i
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
oleh:
IMAM ARIFIN
NIM: 1110024000006
Jurusan Tarjamah
Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2 Oktober 2014
Imam Arifin
iii
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh:
Imam Arifin
NIM: 1110024000006
Pembimbing I
Pembimbing II
v
TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Swt yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Karena-Nya jugalah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik meski agak sedikit
terlambat waktunya karena kemalasan penulis.
Salawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda Besar Nabi
Muhammad Saw, keluarga, dan para sahabatnya. Semoga kita semua
mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabb.
Selesainya skripsi bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri.
Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari
almamater sebagai tempat penulis menimba ilmu. Tanpa terkecuali, penulis
berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman
Faturahman, M. Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, dan Bapak
Dr.Ahmad Syaekhudin M.Ag, selaku ketua Jurusan Tarjamah pada periode
2010-2014, dan Dr. TB Ade Asnawi, M.Ag ketua Jurusan Tarjamah periode 2014-2017.
Tidak hanya itu, penulis tentunya sangat berterima kasih kepada dosen
pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Bunda Karlina
Helmanita, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya,
untuk membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Selain itu, penulis
berterima kasih kepada dua penguji skripsi ini: Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag dan Dr.
vi
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Tatam Wijaya sebagai alumnus
Tarjamah yang senantiasa memberikan motivasi yang sungguh berarti untuk
penulis. Beliau juga ikut serta membantu memberikan arahan pada penulis
sehingga proses penulisan skripsi ini terselesaikan.
Tak lupa, penulis berterima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah
yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu berbagai ilmu pengetahuan bahasa,
budaya, dan terjemahan, khususnya Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum, yang
mengajarkan seluk beluk dunia terjemah, terima kasih. Semoga amal mereka
diterima di sisi Allah Swt. Amin!
Secara khusus, penulis berterima kasih kepada orang tua tercinta, Abah
Ratmodan Mama Khopilah yang selalu mendoakan penulis. Penulis yakin
mereka-lah yang membuat pengerjaan skripsi ini menjadi lebih ringan. Terima kasih
penulis juga untuk Lek Juminah dan Lek Kusnanto, adik Aditia Soeman Prakoso
dan adik kecil Naila Salsabila, yang sudah menjadi bagian dari hidup penulis, dan
selalu memberi semangat hidup dalam sehari-hari.
Terima kasih yang amat sangat kepada keluarga Alm Raidah Binti Maud
dan Keluarga Alm H. Rifai Bin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Aku
cinta padamu.
Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kawan-kawan Jurusan
Tarjamah 2010 atas kerjasama, kekompakan, dan kebersamaannya selama 4 tahun
kita berada dalam satu tempat menimba ilmu.
Semoga skripsi yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua yang
vii
khususnya bagi penerjemahan buku-buku dan teks-teks islam yang fundamentalis.
Kritik dan saran, akan penulis terima dengan lapang dada.
Jakarta, 24 September 2014
viii
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL...i
SURAT PERNYATAAN………...ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
TERIMA KASIH………...iv
DAFTAR ISI...vii
PEDOMAN TRANSLITERASI………ix
ABSTRAK………..xii
BAB I: PENDAHULUAN
A.LatarBelakangMasalah……….....1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...5
1. PembatasanMasalah...………...5
2. PerumusanMasalah………...………......5
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………...…………...6
D.MetodologiPenelitian……….....6
1. SumberData………....………...6
2. Teknik Pengumpulan Data……...………......7
3. Teknik Analisis Data……….....7
ix
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Teori Kata Ambilan………...10
1. Definisi Kata Ambilan……….....10
2. Perbedaan: Kata Ambilandan Kata Serapan………...…...11
B. TeoriPenerjemahan………....14
1. DefinisiPenerjemahan………...14
2. IdeologiPenerjemahanHizbut Tahrir ...17
C. Makna Konotatif………....22
1. DefinisiKonotatif………...22
2. PerbedaanDenotatifdanKonotatif………...23
3. Sinonimi (Mutaradifat)………...33
BAB III: Profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir
A. Profil Singkat………...351. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia………....35
2. Tujuan Hizbut Tahrir………...42
3. Kegiatan Hizbut Tahrir………...43
4. StrategiDakwahisPolistis HT………...44
5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir………...46
x
BAB IV: Analisis Semantik Kata Ambilan Arab dalam Buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
A. Pengantar...……….52
B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim………...53
1. Kalimat 1...54
2. Kalimat 2...55
3. Kalimat 3...56
4. Kalimat 4...59
BAB V :Kesimpulan………...63
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
HurufArab Nama HurufLatin
Alif Tidakdilambangkan
Ba B
T Ta
Tsa Ts
Jim J
Ha H
Kha Kh
Dal D
Dzal Dz
Ra R
Zai Z
Sin S
Syin Sy
Shad Sh
Dhad Dh
Tha Tha
Zha Zh
„ain ....„....
