Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun oleh
Sri Astuti
NIM: 034114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDUNESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
▸ Baca selengkapnya: mantra caru ayam putih
(2)(3)(4)iv menangkap ikan”.
Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa,
tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebar jala juga”.
Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai
koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang
membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan
hingga hampir tenggelam. (Lukas 5:4-7)
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
• Tuhan dan sahabatku Yesus Kristus
vi Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas gaya bahasa, tujuan, proses ritual, dan fungsi mantra bahasa Dayak Desa. Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan topik ini, yaitu (1) studi khusus tentang mantra bahasa Dayak Desa sampai saat ini belum pernah dilakukan, (2) ada keunikan penggunaan bahasa dalam mantra bahasa Dayak Desa. Selain itu, peneliti beranggapan bahwa budaya daerah sangat perlu dilestarikan, mengingat sifat mantra yang rahasia dan tertutup, akan membuka peluang punahnya mantra. Penelitian ini bertujuan untuk menyelamatkan budaya khususnya mantra dan dapat menjadi referensi bagi masyarakat luas untuk memahami realitas mantra yang tidak rasional.
Studi ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengkaji dan memaparkan gaya bahasa pada mantra bahasa Dayak Desa. Kedua, mengkaji dan mengklasifikasi tujuan, mendeskripsikan proses ritual, dan memaparkan fungsi mantra bahasa Dayak Desa.
Pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara semantik dan pendekatan folklor. Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis gaya bahasa. Pendekatan folklor digunakan untuk menganalisis fungsi mantra dan proses ritual mantra.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu: teknik observasi dan teknik wawancara. Data dianalisis dengan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatik. Teknik dasar yang digunakan dalam metode agih adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), sedangkan teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik baca markah. Data dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan informal.
vii
viii
Language Style, Purpose, Ritual Prosess, and Function. Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University
This research studies the language style, purpose, ritual process, and fungction of mantra Dayak Desa language. There are some reasons in choosing this topic, that is (1) the special study about Dayak Desa language, as we have known, is never researched. (2) there is the uniqueness in using the language in mantra Dayak Desa. Therefore, researcher consider that the culture is very important to persist. Because mantra tends to be used secretly and exclusively, it can easily extinct. This research was done to save the culture especially mantra. It will become the reference for all the people to understand the reality of mantra which can not be understood rationally.
This study has two purposes. First, to examine and explain the language style in mantra Dayak Desa. Second, to examine and clasify the purpose, describe the ritual process, and explain the function of Mantra Dayak Desa.
The main approaches which are used in this research are semantic and folklor. Semantic approach is used to analyze the language style. Folklor approach is used to analyze the function of mantra and ritual proccess.
The research using some collecting data techniques such as observation, interview, and note. The data is analyzed with padan method and agih method. Padan method consist of padan referential, padan pragmatic, and padan translational method. Base technique used in agih method is inmediate constituent technique. While the continuation techniques which used is read the mark technique. The data in this research is presented with the informal and formal method.
ix
x
limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Struktur, Fungsi dan Proses Ritual Mantra Bahasa Dayak Desa” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam proses persiapan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan baik secara material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan, dukungan, serta bantuan senantiasa hadir dalam kehidupan penulis terutama saat menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati perkenankan penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini kepada:
1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku dosen pembimbing I, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketekunan serta masukan dan semangat yang selama ini telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
xi
diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah di Universitas Sanata Dharma.
4. Bapak Agustinus dan Ibu Adriana Nani, kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberi dukungan, semangat, perhatian dan kasih sayang yang berlimpah serta dukungan lainnya sehingga proses penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar, dan Tuai Ayang, kakak tersayang yang selalu menemaniku dalam suka dan duka. Semoga skripsi ini bisa membahagiakan kalian semua.
xii
7. Teman-teman dan sahabat yang selalu memberi motivasi (Yuni, Lia, Rini, Tere, Dedek, Melia, Kak Neta, Suster Marta, Suster Marsiana, Firla, Tasya, Kak Iin, Kak Ulil, Kak Tuti, Rica, Yoan, Tante Ernes, Marcel, Yenny, Olandz, Trinil, Victor, Titus, Cakil, dan M’Fanny). “I love U all, My Friends”.
8. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan skripsi ini, namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penelitian dan penulisan ini.
xiii
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogykarta, 3 Juni 2008 Penulis
xiv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR ... ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xii
DAFTAR ISI... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ... 5
1.6 Kerangka Teori ... 7
1.6.1 Hakikat Mantra ... 7
1.6.2 Gaya Bahasa... 10
1.6.2.1 Gaya Bahasa Perulangan... 11
1.6.2.2 Gaya Bahasa Kiasan... 12
1.6.3 Fungsi Mantra dan Proses Ritual ... 16
1.6.3.1 folklor Ilmu Gaib ... 16
1.6.3.2 Tujuan dan Fungsi-Fungsi Mantra ... 19
1.6.3.3 Proses Ritual ... 21
1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 23
1.7.1 Pendekatan Penelitian ... 23
1.7.2 Metode Penelitian ... 23
1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 24
xv
BAB II DESKRIPSI TEKS, KLASIFIKASI DATA, TERJEMAHAN,
DAN CATATAN ... 30
2.1 Pengantar... 30
2.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 30
2.3 Klasifikasi Data... 32
2.3.1 Pengantar... 32
2.3.1.1 Deskripsi Teks... 32
2.3.1.2 Transkripsi ... 33
2.3.1.3 Ejaan... 33
2.3.1.4 Terjemahan... 35
2.3.1.5 Catatan Teks... 35
2.3.1.6 Keterangan Mengenai Narasumber... 36
2.3.2 Deskripsi Teks... 37
2.3.3 Catatan Teks... 70
BAB III GAYA BAHASA MANTRA BAHASA DAYAK DESA... 79
3.1 Pengantar ... 79
3.2 Gaya Bahasa Perulangan... 79
3.2.1 Aliterasi ... 79
3.2.2 Asonansi... 84
3.2.3 Gabungan ... 86
3.3 Gaya Bahasa Kiasan... 88
3.3.1 Perbandingan... 89
3.3.2 Metafora ... 96
3.3.3 Allegori ... 97
3.3.4 Personifikasi... 102
xvi
DAYAK DESA... 113
4.1 Pendahuluan ... 113
4.2 Tujuan dan Proses Ritual Mantra Bahasa Dayak Desa... 116
4.2.1 Teks A (Mengobati Penyakit Biasa) ... 117
4.2.1.1 Tawar Pediah Kepalak ‘Mengobati Sakit Kepala’ ... 117
