• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Analisis Meso

4.2.2.1 Individu Jurnalis

Pada praktik wacana, individu jurnalis menjadi faktor pertama dalam pembentukan wacana (Eriyanto, 2011, h.318). Shoemaker dan Reese dalam teorinya memetakan level individu sebagai berikut: Pertama, latar belakang dan karakteristik dari pekerja media seperti gender, etnis, orientasi seksual, kelas sosial, dan latar belakang pribadi termasuk karier dan pendidikan; Kedua, Sikap, nilai, dan kepercayaan, seperti agama, etnik, dan sikap politik; Ketiga, Latar belakang profesional para pekerja media, pendidikan jurnalistik yang berkaitan dengan bagaimana jurnalis menempatkan diri dalam berita yang diproduksi (Shoemaker dan Reese, 2014, h.209-215).

Sebelum membahas lebih jauh, penelitian ini memiliki keterbatasan karena peneliti tidak dapat mewawancarai pembuat teks secara langsung, dikarenakan berita yang menjadi sample dalam penelitian ini merupakan berita daerah. Sehingga peneliti mewawancarai pihak redaksi dari kantor pusat Tribun Jakarta.

122 Pertama, latar belakang dan karakteristik pekerja media dapat dilihat dari latar belakang pendidikan yang ditempuh. Pekerja jurnalistik di media online Tribunnews.com memiliki latar belakang pendidikan dari berbagai bidang ilmu. Seperti halnya Febby Mahendra yang menjabat sebagai General Manager Newsroom, ia mengatakan bahwa ia merupakan lulusan Fakultas Hukum dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Sidoarjo. Begitupun dengan Yulis Sulistyawan sebagai News Manager sekaligus Content Manager, pendidikan yang ia tempuh adalah keguruan di Universitas Negeri Jakarta. Hal serupa diungkapkan juga oleh Regina Kunthi Rosary sebagai reporter, sebelumnya ia menempuh pendidikan pada jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia.

Macem-macem disiplin ilmu. Ada yang dari Teknik, ada yang dari Dokter Gigi, ada yang dari Ekonomi, macem-macem lah. UIN aja banyak, jurusan Dakwah. Tetapi jurusan Jurnalistik juga banyak. (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017).

Regina pun mengungkapkan jika rekruitmen jurnalis di Tribunnews.com bisa dari jurusan apapun, seperti dirinya. Hal ini dikarenakan pihak Tribunnews akan mengadakan serangkaian tes dan akan memilih berdasarkan kualifikasi yang terpenuhi.

Ketertarikan Febby Mahendra untuk terjun dalam bidang Jurnalistik dan memilihnya sebagai karier rupanya

123 didasari oleh kegiatan-kegiatan organisasi Pers Mahasiswa yang ia dirikan di kampusnya.

Saya Fakultas Hukum, tapi sejak ketika mahasiswa saya sudah menggemari dunia Jurnalistik, karena di mahasiswa dulu saya mendirikan pers mahasiswa, lalu bikin majalah di kampus itu Expose saya inget, lalu sering mengundang wartawan professional untuk memberikan workshop di Fakultas Hukum, jadi sebelum lulus saya sudah menyukai dunia Jurnalistik. (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Begitupun dengan Yulis Sulistyawan, skill dalam dunia Jurnalistiknya terasah dengan mengikuti pers mahasiswa di kampusnya.

Di kampus saya udah.. waktu tahun pertama masuk kuliah itu diajak temen di pers kampus. Jadi saya lebih banyak aktif di pers kampus. Makanya saya lebih seneng di pers tuh karena itu, saya bisa mengajar juga. Makanya pas kuliah pun udah bisa kerja terus lulus kuliah itu jadi pers aja (Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Berbeda dengan Regina Kunthi Rosary, ia tidak memiliki basic jurnalistik sebelumnya.

