• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3 Analisis Struktur Yang Membangun Novel

3.3.4 Alur

Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

Alur yang digunakan dalam perempuan di titik nol adalah alur campuran, tetapi didominasi oleh alur mundur atau flashback. Hal ini dikarenakan cerita di dalam novel semuanya merupakan kisah masa lalu Firdaus. Kisah tersebut merupakan kisah masa lalu Firdaus sebelum ia masuk penjara.

Novel ini terdiri dari tiga bab. Pada bab pertama merupakan bagian pertemuan antara tokoh pengarang, yang berprofesi sebagai seorang dokter penjara, dengan tokoh Firdaus yang akan dihukum mati. Bab kedua, merupakan penceritaan ulang masa lalu dan alasan Firdaus masuk penjara. Sedangkan pada bab ketiga, merupakan bagian perpisahan antara Firdaus dengan dengan tokoh pengarang , yang berprofesi sebagai dokter penjara.

Richard dalam Nurgiyantoro, 1998: 149-150) membedakan tahapan alur atau plot menjadi lima bagian.Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:

1. Situasion (tahap penyituasian)

2. Generating circumtances (tahap pemunculan konflik) 3. Rising action (tahap peningkatan konflik)

4. Climaks (tahap puncak)

lii

1. Tahap penyituasian (situasion)

Tahap ini merupakan tahap pengenalan cerita. Dalam novel ini, tahap ini berada pada posisi awal cerita. Tahap pengenalan cerita dimulai dari datangnya tokoh Dokter penjara untuk menemui Firdaus di penjara. Berikut kutipannya :

-

/Watakarratu jiyāratī al-sijni, wa fī kulu marratin hāwalat an arā firdawsi, lakinna muhāwi lātī kullahā bā′at bilfasyli. Wa asbaha al -bahasa al-nafsī allażī aqūmu bihi muhaddidān bilfasyli./ “Saya kembali ke penjara beberapa kali, tetapi semua daya upaya saya untuk menemui Firdaus tidak berhasil. Saya merasa bagaimanapun juga bahwa penelitian saya dalam keadaan gawat” (Al-Sa’dawi, 2000: 6)

Tokoh dokter ini selalu berusaha menemui Firdaus bagaimanapun caranya. Ia tiap hari kembali ke penjara untuk menemui Firdaus. Berikut kutipannya :

/Fī assabāhi attālī wajadtu nafsī fī al-sijni. Lam akun as‛ī ilā muhāwalātin jadīdatin lilqāi firdawsi, faqad ya′isat tamāmān min liqā′ihā, lakinnī kuntu ibhasu an assajānati aw tabība al-sijni./ “ke esokan paginya, saya telah berada di penjara lagi. Saya tidak bermaksud berusaha menemui Firdaus, sebab saya telah kehilangan harapan. Saya sedang menunggu sipir atau dokter penjara. Dokter belum juga tiba namun saya menjumpai sipir “(Al-Sa’dawi, 2002: 7)

Pengarang memperkenalkan kehidupan dan latar belakang Firdaus. Ia dilahirkan di keluarga kurang mampu yang selalu didominasi oleh tokoh ayah. Ayahnya seorang petani miskin. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu

liii tunduk pada suamianya dan mengagunkan suaminya, hingga anak-anaknya tidak pernah dipelihara dan mendapatkan sisa perhatian darinya. Berikut kutipannya :

, wa lam ya‛rif min al-hayāti illa an yazra‛a al-ardi/ “ayah saya seorang petani miskin, yang tak dapat membaca dan menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan (Al-Sa’dawi, 2002: 16)

-

- / “pada waktu ia selesai makan

ibu membawakan segelas air kepadanya. Diminumnya air itu, kemudian bersendawa dengan suara nyaring, mengeluarkan hawa dari mulut atau perutnya dengan suara yang panjang-panjang”. (Al-Sa’dawi, 200: 27)

Bagian pengenalan ini dengan kisah mengenai kehidupan Firdaus di rumah pamannya. Ia tinggal bersama pamannya setelah Ayah dan Ibunya meninggal.

2. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumtances)

Tahap kedua merupakan tahap pemunculan konflik. Pada tahap ini diuraikan bagaimana sebab munculnya konflik yang terjadi pada diri Firdaus.

Koflik pertama yang muncul pada Firdaus ketika ia harus hidup berumahtangga dengan Syekh Mahmoud. Ia saat itu berumur 18 tahun. Hal itu karena ia berusaha membalas budi kebaikan pamannya dan ia tidak mau mengecawakan pamannya. Berikut kutipannya :

liv /khālī al-syaikhu mahmūd rajlu sālihun, wa ma‛āsyahu kabīru, wa laisa lahu aw lādu, wa huwa wahidu munża mātatu jawjathu al-‛āma al-mādī walaw tajawaja asyaikhu mahmuūdun firdausi, la‛āsat ma‛ahu hayāatun tayyibatan wawajada fīhā ajjawjati al-mutī‛ati allatī tukhdimahu watu′nisi wahdatahu. Firdawsi kuburat yā sayyadanā asyaikhu, wa lā budda an tatajawwaj. An baqā′a hā hattā al-ana bigairi jawāji syai′in khutra. Firdawsi bintu tayyibatin, wa lakinna awlādu al-harāma kasirūna. /“pamanku, Syekh Makhmoud adalah seorang yang terhormat. Dia punya pensiun yang besar dan tak punya anak-anak, dan ia masih hidup sendirian sejak istrinya meninggal tahun yang lalu. Bila ia menikah dengan Firdaus, Firdaus akan memperoleh kehidupan yang baik bersamanya, dan ia akan mendapatkan pada diri Firdaus seorang istri yang penurut, yang akan melayaninya dan akan meringankan kesunyiannya. Firdaus telah bertambah besar, yang mulia, dan harus dikawinkan. Dia adalah seorang gadis yang baik, tetapi dunia ini sudah penuh dengan begajul (Al-Sa’dawi, 2000: 52)

Konflik selanjutnya terjadi ketika ia hidup bersama Syekh Mahmoud. Ia mendapatkan kekerasan Fisik dari Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya :

-

/fa′ahaża yasīhu bisawtin āla samuhu al-jairāni. Summa bada′a yadribnī bisababin wa bigairi sababin. Darabnī marratan bika‛bin al-hażā′i hatta taurami wajhī wajasdī, fatarakat baitahu wa żahabat ilā ammī. /“setelah peristiwa itu ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan atau tidak. Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman”. (Al-Sa’dawi, 2000: 63)

Kemudian karena dia tidak tahan dengan semua perlakuan Syekh Mahmoud, ia kemudian melarikan diri. Ia bertemu denagn Biyoumi dan memutuskan untuk tinggal bersamanya hingga ia mendapatkan pekerjaan. Berikut kutipannya :

lv

-

/ismuhu kāna biyaumi, wahīna rafa‛at ainī ilā wajhahu lam asy‛uru bikhafin. Anfahu kāna makūrān kabīrān yusabbihu anfa abī, wabisyartihi samrā′u kabisyartihi, wa aināhu mustakīnatāni hāda′atāni./ “namanya Biyoumi. Ketika saya memandang ke atas dan melihat mukanya saya tidak merasa takut. Hidungnya mirip dengan ayah. Hidungnya besar dan bulat, dan warna kulitnya gelap pula”(Al-Sa’dawi, 2000: 67)

/awwal lailatan żahabat maahu kānat ad-dunyā syattā′a wa baradān/ “Pada waktu itu musim dingin dan malamnya dingin, ketika pertama kali saya ikut bersamanya kerumahnya” (Al-Sa’dawi, 2002: 68)

Firdaus merasa ia telah dimanfaatkan oleh Biyoumi, hingga akhirnya ia memutuskan melarikan diri dari kekangan Biyoumi dan kawannya ketika ia di kurung di dalam kamar. Berikut kutipannya :

lvi /Wa asbaha yuglaqu alayya bābun asyaqati qabla an yakhruju, wa asbahat anāmu alā al-ardi fī alhajarati al-ukhrā. waya′tī fī muntasafi al-laili, yasyudda annī al-gatā′u, wa yasfa‛nī, wa yar qad fawqī. Lam akun aftaha ainī, waatruku jasdī tahta jasadahu bigairi harakatin wa lā ragbatin wa lā lażatin wa lāayyi syai′in, jasada mayyatin lā hayātan fīhi, kaqataati min al-khasbi, aw jūrabu min al-qatni, aw fardatan hażā′a. Ważāta mar rata ahassastu an jasadahu asqala mimmā kāna. Wa infāsahu lahā rā′ihatu lam asymuha min qabla, wa fatahat ainī fara aita fawqa wajhī wajhā akhara gaira wajhu biyaumī./ “dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai dikamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat bebannya. Saya tetap memejamkan mata dan menyingkirkan tubuh saya. Siapa kau? Kata saya. “Biyoumi”jawabnya. Saya mendesak dan, kau bukan Biyoumi. Siapa kau. “apa sih bedanya? Biyoumi dan aku adalah sama. Kemudian dia bertanya. Kau merasakan nikmat?”(Al Sa’dawi, 2000: 72)

