BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat Dayak Ngaju memiliki sistem kebudayaan yang kaya, terutama bagi
masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas,
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Terutama dalam kehidupan sehari-hari seperti gotong
royong dalam bercocok tanam maupun aktivitas sehari-hari. Kebudayaan seperti ini mengatur
supaya manusia dapat mengerti dan memahami sebagaimana seharusnya bertindak, berbuat
dan menentukan sikap untuk membangun, berhubungan satu dengan yang lain menurut
pola-pola tertentu berdasarkan adat dan kelakuan.1 Kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia itu2 dan bagi suku Dayak Ngaju, terutama yang menganut agama
Hindu Kaharingan masih percaya akan keberadaan yang abstrak terutama kepada roh-roh.
Masyarakat Dayak Ngaju adalah salah satu rumpun suku yang berada di wilayah
Kalimantan Tengah. Masyarakat Dayak banyak bermukim di wilayah sungai, seperti sungai
Barito atau Murung dengan anak-anak Sungai Tewe, Murung, Lahei, Kumai, Arut Lamandau,
Jelai, Kapuas, Rungan, Kahayan dengan anak-anak sungai, Sebangau, Katingan atau
Mendawai, Mentaya atau Sampit, dan Pembuang atau Seruyan.3 Berdasarkan penggolongan suku, masyarakat Dayak memiliki ikatan kesatuan yang dipegang teguh dalam kehidupan
1 Retrnowati, Agama dan Kebudayaan, (Salatiga: UKSW, 2009), 9. (Bdk, kebudayaan menurut Chris
Jenks; Kebudayaan adalah sebuah kategori sosial, kebudayaan dipahami sebagai seluruh cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 11)).
2 Bdk, Budiono Herusantono, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT Hanindita Offset,
1984), 7.
terutama dengan sesama suku. Ikatan kesatuan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari
yaitu dalam kehidupan kesukuannya dan juga ritual adat.4 Di dalam ritual adat Dayak Ngaju yang paling dikenal adalah upacara Tiwah, yaitu upacara kematian. Selain upacara Tiwah, ada
salah satu ritual yang sering dilaksanakan oleh orang Dayak Ngaju yang berada di wilayah
Kecamatan Rungan yaitu upacara penyembuhan orang sakit, meminta petunjuk dan
perlindungan kepada dewa yang disebut dengan nama Sangiang. Upacara ini biasa disebut
dengan ritual Manyangiang. Manyangiang ini merupakan sebuah ritual di mana Sangiang
dipanggil ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dan dapat berkomunikasi langsung dengan
manusia melalui perantara yaitu dengan cara merasuki tubuh manusia.
Dalam kitab Panaturan5 terdapat cerita tentang asal usul ritual Manyangiang, dengan isi
cerita sebagai berikut:
Ketika Ranying Hatalla melihat bahwa keadaan hidup anak cucu Raja Bunu yang hidup di Pantai Danum Kalunen, yang sudah banyak melupakan ajaran Ranying Hatalla. Maka oleh sebab itu, Ranying Hatalla berfirman dan memerintahkan Raja Uju Hakanduang, Kanaruhan Hanya Basakati, supaya segera turun ke lewu Telu Kalabuan Tingang, Runding Epat Kalihulun Talawang. Setelah tiba di sana, Raja Uju Hakanduang menyampaikan firman Ranying Hatalla untuk memeritahkan mereka di Lewu Telu mempersiapkan dan menyediakan diri mereka supaya turun ke Pantai Danum Kalunen untuk mengajarkan anak cucu Raja Bunu melaksanakan Upacara Tiwah Suntu. Mereka yang turun ke Pantai Danum Kalunen yaitu Raja Tunggal Sangumang, Raja Mantir Mama Luhing Bungai, Raja Rawing Tempun Talun, mereka yang mengajarkan tata cara pelaksanaan Balian dan ajaran-ajaran upacara lainnya.6
Demikian pula Raja Duhung Mama Tandang, mengajarkan tentang tata cara Balian Tantulak Ambun Runtas Matei, perjalanan Banama Nyahu dan bermacam-macam upacara lainnya yang berhubungan dengan kematian. Raja Linga Rawing, Tempun Telun, Telun dan Hamparung, mereka mengajarkan tata cara pelaksanaan Hanteran dan mengucapkan awal kejadian segala-galanya sampai pada tata cara Upacara Tiwah serta yang lainnya. Raja Garing Hatungku, Nyai Endas Bulau
4 Bdk, Fridolin Ukur, Tantang Djawab Suku Dajak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971), 16.
5Kitab Panaturan adalah Kitab Suci umat Hindu Kaharingan.