xii
Fa F
Kaf K
Lam 1
Mim M
Nun N
Wau W
Ha H
Hamzah ...`...
Ya Y
xiii |
ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kata ambilan Arab berpengaruh dan digunakan dalam bahasa indonesia di kelompok islam fundamentalis. Khususnya dalam teks-teks dan buku keagamaan seperti di dalam buku mafahi hizbut tahrir ini.
kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun
asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa
asli/sumbernya. Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.1
Berbeda dengan kata serapan, kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam
bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus
besarbahasa Indonesia (KBBI).2
Kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam
literature/buku. Tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam
literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis
miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah
bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan
tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.3
Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur
pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola keagamaan fundamentalis,
dakwahis, politis, jihadis, maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu,
jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis melalui teorianalisis
1
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 6
2
Lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
2
semantik sintaktikal, konotasi teks, sosial budaya, pola keagamaan
ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, melalui cara
ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan
mereka.4
Lahirnya penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa
Indonesia lebih menunjukkan pola keagamaan. Salah satunya di kalangan Hizbut
Tahrir Indonesia yang umumnya berasal dari kelompok dakwahis dan politis
banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata Daulah Islâmiyah dan
Khilâfah Islâmiyah yang merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi
gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh
HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang
berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan
HTI. Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah
Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan
padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua
istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.5
Selain kata Daulat Islamiyah yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa
Indonesia, Kata mabda yang secara etimologis adalah ism makan dari kata
„bada’a-yabda’u-mabdaan’ yang berartipermulaan. Secara terminologis mabda
berartipemikiranmendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang).6
Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.
4
SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman,(Jakarta: UIN, 2013), h. 6
5Sukron Kamil, h. 6
3
Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap
menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.
Pemerkayaan kosakata melalui pengambilan kata Arab atau istilah dari bahasa
lain adalah suatu keniscayaan. Tidak ada bahasa modern yang steril dari kata
ambilan. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka meminjam lebih dari
sepertiga dari bahasa lain. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia mengambil banyak sekali bahasa asing, seperti Sansakerta,
Arab, Belanda, Cina dan Inggris. Pengambilan kata ini karena kebutuhan pretise.
Perkembangan dan perubahan kebahasaan dapat terjadi baik dalam ranah
makna, tata bahasa, maupun kosakata. Kosakata merupakan bidang yang cepat
berkembang dan banyak mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sejumlah pengambilan kata baru dalam pola keagamaan di Indonesia,
misalnyadalam bahasa Indonesia pada beberapa dekade terakhir, dalam kelompok
salafi dakwahis dan politis HTI. kata mabda (ideologiI), akhi (saudara), thâghût
(syetan), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dan daulat (perjalanan
untuk dakwah) (harta rampasan perang).7 Kalangan yang hampir sama seperti
salafi dakwahis semisal Jama‟ah Tabligh, PKS, MMI, juga melakukan hal yang
sama.
Dalam hal ini bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang bisa
diteliti lewat teori kontekstual yang tercakup di dalamnya kajian atas fenomena
bahasa sintaktikal serta wacana dan juga konteks sosial budaya yang
melingkupinya, maka kajian atas pola keagamaan lewat teks-teks kebahasaan
7
4
dalam literatur keislaman kontemporer di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Pola keagamaan fundamentalisme (salafi dakwahis dan politis),
bahkan radikalisme (salafi jihadis) bisa diteliti lewat kajian atas fenomena
kebahasaan dalam buku pedomannya atau teks-teks keislaman yang dilahirkan
oleh kelompok-kelompok Islam tersebut.
