• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI

C. Makna Konotasi 1. Definisi Konotatif

Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.

Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya

22 itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.23

Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.

Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.

Contoh kata bermakna konotasi:

A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet

B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan kegelisahanku.

Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan, dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, dan tidak sopan

23

23 Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta, pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya sastra.24

2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif

Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya. System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua, meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex

(tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan

nucleus (struktur makna dalam).

24

Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 123

24 Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa, yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike, maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra, pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra dan nilai keindahan25

Selain itu, Piliang,26 menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).

Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.

25Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-109

25 Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam.27

Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut.28 Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29Bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif.

27Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74. 28Chris Barker, h.109

26 Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.30Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.

Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus. Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable parts at the of the arms, including the fingers.31Makna gramatikal adalah makna yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32Sedangkan makna tekstual adalah makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan tersebut dipakai.33Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang

30 Chris Barker,Culturalh. 75

31ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,

(Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118

32Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124

27 berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu, mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya masyarakat pemakai bahasa itu.34

Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi, konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35

Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya. Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan

de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar

34SugengHariyanto, Translation,

BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,(Yogyakarta:Kanisius, 2004), h. 98 35J. D. Parera,TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga, 2004), h. 97

28 sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata

babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.

Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata

babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.36

Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus.

Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan

36ZaenalArifin,

29 oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37 Misalnya, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.38Sehubungan dengan contoh di atas konotasi terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul pada sebuah kata.

Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi, antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain, kadang-kadang masih berdekatan dan kadang-kadang-kadang-kadang perkembangan makna itu sudah menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh masyarakat pemakainya.39

Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh

37

SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163

38R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112

30 adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa.

Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain. Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1) Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41

Suatu bahasa menyerap kata dari bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep, barang, atau tempat.

Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan kata.42

Fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43

40J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145

41TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45

42Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta: PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67

31 Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau cakupan.44

Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam bahasa Arab jama’ah(ةعامج).Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani, sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat.

Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu

jama’ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI, kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat digunakan oleh umat kristiani.

Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan

Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata

Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama etimonya dan maknanya.

Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau

44U iKulsu , Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register Makalah Semi ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 304, 305

32 tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45

Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama, kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda. Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak berubah.46

Berbeda dengan petuah yang artinya adalah „nasihat‟, „wejangan‟, meskipun dapat juga berarti fatwa, tetapi kata petuah bentuknya berubah sesuai dengan sistem fonetik bahasa Indonesia.

3. Sinonimi (Mutaradifat)

Secara etimologi sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu syn yang berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47

dengan kata lain sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48 Misalnya, antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.

45U iKulsu , Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306

46

Ibid, h. 307

47

J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36

48

Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rinerka Cipta, 1995). Cet, ke-5 h. 82

33 Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49 Kata-kata tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia

i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia

Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia. Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata manusia, seperti pada;

iii. Tuan Imam orang asing iv. Tuan Imam manusia asing

Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari manusia asing.50

Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama, misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang

49

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72

50

Fatimah Djajasudarma, Semantik, Pengantar Arah Ilmu Makna 1, (Bandung: Refika Aditama, 1999), cet. Ke-2, h. 38-39

34 dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar pembangunan masjid berjalan terus”51

Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52 Begitupun sebaliknya kelompok Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat suci Alquran.53Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.

51

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223

52

Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39

53

Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab,

35

BAB III

Dokumen terkait