• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAYA BAHASA MANTRA BAHASA DAYAK DESA

3.3.3 Allegori

Allegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain.

(37) teks A (4) Keladi itam birah itam Tanam de tanah purang puri Dayang muda bebaju itam Beranak ke Tesak dua nanyak Beranak ke lampuang dua guluang

Alah sapa pangirang Menara Alah sampi pangiran pati Cit-citan

Pada contoh (37) merupakan allegori yang mengiaskan sakit perut mulas. Sakit perut mulas dikiaskan dengan seorang dayang yang masih muda dan mengenakan busana serba hitam. Hitam merupakan lambang gegelapan. Dayang muda berbusana serba hitam yang dimaksudkan dalam mantra ini merupakan penyakit yang menebarkan bibitnya di dalam perut. Dayang muda yang selalu berbusana serba hitam ini diceritakan memiliki anak yang diberi nama Tesak dua tanya dan lampuang. Lampuang merupakan sebutan untuk salah satu kayu yang jenis kayu yang sudah diambil kulitnya. Lampuang adalah salah satu alat untuk menenun tradisional yang digunakan oleh para wanita suku Dayak Desa. Kekuatan dayang muda yang datang dengan busana serba hitam tersebut diceritakan kalah karena disapa oleh seorang Pangeran Menara, yaitu seorang pangeran yang bertahta di sebuah menara dan mantra dari seorang Pangeran Pati. Pangeran Menara dan Pangeran Pati adalah kiasan untuk pemantra. Penyakit yang menyebabkan perut sakit menjadi sembuh setelah dimantra oleh pemantra.

(38) teks A (7)

Terebai burung kenyalau Ingap de rangau kayu tadah Datai Raja Ulu Kebalau Maik aik ngau ntama mutah Dari Mungah beruba tawar Dah dasal ke aku tabarlah

Pada contoh (38) merupakan allegori yang mengiaskan kekuatan mantra dengan seorang raja dari sebuah tempat bernama Ulu Kebalau ‘raja dari

kayangan.’ Raja dari kayangan ini diceritakan membawa air yang digunakan untuk mengobati atau menghentikan muntah. Mantra diakhiri dengan menyebut nenek moyang yang pertama kali menerima dan mengajarkan mantra, yaitu dari Mungah beruba tawar dah dasal ke aku tabarlah ‘ dari Mungah yang menerima dan mengajarkan mantra pertama kali setelah aku pulihkan tawarlah.’ Maksud dari kalimat yang tercetak miring adalah karena Mungah yang menurunkan mantra dan melalui pemantra untuk memulikan penyakit, maka penyakit tersebut menjadi tawar dan tidak memiliki kekuatan lagi.

(39) teks B (2)

Sedua belaki bini ak nengah babas Datai ke rimak sedua nebas Dah detebas, detebang Udah ari panas ak detunu Dah detunu detugal panuk Dan ak detanam tebu Tebu dah belangkan ak

Te inuk ak nyuruh ngak unyun Unyun a unyun tebelian

Kepanyai sedua ngunyun ak, ngapit dirik a Atik ketauk ke asal usul yak puas ma elamai.

Pada contoh (39) merupakan gaya bahasa allegori. Mantra pada contoh (39) menceritakan kegiatan yang dilakukan oleh sepasang suami-istri yang menjadi petani tebu, dari proses awal membuka ladang hingga proses pembuatan gula. Kulit yang terkena herpes dikiaskan dengan kegiatan saat proses pembuatan gula tebu. Proses pembuatan pembuatan gula tebu secara tradisional dilakukan dengan memeras airnya kemudian ditanak. Kegiatan yang dilakukan saat memeras air tebu dalam bahasa Dayak Desa disebut ngunyun. Ngunyun adalah cara memeras air tebu dengan cara diapit mengunakan kayu. Kayu yang

digunakan untuk ngunyun pada contoh (39) adalah dengan menggunakan kayu belian atau disebut juga kayu besi. Tebu yang sudah dikupas kulitnya dipotong-potong kemudian diambil airnya dengan cara mengapitnya dengan kayu belian kemudian diputar ke kiri dan ke kanan membentuk setengah lingkaran sampai airnya habis dan menjadi ampas. Kulit yang terkena herpes dianggap sama dengan tebu yang diputar ke kiri dan ke kanan hingga airnya habis, yaitu jika tidak segera diobati herpes akan semakin menyebar hingga melingkari salah satu bagian tubuh. Jika sampai melingkari salah satu bagian tubuh telah sampai pada titik semula, yaitu tempat pertama yang terserang, maka menurut kepercayaan setempat, seseorang yang terserang herpes besar kemungkinan akan meninggal dunia. Raga manusia yang sudah tidak bernyawa disamakan dengan ampas tebu yang tidak ada airnya lagi.