/fakharajat min baiti biyaumī ilā asyāri‛u ajrī. Asbaha asyāri‛u huwa al-makānu al-amnu allażī ajrī ilaihi, wa al-laqī fīhi bikulli nafsī/ “saya lari dari rumah Biyoumi ke jalanan. Karena jalanan telah menjadi satu-satunya tetempat yang paling aman tempat saya dapat mencari tempat berlindung, dan ke situ saya dapat melarikan diri dengan seluruh jiwa raga saya”(Al-Sa’dawi, 2000: 73)

3. Tahap peningkatan konflik (Rising Action)

Tahap ini terjadi ketika Firdaus melarikan diri dari Biyoumi dan bertemu dengan Sharifa. Ia diajak Sharifa untuk ikut bersamanya. Firdaus kemudian mengetahui jika Sharifa adalah seorang germo dan ia menjadikan Firdaus sebagai pelacur yang mahal. Berikut kutipannya :

lvii /wa hal lī qīmatun yā syarifata?. Wa qālat: anta jamīlatun wamisqafatun. Qultu: misqafatin?. Lam ahsul illa alā asyanawiyati. Qālat: wa hal hażā qalīlu?. Anā lam ahsul alā al-ibtidā′iyyati. Qultu bisyai′in man al-hażri: wa hal lakaqīmatun yā syarifata?. Qālat: bītb‛un, lā yumkinu an yalmasnī ahada dūna an yadfa‛u gāliyān. Wa anta aksara syabābān minnī wa aksara saqafata, wa lā yumkinu an yalmasuka ahadun dūna an yadfa‛u di‛fun mā yadfaahu lī. Qultu: walakinnī lā astatī‛u an atluba minarrajuli syai′ān. Qālat: lā tatlubī syai′ān, laisa hażā huwa sya′nuka... annahu sya′nī anā./ “Dan apakah saya ini benar-benar bernilai, Sharifa? “Kau cantik dan terpelajar”. “terpelajar?” kata saya”. Apa yang akan saya miliki hanyalah sebuah ijazah sekolah menengah.” “Kau meremehkan dirimu sendiri, Firdaus. Saya tidak lebih hanya mendapat ijazah sekolah dasar.” “dan anda tidak mempunyai harga? Tanya saya hati-hati. “tentu saja. Tak seorang pun dapat menyentuh saya tanpa membayar harga yang sangat tinggi. Kau lebih muda dari saya dan lebih terpelajar, dan tak seorang pun mampu mendekatimu tanpa membayar dua kali lebih banyak daripada yang dibayarkan kepada. Tetapi saya tak biasa meminta sesuatu dari laki-laki. Jangan minta sesuatu. Itu bukan urusanmu. Itu urusan saya” (Al-Sa’dawi. 2002: 79)

Firdaus memulai pekerjaannya sebagai pelacur di bawah naungan Sharifa. Ia memperoleh pengetahuan dari ucapan-ucapan Sharifa. Ia melakukan pekerjaan sebagai pelacur dengan tidak pernah merasakan kenikmatan ketika melakukan hubungan badan dengan para pelanggan. Berikut kutipannya :

-

/Wa qultu lisyarifati żāta yaumi : limāżā lā ahassa yā syarifata?. Wa qālat syarifatu : nahnu na‛malu yā firdawsi, wa al-amalu amalin, lātakhlutī baina al- amalu wa al-ahsāsu. Qultu : walakinnī urīdu an ahassun yā syarifata!. Wa qālat syarifatu al-ahsāsa yā firdausi lan yu‛tīka syai′ān illā al-alamu/ “Pada suatu hari saya bertanya pada Sharifa, mengapa saya tak merasa apa-apa, kita bekerja, Firdaus, hanya Firdaus, jangan mencampuradukkan perasaan dengan pekerjaan. Tetapi saya ingin merasakan Sharifa, Saya jelaskan. Kau tak akan memperoleh apa-apa kecuali rasa nyeri”. (Al-Sa’dawi, 2000: 81)

lviii Firdaus kemudian pergi dari Sharifa dan mencari pekerjaan. Di sebuah perusahaan. Ia bertemu dengan Ibrahim, yang sama-sama bekerja satu perusahaan dengan Firdaus. Ibrahim kemudian menjadi dambaan hati Firdaus. Berikut kutipannya :

-qafiyyati tumsiku yadayya, fantafada kiyānī , wasam‛tuhu yaqūlu: ayytuki? Qultu: na‛am. Qāla munżu żalika al-yaumu wa anā aydān. Qāla: hāwaltu an ikhfī masyā‛irī ‛nki, lakinnī lam astatī‛u. qultu: wa anā aydān/ “saya merasakan tangannya yang kuat memegangi tangan saya. Saya merasa gemetar sekujur tubuh saya. Sampai akar-akar rambut pada tubuh saya pun. Serasa turut bergerak. Ia bertanya dengan suara yang tenang, Firdaus, kau masih ingin pertama kali kita jumpa? “ya”. Sejak sat itu saya selalu ingat kepadamu. Dan akupun begitu, selalu ingat kepadamu. Aku mencoba untuk menyembunyikan perasaanku, tetapi itu tak mungkin. Demikian pula aku” (Al- Sa’dawi, 2000: 119)

Ibrahim ternyata memikat hati Firdaus hanya untuk memuaskan nafsu seksualnya, karna ia tahu bahwa Firdaus dalah seorang pelacur. Oleh karena itu Ibrahim tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk menikmati tubuh Firadus. Berikut kutipannya :

-

/fī alhubi a‛taitu nafsī wajasadī wa aqlī wa jahdī bigairi muqābil. Walakinnī fī al- hubi a‛ţaitu nafsī wa jasadī wa ‛aqlī wa jahdī bigairī muqābil.

/

“dengan cinta saya mulai membayangkan bahwa saya menjadi seorang manusia. Ketika saya menjadi pelacur saya tidak pernah memberikan sesuatu dengan cuma-cuma, tetapi selalu

lix mengambil sebagai imbalannya. Tetapi di dalam cinta saya berikan tubuh dan jiwa saya, pikiran dan segala upaya yang dapat saya kumpulkan, dengan cuma- cuma”(Al-Sa’dawi, 2000: 124)

4. Tahap Puncak (Clikax)

Firdaus mendapatkan tekanan batin dengan kenyataan bahwa Ibrahim hanya memanfaatkan dirinya dan lebih mengejar pangkat dengan menikah dengan anak pimpinan perusahaan. Firdaus pergi meninggalkan pekerjaannya dan ia kembali hidup di jalanan. Berikut kutipannya :

/Khataba ibnatu ra′īsi majlisi al-adirāti bi al-amsi. Syābun żakiyyun yastahiqqun kulla khairin. Mustaqbalahu bāhara. sayus‛idu sarī‛an fī asyarikati./ “Dia telah bertunangan kemarin dengan anak gadis sang Presiden Direktur. Dia seorang pria yang cerdik, dan berhak menerima peruntungan apa pun yang datang kepadanya. Dia punya masa depan yang gemilang dan akan naik dengan cepat di perusahaan ini”(Al-Sa’dawi, 2002: 121)

Firdaus bertemu seorang germo bernama Marzouk. Marzouk memaksa Firdaus agar mau bekerja untuknya. Marzouk berdalih bahwa ia akan melindungi Firdaus dari polisi dari germo-germo lainnya. Berikut kutipannya :

/wa dahika ar-rajulu al-quwwādu, wa kāna ismuhu “marjauqu”. Wahuwa yurāqibnī min ba‛id, wa anā abhasu an syai′in yahmīnī minhu dūna jadwā./

“Dan lelaki ini, germo ini, yang bernama Marzouk, tertawa besar ketika ia mengamati saya dari jauh, berupaya keras tanpa hasil mencari sesuatu jalan untuk melindungi dari ancamannya”(Al-Sa’dawi, 2000: 135)

lx /māżā turīdu minnī? Qāla: urīdu an ahmīka min ar-rijāli -

użu amwālī, ammā jasadī fahuwa milku lī/“Apa yang kau inginkan dari saya? Tanya saya. Aku ingin mlindungimu dari orang lain, jawabnya. Tetapi tak ada orang lain kecuali kamu yang mengancam saya. Jika bukan saya, aka nada orang lain. Germo-germo berkeliaran di mana-mana. Jika kau menhendaki saya kawin denganmu, dengan segala senang hati saya bersedih. Saya tidak melihat perlunya kawin dengan kamu. Sudah cukup jika kau mengambil bagian yang saya peroleh. Tubuh ini setidak-tidaknya tetap masih milik saya” (Al-Sa’dawi, 2000: 135-136)

