan dari studi hokum normative dan diperlakukanya suatu pendekatan lain Decade 70-an dapat di sebut sebagai momentum mulai berkembangnya Sosiologi Hukum di Indonesia, di tandai dengan munculnya tulisan-tulisan yang tergolong ke dalam studi sosial mengenai hukum dalam konteks sosial yang lebih besar (Rahardjo,2010:36).

(46)

38

Latihan

1. Jelaskan sejarah perkembangan Sosiologi Hukum yang anda pahami?

2. Jelaskan sinkronisasi antara perkembangan Sosiologi dan Hukum sehingga berada pada satu titik pandang yang sama tentang masyarakat?

3. Jelaskan awal perkembangan Sosiologi Hukum di Indonesia?

4. Jelaskan bagaimana Monstequieu membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecendrungan-kecendrungan metafisika yang dogmatis?

5. Jelasakan secara umum bagaimana pengaruh pemikiran Eropa dan Amerika terhadap perkembangan Sosiologi Hukum di Indonesia?

(47)

39

BAHAN PEMBELAJARAN III

Pendekatan Dan Aliran Yang Ada Dalam

Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan

Dalam berbagai disiplin ilmu yang ada sudah barang tentu terdapat pendekatan yang dipakai guna mencapai tujuan dari disiplin ilmu tersebut. Pendekatan dipergunakan untuk mempermudah mengkonstruksi struktur pemahaman, dengan memperhatikan ruang lingkup serta objek yang ingin dipahami.

Aliran Sosiologis dalam ilmu hukum – yang karena berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound yang dalam bahasa asalnya disebut The Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam Jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an.

Aliran dalam Ilmu Hukum ini disebut Sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa “sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperativ-imperativ

(48)

40 logika, namun the life of law has not been logic, it is experience”.

Adapun yang dimaksudkan dengan experience oleh Holmes di sini tak lain adalah The social atau mungkin pula The socio-psychological experience.

Maka dapatlah dimengerti mengapa dalam Sociological jurisprudence ini sekalipun fokus kajian tetap dalam persoalan kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normatif hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik profesional) faktor-faktor sosiologis lalu secara realistis (dan tak selalu harus secara normatif-positvistik) mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian (Wignjosoebroto, 2002).

(49)

41

B. Uraian Bahan Pembelajaran

Pendekatan Hukum Sebagai Nilai

Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Eksistensi dan kemampuan hukum lalu diukur seberapa jauh ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian, moral keadilan telah menjadi dasar untuk mensahkan kehadiran dan bekerjanya hukum (Raharjo 2010; 66).

Dalam buku Sosiologi karangan Satjipto Raharjo (2010) dikemukakan keberatan Donald Black, seorang Sosiolog Hukum Amerika terkemuka yang sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab Sosiologi Hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu tentang fakta, jadi sesautu itu harus berdasarkan pada apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan.

Di Amerika Serikat, moral untuk menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan individu melahirkan peradilan pidana “adversary sistem” dan apa yang disebut “exclusionary rules”. Demi menjunjung kemerdekaan individu, maka dalam peradilan pidana fakta dan kebenaran dapat dipinggirkan oleh pertimbangan melindungi hak-hak tersangka (Raharjo 2010; 71).

(50)

42

Pendekatan Hukum Sebagai Institusi

Dalam Sosiologi Hukum, institusi adalah suatu sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefenisikan dan membagikan peran-peran yang saling berhubungan di dalam institusi. Para pihak dalam institusi menempati dan menjalankan perannya masing-masing, sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang darinya dan apa yang dapat diharapkannya dari orang lain. Institusi menjadikan usaha untuk menghadapi tuntutan-tuntutan dasar dalam kehidupan tersebut berlangsung tertib, berkesinambungan dan bertahan lama (enduring). keadaan yang demikian itu dimungkinkan, karena institusi memuat peraturan, prosedur dan praksis. Institusi tersusun dari (1) nilai, (2) kaidah, (3) peran dan (4) organisasi.

Institusionalisasi adalah usaha untuk membuat institusi menjadi mapan. Persoalan yang dihadapi negara berkembang pada umumnya adalah bagaimana membuat hukum itu memiliki otoritas yang cukup agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Raharjo 2010; 83-84).

Aliran-Aliran

Yang

Mempengaruhi

Terbentuknya

Sosiologi Hukum

(51)

43 Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon Austin (1790-1859), ia mengatakan bahwa: hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan tertinggi (law is command of the lawgivers), atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan karena ajarannya dinamakan Analitical Jurisprudence. Ajaran Austin kurang/tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:

1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia

2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia, hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua) bagian: a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang

tepat disebut sebagai hukum, jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sebenarnya mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang sebenarnya terbagi 2 (dua):

(52)

44 Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain.

Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.

b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan hukum yang merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari unsur Sosiologis berarti bahwa ajaran Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein / kenyataan sosial.

(53)

45 Hukum merupakan sollens kategori (seharusnya) dan bukan seins kategori(adanya): orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkhis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar. Ringkasnya ajaran Kelsen ini adalah:

o Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. o Hukum tidak mempersoalkan “bagaimana hukum

seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is).

o Hukum tidak lain adalah kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah negaranya.

o Bagi Kelsen Hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan dengan isi (materia).