Dengan pemaparan di atas agar fokus dalam penelitian, maka penelitian ini
akan mengkaji kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku pedoman keislaman
kontemporer Mafahim Hizbut Tahrir. hal Ini terkait dengan keunggulan bahasa
Arab dalam menampung konsep-konsep keagamaan yang dalam bahasa Indonesia
sering kali tidak ditemukan padananya. Berdasarkan pemikiran di atas penulis
membahas skripsi ini dengan judul: Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa
Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah.
Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis
membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan 16 kosakata kata ambilan
Bahasa Arab dari 78 kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir
Indonesia. Kosakata tersebut seperti pada kata mabda (ideologi), Qabih (tercela)
Hasan (Terpuji), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dandaulat
(perjalananuntukdakwah).8 Kafir Harbi, Daulat Islamiyah, Khilafah Islamiyah,
Kharaj, Daarul Kufur, Daarul Islam, kafir Mua’ahad, Inqilabi,hirjuaz-zawiyah,
hizb
8
5
.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah:
Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam
buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana rumusan yang sudah diidentifikasikan oleh penulis. Maka,
penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain:
Untuk megetahui makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab
dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
D. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif
kualitatif, dengan jalan mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang
akan diteliti berbentuk kata-kata, bukan angka-angka9 data yang penulis dapatkan
dalam hal ini merujuk sumber primer dan bahan sekunder.
Data yang diperoleh yaitu melalui, teori makna konotatif, teori konotatif
Roland Barthes, hermeneutik, dan juga akan diperkaya teori mutaradifat. teori
tersebut akan dibahas lebih dalam di (bab 2) kemudian wawancara langsung
kepada salah satu tokoh Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna mempertajam
analisa yang penulis paparkan.
6
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku Mafahim Hizbut Tahrir
Indonesia. Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir Di dalam buku Mafâhim
Hizbut Tahrir’terdapat 78 kosakata yangditulis dalam bahasa Arab. Kosakata
tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa kosakata tersebut adalah kosakata
asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun
belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut
mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan
dalam bahasa asalnya
Namun, di dalam buku ini tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai
karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa
makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/jelek. Kata
tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan
mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya.
Demikian pula dengan katahasan (terpuji) „syarah’ yang berarti penjelasan. Jika
tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sesunguhnya lebih baik.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data berupa kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim HTI berupa
kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dicatat pada kartu.
Kemudian catatan itu dianalisis untuk menemukan bentuk-bentuk
7
3. Teknik Analisis Data
Data yang berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab
dianalisis dengan mengacu pada perubahan konotasi yang terjadi pada proses
pengambilan. Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan register dan makna
yang terjadi yaitu makna konotasi yang merupakan makna yang bukan sebenarnya
dan merujuk pada hal lain.Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang,
dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu, konotatif merupakan
makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan
dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut10
E. SistematikaPenulisan
Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan secara sistematika dengan
cara pandang masalah secara objektif, agar dapat dipahami secara baik. Penulisan
ini dibagi menjadi VI BAB.
BAB I, Pendahuluan: terdiri dari enam subbab yaitu; Pertama, Latar belakang
masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan
penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam,
sistematika penulisan.
8
Pada bab selanjutnya (bab 2), peneliti menjelaskan teori kata ambilan Arab,
Distingsi: kata ambilan dan serapan, teori penerjemahan, ideology penerjemahan
ormas fundamentalis, teori makna konotasi, denotasi, dan teori mutaradifat.
Kemudian pada bab berikutnya (bab 3) penulis akan menggambarkan profil
dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir.
Selanjutnya, pada bab inti (bab 4), peneliti akan membahas analisis
Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa.
Pada akhirnya peneliti mengakhiri di (bab 5) penelitian ini dengan beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kata ambilan Arab di dalam buku
9
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kata Ambilan
1. Definisi Kata Ambilan
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun
asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa
asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa
Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada
padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1
Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas
asam,
b. Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,
c. Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya
d. Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu
banyak sinonimnya.
Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil
kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)
1
10 mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c)
menerjemahkan.2
2. Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan
Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya
sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses
pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison).
Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak
tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna.
Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata
bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri
sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya
kata-kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai
macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta
dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud
baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau
telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab,
maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu
paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang
(seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab
klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak
menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.
2
Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134
3
J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65
11 Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun
yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang
klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic
Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik
adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di
mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir =
gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti
dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).”5
Namun tidak
seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris
Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa
Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya
yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam
penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil,
barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya
tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan
asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata
resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula
dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan
sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam
bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam
bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa
Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa
12 Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab
bermakna kata.6
Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa
lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa
dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa
yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa
Indonesia.
Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata
serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut.
Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang
dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata
ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku,
tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku
yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan
harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut
asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab
dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7
Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih
menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis
atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu
yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang
tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber
6
Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 7
13 merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir
Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas
fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata
akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla
(peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan),
Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9
Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah
Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis
politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab
seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah
(kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi
lebih ilmiah lagi.10
Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga
mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan
berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami
perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek
Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke
dalam bahasa resmi Indonesia.11
8U iKulsu ,
Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278
9
Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10
10
SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7.
11
14 B. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur
semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak
komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang
mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target).
Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu
memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai
mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12 Lebih jelasnya
Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan
biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:
Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui
telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta
memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang
termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya
menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan
dalam bahasa target.13
Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya
penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa
sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima,
baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai
12
M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23
13
SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and
15 terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan
adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14.
Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan.
Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara
penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang
menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai
kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain
dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan
pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung
jawab besar.15Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa
target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai.
Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya,
dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan.
Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan
menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat
berlangsungnya proses penerjemahan.16
Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam
penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya
ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun
masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian
penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri.
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 25
16
16 tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi,
dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan
yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi
mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor
keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa
target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian
terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara
berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.
2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis
Pengertian Fundamentalisme
Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat
dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum
fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama).
Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten
dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau
gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu
kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang
sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus
webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1)
gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab
17 kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan
secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan
modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama
atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap
Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada
„ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut.
Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi
sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang
mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas
„ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan
politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu
pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18
Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik
merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum
klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja.
Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di
Iran.
Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan
oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi.
Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi
ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti
kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai
17
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164
18
18 bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern
tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang
secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa
karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik,
insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam
anti-clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun
fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki
klerikal seperti disebut terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang
ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam
terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti
ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena
fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah
gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan
pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin
fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi
Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan
aktifis politik.19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni.
Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan
kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan
politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas
mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program,
strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini,
fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.
19
19 Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan
kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi
fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang
domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi
sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum
atau shari„at Islam (ideologi Islam).
Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka,
fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius,
melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama
(mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan
karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik,
fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan
pluralisme.20
Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di
dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa
dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli
kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir
agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang
yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau
percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya
mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan
negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur,
memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti
20
20 pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai
monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka;
(5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu
program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya
cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan
nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan
sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21
Diantara beragam corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang
berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam
dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah
kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia
adalah NII (Negara Islam Indonesia).
Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik
beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia
tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana
organisasi-organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan
sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai
kesempatan dan kepentingan.22
Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam
riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI
dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI
mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara
21
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166
22
21
kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali
penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam
kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah
sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang
itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual.
NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan
bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas
dasar-dasar agama. Konsep ini didasar-dasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Makna Konotasi
1. Definisi Konotatif
Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya
yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai
makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun
negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi,
tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa
sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu
sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif
maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu
yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.
Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia
maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa
22 itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka
lambang yang tidak baik.23
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup
dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di
daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi
negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis.
Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di
pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata
ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang
konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang
berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
Contoh kata bermakna konotasi:
A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet
B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan
kegelisahanku.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi
negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan,
dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar,
kotor, dan tidak sopan
23
23 Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta,
pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya
sastra.24
2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif
Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam
taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya.