4.2.1.2 Tawar Pediah Perut Pasang ‘Mengobati Perut Kembung’ ... 120
4.2.1.3 Tawar Pediah Perut Ngeriak ‘mengobati Sakit Perut Mulas’... 122
4.2.1.4 Tawar Pediah Perut Ngasak ‘Mengobati Sakit Perut Melilit’ ... 125
4.2.1.5 Tawar Batuak ‘Mengobati Batuk’ ... 127
4.2.1.6 Tawar Netauk Birak ‘Mengobati Susah Buang Air Besar’... 129
4.2.1.7 Tawar Mutah ‘Mengobati Muntah’ ... 131
4.2.1.8 Tawar Mutah Birak ‘Mengobati Muntaber’ ... 132
4.2.1.9 Tawar Utai Tumuah de Nyawa ‘Mengobati Radang Tenggorokan’ ... 133
4.2.2 Teks B ( Mengobati Penyakit Kulit) ... 135
4.2.2.1 Tawar Merejan ‘Mengobati Biduren’... 135
4.2.2.2 Tawar Elamai ‘Menobati Herpes’ ... 137
4.2.2.3 Tawar Kepisak ‘Mengobati Bisulan ... 139
4.2.3 Teks C (Mantra Mengobati Penyakit Terkena Binatang) ... 140
4.2.3.1 Tawar Ulat Bulu ‘Mengobati Sakit Terkena Bisa Ulat Bulu... 141
4.2.3.2 Tawar Sengat Penyengat ‘Menyembuhkan Tersengat Penyengat’... 142
xvii
Gigitan Ular Berbisa’ ... 146 4.2.4 Teks D (Mengobati Luka Bakar) ... 149 4.2.5 Teks E (Mantra Menyembuhkan Penyakit yang Disebabkan
oleh Hantu dan Santet ... 151 4.2.5.1 Tawar Pediah Temu Tengah Malam ‘Mengobati Penyakit
yang Kambuh Saat Tengah Malam’... 151 4.2.5.2 Tawar Pediah Tubuah ‘Mengobati Sakit Tubuh’ ... 153 4.2.5.3 Tawar Pediah Tubuh ‘Mengobati sakit Tubuh’... 157 4.2.5.4 Tawar Tepas ‘Mengobati Penyakit yang Dikirim dengan
Cara Gaib ... 160 4.2.5.5 Penangkal Racun ‘Menagkal Racun’... 164 4.2.6 Teks F Mantra yang Berhubungan dengan Keluarga... 165 4.2.6.1 Tawar Pediah Perut Beranak ‘Mengatasi Sakit Perut
Hendak Melahirkan... 166 4.2.6.2 Tawar Temunik Dudi ‘Mengatasi Ari-ari yang Susah
Keluar’ ... 167 4.2.6.3 Tawar Temunik ‘Mengeluarkan Ari-Ari’... 168 4.2.6.4 Tawar Tusu ’Mengatasi Berbagai permaslahan pada
xviii
4.2.8.1 Tawar Tengkelan ‘Menobati Keselak’... 174
4.2.8.2 Tawar Empunan ‘Mengobati Kepunan’ ... 175
4.2.8.3 Tawar Empunan ‘Menghindari Kepunan’ ... 177
4.2.9 Teks I (Daya Ingat) ... 178
4.2.9.1 Tawar Pengingat ‘Menambah Daya Ingat’... 179
4.2.9.2 Pengingat ‘Mempertajam Daya Ingat’... 181
4.2.10 Teks J (Kekebalan Tubuh) ... 183
4.2.10.1 Baca Budak Tiga ‘Kekuatan Badan’... 184
4.2.10.2 Asal Besi 1 ‘Melumpuhkan Senjata Tajam’... 185
4.2.10.3 Asal Besi 2 ‘Melumpuhkan Senjata Tajam’ ... 186
4.2.11 Teks K (Menundukan Orang Lain) ... 187
4.2.11.1 Asal Penunuak Mensia ‘Meluluhkan Hati Orang Lain’... 188
4.2.11.2 Penunuak ‘Meluluhkan Hati Orang Lain’ ... 190
4.2.11.3 Rajah Binyak ‘Menambah Daya Pikat’... 192
4.3 Fungsi Mantra Berdasarkan Alasan Mistis yang Melatarbelakanginya... 194
4.3.1 Fungsi Religius ... 195
4.3.2 Fungsi Pengobatan ... 195
4.3.3 Fungsi Magis... 196
xix
1 1.1 Latar Belakang
Masyarakat bahasa yang terdapat di wilayah Indonesia masing-masing
memiliki kesusastraan, baik yang berbentuk lisan maupun yang berbentuk tulisan.
Di antara sekian banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia ada
kekayaan budaya yang sama sekali belum pernah dicatat, ada pula yang baru
dalam tahap penelitian.
Sastra lisan pada suku-suku bangsa Indonesia sebagian besar berbentuk
puisi atau prosa berirama. Sastra lisan tersebut antara lain berisi mantra-mantra,
pribahasa, lafal-lafal yang menyertai upacara, teka-teki, dongeng dan fabel.
Tradisi bercerita di hadapan khalayak ramai merupakan bentuk hiburan terbesar di
sebagian besar wilayah Nusantara.
Sastra tertulis (seperti novel, drama, dan puisi) terkait pada bentuk asli
pengarangnya, dengan kata lain pengarang sangat dipentingkan. Sastra lisan
ditandai oleh kebebasan bentuk dan pengarang tidak dipentingkan karena sastra
lisan adalah milik masyarakat, seperti salah satu ciri folklor yang diungkapkan
oleh Danandjaja (2002 : 4), yaitu bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak
diketahui lagi.
Khazanah sastra daerah suku Dayak Desa tidak ada yang berbentuk
tulisan. Nenek moyang suku ini tidak mengenal tulisan, mereka hanya
motif-motif pada kain tenun ikat dan anyaman, ukiran-ukiran kayu, burung
enggang dan sebagainya. Sebagian besar sastra daerah suku Dayak merupakan
sastra lisan.
Salah satu bentuk sastra lisan daerah suku Dayak adalah mantra. Mantra
pada masyarakat suku Dayak, masih bertahan pada bentuk tradisional hingga saat
ini. Bagi masyarakat pemakainya, mantra dianggap dapat membantu mereka
untuk memperoleh sesuatu yang mereka kehendaki. Contohnya adalah mantra
untuk mengobati penyakit, mantra untuk percintaan, mantra untuk kekebalan
tubuh dan lain-lain.
Peneliti memilih mantra khususnya mantra suku Dayak Desa sebagai
objek penelitian karena sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah diteliti. Selain
itu, mantra menggunakan bahasa yang unik. Keunikan tersebut terlihat dari kosa
kata yang digunakan dalam setiap mantra. Kosa kata yang digunakan tersebut
terkadang tidak dapat dimengerti secara harafiah. Namun, dengan keunikan
bahasa yang digunakan itu, mantra dianggap memiliki suatu “kekuatan” tersendiri
bagi masyarakat pemakainya. Mantra adalah magic kata yang dimaksudkan untuk
memperoleh suatu kekuatan dan keuntungan bagi orang yang mengucapkannya.
Selain dari beberapa hal yang disebutkan di atas, peneliti beranggapan
bahwa budaya daerah sangat perlu dilestarikan. Mengingat bahwa sifat mantra
adalah rahasia dan tertutup, dan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu serta
diturunkan kepada orang tertentu pula. Hal ini membuka kemungkinan punahnya
mantra. Berikut adalah salah satu contoh mantra bahasa Dayak Desa.
Tawar mata mpeleman megobati mata kelilipan Pipit serit-serit bunyi kicau burung pipit Nepan tengah laman bermain di tengah halaman Datai bujang jepit datang pemuda bertubuh kecil Nyungkit mata mpleman mengobati mata yang kelilipan
Contoh (1) adalah mantra yang berfungsi untuk mengobati penyakit, yaitu
mengobati mata yang kemasukan debu atau binatang kecil yang masuk ke mata,
sehingga membuatnya kelilipan. Mantra ini diucapkan dengan maksud agar
sesuatu yang memasuki mata tersebut segera keluar sehingga mata yang kelilipan
segera sembuh.
Pada contoh (1) terdapat bunyi akhir yang berpola ab-ab. Mantra ini
berasonansi t dan n. Hal ini dapat dilihat pada akhir larik pertama dan larik ketiga
terdapat kata serit – serit dan jepit, pada larik kedua dan larik ketiga terdapat kata
laman dan mpleman. Bunyi tersebut terasa sebagai permainan bunyi untuk
mendapatkan keindahan.
Mantra pada contoh (1) dapat diucapakan oleh siapa saja (tidak
memandang umur). Mantra ini sangat mudah untuk didapatkan karena tidak
membutuhkan persyaratan apa pun. Biasanya yang sering mengucapkan mantra
ini adalah anak–anak usia sekolah dasar ke bawah.
Jika dilihat dari jenisnya, mantra bahasa Dayak Desa memiliki beragam
jenis dengan fungsinya masing-masing karena nenek moyang suku ini sangat
percaya dengan kekuatan mantra. Hampir di setiap bidang kehidupan ada
pencaharian, mantra percintaan, kekebalan tubuh, melindungi diri dari roh jahat
dan sebagainya.
Proses ritual yang dilakukan dari setiap mantra juga berbeda-beda sesuai
dengan tingkat mantranya. Ada mantra yang sangat mudah untuk diamalkan, dan
ada pula mantra yang tidak boleh digunakan dengan sembarangan.
Untuk itulah penulis tertarik untuk mengkaji gaya bahasa, fungsi, dan
proses ritual mantra bahasa Dayak Desa. Dengan mengkaji topik ini diharapkan
dapat memberi informasi-informasi yang berguna bagi siapa pun yang ingin
mendalami perihal mantra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, studi ini akan
menjawab beberapa pertanyaan berikut.
1.2.1 Bagaimana gaya bahasa yang digunakan pada mantra bahasa Dayak Desa?
1.2.2 Apa saja tujuan fungsi mantra serta bagaimana proses ritual mantra bahasa
Dayak Desa?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengkaji dan memaparkan gaya bahasa pada mantra pada bahasa Dayak
Desa.
1.3.2 Mengkaji, mengkalisifikasikan dan mendeskripsikan tujuan, fungsi dan
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik. Dalam
bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat bahwa makna dapat diungkapkan
dengan berbagai cara yang terwujud dalam gaya bahasa. Hasil penelitian ini juga
bermanfaat untuk menerapkan teori sastra ke dalam teks-teks sastra lisan yang
selama ini tidak dianggap sebagai karya sastra.
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu wujud
melestarikan budaya daerah dan menambah perbendaharaan pustaka khususnya
bidang penelitian kebudayaan daerah. Penelitian ini juga bermanfaat untuk
memperkenalkan mantra suku Dayak, khususnya suku Dayak Desa.
Dalam bidang sastra lisan, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
mengenai penelitian tradisi lisan, termasuk mantra yang masih banyak terdapat
dalam masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini dapat
memberikan referensi untuk memahami realitas tentang mantra yang tidak bisa
dimengerti secara rasional.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang mantra pernah dilakukan, di antaranya oleh Soedjijono
dkk (1987:14), yaitu yang berjudul Srtuktur dan Isi Mantra Bahasa Jawa di Jawa
Timur. Penelitian ini memaparkan bahwa ciri khas mantra adalah untuk
membangkitkan suasana sakral atau efek magis. Suasana sakral yang dimaksud di
wajar manusia, dunia di luar kekuasaan hukum alam, yaitu alam gaib sebagai
pengaruh dari kekuatan sakti.
Soedjijono dkk (1987 : 52) mengemukakan bahwa mantra sebagai suatu
wacana persuasi menggunakan alat–alat itu berupa sugesti, perintah, identifikasi,
permintaan, ajakan, proyeksi, rasionalisasi, dan konformitas. Di antara kedelapan
alat ini yang paling banyak di dipakai yaitu sugesti. Hal ini sesuai dengan hakekat
mantra yang merupakan suatu ungkapan maksud yang ditujukan kepada zat gaib,
untuk itu diperlukan suatu teknik dalam membujuk zat gaib tersebut secara
sugesti.
Abdulrachman dkk (1996) dalam bukunya berjudul Fungsi Mantra dalam
Masyarakat Banjar, menemukan 83 buah mantra yang ada dalam masyarakat
Banjar beserta fungsinya masing-masing.
Ketika manusia masih percaya kepada kekuatan animisme dan dinamisme
(yakni pada waktu manusia masih sangat percaya kepada kekuatan supranatural),
mantra digunakan untuk memuja kekuatan superanatural itu dengan harapan
kekuatan tersebut tidak akan mendatangkan bala kepada manusia. Rasa takut dan
tekanan yang dirasaka oleh manusia yang dibarengi dengan pemujaan telah
membuat manusia mengadakan berbagai macam upacara yang dimaksudkan
untuk memohon sesuatu kepada kekuatan itu ( Yusri Yusuf dkk :2001) dalam
buku yang berjudul Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh.
Soedjijono dkk meneliti mantra bahasa Jawa Timur dari segi struktur dan
isinya, Abdulrachman dkk meneliti mantra masyarakat Banjar dari segi fungsinya,
dan fungsinya. Uraian tersebut menunjukan bahwa studi yang secara khusus
mengungkap mantra masih sangat sedikit, dan mantra dalam kebudayaan Dayak
khususnya bahasa Dayak Desa, sejauh ini belum pernah dilakukan.
1.6 Kerangka Teori
Untuk memahami lebih mendalam mengenai mantra dan aspek-aspek yang
diteliti yang meliputi gaya bahasa, fungsi, dan proses ritual, berikut ini
dikemukakan konsep tentang hakikat mantra, gaya bahasa, fungsi-fungsi mantra,
proses ritual mantra, folklor dan ilmu gaib.
1.6.1 Hakikat Mantra
Mantra adalah perkataan yang dapat mendatangkan daya gaib atau susunan
kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya
diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 629).
Umar Junus dalam bukunya yang berjudul Mitos dan Komunikasi (1981 :
214-216) mengatakan bahwa bahasa sebuah mantra bersifat esoterik, yang tidak
mudah dipahami, bahkan mungkin tak punya arti, atau paling kurang tidak punya
arti nominal. Yang penting bagi sebuah mantra bukanlah bagaimana orang dapat
memahaminya, tetapi kenyataannya sebagai sebuah mantra dan kemanjurannya
sebagai sebuah mantra. Kita hanya mungkin berbicara tentang eksistensinya dan
bukan tentang apa yang dibawanya.
berikut: pertama, ia tidak berhubungan dengan soal pemahaman sama sekali. Pada
dasarnya mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, sehingga
kadang-kadang memang tidak dapat dipahami, karena ia lebih merupakan permainan
bunyi dan bahasa belaka. Berikutnya, karena tidak ada persoalan pemahaman,
menyebabkan ia mesti dilihat dari sudut mantra itu sendiri atau dari kenyataan
yang ada padanya.
Hal yang penting dari sebuah mantra adalah kemanjurannya bukan
kejelasan penyampaian amanatnya. Mantra harus dinilai dari segi efek atau akibat
dari kehadirannya dan dari penggunaannya. Sebuah mantra akan menjadi lebih
baik dari yang lain bila mendatangkan efek yang kuat. Mantra mesti mempunyai
kekuatan majik yang didapat dengan permainan bahasa, yang biasanya melalui
perulangan bunyi, kata, dan struktur. Permainan bahasa bertugas menetralisir dan
melawan, sehingga misteri kehilangan kuasa atau kuasanya menjadi lemah.
Mantra pada dasarnya memiliki dua hal yang bertentangan, yaitu rayuan dan
perintah. Permintaan yang merayu-rayu biasanya dicapai dengan pemborosan
pengucapan bahasa yang didapat melalui berbagai perulangan. Bila makhluk gaib
telah melemah, ia dapat diperintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Mantra menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh dengan
misteri. Mantra merupakan suatu alat dalam usaha membujuk dunia misteri untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia yang
mengucapkannya. Mantra tidak lagi menjadi mantra jika kehilangan unsur misteri
Bahasa dan kepercayaan serta dunia yang tak terlihat adalah unsur-unsur
penting dalam mantra. Bahasa dan kepercayaan menimbulkan kekuatan yang luar
biasa sehingga mampu mempangaruhi dunia yang tak kelihatan. Kepercayaan
merupakan sebuah pengalaman pribadi setiap manusia dengan dunia yang tak
kelihatan. Sedangkan bahasa digunakan setiap pribadi dalam melakukan ritual
kepercayaan dengan mengucapkan kata atau kalimat dengan irama tertentu
dengan tujuan agar bisa berinteraksi dengan dunia yang tidak kelihatan. Dua hal
ini akan berlangsung terus menerus dan menjadi semacam tradisi. Keane dalam
karyanya yang berjudul Religious Language (1997 : 47), mengutip pendapat
beberapa ahli, di antaranya William James dan EB Tylor berikut ini:
“Religion is founded on the subjective experience of an invisible presence” (William James). “Prayers begin as spontaneous utterances and degenerate into traditional formulas” (EB Tylor).
Pengalaman subjektif akan sebuah kehadiran itulah yang menjadi dasar
bagi agama. Doa-doa pada mulanya diucapkan secara spontan, tetapi pada
masyarakat tradisional, doa-doa itu seringkali dirumuskan menjadi sesuatu yang
bersifat ‘baku’ (formulaic). Dalam konteks seperti inilah, mantra menduduki
tempat yang penting. Mantra menjadi sarana penghadiran kekuatan penyembuhan
(healing power) yang menggunakan rumusan-rumusan bahasa yang unik.
Bisa dikatakan bahasa merupakan media atau alat yang menghubungkan
antara kepercayaan dengan dunia yang tak kelihatan (kekuatan yang luar biasa di
luar manusia). Bahasa dalam mantra bisa berbentuk nyanyian, ucapan, bacaan,
tulisan. Semua itu bertujuan untuk mengungkap atau mengalami kekuatan besar di
“Concrete activities such as speaking, chanting, singing, reading, writing-or their purposeful suppression-can be as much a condition of possibility for the experience of the divine as a response to it” (Ferguson). “Religious observance tends to demand highly marked and self conscious uses of linguistic resources” (Asad).
Karena mantra digunakan untuk berinteraksi dengan dunia yang tak
kelihatan, setiap pribadi percaya bahwa respon dari dunia gaib itu berupa sesuatu
yang tak terlihat namun dapat ditangkap bunyinya, entah itu berupa ucapan,
nyanyian, atau desiran angin. Contoh konkritnya terjadi pada St. Augustine saat
dia memutuskan menjadi kristen. Kata-kata yang ia dengar dari mulut seorang
anak kecil yang tak terlihat, ia yakini sebagai jawaban dari Tuhan.
“Upon hearing the words “take and read, take and read” (tolle lege, tolle lege) spoken in a “sing-song” voice by an unseen child from the other side of a wall, Augustine understood them to be a command from God” (Keane, 1997 : 49).
1.6.2 Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam mantra khususnya mantra bahasa Dayak
Desa ditemukan juga penggunaan gaya bahasa. Penggunaan gaya bahasa tersebut
untuk melukiskan sesuatu secara kiasan agar terasa indah dan meningkatkan efek
yang diinginkan. Pemilihan kata atau diksi dilakukan untuk mendapatkan
kepuitisan atau untuk menimbulkan nilai estetik.
Keraf (1984: 113) menyebutkan bahwa gaya bahasa merupakan
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara
indah. Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:545) gaya bahasa adalah
cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain;
kiasan. Bahasa kiasan adalah penggunaan kiasan untuk meningkatkan efek
pernyataan atau pemerian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 77) Gaya
bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan
sesuatu benda atau hal tertentu dengan benda yang lain yang lebih umum
(Tarigan, 1985:112).
1.6.2.1 Gaya Bahasa Perulangan
1) Gaya Bahasa Aliterasi
Gaya bahasa aliterasi adalah gaya bahasa yang yang berwujud perulangan
konsonan yang sama (Keraf, 1984 : 130). Aliterasi merupakan pengulangan
bunyi-bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh (1) berikut ini
Pipit serit-serit ‘kicauan burung pipit’ Nepan tengah laman ‘bermain di halaman’
Datai bujuang jepit ‘datang bujang yang bertubuh kecil’ Nyungkit mata empeleman ‘mengobati mata yang kelilipan’
Contoh (1) terdapat persajakan bunyi akhir yang berpola ab-ab. Larik
pertama berpasangan dengan larik ketiga dan larik kedua berpasangan dengan
2) Gaya Bahasa Asonansi
Gaya bahasa asonansi adalah gaya bahasa yang berwujut perulangan bunyi
vokal yang sama (Keraf, 1984 : 130). Asonansi merupakan bentuk persajakan dari
bunyi-bunyi vokal.
(2) teks E (2)
Bisa kenuk antu ‘berbisa kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’ Manih kenuk antu ‘manis kata hantu’ No kenuk aku ‘tidak kata aku’ Asin kenuk antu ‘asin kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’
Contoh (2) merupakan gaya bahasa asonansi yang pola aaa, dengan
persajakan yang terdapat pada bunyi akhir dari setiap larik.
1.6.2.2 Gaya Bahasa Kiasan
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan atau persamaan atau simile adalah
perbandingan yang bersifat ekplisit (Keraf, 1984 : 138). Perbandingan ini lansung
menyatakan sesuatu dengan hal yang lain. Pradopo (2005 : 62), menyatakan
bahwa perbandingan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana,
sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh berikut.
(3) teks C (4)
Kujeput sebagai lumut Kejadi kau batang padi
‘temeran rebiah kampel’ ‘jatuh menimpa rumah Kewari’
‘kala jengking menyatakan dirinya berbisa’ ‘kujeput sebagai lumut’
‘terjadikau dari batang padi’
Pada contoh nomor (3) merupakan perbandingan yang ditunjukan dengan
kata pembanding sebagai.
2) Gaya bahasa Metafora
Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua
hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 1984 : 139). Gaya
bahasa metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, laksana, seperti, dan
sebagainya (Pradopo, 2005 : 62). Gaya bahasa metafora ini menyamakan suatu
benda atau suatu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut:
(4) penangkal dan atau menghentikan hujan
Dituk manuak inuk Din manuak itam Dituk baduk temuk Din bunyi gentam
‘di sini ayam betina’ ‘di sana ayam hitam’ ‘di sini berhenti’ ‘di sana berdentaman’
Nomor (4) merupakan metafora yang membandingkan dua hal, yaitu hujan
berhenti dan hujan lebat. Hujan yang berhenti diumpakan dengan seekor ayam
3) Gaya Bahasa Allegori
Menurut Keraf (2005 : 140) allegori adalah suatu cerita singkat yang
mengandung kiasan. Menurut Pradopo (2005 : 71), allegori ialah cerita kiasan
atau lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut:
(5) teks B (3)
Ca cepala dua pati laba Tiga jarum pati
Empat pati tungal Limak geruntak Enam geruntam Tujuh manuah runtuah
Ngemak cupai nagkin isau Ngesan serepang empulieng Numuak mata bengkak kepisak
‘ca cepala dua pati laba’ ‘tiga jarum pati’
‘empat pati tunggal’ ‘lima geruntak’ ‘enam geruntam’ ‘tujuh manuah runtuh’
‘menggendong cupai parang diikatkan di pinggang’ ‘memikul tombak’
‘menikam mata bengkak bisulan’
Contoh (5) merupakan allegori yang mengiaskan cara pengobatan dengan
kegiatan dan peralatan yang digunakan untuk berburu, yaitu parang dan tombak.
Parang digunakan untuk memotong hasil buruan, sedangkan tombak digunakan
untuk menikam sasaran buruan. Peralatan yang digunakan untuk memecahkan
4) Gaya Bahasa Personifikasi
Gaya bahasa personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda
dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berpikir dan sebagainya seperti
manusia (Pradopo, 2005 : 75). Menurut Keraf (1984 : 140), personifikasi adalah
gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Tarian (1985 :
123), mengatakan bahwa personifikasi ialah jenis gaya bahasa yang melekatkan
sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan idea yang abstrak.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
(6) teks K (2)
Insum numuak nyawa tidak bisa berjawab Insum numuak lidah tidak bisa berlipat Insum numuak mata tidak bisa berbisap
‘insum menikam mulut tidak bisa menjawab’ ‘insum menikam lidah tidak bisa berlipat’ ‘insum menikam mata tidak bisa berkedip’
Contoh (6) adalah gaya bahasa personifikasi. Insum atau sumsum
melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh manusia, yaitu menikam,
sedangkan sumsum berada di dalam tulang manusia.
5) Gaya Bahasa metonimia
Gaya bahasa metoniamia adalah gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, kerena mempunyai pertalian yang
sangat dekat (Keraf, 1984 : 143). Perhatikan contoh berikut.
Tumuah tengah lebak U, Betara sedua buta
Buka selangka (sanuk) kak beranak
‘lebat kayu ara diladang’
‘tumbuh ditengah daratan yang basah’ ‘oh Batara sedua buta’
‘buka selangkangan (si A) mau melahirkan’
Contoh (7) merupakan gaya bahasa metonimia. Rinna ara duma ‘lebat
kayu ara di ladang’ menggantikan janin atau bayi yang berada di dalam
kandungan ibunya dan tumuah de tengah lebak ‘tumbuh di dataran yang basah’
menggantikan rahim.
1.6.3 Fungsi Mantra dan Proses Ritual
Sebelum menguraikan mengenai fungsi mantra dan proses ritual yang
menyertai pengucapan mantra, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai
folklore, karena aspek ini menjadi bagian dari pendekatan yang digunakan dalam
memahami kedua aspek tersebut.
