• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3 Analisis Struktur Yang Membangun Novel

3.3.3 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Sebagaimana dikemukakan diatas, latar terdiri dari 3(tiga) unsur yaitu tempat, waktu dan lingkungan sosial budaya. Kehadiran ketiga unsur tersebut saling mengait, saling mempengaruhi dan tidak sendiri-sendiri walau secara teoritis memang dapat dipisahkan dan diidentifikasi secara terpisah.

1. Latar tempat

Latar tempat menunjukkan pada pengertian tempat dimana cerita yang dikisahkan itu terjadi.

Mesir adalah suatu tempat di mana peristiwa-peristiwa dalam novel / ‛inda nuqtati al-sifri/ terjadi. Berikut kutipannya :

xliv /hazihi al-mar’atu haqīqiyyatun min lahmin wa dammin, qābaltuhā fī sijni al- qanātiri munzu bid’ati a’wāmin kuntu aqumu yabhasu an syahsiyyati ba’di annisa’I al-mutahammāti aw al-mahkūma alaihinna fi qadāyā mutanawwiatan. Wa qāla lī tabību al-sijni anna hajihi al-mar’ata hukūma alaihā bil ī’dāmi liinnahā qatalat rajulan/“ini adalah wanita sejati, saya berjumpa dengannya di penjara qanatir beberapa tahun yang lalu. Saya sedang melakukan penelitian mengenai kepribadian suatu kelompok wanita yang dipenjarakan dan ditahan, karena dijatuhi hukuman atau dituduh melakukan berbagai pelanggaran. Dokter penjara, seorang laki-laki, menceritakan kepada saya bahwa wanita ini telah dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki.”(Al-Sa’dawi, 2000: 3)

Pada kutipan di atas yang menunjukkan latar tempat yaitu pada kalimat / fī sijni al-qanātiri/ ‘di penjara Qanatir’

Firdaus tinggal dirumah pamannya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia. Ia ikut dengan pamannya dan disekolahkan pamannya.tetapi akhirnya Firdaus dijual pamannya dengan dalih akan dinikahkan dengan seorang yang kaya. Kenyataannya Firdaus kembali ke rumah pamannya setelah ia merasa tidak diperlakukan dengan tidak benar oleh Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya :

/lā adrī kayfa tahammltu al-hayātu fī bayti ammī wa zawjatihi, wa lā adrī kayfa tazawajtu al-saykha mahmūd/‘Setelah saya kembali tak tahu bagaimana saya bertahan hidup di rumah paman, saya pun tak ingat lagi bagaimana menjadi seorang istri Syekh Mahmoud’. (Al-Sa’dawi, 2000: 60)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

bayti ammī/ ‘di rumah paman’

Setelah Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud, ia tinggal bersama Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya:

xlv /waantaqaltu min bayti ammī ila bayti al-saykhi Mahmudin, wa asbaha lī sarīrun murīhun badalan min al-kanbati alkhasabiyyati/ ‘Saatnya pun tiba ketika saya meninggalkan rumah paman dan hidup bersama Syekh Mahmoud. Sekarang saya tidur diatas tempat tidur yang lebih menyenangkan daripada dipan kayu . (Al- Sa’dawi, 2000: 61)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

min bayti ammī/ ‘dari rumah paman dan

/

ila bayti al- saykhi Mahmud/ ‘ke rumah seykh mahmud’

Setelah melarikan diri dari rumah Biyaumi, Firdaus bertemu dengan Sharifa yang merupakan seorang germo. Ia tinggal dengan Sharifa. Berikut kutipannya:

/tiwāla attarīqi ila baytihā kuntu uhkī qissatī. Taraknā syara‛a an-nīli wa dakhalnā fi syari‛in sagīri jānibī, wa ba‛da qalili sa‛adna fi ahdā al-‛imārāti al- kabīrati wa ′artajafa jasadī wahuwa yartafi‛u wahdahu ila a‛la dākhila al- mas‛adi./ ‘Dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya saya bicara terus, melukiskan hal-hal yang menimpa diri saya. Kami tinggalkan jalan yang membentang sepanjang sungai dan membelok menuju jalan samping yang kecil, dan sejenak kemudian berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang besar, saya gemetar ketika saya diangkat ketas oleh lift ’.(Al-Sa’dawi, 2000: 76)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

fi ahdā al-‛imārāti al-kabīrati/ ‘di depan sebuah gedung apartemen yang besar’

Apartemen Firdaus menjadi latar ketika ia tidak lagi bekerja dengan Sharifa. Ia tinggal di apartemen dan menerima tamunya di sana. Berikut kutipannya :

xlvi /wa amliku fi bayti maktabatan kabīratan, aqdī biha awqāti farāgī, wa‛ala judrānihā allaqtu al-lawhāti al-fanniyyati yatawassatuha itarun saminun dahiluhu sahadati assanawiyyati/ Saya memiliki sebuah perpustakaan yang besar di dalam apartemen saya, dan disitulah saya banyak menghabiskan waktu senggang saya. Di dinding saya gantungkan beberapa lukisan yang baik dan tepat ditengahnya tergantung ijazah sekolah menengah saya dilingkari sebuah bingkai yang mahal. Saya tak pernah menerima seseorang di dalam ruang perpustakaan. Sebuah ruangan yang sangat khusus diperuntukkan hanya bagi saya sendiri. Ruangan tidur saya adalah ruangan dimana saya menerima tamu-tamu. (Al- Sa’dawi, 2000: 100)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu /wa amliku fi bayti maktabatan kabīratan/

/wa lam takun hunāka min wizāratin aw muslihatin aw syirkatin illa was’iyyat ilaihā. Wa hasaltu āhara al-amari ‛ala wazīfatin sikritiratin bi ihdā al-syirkāti al- sinā‛iyyati al-kubrā/ ‘saya pergi ke semua kementrian, departemen dan kantor- kantor perusahaan yang mungkin ada lowongan. Dan akhirnya, berkat daya upaya itu saya peroleh suatu pekerja pada salah satu perusahaan industri besar’ (Al- Sa’dawi, 2000: 106)

Pada kutipan di atas yang menunjukkan latar tempat yaitu pada kalimat /al-syirkātu al-sinā‛iyyatu al-kubrā/ ‘perusahaan industri besar’

xlvii Kantor Firdaus menjadi latar dalam cerita ketika Firdaus bekerja di sebuah perusahaan yang mempertemukannya dengan Ibrahim. Berikut kutipannya :

,

/wa adrakta ba‛da śalaśtu a‛wāmin qadaytuhā bi syaikata annanī hazaytu wa anā mūmisan/Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu ,saya menyadari, bahwa sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih terhormat.(Al-Sa’dawi, 2000: 109)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu kalimat /bisyarikatu/ ‘pada perusahaan itu’

2. Latar waktu

Latar waktu dapat dipahami sebagai kapan berlangsungnya berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Dalam banyak kasus masalah waktu lazimnya dikaitkan dengan waktu kejadian yang ada di dunia nyata, waktu faktual, waktu yang mempunyai referensi sejarah.

Latar waktu yang paling utama adalah saat Firdaus di penjara yaitu saat dokter penjara wanita menemui Firdaus yang akan dieksekusi mati. Latar waktu ini muncul pada bagian awal dan akhir cerita ketika alur belum kembali ke masa lalu. Berikut kutipannya :

/ - - -

-i ‛dāmi ba‛da asyiratin ayyāmin/ ‘ini wanita yangbernama Firdaus dan yang sepuluh hari lagi akan dibawa ke tiang gantungan’(Al-Sa’dawi, 2000: 3)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar waktu yaitu pada kalimat

/

asyiratin ayyāmin/ ‘sepuluh hari lagi’

xlviii Sekarang saya sedang menunggu mereka. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput saya. Besok pagi saya tidak akan ada lagi disini. Saya akan berada disuatu tempat yang tidak seorangpun tahu. Berikut kutipannya :

