• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI

A. Kata Ambilan

1. Definisi Kata Ambilan

Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1 Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas asam,

b. Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,

c. Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya d. Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu

banyak sinonimnya.

Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)

1

Zuchridin Surya winata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori& Penuntun Prakti sMenerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134

10 mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c) menerjemahkan.2

2. Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan

Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison).

Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna.

Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya kata-kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab, maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.

2

Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134

3

J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65

11 Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir = gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).”5

Namun tidak seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris

Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil,

barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata

resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa

12 Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab bermakna kata.6

Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.

Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut. Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7

Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber

6

Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 7

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 26

13 merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata

akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla

(peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan),

Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9 Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah

(kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi lebih ilmiah lagi.10

Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.11

8U iKulsu , Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278

9

Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10

10

SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7.

11

14 B. Teori Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target). Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12 Lebih jelasnya Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:

Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan dalam bahasa target.13

Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai

12

M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23

13

SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and

15 terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14.

Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan. Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung jawab besar.15Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai. Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya, dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan. Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat berlangsungnya proses penerjemahan.16

Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri. Faktor di luar teks itu antara lain pertama penulis teks yang dalam menghasilkan

14Syihabuddin,

Penerjemahan Arab-Indonesia (TeoridanPraktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10

15

M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 25

16

M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 26

16 tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi, dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.

2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis Pengertian Fundamentalisme

Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama). Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1) gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal (harfiah) sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran

17 kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17

Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada „ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas „ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18

Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja. Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di Iran.

Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai

17

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164

18

Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 19

18 bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam anti-clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki klerikal seperti disebut terdahulu.

Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik.19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni. Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.

19

Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer,(Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 3-4

19 Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau shari„at Islam (ideologi Islam).

Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka, fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama (mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.20

Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur, memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti

20

Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme danOrientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya) h. 19

20 pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; (5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21

Diantara beragam corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (Negara Islam Indonesia).

Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana organisasi-organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan.22

Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara

21

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166

22

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 36

21

kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual.

NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas dasar-dasar agama. Konsep ini didasar-dasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

C. Makna Konotasi

Dokumen terkait