System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan
menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system
tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk
merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti
bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain
ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam
penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian
diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar
karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti
karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna
sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua,
meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat
pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex
(tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan
nucleus (struktur makna dalam).
24
24 Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang
melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa,
yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike,
maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat
di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra,
pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk
karya sastra dan nilai keindahan25
Selain itu, Piliang,26 menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan
rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan
pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa
yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto
sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat
penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak
pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis
kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,
seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan
“kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).
Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna
deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.
25Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-109
25 Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda
dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan
ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda
jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika
konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai
sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi
kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan
melekat pada nalar awam.27
Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna
tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat
berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran
sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh
ideologi tersebut.28 Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan
konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang
makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan
petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode
yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan
makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut
Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29Bagi Barthes, mitos
merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa
kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang
membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna
mitologis konotatif.
27Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74. 28Chris Barker, h.109
26 Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia
tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos
bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan
menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.30Makna dan
terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.
Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan
makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang
lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu
macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna
leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna
sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus.
Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable
parts at the of the arms, including the fingers.31Makna gramatikal adalah makna
yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau
kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang
ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang
menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau
kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32Sedangkan makna tekstual adalah
makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di
dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna
yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan
tersebut dipakai.33Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang
30 Chris Barker,Culturalh. 75
31ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,
(Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118
32Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124
27 berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya
kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan
oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu,
mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah
teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian
kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah
makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya
masyarakat pemakai bahasa itu.34
Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses
pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan
tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi,
konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana
komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa
adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya
berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna
konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna
denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup
dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi.
Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali
berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35
Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya.
Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan
de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar
34SugengHariyanto, Translation,
28 sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada
tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah
makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata
babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk
dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh
seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.
Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari
sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang
ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari
orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata
babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat
Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar
kata itu.36
Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah
dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus
leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus
bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau
makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus.
Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah
atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata
lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan
36ZaenalArifin,
29 oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37 Misalnya,
kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat
yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal
ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia
amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna
konotatif, yakni berilah ia uang.38Sehubungan dengan contoh di atas konotasi
terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul
pada sebuah kata.
Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi,
antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah
tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan
deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri
sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain,
kadang-kadang masih berdekatan dan kadang-kadang-kadang-kadang perkembangan makna itu sudah
menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh
masyarakat pemakainya.39
Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan
tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut
mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah
gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna
terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh
37
SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
38R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112
30 adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam
bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa.
Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau
leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain.
Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1)
Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama
terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata
lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41
Suatu bahasa menyerap kata dari
bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep,
barang, atau tempat.
Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih
mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab
perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni
faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang
meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan
kata.42
Fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak
sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya
terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena
berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi,
perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43
40J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145
41TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45
42Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta: PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67
31 Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk
berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan
ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau
cakupan.44
Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam
bahasa Arab jama’ah(ةعامج).Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut
bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani,
sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut
tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat.
Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu
jama’ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI,
kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara
arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan
kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat
digunakan oleh umat kristiani.
Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan
Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama
Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap
yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata
Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama
etimonya dan maknanya.
Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami
salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau
44U iKulsu , Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register
32 tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami
adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi
bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu
kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45
Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama,
kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda.
Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk
makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis
seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak
berubah.46 berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim
berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47
dengan kata lain
sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48 Misalnya,
antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.
45U iKulsu ,
Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306
46
Ibid, h. 307
47
J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36
48
33 Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa
Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna
atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana
menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling
menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat
bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat
bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49 Kata-kata
tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan
perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia
i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang
ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia
Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia.
Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata
manusia, seperti pada;
iii. Tuan Imam orang asing
iv. Tuan Imam manusia asing
Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan
perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari
manusia asing.50
Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat
dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama,
misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama,
misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang
49
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72
50
34 dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar
pembangunan masjid berjalan terus”51
Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu
perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol
adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan
kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami
Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52 Begitupun sebaliknya kelompok
Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat
mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua
pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat
suci Alquran.53Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang
fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.
51
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223
52
Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39
53
Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab,