• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Analisis Meso

4.2.2.4 Alur Pemberitaan dalam Tribunnews.com

Alur pemberitaan terkait dengan bagaimana proses gatekeeping yang diberlakukan oleh Tribunnews.com dan bagaimana pihak Tribunnews.com menanggapi teguran dari

149 Dewan Pers terkait pemberitaan kekerasan terhadap perempuan.

Gambar 4.11 Alur Berita di Tribunnews.com Berita terkait

kekerasan seksual Editor

Berita diunggah pada laman Tribunnews.com

Tanpa komplain

Edit oleh News Manager

News Manager

memeriksa berita secara acak Unggah Wartawan Complain terkait berita Copot URL Tetap diunggah

150 Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Febby mengenai bagaimana alur berita di Tribunnews.com,

Alurnya itu satu dari wartawan, masuk ke basket itu keranjang berita, lalu para editor akan mengambil dan mengedit berita itu sesuai dengan bidangnya, karena editor dibagi menjadi beberapa bidang, ada olahraga, ekonomi, lifestyle, dan sebagainya. Jadi kami punya keranjang itu basket, semuanya dicemplungin kesitu, lalu dia ngambil lalu kemudian manager konten akan mengawasi secara acak, apakah ada berita-berita yang melanggar ketentuan, baik konten, judul, penyajiannya, kalau kemudian dianggap oleh manajer konten ini melanggar aturan, maka dia yang benerin, sambil memberi masukkan atau peringatan kepada editor yang mengerjakan berita itu, jadi dipublish dulu, baru diperiksa memang, oleh manajer kontennya. Gitu, itu alurnya begitu. Kalau terjadi complain, baru dibikinkan komplainnya dilink-an dengan berita awal (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017).

Regina sebagai reporter pun membenarkan hal ini, yang ia rasakan sebagai reporter adalah alur pemberitaan di Tribunnews.com dapat terhitung simple, ketika ia selesai menulis berita, lalu dia kirimkan ke mailing list kemudian editor yang sesuai dengan desknya akan mengunggah berita tersebut.

Terkait dengan teguran pada pemberitaan kekerasan seksual, Febby, Yulis, dan Regina membenarkan hal ini. Pada pemberitaan terkait kekerasan seksual, Febby mengakui jika pihak Tribunnews pernah mendapat teguran dari Dewan Pers karena membuka identitas korban.

151 oleh bapak kandungnya, memang sesuai kode etik

bahwa pers dilarang untuk mengungkap jati diri korban tindakan asusila. Kami memang menyingkat namanya tapi pelakunya kami sebutkan rumahnya. Oleh dewan pers dinilai sama aja.. wong pelakunya keluarga kok, Ya pelakunya bapaknya, tinggalnya satu rumah sama bapaknya. Meskipun tidak disebutkan nama dan alamat tapi nama bapaknya, nama alamatnya (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017).

Menurut Yulis, teguran biasanya terkait berita-berita yang vulgar, untuk itu Yulis mengatakan bahwa Tribunnews memang dalam masa pembenahan, dan yang menjadi perhatiannya sekarang sebagai News Manager dan Manager Content, lebih kepada bahasa- bahasa yang santun.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Regina, bahwa sebenarnya ada berita-berita yang sering menjadi pembahasan dalam rapat karena ketidakpantasan dan bersebrangan dengan salah satu konsep yang diusung Tribunnews.com, yakni media yang bercita rasa perempuan.

Sebenarnya ya sering dibahas gitu, ada lah yang nggak pantes- nggak pantes gitu, biasanya yang kayak gitu dari daerah sih, aku pribadi sih nggak suka ya. Tetapi aku di media, jadi aku tahu, buat media yang di daerah itu klik atau viewers itu kayak dikejer banget (Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

Regina menceritakan bahwa di Tribunnews.com memiliki prinsip ―Menghargai Tulisan Wartawan‖ sehingga menurutnya untuk berita-berita yang masih sesuai dengan kebijakan redaksi maka akan tetap diunggah.

152 Febby menyatakan bahwa pengawasan dalam media online memang lemah, bahkan nyaris tanpa pengawasan, karena disebabkan berita yang diunggah tidak memerlukan persetujuan Pemimpin Redaksi layaknya media cetak, kemudian karena aliran naskah yang diunggah perharinya mencapai ribuan maka sulit untuk dikontrol satu persatu.

Kalau di koran cetak itu kan bedanya kan bertahap-tahap jadi jarang ada yang lolos di koran kita, karena dia perlu waktu lama kan, jadi setelah diedit ada korektor. Jadi apa namanya prosedurnya itu bertahap-tahap. Tetapi kalau online ya one stop, jadi berhenti ditangan editor(…) kalau di online Pemred tuh nyaris hanya berperan sebagai polisi lalu lintas saja(…) karena prinsip di online kan kecepatan.

(…)karena prosedur di kami kan wartawan memberi, mencemplungkan, lalu kemudian editor mengolah kembali, kalau saya yang jadi editor mengolah kembali, kalau saya jadi editor saya akan olah supaya kesan vulgarnya itu hilang lah, atau berkurang minimal, kalau hilang sama sekali nggak ada, karena memang dalam berita yang menyangkut perkosaan, yang menyangkut kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri kan sudah ada seksualitasnya. Wong ini perkara kesusilaan(…) (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Sementara itu, menurut Yulis, para editor di redaksi Jakarta hanya sebatas mengambil berita lokal dari daerah dan mengunggahnya kembali, tanpa adanya proses pengeditan karena sudah diedit oleh editor di daerah.

(…)udah diedit sama mereka, di edit sama temen-temen di daerah. Ya temen-temen di Jakarta ngambil aja tuh, berita- berita yang lokal gini kan diambil aja tuh, ada juga yang dikirim ke kita. Reporter yang di daerah kirim ke editornya di daerah. Publish di websitenya mereka, lalu editor-editor kita (Jakarta) ambil

berita-153 berita yang dianggepnya nilai beritanya

tinggi(…)(Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Febby angkat bicara soal sulitnya pengawasan di media online karena aliran naskah yang masuk mencapai angka ribuan perharinya.

Iya, lolos dari pengawasan. Jadi itu istilahnya insiden lah kecelakaan lah, kenapa bisa celaka karena ribuan konten dari bermacam-macam, karena bisa jadi kan, kayak gini Muaradua, misalnya itu yang dikelola temen-temen di regional. Ya kita kan punya 22 sites, wartawan kita tuh 650, lah kalau mereka menghasilkan tiga saja setiap hari. Berita itu artinya 1800 naskah setiap hari mengalir dan mengawasi satu persatu dari 1800 berita ini, ya coba bayangin. Kalau bikin tiga berita saja setiap orang dari 650 orang berarti kan sudah 1800 naskah. Lah kan kadang-kadang orang tuh bisa bikin 10. Kalau 10 berarti 6500 naskah. Ya, ngawasin 6500 berita, lalu lintas ini ya kadang-kadang, dan ini tidak bisa digantikan oleh mesin. (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017).

Dokumen terkait