Kan belum pernah sama sekali, karena nggak di jurnalistik ya, nggak pernah liputan-liputan gitu, kayak ini gue liputan harus ngapain ya, awal-awal disuruh liputan kan kayak yaudah kesini- kesini-kesini, belum tau tempat, belum tau daerah, gue harus gimana, belum kenal siapa-siapa kan (Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

Febby Mahendra mengungkapkan untuk wartawan yang memiliki latar belakang pendidikan bukan dari Jurnalistik, perlu belajar dan berlatih untuk mengenali Kejurnalistikan.

124 Yah, harus belajar lagi memang. Kami itu dilatih hanya

mengenali kejurnalistikan saja tidak dilatih khusus untuk mengenali pembidangan seperti Ekonomi, Kriminal. Kita kreasi kita sendiri untuk memperdalam itu. Saya kan pernah di desk Ekonomi, pernah di desk Olahraga, pernah Kriminal, pernah Politik. Yaa yah learning by doing, belajar, belajar sendiri di lapangan, cara termudah ya membaca (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Bagi Yulis, perbedaan latar belakang pendidikan yang ia tempuh dengan profesi yang dijalani justru bersinggungan secara tidak langsung.

(….)Kayak sekarang saya ngajarin anak-anak baru training. Ya kebetulan pas banget dulu saya kuliahnya di keguruan, ngajarin anak-anak (reporter baru), bisa melatih mereka, dan bassicnya kan saya jurnalis sama dengan mereka. Saya kan recruit anak- anak (reporter), interview mereka, memilih siapa yang layak dan tidak, abis tuh baru kita ajarin lagi disini, ajarin terus evaluasi, segala macem (Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Febby, Yulis, dan Regina memiliki pandangan masing- masing mengenai profesi jurnalis yang tengah mereka tekuni. Febby merasa jiwanya terpanggil untuk menjadi seorang jurnalis.

Karena memang soulnya, soul saya itu di Jurnalistik. Karena apa? Ya sejak itu tadi, sejak mahasiswa, tahun ketiga itu saya sudah bikin pelatihan jurnalistik, workshop, bikin majalah, ngeliput-ngeliput kayak wartawan gini keluar-keluar juga gitu (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017).

Menurut Yulis, ia memiliki kebanggaan tersendiri sebagai seorang jurnalis, karena sebuah berita dapat berpengaruh besar dalam kebijakan publik.

125 Kebanggaan itu kalau tulisan bisa berpengaruh

terhadap kebijakan pemerintah, terhadap kebijakan publik. Saya sering cerita ke anak-anak baru itu, kalian nih bekerja tidak hanya

sekedar bekerja, kalau orang bekerja di pabrik kan hanya kerja doang, menghasilkan produk. Kalau jurnalis kan menghasilkan karya.. kalau karya jelek ya jelek, kalau bagus ya bangga..

Sedangkan Regina yang berasal dari lulusan Sastra Indonesia, mengaku alasannya berkarier di Tribun sebagai reporter, lebih dikarenakan Tribun yang saat itu membuka lowongan. Lebih jauh lagi, ia tidak memiliki kebanggaan tersendiri, yang ia tahu meskipun citra Tribun tidak terlalu bagus di mata pembaca, tetapi masih banyak orang yang membaca berita Tribun.

Meskipun yang diunggulkan Tribunnews.com adalah ―The Local Breaking News‖ yaitu menyajikan berita-berita seputar peristiwa yang terjadi di daerah. Tetapi menurut pengakuan Yulis, news manager sekaligus manager content di Tribunnews, pekerja media untuk di daerah masih banyak diisi oleh kontributor yang standarnya berbeda dengan wartawan. Kontributor tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mendapatkan numerasi berdasarkan produktivitas kerja atau seberapa banyak berita yang dihasilkan.

Di daerah kan gitu, standar wartawannya kadang sebagian masih kontributor kan di daerah, bukan wartawan. Standarnya kan kalau kontributor kan nggak bisa kita samakan dengan wartawan (Wawancara

126 dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Kedua, sikap dan nilai yang diyakini pekerja media di Tribunnews.com jika dilihat berdasarkan suku dan agama. Menurut data, Febby Mahendra, Yulis, dan Regina, berasal dari suku Jawa, dan hal ini turut mempengaruhi mereka dalam cara pandang dan memposisikan diri dalam pemberitaan.

Febby memandang peristiwa pemerkosaan tidak dari persoalan budaya, tetapi melihat peristiwa pemerkosaan, lebih disebabkan karena naluri laki-laki. Ia berpendapat bahwa menurutnya tidak ada korelasi antara budaya patriarki dengan tindak pemerkosaan, menurut pemahamannya tanpa merujuk pada penelitian tentang hal itu.

rasanya nggak, nggak ada hubungan dengan patriarki, tapi itu adalah naluri. Yah naluri laki-laki yah ini gitu loh, iya kan? Kalau saya berpendapat loh ya, ini tanpa penelitian tanpa apa, ini ngawur-ngawur aja (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Sementara itu, dari kacamata Yulis selaku News Manager dan Manager Content melihat budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia. Ia pun merasakan dalam awal kariernya, hampir tidak ada reporter perempuan.

(…) Jakarta tuh dulu hampir nggak ada, saya pernah awal-awal, wartawan perempuan tuh paling cuma satu. Di Tribun Jabar pun begitu, dari sekian banyak, perempuannya hanya dua (Wawancara dengan Yulis

127 Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Kendati begitu, serupa dengan Febby, Yulis tidak melihat peristiwa pemerkosaan dari sudut pandang persoalan budaya. Ia memandang peristiwa pemerkosaan dari sudut pandang persoalan kriminal dan mengaitkannya dengan contoh kasus perempuan nyaris tanpa busana yang membeli obat di sebuah apotek di Mangga Besar, Taman Sari, Jakarta Barat.

Kriminal pasti! Tindakan kriminal, orang yang melakukan tindakan pemaksaan. Itu bukan budaya, nggak ada budaya pemerkosaan. Buktinya, kemarin ada perempuan yang bugil kemarin, yang itu nggak diperkosa tuh, netizen malah videoin (Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Regina mengakui bahwa dalam budaya Jawa, dominasi laki- laki begitu terasa dalam aturan bagaimana seorang istri yang harus mematuhi suami, dan menurutnya hal itu merupakan sesuatu yang wajar.

Menurut aku, karena aku dari Jawa kan jadi kayak gitu, tapi ya dari keluarga aku sih nggak kayak gitu. Jadi kalau aku lihat temen aku atau siapa istrinya harus gimana banget ke suami

Kalau aku sih ya harus setara, tapi kalau ngomongin antara suami dan istri ya gpp juga kalau istrinya harus nurut sama suami, cuma tetep harus diperhatiin setaranya itu. Kalau misalnya diluar itu, di organisasi atau apa seimbang aja, nggak harus cowok yang jadi ketua.

(Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

128 Tribunnews.com, Regina mengaku gerah melihat berita pemerkosaan yang menyudutkan perempuan dalam berita yang disajikan Tribunnews.com, tetapi Regina tidak pernah menyampaikan keberatannya dan memandang pemberitaan tersebut dari segi bisnis sehingga Regina memilih memakluminya.

(….)Sebenernya ya nggak suka banget, jangankan berita yang kayak gitu, orang lagi ngobrol ada orang yang berpendapat kayak gitu, ya nggak suka banget. Tapi kalau misalnya ngomongin berita, ya kita ngomongin klik. Apalagi kita ngomongin banyak-banyakan klik, ngomongin bisnis juga.. Kalau udah ngomongin klik, ya susah.. harus gimana..

(Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

Cara pandang budaya mempengaruhi bagaimana Febby, Yulis, dan Regina dalam memposisikan diri dalam meliput berita. Febby Mahendra sebagai jurnalis senior di Tribunnews.com menceritakan pernah menelusuri mengenai peristiwa perkosaan yang ternyata hanyalah peristiwa fiktif.

