BAB II LANDASAN TEORI
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Struktur Karya Sastra
2.2.1.3 Alur
Alur adalah peristiwa yang diurutkan membangun tulang punggung cerita
(Sudjiman, 1988:29). Alur juga dapat diartikan sebagai struktur
peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian
berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik
tertentu (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007:113). Stanton dalam Nurgiyantoro (
2007:113) pun mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Sejalan dengan pendapat Kenny dalam Nurgiyantoro (2007:113) mengemukakan
bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak
bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat. Plot juga diartikan sebagai bagan atau kerangka
kejadian dimana para peran berbuat (Hamzah,1985:69). Berdasarkan
pengertian-pengertian mengenai alur di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah urutan
peristiwa dalam cerita.
Ditinjau berdasarkan urutan waktu dikenal dengan Alur Lurus (Maju) atau
a. Alur Lurus (Maju) atau Progresif
Sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan
bersifat kronologis, peristiwa (-peristiwa) yang pertama diikuti atau
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara
runtut cerita dimulai dari tahap awal (penituasian, pengenalan,pemunculan
konflik), tengah (konflik meningkat, klimak), dan akhir (penyelesaian).
b. Alur Sorot- Balik (Mundur) atau regresif
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif
tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan
mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir, baru kemudian tahap awal
cerita dikisahkan.
c. Alur Campuran
Alur yang didalamnya mengandung alur progresif dan regresif.
Alur berdasarkan kriteria jumlah dapat dibagi menjadi dua yaitu alur tunggal
dan alur sub-sub plot.
a. Alur Tunggal
Karya fiksi yang beralur tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah
cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai
hero. Cerita pada umumnya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh
tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya.
b. Alur sub-subplot
Karya fiksi yang memiliki lebih dari satu alur yang dikisahkan, atau terdapat
dan konflik yang dihadapi. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro
(1995:158) subplot, hanya merupakan bagian dari plot utama. Ia berisi cerita
“kedua” yang ditambahkan yang bersifat memperjelas dan memperluas
pandangan kita terhadap plot utama dan mendukung efek keseluruhan
cerita.
Alur berdasarkan kriteria kepadatan adalah padat atau tidaknya
pengembangan dan perkembangan cerita pada karya fiksi. kriteria ini dibedakan
menjadi dua yaitu alur padat dan alur longgar.
a. Alur Padat
Alur padat adalah alur yang cara penyajian ceritanya cepat dan
peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antar
peristiwa juga terjalin erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk
terus-menerus mengikutinya.
b. Alur Longgar
Dalam cerita yang beralur longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa
penting berlangsung lambat.
Alur berdasarkan kriteria isi adalah sesuatu, masalah, kecenderungan
masalah, yang diungkap dalam cerita. Kriteria ini dapat dibagi dua, yaitu alur
peruntungan dan alur tokohan.
a. Alur Peruntungan
Alur peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib,
b. Alur Tokohan
Alur tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang
menjadi fokus perhatian.
c. Alur Pemikiran
Alur Pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,
keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan lain-lain hal yang menjadi
masalah hidup dan kehidupan manusia. (Nurgiyantoro, 1995:153-162).
2.2.1.4 Tema
Gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto dalam
Nurgiyantoro, 2007:68). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam
karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik,
dan situasi tertentu (Nurgiyantoro, 2007:68). Hal ini seperti yang diungkapkan
Sudjiman (1988:50) bahwa gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu
karya sastra disebut tema. Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiyantoro
(2007:67) tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema dalam
karya fiksi dapat disimpulkan dengan menyimpulkan keseluruhan cerita.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, tema dapat disimpulkan sebagai
gagasan yang mendasari cerita suatu karya sastra.
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih
khusus dan rinci, Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:87-88) mengemukakan
Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting.
Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah—
yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh-masalah-konflik utama—pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra,
merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap
dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan
sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, tentunya pengarang tak
akan “menjatuhkan” sendiri sikap dan keyakinannya yang diungkapkan dalam detil-(detil) tertentu cerita yang lainnya.
Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung
dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tak dapat ditafsirkan hanya
berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita, atau informasi
lain yang kurang dapat dipercaya.
Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.
Menurut Sudjiman (1988:50-52) terdapat beberapa tema yaitu:
1) Tema yang bersifat didaktis, yaitu tema yang dinyatakan dengan
2) Tema eksplisit, yaitu tema cerita yang secara jelas dinyatakan, misalnya
tema yang terlihat pada judul.
3) Tema simbolik, yaitu tema yang biasanya dinyatakan secara implisit
(tersirat).
4) Tema yang terungkap oleh dialog.