Dalam diri, Firdaus bertekad untuk berhenti menjadi pelacur dan ingin bebas agar tidak selalu diinjak-injak oleh kaum laki-laki. Ia berusaha melepaskan diri dari jeratan germo yaitu Marzouk. Tetapi Marzouk menghalanginya. Berikut kutipannya :

/hāwalat an ahraju min al-bābu, lakinnahu dafaani wa aglaqu al-bābu. Sabatu ainī fī ainīhu wa qultu lahu: sā kharaja!. Qāla wahuwa yusbitu ainīhu fī ainī : lan takharajī./ “saya mencoba menyelinap melalui pintu, tetapi dia mendorong saya kembali dan menutupnya. Saya menatap matanya dan berkata : saya ingin pergi. Dia kembali menatap mata saya. Saya dengar dia memberengut, kau tak boleh pergi” (Al-sa’dawi, 2000: 139)

Firdaus akhirnya membunuh Marzouk. Firdaus menikamnya dengan pisau. Kemudian Firdaus pergi meninggalkan rumah Marzouk dan kembali hidup di jalanan. Berikut kutipannya :

lxi

/

wa amsaktu al-babu li aftahahu, farafa‛a yadahu āliyān wasifa‛anī, farafa‛tu yadī a‛lā min yadihi wasaf‛atuhu. Waraaita asyarara al-ahmara fī ‛aynīhi,watuharrikatu yadahu nahwi jībahu liyakharuja as-sikīna. Lakinna yadī kānat asri‛u min yadihi, wa agmadati as-sikīna fī ‛unqihi. Wa ukhrijtu as-sikīnu min ‛unqihi, summa agmadatahu marratan sāniyatan fīsadrihi, wa ahrajtahu, waagmadatahu fī batinihi , agmadata as-sikīna. Wadihasat lisuhūlati harakatin yadī wahiya tagamada as-sikīna. Wadihasat aksaru liannanī lam af‛alhā min qabla / “saya berhasil memegang grendel pintu dan membukanya, tetapi dia mengangkat tangannya ke atas dan menampar muka saya. Saya angkat tangan saya lebih tinggi dari yang ia lakukan, dan dia memukul dengan keras pada mukanya. Warna putih pada matanya menjadi merah. Ia mulai mengambil pisau yang ada dalam kantungnya, tetapi tangan saya lebih cepat dari tangannya. Saya angkat pisau itu dan nenancapkannya dalam-dalam di lehernya, lalu mencabutnya kembali dan menusukkannya dalam-dalam ke dadanya, mencabutnya keluar dan menusukkannya ke perutnya. Saya tusukkan pisau itu ke hampir semua bagian tubuhnya saya heran ketika mengetahui bagaimana mudahnya tangan saya itu bergerak ketika saya menhunjamkan pisau itu ke dalam dagingnya dan menariknya keluar hampir-hampir tanpa usaha. (Al-Sa’dawi, 2002: 139-140)

Di jalan, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang mengaku pada seorang pangeran Arab . Ia menyewa Firdaus dengan harga tiga ribu. Berikut kutipannya :

lxii

/saadfa‛u mā tatlbīna. Qālat : lā. Qāla : sadiqīnī, saadfa‛ . Qultu :

lan tastatī‛u an tadfa‛a samanī liannahu gālin jiddān. Qāla : astatī‛u an adfa‛u ayyu samanin, faanā amīri ‛arabī. Qultu : wa anā aidān amīratan. Qāla : saadfa‛u alfān. Qultu : lā. Qāla : al-faini. Sabbata ainī fī ainīhi, wa arafatu lahu: salāsatu alfin. Qāla : awāfiqu/ “saya akan bayar berapa pun yang kau minta. Tidak, saya ulangi lagi. Percayalah kepadaku, saya akan membayarmu berapa saja yang kau minta. Kau tidak dapat membayar hargaku, terlalu tinggi. Saya dapat membayar harga berapa pun juga. Saya seorang pangeran Arab. Dan aku seorang putrid. Saya akan membayar seribu. Tidak. Dua ribulah. Saya menatap matanya dalam-dalam. Saya dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang pangeran atau dari keluarga kerajaan, karena ada rasa takut yang memantul dari lubuk hatinya. Tiga ribu, kata saya. Saya terima. (Al-Sa’dawi, 2000: 142)

