• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab Dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab Dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB

DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

oleh:

IMAM ARIFIN

NIM: 1110024000006

Jurusan Tarjamah

Fakultas Adab Dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(2)

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 2 Oktober 2014

Imam Arifin

(3)

iii

MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB

DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh:

Imam Arifin

NIM: 1110024000006

Pembimbing I

Pembimbing II

(4)
(5)

v

TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah Swt yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Karena-Nya jugalah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik meski agak sedikit

terlambat waktunya karena kemalasan penulis.

Salawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda Besar Nabi

Muhammad Saw, keluarga, dan para sahabatnya. Semoga kita semua

mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabb.

Selesainya skripsi bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri.

Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari

almamater sebagai tempat penulis menimba ilmu. Tanpa terkecuali, penulis

berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman

Faturahman, M. Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, dan Bapak

Dr.Ahmad Syaekhudin M.Ag, selaku ketua Jurusan Tarjamah pada periode

2010-2014, dan Dr. TB Ade Asnawi, M.Ag ketua Jurusan Tarjamah periode 2014-2017.

Tidak hanya itu, penulis tentunya sangat berterima kasih kepada dosen

pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Bunda Karlina

Helmanita, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya,

untuk membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Selain itu, penulis

berterima kasih kepada dua penguji skripsi ini: Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag dan Dr.

(6)

vi

Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Tatam Wijaya sebagai alumnus

Tarjamah yang senantiasa memberikan motivasi yang sungguh berarti untuk

penulis. Beliau juga ikut serta membantu memberikan arahan pada penulis

sehingga proses penulisan skripsi ini terselesaikan.

Tak lupa, penulis berterima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah

yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu berbagai ilmu pengetahuan bahasa,

budaya, dan terjemahan, khususnya Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum, yang

mengajarkan seluk beluk dunia terjemah, terima kasih. Semoga amal mereka

diterima di sisi Allah Swt. Amin!

Secara khusus, penulis berterima kasih kepada orang tua tercinta, Abah

Ratmodan Mama Khopilah yang selalu mendoakan penulis. Penulis yakin

mereka-lah yang membuat pengerjaan skripsi ini menjadi lebih ringan. Terima kasih

penulis juga untuk Lek Juminah dan Lek Kusnanto, adik Aditia Soeman Prakoso

dan adik kecil Naila Salsabila, yang sudah menjadi bagian dari hidup penulis, dan

selalu memberi semangat hidup dalam sehari-hari.

Terima kasih yang amat sangat kepada keluarga Alm Raidah Binti Maud

dan Keluarga Alm H. Rifai Bin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Aku

cinta padamu.

Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kawan-kawan Jurusan

Tarjamah 2010 atas kerjasama, kekompakan, dan kebersamaannya selama 4 tahun

kita berada dalam satu tempat menimba ilmu.

Semoga skripsi yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua yang

(7)

vii

khususnya bagi penerjemahan buku-buku dan teks-teks islam yang fundamentalis.

Kritik dan saran, akan penulis terima dengan lapang dada.

Jakarta, 24 September 2014

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL...i

SURAT PERNYATAAN………...ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

TERIMA KASIH………...iv

DAFTAR ISI...vii

PEDOMAN TRANSLITERASI………ix

ABSTRAK………..xii

BAB I: PENDAHULUAN

A.LatarBelakangMasalah……….....1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...5

1. PembatasanMasalah...………...5

2. PerumusanMasalah………...………......5

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………...…………...6

D.MetodologiPenelitian……….....6

1. SumberData………....………...6

2. Teknik Pengumpulan Data……...………......7

3. Teknik Analisis Data……….....7

(9)

ix

BAB II: KERANGKA TEORI

A. Teori Kata Ambilan………...10

1. Definisi Kata Ambilan……….....10

2. Perbedaan: Kata Ambilandan Kata Serapan………...…...11

B. TeoriPenerjemahan………....14

1. DefinisiPenerjemahan………...14

2. IdeologiPenerjemahanHizbut Tahrir ...17

C. Makna Konotatif………....22

1. DefinisiKonotatif………...22

2. PerbedaanDenotatifdanKonotatif………...23

3. Sinonimi (Mutaradifat)………...33

BAB III: Profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir

A. Profil Singkat………...35

1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia………....35

2. Tujuan Hizbut Tahrir………...42

3. Kegiatan Hizbut Tahrir………...43

4. StrategiDakwahisPolistis HT………...44

5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir………...46

(10)

x

BAB IV: Analisis Semantik Kata Ambilan Arab dalam Buku

Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia

A. Pengantar...……….52

B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim………...53

1. Kalimat 1...54

2. Kalimat 2...55

3. Kalimat 3...56

4. Kalimat 4...59

BAB V :Kesimpulan………...63

(11)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

HurufArab Nama HurufLatin

Alif Tidakdilambangkan

Ba B

T Ta

Tsa Ts

Jim J

Ha H

Kha Kh

Dal D

Dzal Dz

Ra R

Zai Z

Sin S

Syin Sy

Shad Sh

Dhad Dh

Tha Tha

Zha Zh

„ain ....„....