(40) teks F (4)

Akar temulu tumuah de ulu Sungai Untai Bebuah besangking tiga

Detaik Lemamang Purang Akar detipan Lemia Bunsu

Aik nitik ke labuk Inik Kintamuga Depalai ke tusu (sanuk)

Nyadi aik kubal tusu Dirup anak mensia Keturun Adam ngau Awa Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah

Pada contoh (40) terdapat gaya bahasa allegori yang mengiaskan air susu ibu (ASI) yang dikiaskan dengan akar temulu yang banyak mengeluarkan getah karena dipotong. Air susu ibu menjadi banyak seperti air yang menetes dari labu

nenek Kintamuga. Labu merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat tradisional suku Dayak Desa untuk mengambil dan menyimpain air untuk memasak. Nenek Kintamuga adalah seorang nenek yang berasal dari kayangan. Dalam mantra ini, Nenek Kintamuga dianggap membawa berkat bagi calon ibu yang akan menyusui bayinya, sehingga ASI menjadi banyak.

(41) teks H (2)

Tung tuyuang Dayang Duyuang Datuk neguk tungkuk

Dara Ilah nyamah dilah Putri Sagi ngada ati Ialah (sanuk) salah telah Jari salah penyamah Kaki salah penyangkah

Datai bujang kuning megai ensiriang Sapik ke nyawa (sanuk)

Mulai ke kata

Pulai ke tungkuk penyumai Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah

Pada contoh (41) merupakan allegori yang mengiaskan suatu kejadian, yaitu kecelakaan yang diakibatkan oleh keteledoran manusia karena tidak kesampaian makan sesuatu. Dalam bahasa Dayak Desa, peristiwa atau kecelakaan ini dinamakan kepunan atau empunan. Pada contoh (41) diceritakan para dayang dari kayangan membantu untuk menghindari kepunan, yaitu tung tuyuang Dayang duyuang. Datuk neguk tungkuk ‘Datuk menyentuh tungku’ memiliki makna bahwa tunggu adalah salah satu alat yang digunakan untuk memasak. Jika tungku tersebut digunakan untuk memasak, berarti seseorang memiliki makanan dan ia akan kenyang dan tidak kelaparan. Dara Ilah nyamah dilah ‘dara memegang lidah’ yaitu bahwa lidah adalah alat pencecap dan sekaligus alat untuk berbicara.

Apa yang telah diucapkan seseorang tentang makanan yang ingin ia makan menjadi seolah-olah ia tidak pernah mengucapkan dan tidak mengginginkannya. Putri Sagi ngada ati ‘putri Dagi membawa hati’ memiliki arti bahwa putri Sagi adalah seorang yang murah hati dan selalu mengampuni. Ialah (sanuk) salah telah

‘ialah (si A) salah sebut,’ jari salah penyamah ‘jari salah memegang,’ dan kaki salah penyangkah ‘kaki salah langkah’ memiliki makna bahwa si A telah melakukan suatu kesalahan dan kesalahannya tersebut diampuni oleh Tuhan.

Datai bujang kuning megai ensiriang, sapik ke nyawa (sanuk), mulai ke kata. Pulai ke tungkuk penyumai Mungah beruba tawarketauk asal tabarlah ‘datang bujang kuning membawa ensiring, disuap ke mulut si A, mengembalikan kata, kembali ke tunggku tempat memasak. Mungah yang mengajarkan mantra, mengetahui asal tawarlah’ memiliki maksud bahwa apa yang telah diucapkan oleh yang bersangkutan ditarik kembali sehingga tidak terjadi kepunan.

Dokumen terkait