• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Aliran Pendidikan Islam

2. Aliran Religius-Rasional

Aliran ini mempunyai pemahaman bahwa semua ilmu dan sastera yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju concern terhadap akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bumerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat.138 Diantara tokoh aliran religius-rasional adalah kelompok Ikhwan Aṣ-ṣafa dan Al-Farabi.139

Ikhwan Aṣ-ṣafa, merumuskan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang

diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiada gambaran yang diketahui pada jiwanya.140 Belajar mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial, melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa. Aktivitas seperti itu bagi guru dinamakan mengajar dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.141

Kemunculan Ikhwan Aṣ-ṣafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan.

138 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 77-78.

139 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 79.

140 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 78.

141

Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.142

Hal yang menjadi fokus kajian aliran ini adalah pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani dalam berbagai segi, sampai-sampai mereka dijuluki pemburu hikmah (filsafat) yunani dibelahan timur.143 Pergumulan intensif mereka telah telah memberikan landasan bagi aliran pendidikannya, yakni bahwa pangkal segala sesuatu yang terkait dengan jiwa beserta potensinya serupa dengan apa yang diutarakan oleh kecendrungan gnostik. Dalam kerangka demikian mereka membangun prinsip-prinsip dasar tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan.144 Al-Farabi mengalisis manusia secara funsional organik. Ia memilah potensi manusia menjadi enam tingkatan yang merupakan totalitas eksistensi perkembangnnya. Menurutnya jika manusia lahir, maka potensi organik pertama adalah potensi al-ghadhiyyah (organ tubuh yang berfungsi untuk mencerna makanan).145

Setelah itu perasa sehinga mampu merasakan hawa dingin atau panas, dan dapat merasakan stimuli warna dan kilasan cahaya. Bersamaan dengan fungsinya indrawi timbul kecendrungan-kecendrungan pada anak untuk merespon dan bereaksi. Lalu potensi itu mempersepsi dan menghafal stimuli

142 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 96.

143 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 79.

144 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 79.

145

indrawi yang telah diterimanya. Inilah potensi mutakhayyilah (imajinasi).146 Potensi ini mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model, sebagian ada yang realistik dan ilusif. Dalam perkembangan selanjutnya tumbuh potensi mengabstrasikan (al-muthlaqah) yakni potensi yang memungkinkan menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, potensi yang memungkinkan berkreasi dan berinovasi.147

Jelaslah dalam analisa konseptualnya tentang tahap-tahap perkembangan manusia itu, secara tersirat Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan oragan tubuh dan kecerdasan manusia, sehingga tidak terjadi pemaksaan sebelum masa perkembangannya tiba. Sebab jika demikian akan terjadi akan berimplikasi pada kacaunya tatanan perkembangan alamiahnya.

Ikhwan Aṣ-ṣafa secara lebih imajinatif-filosofis mengajukan teori tentang

manusia dan kebutuhan-kebutuhan perkembangannya yang bersifat

pedagogis.148 Kalangan Ikhwan Aṣ-ṣafa mengakui prinsip dasar material bagi pengetahuan manusia. Hal ini ditunjukan oleh penegasannya terhadap arti penting indra bagi penataan relasi makhluk hidup (manusia) dengan lingkungan eksternalnya.149 Mereka membedakan indera dengan daya inderawi/ empirik. Yang pertama adalah tempat bagi yang kedua. Menurut

146 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 80.

147 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 80.

148 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 80.

149

mereka indera adalah sarana jasadiah yang jumlahnya ada lima, yaitu: mata, telinga, lidah, hidung dan tangan. Sedangkan daya indrawi adalah daya jiwa yang secara spesifik dimiliki masing-masing organ tubuh.150 Hal-hal indrawi adalah sesuatu yang diserap indera. Dan hal yang telah diserap indera adalah aksiden-aksiden dari benda-benda fisik yang mempengaruhi indera dan mengubah mekanisme didalamnya. Dengan demikian apakah penyerapan indrawi itu. Adalah perubahan mekanisme indra karena adanya rangsangan dari hal-hal yang terserap oleh indera.151 Pengamatan adalah terangsangnya daya indarawi untuk mengubah mekanisme dalam indera. Meskipun indera adalah organ material (fisik) dari tubuh manusia, namun masing-masing fungsinya terkait dengan daya psikis, seperti: daya imajinasi, daya yang mengabstraksi, memori, berpikir, dan psikomotorik, yang diistilahkan Ikhwan

Aṣ-ṣafa dengan daya-daya kejiwaan.152

Mereka mengkonsepkan jiwa sebagai daya-daya alamiah naluriah yang muncul organ-organ tubuh dan berbagai pusat persendihannya. 153 Seiring dengan kalangan Ikhwan Aṣ-ṣafa dalam memposisikan indera sebagai sumber utama pengetahuan manusia, Ibnu Al-Farabi menegaskan bahwa, tubuh

150 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 82.

151 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 82.

152 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 82.

153

dengan segala potensinya tidak mendapat pengetahuan kecuali hanya melalui indera. Kecendrungan dan kegandrungannya timbul karena indera.154

Segala hal dirasa dan digapai dengan indera. Indera semakin berkembang dan fungsional dalam hal-hal tersebut, bukan karena hal-hal itu menjadi unsur material penyebab keberadaannya. Indera mengalami keadaan tersebut karena hal-hal itu menumbuh kembangkan keberadaannya dan meningkatkan fungsinya.155 Ikhwan Aṣ-ṣafa membagi ragam disiplin ilmu secara hirarkis sebagai berikut:

a. Ilmu syari‟ah b. Ilmu filsafat c. Ilmu riyadiyyat.156

Mereka memasukan ke dalam lingkup ilmu riyadiyyat yang banyak relevansinya dengan dunia kerja atau urusan hidup, yaitu sembilan disiplin ilmu:

a. Ilmu kitabah (tulis) dan qira‟at b. Ilmu bahasa dan gramatika (nahwu) c. Ilmu hitung dan transaksi

d. Ilmu syi‟ir dan prosa e. Ilmu peramalan f. Ilmu tenun dan sihir g. Ilmu profesi

h. Ilmu jual-beli i. Ilmu kesejarahan.157

Ketika Al-Ghazali menyerang habis-habisan ilmu kealaman dan menganggapnya sebagai hal yang bertentangan syari‟at Islam dan kebenaran

154 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 83.

155 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 83.

156 Muhamad Jawad Ridla, Tiga... hlm. 92.

157

serta tidak mengakuinya sebagai hal yang dibutuhkan manusia, kalangan

Ikhwan Aṣ-ṣafa dan Rasionalis lainnya justru menempatkan ilmu kealaman

dalam daftar klasifikasi ilmu mereka pada posisi terhormat setingkat dengan ilmu riyadiyyat atau ilmu syari‟at.158 Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa pandangan aliran ini mempunyai pemahaman bahwa semua ilmu dan sastera yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju concern terhadap akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bumerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat. Hal yang menjadi fokus kajian aliran ini adalah pergumulan intensifnya dengan rasionalitas dalam berbagai segi. Pergumulan intensif mereka telah telah memberikan landasan bagi aliran pendidikannya, yakni bahwa pangkal segala sesuatu yang terkait dengan jiwa beserta potensinya serupa dengan apa yang diutarakan oleh kecendrungan gnostik. Dalam kerangka demikian mereka membangun prinsip-prinsip dasar tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan.