• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN

2.2 Teori atau Konsep-konsep yang Digunakan

2.2.6 Gender dan Patriarki

Dalam membahas tentang konsep gender, Handayani dan Sugiarti (2006, h.4-5) membedakan antara konsep gender dan seks. Dalam pengertian seks, perempuan dan laki-laki dibedakan berdasarkan jenis kelamin yang terpisah secara biologis, tidak dapat dipertukarkan, dan merupakan kodrat. Berbeda dengan pengertian seks, gender dipahami sebagai konsep sosial yang membedakan antara peran laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan perbedaan biologis dan kodrat, tetapi yang membedakannya adalah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai

34 bidang. Istilah gender, menurut Haralambos dan Holborn, memiliki konotasi psikologis, sosial, dan kultural, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dari sisi peran-peran maskulinitas dan feminitas yang dijalankan dalam masyarakat (Sunarto, 2009, h.33).

Konsep akan gender ini dimengerti sebagai konstruksi sosial mengenai identitas laki-laki dan perempuan sebagai sebuah kategori yang berlawanan dan menyebabkan relasi yang timpang. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, telah menyebabkan relasi yang asimetris di mana laki-laki dianggap lebih hebat dari perempuan, sehingga perempuan mengalami penindasan oleh laki-laki (Idi Subandy & Hanif Suranto, 1998, h.xxviii-xxx).

Ideologi gender merupakan segala aturan, nilai, streotipe, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki melalui pembentukan identitas feminine dan maskulin (May Lan, 2002, h.31) Ideologi gender bekerja dalam masyarakat sebagai alat legitimasi yang mempertahankan relasi asimetris antara perempuan dan laki-laki (May Lan, 2002, h.6). Sejalan dengan pengertian ini, Soemandoyo (dalam Murtiningsih & Advenita, 2017, h.145) menjelaskan bahwa ideologi gender memberikan pengaruh negatif dalam bentuk struktur patriarki, dimana posisi perempuan berada dibawah laki-laki atau dengan kata lain laki-laki mendominasi perempuan.

35 Patriarki, merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki dapat memiliki kendali dan berkuasa pada kaum perempuan. Patriarkis dapat dipahami sebagai sebuah pandangan yang memposisikan kaum pria yang mempunyai kuasa dibandingkan dengan kaum wanita, lebih jelasnya adalah kekuasaan pria terhadap wanita (Bhasin, 1996, h.15 dalam Widianingsih, 2013, h.15).

Patriarki, menurut Walby, adalah sebuah sistem stuktur sosial dan praktik-praktik dimana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Ia menitikberatkan terhadap penggunaan istilah stuktur sosial, karena istilah tersebut berkenaan dengan penolakan terhadap determinisme biologis, dan juga akan gagasan bahwa setiap individu laki-laki yang berada pada posisi yang dominan dan kaum perempuan berada pada posisi yang sebaliknya yakni posisi subordinat (Walby, 2014, h.28).

Selain memberikan definisi, Walby (2014, h.34) membagi patriarki ke dalam dua bentuk utama, yakni patriarki privat dan patriarki publik. Patriarki privat, sebagaimana dijelaskan Walby, mengarah pada penindasan yang terjadi dalam rumah tangga berupa perampasan pekerjaan perempuan yang dilakukan oleh individu patriarki, yaitu keluarga. Sedangkan dalam patriarki publik, perempuan dapat bekerja di ranah publik, dan penindasan terjadi secara kolektif dalam pekerjaan dan negara.

36 Tabel 2.3 Patriarki Privat dan Publik

Bentuk patriarki Privat Publik

Struktur dominan Produksi rumah tangga Pekerjaan/Negara Struktur patriarki

yang lebih luas

Pekerjaan Negara Seksualitas Kekerasan Budaya

Produksi rumah tangga Seksualitas

Kekerasan Budaya

Periode Abad ke-19 Abad ke-20

Mode perampasan Individu Kolektif Strategi patriarki Penyingkiran Segregasi

Sumber: Sylvia Walby, 2014, h.34

Kedua bentuk patriarki yang telah dipaparkan diatas, terjadi dalam keenam struktur patriarki seperti yang diuraikan Walby (2014, h.28), yaitu:

1. Mode produksi patriarki atau lebih spesifiknya adalah relasi produksi patriarki di dalam keluarga, Walby meletakkannya sebagai struktur pertama. Struktur ini menjelaskan tentang bagaimana pekerjaan rumah tangga perempuan yang diambil alih oleh suami ataupun orang yang tinggal bersama mereka. Sebagai konsekuensinya adalah perempuan tidak memiliki pekerjaan, dan mengharuskan perempuan menjadi ibu rumah tangga sebagai gantinya, untuk menerima pemeliharaan.

2. Relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah, bisa dikatakan berada dalam tataran ekonomi. Relasi ini menyebabkan pintu untuk perempuan berkarier seolah tertutup rapat. Perempuan dianggap kurang terampil sehingga dipisahkan

37 untuk masuk ke pekerjaan yang lebih buruk dan posisi yang lebih rendah dari laki-laki secara stuktural.

3. Relasi patriarki dalam negara, dalam hal ini negara juga patriarki, kapitalis, serta rasialis. Negara memiliki bias secara sistematis terhadap kepentingan patriarki yang terwujud pada kebijakan- kebijakan yang dibuat dan kemudian diterapkan.

4. Kekerasan laki-laki, meskipun terlihat sebagai perbuatan yang individualis. Walby meletakkannya dalam struktur tersendiri, karena jika ditelaah lebih lanjut kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sistematis dimaafkan dan disahkan oleh penolakan negara untuk turut campur tangan melawan kekerasan tersebut.

5. Relasi patriarkis dalam seksualitas, struktur ini menekankan pada heteroseksualitas yang wajib dan standar ganda seksual.

6. Relasi patriarki dalam lembaga budaya. Lembaga-lembaga budaya patriarki ini penting dibahas, karena lembaga terkait dengan pembangkitan berbagai variasi subjektivitas gender dalam beberapa bentuk yang berbeda. Melalui struktur ini, mencakup lembaga yang menciptakan representasi perempuan dari pandangan patriarki pada berbagai aspek.

38 Lembaga yang dimaksud yakni agama, pendidikan, dan media.

Budaya patriarki di Indonesia, khususnya dalam budaya Jawa tercermin dari penyebutan perempuan sebagai ―kanca wingking‖ atau ―konco wingking‖ yang berarti teman di belakang (Idi Subandy & Hanif Suranto, 1998, h.xxvii). Esensinya adalah bahwa perempuan dalam rumah tangga sebagai ibu yang mendidik anak dan sebagai istri yang mengurus suami dan kebutuhan rumah tangga (Kartodirdjo, 1982, h.192 sebagaimana dikutip dalam Prasetyowati, 2010, h.15). Selain itu, penyebutan perempuan dalam bahasa Sansekerta adalah wadon yang artinya abdi, yakni abdi dari laki-laki. Kemudian, ―wanita‖ yang merupakan akronim dari ―wani ditata‖. Sementara itu, budaya patriarki juga terlihat dari bagaimana perempuan dituntut untuk memiliki kompetensi tiga ―ur‖ yakni sumur, dapur, kasur ataupun 3M (macak atau berhias, manak atau melahirkan, dan masak). Sehingga perempuan dituntut dapat mengurusi pekerjaan domestik saja (Retnowulandari, 2010, h.26). Orang menganggap bahwa perempuan sudah sewajarnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga (May Lan, 2002, h.8).

Jika dirunut dalam penelitian sejarah, perempuan Indonesia dalam masa kolonial Belanda, dianggap sebagai makhluk kelas dua yang artinya kedudukan perempuan berada dibawah laki-laki. Pada masa ini, perempuan dipaksa untuk hanya mengurus rumah dan

39 dipersiapkan untuk dinikahkan pada usia dini, dan tidak diizinkan untuk dapat mengenyam pendidikan. Dalam kedudukan sosial, perempuan mendapat diskriminasi untuk hanya berada dalam wilayah domestik, lebih spesifiknya pada urusan dapur dan rumah tangga. Stigma yang dibentuk menghambat perempuan untuk bersikap mandiri (Cahyani, dkk, 2015, h.2).

Dokumen terkait