Firdaus masih marah dengan semua yang dialaminya, termasuk dengan pangeran Arab itu. Sehingga ia mencoba untuk membunuh pangeran Arab. Berikut kutipannya :

/waittasi‛at aināhu fī ża‛rin hīna najara fīainī, wa qultu lahu : atusaddiqu al-ana annanī yumkinu an uqtulaka? Faanta lasta illā bi‛audati tanfiqu al-alāfin min amwāli sya‛bika al-jāi‛i alā al-mūmisāti./ “Saya berkata, barangkali sekarang kau akan percaya bahwa saya benar-benar mampu untuk membunuhmu, karena kau tidak lebih dari pada seekor serangga, dan apa yang kau perbuat hanyalah menghabiskan uang beribu-ribu yang kau ambil dari rakyatmu yang mati kelaparan untuk diberikan kepada pelacur (Al-Sa’dawi, 2000: 145-146)

5. Tahap Penyelesaian (Denovement)

Tahap penyelesaian pada cerita ini penangkapan Firdaus oleh polisi ketika ia sedang mencoba membunuh pangeran Arab tersebut. Berikut kutipannya :

lxiii /Wa qabla an arfa‛a yadī li′asfa‛ahu marratan ukhrā, sarakha mustanjidān, kamā tasrakhu an-nisā′i mustanjidātu. Lam yakfi an as-sarākhi hattā aqbalu linajdatahi rijālu albūlīsi. Wa qāla lahum : amsakūhā! Innahā qātalatan mujrimatan/ “sebelum saya sempat mengangkat kembali tangan saya ke atas, ia berteriak dalam keadaan panik seperti seorang perempuan dalam kesulitan. Dia tak berhenti sampai polisi tiba di tempat itu. Ia berkata kepada polisi, jangan biarkan ia bebas. Ia seoarang penjahat, seorang pembunuh” (Al-Sa’dawi, 2000: 146)

/Wa qabūlūnī bilhadīdi, wa sāqūnī ilā al-sijni, wa aglaqū alayyā al-abwaāba wannafiża. Kuntu a‛rafa limāżā yukhāfūna minnī ilā hażā al -haddi./ “mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuh kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup” (Al-Sa’dawi, 2000: 147)

Alur kemudian kembali ke masa sekarang, yaitu saat Firdaus sedang bercerita dengan dokter penjara. Saat itu firdaus sedang menunggu petugas penjara membawanya untuk dihukum mati. Berikut kutipannya :

/wa anā - . Wa

fī sabāhi al-gadi lan akūna hunā. Wa lan akūna fī ayyu makāni ya‛rifuhu ahadi./ “sekarang saya sedang menunggu mereka, sebentar lagi mereka akan datang menjemput saya. Besok pagi saya tidak akan ada lagi di sini. Saya akan berada di suatu tempat yang tidak seorang pun tahu”. (Al-Sa’dawi, 2000: 148)

Cerita dalam novel ini diakhiri dengan pelaksanaan hukuman mati firdaus. Ia dibawa oleh petugas penjara untuk melaksanakan eksekusi. Berikut kutipannya :

lxiv /lianna al-bāba anfataha fajatan, wa raaitu addadān min rijālin al-būlīsi al- muslhīna, ahātū bihā alā syaklin dāiratin, wa sami‛tu ahdahum yaqūlu lahā : hayyā, hāna maw‛iduka!. Wa żahabat maahum, wakhtafit min amāmi ainī ilā al- abda/ “sebab, tiba-tiba pintu didorong sampai terbuka, tampak beberapa petugas kepolisisan yang bersenjata. Mereka mengelilingi Firdaus dalam suatu lingkaran, dan saya dengar seorang di antara mereka berkata : “mari kita berangkat...waktumu sudah tiba”. Saya melihat ia berjalan keluar bersama mereka. Saya tidak pernah melihatnya lagi” (Al-Sa’dawi, 2000: 154)

Dokumen terkait