1.6.3.1 Folklor dan Ilmu Gaib
Folklor berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya
dengan kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenel fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga
dapat dibedakan dari kelompok-kelompok linnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain
dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, bahasa yang
sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun lebih penting
mereka warisi tirun-menurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui
sebagai milik bersama dan mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Adapun ciri-ciri pengenal umum folklor adalah: a) penyebaran dan
pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni melalui tutur kata dari mulut
ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai gerak isyarat dan alat pembantu
pengingat dari satu generasi ke generasi berikutnya, b) folklor bersifat tradisional,
yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan
di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, paling sedikit dua
generasi, c) folklor ada dalam versi-versi yang berbeda, yang diakibatkan oleh
penyebarannya dari ulut ke mulut (lisan), d) folklor bersifat anonim, yaitu nama
penciptanya sudah tidak diketahui lagi, e) folklor mempunyai bentuk berumus
atau berpola, f) folklor mempunyai kegunaan (funcion) dalam kehidupan bersama
suatu kolektif, g) folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang
tidak sesuai dengan logika umum, terutama bagi folklor lisan dan sebagian lisan,
h) folklor menjadi milik bersama (collctive) dari kolektif tertentu, i) folkor pada
umumnya bersifat polos dan lugu. (Danandjaja, 2002: 1-4).
Menurut Brunvand, folklor adalah suatu ciptaan (creations) dari suatu
kelompok atau seorang atau individu, yang berorientasi pada kelompok, dan
suatu ungkapan jati diri kebudayaan masyarakat; batasan-batasan, standar-standar,
dan nilai-nilai yang diwariskan secara lisan, mencontoh ( immitatian), atau dengan
cara lain. Bentuk-bentuknya mencakup, antara lain: bahasa, kesusastraan, musik,
tari, permainan-permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, seni, kriya, arsitektur,
dan kesenian lainnya (Danandjaja, 2003 : 35).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (edisi kedua), folklor didefinisikan
sebagai adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun,
tetapi tidak dibukukan, atau ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
tidak dibukukan. Folklor lisan adalah folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan
diwariskan dalam bentuk lisan. Ada pun yang termasuk folklor lisan berupa
bahasa rakyat, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.
Koentjaraningrat (1980: 60) mengikuti teori Marett tentang kekuatan yang
luar biasa, mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah berdasarkan
keyakinan manusia akan kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa yang
menjadi sebab timbulnya gejala- gejala yang tak dapat dilakukan oleh manusia.
Pangkal religi adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena
kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala- gejala tertentu yang bersifat luar
biasa. Hal-hal gejala-gejala alam tersebut, oleh manusia dianggap berasal dari
dunia yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Artinya kekuatan yang tak dapat
diterangkan dengan akal manusia biasa dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan
yang alamiah biasa atau kekuatan supranatural. Dalam bahasa Indonesia kekuatan
sedangkan dunia dari mana kekuatan gaib itu berasal dapat disebut “dunia gaib”
atau “alam gaib”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 371), ilmu gaib adalah
pengetahuan tentang segala yang tidak kelihatan atau rahasia alam. Ilmu gaib atau
magic merupakan teknik-teknik atau kompleks cara-cara yang dipergunakan oleh
manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya sehingga menuruti kehendak dan
tujuannya. Dasar ilmu gaib adalah kepercayaan kepada kekuatan sakti dan
hubungan sebab menyebab menurut hubungan-hubungan asosiasi. Hubungan
asosiasi itu adalah bayangan dalam pikiran itu yang menimbulkan bayang-bayang
baru sehingga terjadi suatu rangkaian bayang- bayang. Syarat-syarat penting agar
suatu perbuatan gaib itu bisa berhasil adalah semangat, kesungguhan, dan
konsentrasi dari si pelaku. Kekuatan gaib tersebut tercipta dengan diucapkannya
sebuah mantra (Koentjaraningrat, 1974 : 276-277).
1.6.3.2 Tujuan dan Fungsi-Fungsi Mantra
Tujuan mantra dapat dilihat dari hubungannya dengan jenis mantra itu
sendiri. Setiap mantra memiliki tujuannya masing-masing, antara lain mantra
untuk kekebalan tubuh, mengobati penyakit, mantra untuk mata pencaharian,
mantra percintaan dan sebagainya.
Mantra yang berhubungan dengan pengobatnan misalnya, mantra ini dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Misalnya, menyembuhkan sakit perut,
sakik kepala, biduren, bisulan, harpes, demam dan lain-lain. Mantra yang
yang sengaja diberikan pada pada seseorang tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan atau dikirim secara gaib.
Mantra yang berhungan dengan kekebalan tubuh bisa untuk mengebalkan
diri dari segala tusukan senjata tajam. Dalam suatu perkelahian, bagi sesorang
yang sedang menggunakan mantra ini bisa dipergunakan untuk mengalahkan
lawan sehingga ia tidak berdaya menghadapinya.
Mantra yang berhubungan dengan keluarga misalnya, dapat
mempermudah seorang ibu saat melahirkan. Jika seorang ibu sedang melahirkan,
dengan membaca mantra ini dapat memperlancar proses kelahiran dan
mengurangi rasa sakit saat melahirkan. Mantra ini juga ada yang berfungsi untuk
menghentikan balita yang menagis terus-menerus karena gangguan roh jahat, dan
masih banyak fungsi yang lainnya.
Mantra yang berhubungan dengan percintaan juga memiliki berbagai
tujuan diantaranya yaitu untuk mendapatkan seorang yang kita cintai dengan
mudah. Mantra ini dapat membuat seseorang terlihat sangat menarik di mata
orang yang dicintainya, sehingga orang yang dicintai juga membalas cintanya,
selalu merindukanya dan selalu ingin berada di dekatnya dan tidak berniat untuk
mencintai orang lain.
Berdasarkan alasan mistis yang melatarbelakanginya, mantra juga dapat
dilihat fungsinya secara ritual. Taum (2004) dalam buku Bahasa Merajut Sastra
Merajut Budaya: Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan di
Timor menyebutkan ada empat fungsi dilihat dari alasan mistis yang
(1) Fungsi Magis. Fungsi magis berkaitan dengan penggunaan bahan-bahan
dalam suatu upacara ritual yang bekerja karena daya-daya mistis.
Dalam setiap upacara ritual pada khususnya mantra bahasa Dayak Desa,
pasti menggunakan bahan-bahan sebagai salah satu medianya. Dalam
mantra bahasa Dayak Desa, bahan-bahan yang digunakan berbeda-beda
pada setiap mantranya, sesuai dengan kebutuhan dan jenis mantra serta
tingkat mantranya. Yang dimaksud dengan tingkat di sini yaitu bahwa
tidak semua mantra dapat diterima begitu saja oleh orang yang
mewarisinya. Ada banyak mantra yang memiliki
persyaratan-persyaratan tertentu untuk mendapatkan.
(2) Fungsi Religius. Fungsi religius berkaitan dengan pelaksanaan
rangkaian kegiatan dalam suatu upacara.
(3) Fungsi Faktif. Fungsi faktitf berkaitan dengan meningkatkan
produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan meteri suatu kelompok.
(4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi intensifikasi berkaitan dengan ritus
kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan
kesuburan, ketersediaan buruan dan panen.
1.6.3.3 Proses Ritual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 843) ritual adalah yang
berkenaan dengan ihwal, yaitu tata cara dalam upacara keagamaan. Proses ritual
suatu kemanjuran dari tindakan tersebut. Peroses ritual mantra merupakan tata
cara yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan mantra serta proses yang
dilakukan saat mengamalkan atau membacakan mantra. Adapun proses yang
dilakukan dalam mantra bahasa Dayak Desa memiliki beberapa tahapan. Pertama,
proses ritual untuk mendapatkan mantra. Kedua, proses pelaksaan mantra, dan
yang ketiga adalah proses penutup. Dalam proses ritual yang dilakukan untuk
mendapakan mantra, kegiatan yang dilakukan dan atau media yang diminta sesuai
dengan persyaratan dari mantra tersebut. Adapun kegiatan serta alat dari
persyaratan yang harus dilakukan tersebut seperti minum air kelapa di dalam air,
beketup garam, serta media yang diberikan kepada pemantra seperti sebilah besi,
sebungkus garam, sejumlah uang, dan sebagainya.
Dalam proses pengamalan mantra, kegiatan yang dilakukan meliputi
proses mempersiapkan media yaitu, pemantra menyiapkan media yang digunakan
sesuai dengan mantra yang digunakan. Media yang digunakan beraneka ragam
seperti kapur sirih, air putih, kunyit, beras, ranting kayu, dan sebagainya. Setelah
media yang digunakan lengkap tahap berikutnya adalah pelaksanaan. Pemantra
memantrai media yang telah dipersiapkan tadi kemudian memberikannya kepada
yang orang yang dimantrainya.
Proses yang selanjutnya adalah proses penutup atau penyelesaian. Pada
proses ini orang yang sudah dimantrai memberikan imbalan kepada pemantra
sesuia dengan permintaan dari mantra yang bersangkutan. Setiap mantra memiliki
permintaan yang berbeda-beda, hal ini berkaitan dengan tingkat mantra yang
permintaan mantra yang bersangkutan tidak terpenuhi, dipercaya dapat
menimbulkan efek yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika pemantra
meminta imbalan berupa uang, jumlah yang diminta oleh pemantra tidak dapat
ditawar, kerena hal tersebut juga dipercaya dapat mengurangi keampuhan mantra
tersebut.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini meliputi tiga tahap yakni: (i) pengumpulan data atau
penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut
diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara
semantik dan pendekatan folklor. Pendekatan semantik untuk menganalisis gaya
bahasa yang digunakan dalam mantra bahasa Dayak Desa, sedangkan pendekatan
folklor tentang fungsi dan ritual yang dilakukan dalam mantra tersebut.
1.7.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode
penelitian deskriptif adalah yang memberi objek penelitian berdasarkan fakta yang
ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya,
dikatakan sifatnya seperti potret yaitu paparan seperti adanya (Sudaryanto, 1988 :
62).
1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu observasi dan wawancara.
Metode-metode yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.7.3.1 Observasi
Metode observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan
sistematik fenomen-fenomen yang diselidiki (Hadi, 1982 : 136). Observasi
menghasilkan deskripsi yang khusus tentang apa yang telah terjadi dari
peristiwa-peritiwa sejarah atau hasil dari peristiwa-peristiwa (Komaruddin, 1974 : 97).
Dengan cara ini dapat diperoleh gambaran mengenai proses ritual pada mantra
bahasa Dayak Desa. Observasi ini dilakukan untuk mendukung hasil wawancara.
1.7.3.2 Wawancara
Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara
yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden.
Metode wawancara ini dilakukan dengan cara mewawancarai para informan, yaitu
orang yang dapat mengucapkan mantra serta mampu memberikan penjelasan
tentang mantra tersebut. Penjelasan yang dimaksud adalah bagaimana proses
ritual dan arti dari kosa kata yang digunakan dalam setiap mantra bahasa Dayak
Desa, narasumbernya adalah pemilik mantra dan mereka yang memahami mantra
dilakukan untuk memperoleh data dan membantu penulis memahami masalah,
yaitu gaya bahasa, fungsi dan proses ritual mantra bahasa Dayak Desa.
1.7.3.3 Teknik Catat
Teknik catat adalah teknik menjaringan data dengan mencatat hasil
penyimakan data pada kartu data. Pencatatan kartu data dilakukan dengan
transkripsi fonetis, yaitu transkripsi yang memenfaatkan lambanga-lambang
fonetis (Kesuma, 2007 : 45). Data yang ditranskripsikan diapit dengan tanda
kurung siku, misalnya kata ngemak ‘menggendong’ adalah [ŋəma?].
1.7.4 Subjek dan Lokasi Penelitian
1.7.4.1 Lokasi Penelitian
Suku Dayak Desa tersebar di beberapa daerah di Kebupaten Sintang.
Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang diperlukan, penulis
terfokus pada satu lokasi penelitian, yaitu di Desa umin, Kecamatan Dedai,
Kabupaten Sintang, sekitar 45 km dari kota Sintang.
1.7.4.2 Narasumber
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 609), yang dimaksud
narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi
sumber) atau bisa juga dikatakan sebagai informen. Adapun narasumber dalam
penelitian ini adalah dari sumber-sumber khusus, yaitu dari narasuber-narasumber
berdasarkan kesanggupan narasumber untuk memberikan data dan penjelasan
tentang mantra tersebut. Data dicari sebanyak mungkin dengan cara menanyakan
kepada setiap narasumber setiap jenis mantra yang dimilikinya berdasarkan
persyaratan yang dapat dipenuhi oleh peneliti untuk mendapatkan data mantra
tersebut.
1.7.5 Metode dan Teknk Analisis Data
Langkah kedua adalah menganalisis data. Setelah data diklasifikasikan
kemudian dianalisis dengan metode padan dan metode agih. Metode padan adalah
metode yang alat penantunya adalah di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan
yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode padan referensial, metode padan
tranlasional, dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial adalah
metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Referen bahasa adalah
kenyataan atau unsur luar bahasa yang ditunjuk satuan kebahasaan (Kesuma, 2007
: 48). Metode padan ini dipakai untuk menganalisis gaya bahasa dalam mantra
bahasa Dayak Desa. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh (1). Pada contoh
nomor (1), terdapat gaya bahasa aliterasi dan gaya bahasa metonimia. Gaya
bahasa aliterasi ditandai dengan perulangan bunyi akhir larik dengan pola ab-ab.
Larik pertama pipit serat-serit ‘bunyi kicauan pipit’ berpasangan dengan larik
ketiga datai bujang jepit ‘datang pemuda bertubuh kecil, larik kedua berpasangan
keempat nyungkit mata empeleman ‘mengobati mata yang kelilipan.’ Gaya bahasa
metonimia ditunjukan dengan bujang jepit yang menggantikan zat gaib.
Metode padan translasional adalah metode padan yang alat penentunya
bahasa lain. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti
(Kesuma, 2007 : 49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi satuan
kebahasaan bahasa Dayak Desa berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa
Indonesia. Sebagai contoh, kata empunan dalam bahasa Dayak Desa tidak
teridentifikasi dalam bahasa Indonesia. Empunan atau disebut juga kepunan
adalah peristiwa celaka yang disebabkan oleh keteledoran seseorang karena lupa
makan sesuatu yang sudah direncanakannya atau makanan yang sudah ditawarkan
orang lain kepadanya.
Metode padan pragmatik adalah metode padan yang alat penentunya
berupa adalah lawan atau mitra wicara. Metode padan ini digunakan untuk
menganalisis proses ritual mantra bahasa Dayak Desa. Metode padan referensial
juga digunakan untuk menganalisis proses ritual mantra bahasa Dayak Desa.
Metode agih adalah metode yang alat penentunya merupakan bagian dari
bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993 : 15). Teknik dasar yang
dipakai dalam metode agih ini adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik
BUL ini dilakukan dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa
bagian atau unsur (Sudaryanto, 1993 : 31). Teknik BUL digunakan untuk
membagi data atau mengklasifikasikan data sesuai dengan jenis dan fungsinya
sehingga memudahkan untuk analisis selanjutnya. Sebagai contoh, data
penyakit, (ii) untuk kekebalan tubuh, dan (iii) untuk percintaan dan sebagainya.
Teknik BUL juga digunakan untuk mengklasifikasikan mantra berdasarkan jenis
gaya bahasanya.
Teknik lanjutan yang dipakai dalam metode agih ini adalah teknik baca
markah. Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara “membaca
pamarkah” dalam suatau konstruksi. Pemarkahan itu adalah alat seperti imbuhan,
kata penghubung, kata depan, dan artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan
atau fungsi kata atau konstruksi (Kesuma, 2007 : 66). Pemilihan cara
melakukannya bergantung pada tempat terdapatnya pemarkahan itu dalam tataran
lingual. Dengan melihat langsung pemarkahan itu menjadi membuka diri dan
berlaku sebagai tanda pengenal akan status satuan lingual yang diamati
(Sudaryanto, 1993 : 95). Teknik baca markah ini digunakan untuk menganalisis
gaya bahasa. Perhatikan contoh (3), kata sebagai merupakan pemarkah yang
menunjukan gaya bahasa perbandingan.
1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah tahap hasil analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian
hasil analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode
formal dan informal. Metode penyajian formal adalah dengan perumusan dengan
mengunakan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang digunakan antara lain (*),
(+), (†), (/), (\), (( )) dan lambang-lambang fonetis. Metode penyajian informal
adalah penyajian dengan menggunakan kata-kata yang biasa, yaitu kata-kata yang
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil laporan penelitian ini adalah sebagai berikut
Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode, dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II
merupakan bab yang memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi
teks, klasifikasi data, terjemahan dan catatan. Bab III merupakan bab yang berisi
analisis gaya bahasa mantra bahasa Dayak Desa. Bab VI merupakan bab yang
berisi uraian tentang tujuan, tujuan dan proses ritual, serta fungsi mantra bahasa
Dayak Desa. Bab V berisi penutup, yang mencakup kesimpulan dan saran.
Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang gaya bahasa, tujuan dan
proses ritual, serta fungsi yang pada mantra bahasa Dayak Desa. Saran yang
30 2.1 Pengantar
Dalam bab ini dilakukan deskripsi data, klasifikasi data, terjemahan teks
dan catatan. Namun sebelumnya, diuraikan dulu gambaran umum tentang lokasi
penelitian.
2.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penulis meneliti mantra yang berbahasa Dayak Desa, pada masyarakat
Suku Dayak Desa. Suku Dayak Desa sendiri tersebar di beberapa daerah yaitu
terdapat di Kabupaten Sintang yaitu di Kecamatan Sintang, Kecamatan Dedai,
Kecamatan Kelam Permai, Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Sungai Tebelian,
Kecamatan Binjai Hulu, Kecamatan Sepauk dan Kecamatan Tempunak.
Kabupaten Sintang terletak di bagian timur Propinsi Kalimantan Barat.
Letak atministratif Kecamatan Dedai berbatasan dengan Kecamatan Kelam
Permai di bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan
Belimbing dan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi, di bagian timur berbatasan
dengan Kecamatan Kayan Hilir. Di bagian barat berbatasan dengan Kecamatan
Sintang dan Sungai Tebelian. Kecamatan Dedai terletak di antara 0ο44’ Lintang
Timur. Kecamatan Dedai memiliki luas wilayah 694,10Km2 atau 3,21% dari luas
wilayah kabupaten Sintang (Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, 2006).
Daerah yang menjadi pusat penelitian penulis yaitu Dusun Umin
Kecamatan Dedai. Daerah ini berbatasan dengan beberapa daerah di sekitarnya.
Di bagian Timur berbatasan dengan Dusun Pauh Desa, di bagian Tenggara
berbatasan dengan Dusun Bayur, di sebelah selatan berbatasan dengan Dusun
Semirit, di sebelah Barat Daya berbatasan dengan Tajam, dan di sebelah Barat
berbatasan dengan Dusun Baras dan Bilan, di bagian Utara berbatasan dengan
Dusun Pengan dan Emparu, di bagian Timur Laut berbatasan dengan Dusun
Menaung. Daerah ini diapit oleh dua bukit yang terletak di sebelah Timur Laut
dan Selatan. penduduk setempat menamai bukit itu masing-masing di sebelah
Timur Laut yaitu Bukit Mangat dan di bagian Selatan Bukit Tajam. Dilihat dari
keadaaan iklimnya, daerah ini merupakan daerah yang beriklim tropis dengan
suhu yang tinggi serta curah hujan yang tinggi.
Tempat kediaman Suku Dayak Desa sangat mudah dicapai karena berada
di sekitar kota Sintang. Semua pemukimannya bisa dicapai dengan menggunakan
transportasi darat dan beberapa di antaranya dapat ditempuh lewat sungai. Lokasi
penelitian penulis adalah di Desa Umin, Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat. Jarak Desa Umin dari Kota Sintang menempuh perjalanan
2.3 Klasifikasi Data
2.3.1 Pengantar
Pada bagian ini dikemukakan deskripsi teks, traskripsi, ejaan, terjemahan
dan catatan teks. Adapun bagian-bagain tersebut masing-masing dijelaskan
sebagai berikut.
2.3.1.1 Deskripsi Teks
Mantra yang menjadi objek dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara
mencatat hasil wawancara dengan narasumber. Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan data-data mantra dan penjelasannya. Wawancara dilakukan dengan
pemilik mantra dan orang yang paham terhadap bahasa mantra sehingga bisa
menjelaskan mantra. Apabila ada bagian yang meragukan, penulis menghubungi
kembali narasumber yang bersangkutan. Semua data tentang mantra tersebut
ditulis apa adanya sesuai dengan aslinya tanpa menambah, mengurangi atau
mengubahnya.
Dari penelitian lapangan, diperoleh 40 teks mantra. Teks-teks tersebut
akan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Berdasarkan data yang telah
diperoleh di lapangan, teks-teks tersebut klasifikasikan menjadi 11 kelompok
sebagai berikut.
A (menyembuhkan penyakit yang biasa)
B (menyembuhkan penyakit kulit)
C (menyembuhkan penyakit yang terkena binatang)
E (menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh setan atau
santet)
F (berhubungan dengan keluarga)
G (pengusir setan)
H (berhubungan dengan makanan)
I (berhubungan dengan kecerdasan atau daya ingat)
J (kekebalan tubuh)
K (berhubungan dengan percintaan dan meluluhkan hati orang lain)
2.3.1.2 Transkripsi
Transkripsi adalah penulisan tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan
untuk menyarankan: lafal bunyi, fonem, morfe, atau tulisan sesuai dengan ejaan
yang berlaku dalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya (Marsono,1896:113).
Pengubahan bentuk wicara menjadi bentuk tertulis dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggambarkan setiap bunyi atau fonem dengan satu lambang aksara.
Untuk memudahlkan pembacaan teks, akan digunakan jenis transkripsi kasar
(broad transcription), yakni transkripsi fonetis yang mempergunakan lambang
terbatas berdasarkan analisis fonetis yang dipergunakan sebagai sistem aksara
yang mudah dibaca (Kridalaksana via Taum, 1994:96).
2.3.1.3 Ejaan
Semua teks dan transkripsi dalam penelitian ini akan ditulis sesuai huruf
diberi tanda secara fonetis, sesuai dengan bunyi yang dihasilkannya. Jika tidak
terdapat lambang bunyi yang dimaksudkan, lambang bunyi tersebut akan
diusahakan diberi lambang bunyi yang mendekati bunyi tersebut. Beberapa bunyi
khusus akan dijelaskan sebagai berikut:
[ a ] ( Indonesia: awal baca)
[ ə ] (Indonesia: lebat, tebu)
[ e ] (Indonesia: enak)
[ i ] (Indonesia: isi)
[ o ] (Indonesia: kado)
[ u ] (Indonesia: aku)
[ n ] (Indonesia: bulan)
[ ñ ] (Indonesia: menyambut)
[ k ] (Indonesia: kami)
[ ? ] (Indonesia: rokok)
Ada beberapa fonem yang sedikit berbeda dari bunyi-bunyi yang ada
dalam bahasa Indonesia seperti fonem h, r, ng, dan s. Fonem-fonem tersebut
sedapat mungkin akan ditulis dengan lambang bunyi yang mendekati bunyi
tersebut. Masing-masing bunyi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
• Fonem /h/ pada bahasa Dayak Desa mirip dengan bunyi [h] dalam bahasa
Indonesia. Hanya saja bunyi [h] dalam bahasa Dayak Desa adalah bunyi
bersuara.
• Fonem /r/ pada bahasa Dayak Desa lebih mirip bunyi [ ŗ ] hanya saja tidak
• Bunyi [ŋ] dalam bahasa Dayak Desa kebanyakan ditemui pada awal dan di
tengah suku kata. Jika terdapat pada akhir suku kata, bunyi [ŋ] menjadi
bunyi semi vokal. Terkadang jika terdapat pada tengah suku kata juga akan
berubah menjadi bunyi semi vokal.
• Fonem /s/ jika terdapat pada suku pertama dan di tengah bunyinya sama
dengan [s]. jika terdapat di akhir suku kata akan berubah bunyi menjadi
tidak berdesis.