(54)

46 o Suatu hukum dapat saja tidak adil, namun tetap saja merupakan hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

o Keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. o Kelsen dipandang sebagai tokoh pencetus Teori

Jenjang (Stufentheorie), yang semula diperkenalkan oleh Adolf Merkl.

o Hukum adalah suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.

o Semakin tinggi suatu norma, maka akan semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma, maka akan semakin konkrit.

Mazhab Sejarah dan Kebudayaan

Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah senyatanya mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan mazhab formalisme. Dalam hal ini mazhab sejarah dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum tersebut timbul.

Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal :

(55)

47 1. Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang dipandang tidak memperhatikan fakta sejarah.

2. Semangat revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih mengutamakan rasio.

3. Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang telah dapat memecahkan semua masalah hukum.

Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) berasala dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum (bahkan Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah peletak dasar mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (valksgeist). Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan berasal dari pembentukan undang-undang. Ringkasnya pendapat Savigny yaitu:

o Hukum adalah suatu produk dari kekuasaan yang tidak disadari (unconscious force).

o Hukum beroperasi secara diam-diam di tengah masyarakat.

(56)

48 o Sumber utama hukum adalah adanya kesetiaan dari anggota masyarakat, kebiasaan dan kesadaran dari anggota masyarakat.

o Di setiap masyarakat, tradisi dan kebiasaan tertentu yang secara terus menerus dipraktekkan berkembang menjadi peraturan hukum dan diakui oleh organ-organ negara.

Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888), ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mana masih sederhana kepada masyarakat yang senyatanya sudah modern dan kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada masyarakat sederhana secara berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada kaidah-kaidah hukum sudah modern dan kompleks.

Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif atas masyarakat yang relatif bersifat statis homogen, dengan masyarakat yang komplek (modern), dinamis dan relatif heterogen. Sehingga sangat membantu dalam perkembangan bahkan memprediksi bangunan Sosiologi hukum baik secara teoritis maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan

(57)

49 masyarakat dengan segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat dihindari, apalgi suatu negara dan bangsa yang sangat majemuk (seperti Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak dibatasi sebagai proses hukum, melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah juga proses sosial.

Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Ia berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat berbentuk:

1) Langsung berupa adat istiadat, 2) Melalui undang-undang,

3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Aliran Utilitarianisme

Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) yaitu:

(58)

50

“Dalam teorinya tentang hukum, Bentham

menggunakan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme yakni bahwa manusia bertindak untul memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan… setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang diperlakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan”.

Jeremy Bentham (1748-1832)

Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kerusakan. Tugas Hukum adalah memelihara kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya pemidanaan haruslah bersifat spesifik untuk tiap jenis kejahatan, dan seberapa besar pidana itu boleh diberikan, hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah timbulnya kejahatan.

Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan penderitaan itu sendiri diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Sehingga keadilan dan penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti sama bagi setiap manusia.

(59)

51 Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering (1818-1892) yang ajarannya disebut sosial utilitarianisme. Ihering berpendapat:

“… hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana merela menjadi warganya… hukum juga merupakan suatu alat yang dapat

dipergunakan untuk melakukan

perubahan-perubahan sosial”. Rudolf Von Jhering (1818-1892)

Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya ia penganut paham sejarah (yang dikembangkan oleh Savigny). Namun pada akhirnya ia justru menentang pendapat dari Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi adalah pernyataan dari jiwa bangsa Romawi, dan oleh karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi). Hal inilah yang dibantah oleh Jhering, Jhering mengatakan seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya. Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum Romawi pada hakekatnya juga mengalami hal ini. Suatu barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat

(60)

52 nasionalis tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya hukum itu makin mendapat ciri universal.

Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi bersifat nasional, akan tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga hukum tersebut lebih bersifat universal daripada nasional (Darmodiharjo, 1999: 112-116).

John Stuart Mill (1806-1873)

Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan psikologi. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia mencari kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Ia dalam pemikirannya menjelaskan hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan individu dan kepentingan umum.

Aliran Sociological Jurisprudence

Ajaran-ajaran aliaran Sociological Juriprudence berkembang dan menjadi popular di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-1964). Roscoe berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau dipandang

(61)

53 sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (Law in Action) yang dibedakannya dengan hukum tertulis (Law in The Books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum subtansif maupun hukum ajektif. Ajarannya tersebut menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pol-pola perikelakuan. Ajarannya tersebut dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata.

Baik Sosiological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum mempunyai pokok perhatian yang sama. Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial, bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan-pertentangan.

G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode fungsional untuk menggantikan istilah Sociological Jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya

Referensi

Dokumen terkait

Malpraktek bukan hal baru, namun sudah menjadi isu lama yang kerap bukan sebagai persoalan hukum, mengingat dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat terdapat

Selain itu, kerugian negara akan menjadi unsur tindak pidana korupsi, jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan (kecuali untuk tindak pidana