6Bajik R Simpei, dkk, PANATURAN: Tamparan Taluh Handiai (Awal Segala Kejadian),
Lisan Tingang, Nyai Inai Mangut, mengajarkan dalam menyediakan ketupat, kambuangan, sanggar, palangka dan peralatan lainnya.7
Mereka semua mengajarkan segala tata cara upacara dalam kehidupan, yaitu upacara perkawinan, upacara kehamilan, melahirkan bayi, dan tata upacara yang lainnya sebagaimana tata cara pelaksanaan upacara yang pernah dilaksanakan bagi kalian menurut firman Ranying Hatalla di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung saat dahulu. Mereka akan turun menuju ke Pantai Danum Kalunen, di situ Ranying Hatalla menyebut nama bagi mereka yaitu Bawi Ayah yang berarti mereka ini yang pertama kalinya mengajar orang perempuan melaksanakan Balian di Pantai Danum Kalunen, dan apabila mereka mengajar para perempuan balian, maka nama mereka adalah Bawin Balian.8
Maka Bawi Ayah mengajarkan sesuai dengan firman Ranying Hatalla. Setelah segala yang diajarkan itu, demikian yang diajarkan oleh Bawi Ayah itu: Pertama-tama dimulai dengan ucapan Manawur. Manawur yaitu suatu kegiatan dalam mengawali setiap pelaksanaan upacara. Dalam kegiatan Manawur yang harus diperhatikan yaitu pada saat memberi nama bagi Behas Tawur dan tugas yang disesuaikan dengan jenis upacara yang dilakukan.9 Selanjutnya Nantilang Liau. Kegiatan ini dilaksanakan setelah selesai Manawur dan kegiatan ini hanya dilakukan di dalam kegiatan Tawur menyucikan, membuang pengaruh-pengaruh buruk yang datang dari segala penjuru dari keluarga upacara, dari rumah tempat upacara sekaligus dari seluruh lingkungannya, agar mereka berada dalam keadaan suci bersih.10 Setelah itu dilanjutkan lagi dengan Ucapan Manjung Tawur sekaligus Nyaluh Tawur dan Ucapan Mujan Balai. Ucapan Mujan Balai yaitu pengucapan tentang proses pengenalan, maksud dan tujuan kedatangan Tawur, yang datang dan berada di tengah-tengah mereka yaitu para Sangiang di Balai Mihing.11 Kemudian dilanjutkan dengan Auh Ngarungut Sangiang, Ucapan Menghadirkan Banama Tingang dan Lasang Tingang, Ucapan Mangkang Sangiang. Mangkang Sangiang yaitu mempersiapkan Sangiang untuk turun merasuk.12
Kitab Panaturan juga mencantumkan tugas Sangiang yaitu; Pertama, mengurus
Ranying Hatalla.13 Supaya dapat berkomunikasi dengan Sangiang itu, perlu adanya seseorang
sebagai perantara dan mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Sangiang.
Contoh dari bahasa Sangiang yaitu:14
Pahingkat busun sihung ringkang, pambuk
pahawang nengkile rabia.
Sisi sebentar cahaya kekuatan basir, Sangiang mulai masuk merasuk.
Membuka ubun-ubun, membuka batu tutup Banjang Hariran.
Mendirikan dan menempatkan kakinya, menancap tiang mendulang emas.
Mendirikan dan menempatkan kakinya, menancap tiang mendulang emas.
Selain digunakan dalam ritual Manyangiang, bahasa Sangiang juga bisa didengar pada
saat masyarakat melaksanakan ritual adat lain seperti Katambong, Tiwah, maupun Balian.
Masyarakat yang melaksanakan ritual ini adalah masyarakat Dayak Ngaju, terutama bagi
masyarakat yang menganut agama helo yaitu agama Kaharingan. Masyarakat yang menganut
agama helo ini adalah masyarakat Dayak Ngaju15 dan memiliki bahasa asli yang disebut juga
dengan Dayak Ngaju. Dalam buku tentang Legenda dan Dongeng dalam Sastra Dayak Ngaju
yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat bahwa bahasa
13
Wawancara dengan Guru agama Hindu Kaharingan SMAN Bapak Ria, S.Ag, Jakatan Raya, 13 September 2013. (Wawancara ini dilakukan pada saat penulis melakukan penelitian lapangan di Jakatan Raya, Kalimantan Tengah. Topik penelitian ini masih berhubungan dengan Manyangiang, karena yang Penulis teliti yaitu “Daya Mistis Nyanyian Sangiang” dalam ritual Manyangiang).
14 Bahasa Sangiang ini adalah contoh Bahasa Sangiang yang tercantum dalam Kitab Panaturan.
15
Dayak Ngaju16 kemungkinan adalah bahasa Dayak yang paling tua di Kalimantan Tengah
yaitu berasal dari bahasa Sangen atau bahasa Sangiang.
Dalam ritual Manyangiang ini, peran seorang pemimpin ritual sangat penting, karena
dialah yang dapat berkomunikasi langsung dengan Sangiang. Pemimpin ritual Manyangiang
ini dikenal dengan sebutan Tukang Sangiang. Pada saat pemanggilan yang dilakukan oleh
Tukang Sangiang, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sangiang atau basan sangiang.
Ketika Sangiang datang, cara berkomunikasi dengan manusia yaitu dengan cara merasuki
tubuh Tukang Sangiang atau bisa juga merasuki tubuh orang lain. Selain sebagai pemanggil
Sangiang, Tukang Sangiang juga memiliki tanggung jawab dalam proses secara keseluruhan
ritual Manyangiang.
Selain perannya yang penting dalam ritual Manyangiang, ia juga memiliki peran yang
penting dalam kehidupan sosial. Dalam kehidupan sosialnya itu, Tukang Sangiang dapat
bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya dengan baik. Contohnya adalah ketika ada salah
satu warga yang sedang menanam padi / manugal, maka Tukang Sangiang akan turut
membantu tanpa meminta upah. Atau ketika tidak ada pekerjaan di sore hari, Tukang
Sangiang akan jalan-jalan untuk bertamu ke rumah warga sambil mengajak untuk manyipa
bersama-sama. Sehingga, pengaruh dari perannya dalam kehidupan sosial inilah yang
kemudian membuat masyarakat di sekitarnya menghormatinya, seperti orang menghormati
ketua RT atau Kepala Desa.
16Bahasa daerah mencerminkan seseorang berasal dari suku mana. Menurut Linda dan Shan, bahasa
Bagi masyarakat sekitar, ada yang mengatakan bahwa Tukang Sangiang adalah orang
yang mendapat wahyu (melalui mimpi atau pertanda lain)17. Sehingga karena mendapat wahyu inilah Tukang Sangiang dihormati oleh masyarakat di sekitarnya. Namun ada sumber lain
yang mengatakan bahwa Tukang Sangiang harus terlebih dahulu mempelajari bahasa
Sangiang dari Kitab Panaturan, supaya dapat berkomunikasi dengan Sangiang. Atas hal-hal
demikianlah Penulis ingin menggali lebih dalam mengenai Tukang Sangiang, terutama
bagaimana perannya baik di dalam ritual Manyangiang dan dalam kehidupan sosialnya.
B. BATASAN MASALAH
Tukang Sangiang dianggap sebagai tokoh yang mempunyai pengaruh besar dalam
perannya, baik itu di perannya dalam ritual adat maupun perannya dalam bermasyarakat. Oleh
sebab itu, supaya tulisan mempunyai batasan dalam mengidentifikasi peran Tuang Sangiang
maka tulisan ini hanya berfokus pada Peran Tukang Sangiang dan menganalisa terhadap
sumber-sumber pengaruh dari peranannya di dalam masyarakat.
C. RUMUSAN MASALAH
Peran Tukang Sangiang dalam ritual Manyangiang memiliki cerita asal usul yang
masih diperdebatkan, apakah Tukang Sangiang adalah orang yang diwahyukan atau orang
yang dengan sengaja belajar bahasa Sangiang dari kitab keagamaan umat Hindu Kaharingan.
Tukang Sangiang juga memiliki peranan yang penting di tengah masyarakat sehingga ia
dihormati. Rumusan masalahnya yaitu apa peran Tukang Sangiang dalam ritual keagamaan
dan dalam masyarakat Dayak Ngaju.
17
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian dalam tulisan ini yaitu untuk mendeskripsikan peran dari Tukang
Sangiang dalam ritual adat Manyangiang, dan kemudian menganalisa serta
mengidentifikasikan sumber-sumber terhadap pengaruh yang dimiliki oleh Tukang Sangiang
di dalam masyarakat Dayak Ngaju.