/fī al-sa‛ti al-sādisati tam

- -

- -

- - -hukkāmu wa r - -

zahwi/ ‘mereka akan menjemput saya pada pukul enam tepat setelah zuhur. Besok saya tidak akan berada di sini lagi. Tak seorangpun yang mengetahui di mana keberadaan saya. Sesungguhnya perjalanan ke suatu tempat ini tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, membuat saya merasa bagga’.(Al-Sa’dawi, 2000: 15)

3. Latar sosial buda ya

Latar sosial budaya menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam kara fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap. Di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial dalam novel / ‛inda nuqtati al-

sifri/ mengambil kebudayaan pelacuran di negara Mesir, di dalam novel ini, digambarkan mengenai kebobrokan kaum laki-laki di Mesir. Mulai yang berprofesi sebagai polisi, pejabat, hingga yang mengaku sebagai seorang pangeran.

xlix Firdaus juga mengungkapkan kebobrokan kaum laki-laki dan penguasa di Mesir dalam dialog-dialognya dan pandangan-pandangannya:

/l

-

nanazara ilayhi wa żāta marratan madadtu yadī dahalasakhanuhu fadarabnī ala yadī / ‘ayah tak akan pergi tidur tanpa makan mlam terlebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberikan sebuah pukulan keras pada punggung dan jari-jari saya’ (Al-Sa’dawi, 2000: 26)

Kutipan diatas adalah seorang ayah yang tega membiarkan anak dan istrinya kelaparan. Ayah Firrdaus sangat rakus menyantap makanannya, dan apabila anggota keluarganya mengganggunya saat makan, ia tak segan-segan memukul dengan keras. Hal ini membuktikan kekuasaan dipegang secara mutlak oleh kaum laki-laki. Seorang ayah mempunyai kekuasaan yang mutlak dalam keluarga, karena di Mesir masih menjunjung budaya patriarki.

l /wa anraktu annahum kulluhum riżālun wanufūsuhum syarhatun musyawahatun, wa syahwāhatuhum lilmāli wal-jinsi wassultati lā hudūdalahā, wa lā riqābatan alaihān. Waannahum yufsidūna al-arda wa yunhibūna an-nāsa, walahum hanājiru qawiyyatun, sawtuhum muqni‛un, wakalamuhum ma‛sūlun,

wasihāmuhum masmūmatan. Wal -

- / dapat pula mengetahui

bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kekuasaan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu, ketenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan keerasan kepala yng dungu.(Al-Sa’dawi. 2000: 39)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa segala yang memerintah adalah laki- laki. Perempuan tidak bisa memerintah, karena laki-lakilah yang memiliki kekuasaan dan segalanya. Laki-laki memiliki kekuasaan untuk menumpuk harta dan menaklukkan perempuan.

Selain kebobrokan para pemerintah Mesir yang menjadi latar sosial, dalam novel ini juga dijelaskan mengenai kedudukan wanita di Negara Mesir sesuai dengansyariat islam. Wanita merupakan bagian dari laki-laki yang bertugas sebagai pendamping laki-laki.

Tokoh Firdaus mempunyai pandangan jika perempuan hanya dijadikan objek pemuas nafsu birahi laki-laki. Walaupun sudah menikah, wanita masih dijadikan sebagai seorang pelacur untuk suaminya. Berikut kutipan:

li . Kuntu a‛rifu anna muhannati min sina‛I al-rijālu almasītirīna ala addaniyān wa al-akhiratan. Wa anna al-

rijālu yafrid - -

- - -

. Wa liannanī żakiyatu wā‛iyatu, faqad fadaltu an akūna mūmisā hurata, ān an akūna mūmisān ‛abdatan/ ‘tidak sesaatpun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki. Dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalh tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorng istri yang diperbudak. (Al-Sa’dawi, 2000: 133)

Dokumen terkait