Jadi pernah ada wartawati Tempo itu mengaku di perkosa orang dalam sebuah gang sempit ketika dia pulang dari bekerja, setelah diperiksa dengan teliti, ternyata nggak ada itu. Jadi perkosaan itu nggak ada, belakangan diketahui, kita juga melakukan satu penelusuran sendiri bahwa ada affair dengan teman kantornya, dia takut ketahuan suaminya terus kira-kira bikin cerita gitu (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Sedangkan Yulis menyatakan pernah mengulas mengenai perilaku dari pelaku kekerasan seksual yang

129 menewaskan seorang karyawati di Tangerang. Tetapi ia meragukan pelaku yang ditetapkan Polisi sebagai pelaku sebenarnya, karena berdasarkan penelusurannya pelaku disebut-sebut merupakan anak yang taat pada agama. Sesuai data, Yulis sebagai seorang muslim, menjadikan ia menyakini bahwa seseorang yang rajin mengaji maka tidak akan melakukan tindakan yang buruk.

…Kita ragukan kok waktu itu anak yang itu, yang masih SMP atau SMA itu, bukan pelaku utama sebenarnya kok. Karena waktu kita track kesana itu kata orangtuanya, anak itu rajin ngaji, terus pas peristiwa itu katanya anaknya ada di rumah, gituloh.. Tapi bolak-balik itu, fakta-fakta lain kita susah terungkapnya, dapet potongan itu aja. Polisi ya tau sendiri,

kalau sudah berkeras dengan apa yang dia sidik, hasilnya itu (Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Sementara itu, Regina sebagai reporter yang sudah 1 tahun 9 bulan bekerja di Tribunnews.com mengatakan bahwa dirinya dari awal ditempatkan di desk hiburan seleb. Ia juga sesekali pernah meliput di bidang travel, fashion, kuliner, kesehatan, olahraga, dan politik, tetapi belum pernah ditempatkan di desk kriminal. Sekalipun meliput di desk kriminal, hal itu masih menyangkut tentang artis sebagai pelaku maupun korban tindak kriminal.

…misalnya ada cewek yang ngaku-ngaku, berapa tahun yang lalu ia pernah diperkosa sama artis siapa gitu (Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

130 Ketiga, latar belakang profesional para pekerja media, pendidikan jurnalistik, berkaitan dengan bagaimana jurnalis menempatkan diri dalam berita. Febby sebagai pekerja jurnalistik di Tribunnews.com melihat bahwa berita harus memiliki keberimbangan dan memegang teguh cover both side

Bahwa pelaku harus di tanya juga, diliput iya, karena prinsip cover both side didalamnya. Dalam jurnalistik ada kan? Namanya cover both side

Biasanya kan dia ditangkap Polisi, lalu Polisi memberikan kesempatan kepada reporter untuk wawancara dengan tersangka itu. (Wawancara dengan Febby Mahendra, Sabtu, 17 Juni 2017)

Menurut Yulis hal terpenting bagi reporter dalam mewartakan berita adalah bahwa kejadian yang diliput merupakan fakta.

(…) ya pasti temen-temen itu akan cari, ini fakta, ini kejadian. Akan bener-bener kejadian dan bukan ngarang-ngarang. Bukan berita hoax itu. Karena apa? Orangnya ada, pelakunya ada. Kasusnya disidik polisi. Kita bisa wawancara dengan itunya.. kecuali masih rumor, No! Ini sudah harus kita tekankan, berita ini adalah fakta! Peristiwa bener-bener.(Wawancara dengan Yulis Sulistyawan, Jumat, 9 Juni 2017).

Regina lebih memahami walaupun tidak secara rinci bahwa dalam meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan terdapat aturan untuk menutup identitas seperti nama dan alamat korban.

131 (…)Aturan-aturan kayak nama korban atau alamat

yang nggk boleh dipublish.. Cuma aku lupa sih.. (Wawancara dengan Regina Kunthi Rosary, Selasa, 19 Juni 2017).

Dokumen terkait