Khusus bunyi-bunyi yang berbeda seperti yang dijelaskan di atas, jika tidak
ditemukan lambang bunyi yang dimaksud. maka penulis akan penulis memberi
tanda (...) untuk membedakan bunyi yang berbeda tersebut.
2.3.1.4 Terjemahan
Menerjemahkan berarti memindahkan arti dari satu bahasa ke bahasa lain.
Menerjemahkan di sini merupakan proses memindahkan arti dari bahasa daerah
yaitu bahasa Dayak Desa ke bahasa Indonesia. Kesulitan dalam proses
menerjemahkan teks berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yaitu bahasa
Indonesia tidak memiliki kosakata bahasa daerah tersebut. Untuk mengatasi hal
ini, terpaksa menggunakan kata yang maknanya berdekatan dengan kata dalam
bahasa Indonesia.
2.3.1.5 Catatan Teks
Catatan dalam teks dan terjemahan dalam penelitian ini dimaksudkan
khusus atau serta hal-hal yang perlu dijelaskan. Penjelasan dalam studi ini
bukanlah penjelasan yang mendalam. Penjelasan ini merupakan penjalasan yang
terbatas dan memberi gambaran umum tentang istilah-istilah khusus tersebut serta
hal-hal yang perlu dijelaskan.
2.3.1.6 Keterangan Mengenai Narasumber
Narasumber akan diurutkan berdasarkan umurnya masing-masing dimulai
dari yang tertua. Adapun narasumber tersebut masing-masing adalah sebagai
berikut:
(1)Lemia, umur 70 tahun, buta huruf, pekerjaan petani, agama Katolik.
(2)Belebas, umur 69 tahun, buta huruf, petani, agama Katolik.
(3)Kasianus Joko, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta,
petani padi, lada, dan karet, agama Katolik, jabatan dalam masyarakat
adat adalah sebagai petua adat.
(4)Ratu, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, karet, dan
lada, agama Katolik.
(5)Marta, umur 50 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, lada dan
karet, agama Katolik.
(6)Agustinus, umur 48 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta, agama
Katolik.
(7)Teresiana Bangi, umur 44 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi
(8)Simon, umur 34 tahun, pendidikan SMK, pekerjaan petani padi dan
karet, agama Katolik.
Semua narasumber di atas bersal dari daerah yang sama yaitu Desa Umin
Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Semua nara sumber
dapat mengucapkan kata dengan jelas atau tidak ada yang memiliki kelainan
dalam pengucapan.
2.3.2 Deskripsi teks
2.3.2.1 Teks A (Menyembuhkan Penyakit yang Biasa)
1. Tawar pediah kepalak [tawaŗ pədiah kəpala?]
Aluk te pedieh kepalak [alu? tə pədia(h) kəpala?]
Dikumai nadai nyaut [dikumai nadai ñaut]
Dipangkak nadai beringut [dipaŋka? nadai bəŗi(ŋ)ut]
Aluk te pedieh kepalak [aluk tə pədia(h) kəpala?]
Dari tuan tanah Rebuah [daŗi tuan tana(h) ŗəbua(h)] Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋa(h) bəŗuba tewaŗ] ketauk ke asal temula nyadi [kətau? asal təmula ñadi]
Cit-citan tabarlah [cit citan tabaŗla(h)]
1.‘mantra menyembuhkan sakit kepala’ ‘Aluk yang sakit kepala’
‘dipanggil tiada menjawab’ ‘disapa tiada bergerak’
‘Aluk yang sakit kepala’ ‘dari tuan tanah Rebuah’
‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal mula terjadi’
‘cit-citan redalah’
2. tawar pediah perut pasang [tawaŗ pədiah pəŗut pasa(ŋ)]
2. ‘mentra menyembuhkan sakit perut kembung’
‘batang melintang batu tenggelam’ ‘air pasang perut (si A) surut’
‘anak kera unyak-unyak’
‘kijang lalang merusak singkong’ ‘yang kembung batal kentut jadi’
‘lada sekarung’
‘kembung batal kentut jadi’
‘dari tuan tanah Rebuh’
‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan redalah’
(narasumber nomor: 1, Lemia, usia 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 2 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
3. tawar pediah perut ngerik [tawaŗ pədia(h) pəŗut ŋerI?]
*Munut jengkuluang pulau mensigit [munut jəŋkuluaŋ pulau mənsigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu Apaikau raden [inaikau ŗatu apaikau ŗaden]
Lingkuang prengkiluang pulau mensigit [liŋkuaŋ pŗəŋkiluaŋ pulau mən sigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu bumi [inaikau ŗatu bumi]
Apaikau raden seruang guntin [apai ŗaden sərua(ŋ) gunti(ŋ)]
Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuah [rətuan tanah ŗəbua(h)] Mungah beruba tawar [muŋah bəruba tawaŗ]
Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] **patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? Patah pucua?]
Patah pucuak mali ali [pata(h) pucua? mali ali] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan laki [pata(h) pantua? bayan laki]
***patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak patah puang keladi aik [patah pucua? pua(ŋ) kəladi ai?] Antu tunuk sitan tunuak [antu tunua? Sitan tunua?] Patah pantuak sitan daik [patah pantua? sitan dai?]
****patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak mali anyam [pata(h) pucua? mali añam] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan itam [pata(h) pantua? bayan itam]
Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? kə asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuh [ŗə tuan tanah ŗəbu(h)]
Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)]
3.’mengobati sakit perut masuk angin’
* ‘munut jengkuluang pulau Mensigit’ ‘tujuh puluh macam puluang’
‘ibumu ratu bapakmu raden’
‘lingkuang prangkiluang pulau Mensigit’ ‘aku mengetahui asal semula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’
‘Mungah yang mengajarkan mantra’ Setelah aku pulihkan tawarlah’
*** ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk patah kosong talas air’ ‘hantu tunduk setan tunduk’
‘patah paruh setan di air’ **** ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk haram dianyam’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh burung bayan hitam’
‘aku mengetahui asal mula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’
‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’
(narasumber nomor: 1,Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 2 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
4. tawar pediah perut ngasak. [tawaŗ pədiah pəŗut ŋasak]
4. ‘menyembuhkan sakit perut mulas’
‘keladi hitam birah hitam’ ‘tanam di tanah purang puri’ ‘dayang muda berbaju hitam’
5. tawar batuak [tawaŗbatua?]
Lam dalam lam [lam dalam lam]
Lam ada di baku buluah [lam ada di baku bulua(h)] Apa sebab nuan lam [apa səbab nuan lam]
Redik tegalik suduk patah [rədi? tegali? Sudu? pata(h)] Tampuak menyadik temunik [tampua? məñadi? təmuni?]
‘lam ada di dalam buku buluh/bambu’ ‘apa sebab kamu lam’
‘serasa tersengat terik matahari’ ‘kobaran api dalam tubuh’
‘kalau penyakit dari hantu’ ‘kembali ke hantu’
‘pulanglah kalian ke benua raja baginda’ ‘ke tanah gunung reban’
‘ke pusat air berputar’
‘ke tempat matahari terbenam’ ‘ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke sisi langit laki’
‘dorong ke atas kena panah’
‘dorong ke bawah dahak ludah jatuh ke tanah’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’
‘asal mula jadi’
‘setelah aku pulihkan, tawarlah’
(narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, petani perekaman tanggal 11 Juli 2007)
6. tawar netauk birak [tawaŗ nə tau? biŗa?]
Sang segeruntang [sa(ŋ) səgərunta(ŋ)] tanam bujang Lepang [tanam buja(ŋ) ləpa(ŋ)] Tuntuang mintak sintak [tuntua(ŋ) minta? sintak] Akar mintak batak [akaŗ minta? batak] Urat mintak tetak [uŗat minta? tətak]
Buntau kelik de buntut lepuang. [buntau kəli? də buntut ləpua(ŋ)]
6.’mantra susah buang air besar’
‘lada segeruntang’
‘ditanam oleh bujang Lepang’ ‘bekicot mintak tarik’
‘akar minta tarik’ ‘urat minta potong’ ‘busuk lele di tepi danau’
(narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, petani, SMK, direkaman tanggal 12 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
7. tawar mutah. [tawaŗmutah]