E. MANFAAT PENELITIAN
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama
masyarakat Suku Dayak Ngaju terhadap peran Tukang Sangiang. Melalui peran Tukang
Sangiang ini, dapat memberikan pembelajaran supaya masyarakat Dayak Ngaju lebih
mempertahankan dan memberikan kontribusi terhadap budaya daerah.
Tulisan ini juga bermanfaat untuk Peremerintah dalam meninjau kembali bahwa dalam
masyarakat Dayak Ngaju memiliki tokoh-tokoh yang mempunyai peranan yang penting,
terkhususnya bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Tidak hanya itu, tulisan ini juga
bermanfaat bagi para Tukang Sangiang dan budaya untuk mengetahui peran mereka di
tengah-tengah bermasyarakat dan beragama. Juga, memberikan manfaat bagi Teologi bahwa
dalam kehidupan bersosial dan berbudaya, terdapat tokoh yang memiliki peranan penting yang
dapat memberikan apresiasi dalam meningkatkan pemahaman dalam mendalami peran
F. KERANGKA TEORITIS
Dalam memahami peran Tukang Sangiang dalam suku Dayak Ngaju yaitu sebagai
seorang pemimpin dalam ritual maupun dalam kehidupan bermasyarakat, perlu dipahami juga
bahwa Tukang Sangiang memiliki otoritas sebagai seorang pemimpin (terutama dalam ritual
Manyangiang). Sebagai seorang pemimpin, pemimpin mungkin terwujud dalam suatu konteks
sosial. Maka, antara pemimpin dan nilai-nilai kultural dari nilai komunitas terdapat hubungan
erat. Pemimpin bukan saja dapat diartikan sebagai pemelihara nilai-nilai kultur, tetapi menjadi
personifikasi dari nilai-nilai itu. Terdapat juga proses timbal balik antara pemimpin dengan
nilai-nilai budaya.18
Teori yang aka digunakan adalah teori tentang peran atau role, teori mengenai kharisma
yang dijabarkan oleh Max Weber dipakai untuk memahami bahwa dalam kepemimpinan
terdapat salah satu sumber yang mempengaruhi yaitu kharisma tersebut. Konsep19 kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan
pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis.20 Kharisma adalah sifat atau pemberian yang diperhitungkan kepada orang pemimpin dengan pengikutnya. Ide kharisma
18Ja’cuba Karepesina, dkk, Mitos, Kewibawaan, dan Perilaku Budaya, (Jakarta: PT Pustaka Grafika
Kita, 1988), 4-5.
19Konsep yang pertama ini fokusnya ke pribadi individu yang mengambil tanggung jawab dalam tatanan
normantif yang sudah ada. Tidak hanya kualitas yang dimiliki oleh seorang individu namun juga berbicara tentang tatanan normative, ini dibutuhka untuk dapat membedakan konsep tentang karisma turunan atau bawaan. Kedua, ada aspek non-kognitif yang krusial. Kehidupan yang mengidentifikasikan hubungan pribadi dengan Tuhan. (Bdk, terjemahan The Sociology of Religion, Max Weber, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 38-41.
20http://perengbiru.blogspot.com/2011/01/kepemimpinan-kharismatik-analisis.html diakses pada Kamis,
tergantung pada hubungan dari tiga faktor dasar yang mendasarinya yaitu kekuatan, iman, dan
tugas.21
G. METODE PENELITIAAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan dalam melakukan pengkajian
mengenai Tukang Sangiang ini, jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian adalah
Deskriftif Naratif.22
2. Unit Amatan dan Unit Analisa
a. Unit Amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh dalam
rangka menggambarkan dan menjelaskan tentang suatu analisa. Sehingga, yang
menjadi unit amatan dalam tulisan ini berfokus pada Tukang Sangiang.
b. Unit Analisa merupakan unit yang diteliti atau dianalisa dengan menggunakan
strategi komunikasi dengan Tukang Sangiang dan tokoh-tokoh masyarakat lokal
yang bersangkutan.
3. Teknik Pengumpulan Data
3.1.Observasi
Data diperoleh dari hasil observasi partisipasi, karena dalam penelitian lapangan sangat
diperlukan observasi ini. Sifat observasi ini yaitu melakukan pengamatan dengan cara
21 Martin Albrow, Max Weber’s Construction of Social Theory, (New York: St. Martin’s Press, 1990), 173.
22 Polkinghorme Donald, Narrative Knowing and the Human Sciences, (New York: State University,
berinteraksi sosial secara itensif dengan sumber atau masyarakat yang akan diteliti, sehingga
memungkinkan untuk mengetahui secara mendalam objek yang akan diteliti.23
3.2.Wawancara Mendalam
Informasi dan data tidak hanya dilakukan dengan mengamati, untuk itu diperlukan
wawancara yang mendalam baik dengan masyarakat maupun dengan Tukang Sangiang. Oleh
karena itu, wawancara ini dilakukan bersifat terbuka dan tidak terstruktur, dengan tujuan
supaya proses wawancara terjadi percakapan yang lebih bebas namun tidak keluar dari inti
pembahasan dari topik yang diteliti.
3.3.Sumber Data
a. Tukang Sangiang adalah objek utama yang menjadi sumber yang akan
diwawancarai untuk memperoleh informasi mengapa ia bisa menjadi Tukang
Sangiang.
b. Para tokoh adat, terutama para tokoh yang mengetahui keberadaan Tukang
Sangiang, biasanya tokoh adat ini para tua-tua adat yang masih menganut agama
Kaharingan (Hindu Kaharingan).
c. Pemerintah (pemerintahan yang berada di lokasi penelitian) untuk menggali
informasi tentang keberadaan Tukang Sangiang di tengah kehidupan bermasyarakat.
d. Masyarakat, hal ini perlu karena informasi yang dihimpun dari masyarakat
merupakan informasi untuk mengetahui sejauh mana tanggapan mereka terhadap
peran Tukang Sangiang.
23 Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
3.4.Dokumentasi
Dokumentasi diperlukan sebagai pelengkap data. Dokumentasi ini berbentuk foto,
rekaman, maupun video.
4. Jenis Data
Jenis data dalam penulisan ini adalah data primer dan data sekunder. Di mana data
diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara melalui pertanyaan terbuka dari
objek yang diteliti. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data-data tertulis seperti riset
perpustakaan, media elektronik seperti data dari jaringan internet, maupun tulisan-tulisan lokal
yang terdapat di wilayah Suku Dayak Ngaju tentang Tukang Sangiang.
5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berdasarkan pembagian arus sungai yang ada di Kalimantan Tengah
yaitu di Sungai Rungan. Sungai Rungan melingkupi wilayah Kecamatan Rungan, Kecamatan
Rungan Hulu, Kecamatan Kurun, Kecamatan Mihing Raya, Kecamatan Sepang, kecamatan
Manuhing, Kecamatan Rungan Barat, dan Kecamatan Manuhing. Namun, fokus penelitian
hanya di Kecamatan Rungan karena dianggap mendekati narasumber yang mengetahui sejarah
tentang asal usul Tukang Sangiang dan Betang Toyoi24 yang menjadi asal usul oloh helu yaitu
orang Dayak Ngaju di wilayah Rungan.
24 Betang Toyoi adalah rumah adat asli suku dayak Ngaju yang berada di Sungai Rungan, asal usul oloh
6. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data adalah proses pengumpulan data agar dapat diinterpretasikan, dan
memberikan makna pada analisa. Catherine, menambahkan bahwa analisa naratif adalah
model analisa yang dipergunakan untuk menjelaskan realitas fenomena melalui pengalaman
hidup seseorang dalam rangka memahami makna kehidupan sosial dari suatu komunitas.
Selain itu, analisa ini dipergunakan karena pengalaman hidup seseorang sangat berguna untuk
memahami makna yang tersirat dari pengalaman hidupnya, sehingga diperlukan penceritaan
kembali dan mengalami rekonstruksi.25
Oleh karena itu, pengalahan data dimulai dengan klasifikasi data mengenai peran
Tukang Sangiang dilapangan dan membuat pemisahan data. Setelah pemisahan data maka
akan dilakukan verifikasi data, yaitu data yang didapat sebelumnya dipisah sesuai dengan
kategorinya. Dalam verifikasi data, data selanjutnya dibagi sesuai dengan kategori data
tersebut yang kemudian di analisa dengan metode analisa naratif. Untuk menganalisa data,
data yang sudah di kategorikan masing-masing akan direduksi dan diinterpretasikan atas
data-data yang ada di lapangan.
H. KERANGKA PENULISAN
Bab I: Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian.
Bab II: Bab ini akan memaparkan mengenai landasan teoritis dalam mengkaji peran Tukang
Sangiang.
Bab III: Bagian bab ini akan mendeskripsi peran Tukang Sangiang dalam suku Dayak Ngaju.
Bab IV: Analisa data terhadap peran Tukang Sangiang.