(12)

xii

Fa F

Kaf K

Lam 1

Mim M

Nun N

Wau W

Ha H

Hamzah ...`...

Ya Y

(13)

xiii |

ABSTRAK

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kata ambilan Arab berpengaruh dan digunakan dalam bahasa indonesia di kelompok islam fundamentalis. Khususnya dalam teks-teks dan buku keagamaan seperti di dalam buku mafahi hizbut tahrir ini.

kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.

(14)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun

asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa

asli/sumbernya. Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang

terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.1

Berbeda dengan kata serapan, kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam

bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus

besarbahasa Indonesia (KBBI).2

Kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam

literature/buku. Tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam

literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis

miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah

bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan

tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.3

Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur

pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola keagamaan fundamentalis,

dakwahis, politis, jihadis, maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu,

jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis melalui teorianalisis

1

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 6

2

Lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.

(15)

2

semantik sintaktikal, konotasi teks, sosial budaya, pola keagamaan

ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, melalui cara

ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan

mereka.4

Lahirnya penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa

Indonesia lebih menunjukkan pola keagamaan. Salah satunya di kalangan Hizbut

Tahrir Indonesia yang umumnya berasal dari kelompok dakwahis dan politis

banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata Daulah Islâmiyah dan

Khilâfah Islâmiyah yang merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi

gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh

HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang

berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan

HTI. Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah

Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan

padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua

istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.5

Selain kata Daulat Islamiyah yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa

Indonesia, Kata mabda yang secara etimologis adalah ism makan dari kata

„bada’a-yabda’u-mabdaan’ yang berartipermulaan. Secara terminologis mabda

berartipemikiranmendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang).6

Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.

4

SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman,(Jakarta: UIN, 2013), h. 6

5Sukron Kamil, h. 6

(16)

3

Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap

menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.

Pemerkayaan kosakata melalui pengambilan kata Arab atau istilah dari bahasa

lain adalah suatu keniscayaan. Tidak ada bahasa modern yang steril dari kata

ambilan. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka meminjam lebih dari

sepertiga dari bahasa lain. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia mengambil banyak sekali bahasa asing, seperti Sansakerta,

Arab, Belanda, Cina dan Inggris. Pengambilan kata ini karena kebutuhan pretise.

Perkembangan dan perubahan kebahasaan dapat terjadi baik dalam ranah

makna, tata bahasa, maupun kosakata. Kosakata merupakan bidang yang cepat

berkembang dan banyak mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya

sejumlah pengambilan kata baru dalam pola keagamaan di Indonesia,

misalnyadalam bahasa Indonesia pada beberapa dekade terakhir, dalam kelompok

salafi dakwahis dan politis HTI. kata mabda (ideologiI), akhi (saudara), thâghût

(syetan), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dan daulat (perjalanan

untuk dakwah) (harta rampasan perang).7 Kalangan yang hampir sama seperti

salafi dakwahis semisal Jama‟ah Tabligh, PKS, MMI, juga melakukan hal yang

sama.

Dalam hal ini bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang bisa

diteliti lewat teori kontekstual yang tercakup di dalamnya kajian atas fenomena

bahasa sintaktikal serta wacana dan juga konteks sosial budaya yang

melingkupinya, maka kajian atas pola keagamaan lewat teks-teks kebahasaan

7

(17)

4

dalam literatur keislaman kontemporer di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan

secara ilmiah. Pola keagamaan fundamentalisme (salafi dakwahis dan politis),

bahkan radikalisme (salafi jihadis) bisa diteliti lewat kajian atas fenomena

kebahasaan dalam buku pedomannya atau teks-teks keislaman yang dilahirkan

oleh kelompok-kelompok Islam tersebut.

Dengan pemaparan di atas agar fokus dalam penelitian, maka penelitian ini

akan mengkaji kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku pedoman keislaman

kontemporer Mafahim Hizbut Tahrir. hal Ini terkait dengan keunggulan bahasa

Arab dalam menampung konsep-konsep keagamaan yang dalam bahasa Indonesia

sering kali tidak ditemukan padananya. Berdasarkan pemikiran di atas penulis

membahas skripsi ini dengan judul: Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa

Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah.

Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis

membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan 16 kosakata kata ambilan

Bahasa Arab dari 78 kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir

Indonesia. Kosakata tersebut seperti pada kata mabda (ideologi), Qabih (tercela)

Hasan (Terpuji), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dandaulat

(perjalananuntukdakwah).8 Kafir Harbi, Daulat Islamiyah, Khilafah Islamiyah,

Kharaj, Daarul Kufur, Daarul Islam, kafir Mua’ahad, Inqilabi,hirjuaz-zawiyah,

hizb

8

(18)

5

.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah:

Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam

buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sebagaimana rumusan yang sudah diidentifikasikan oleh penulis. Maka,

penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain:

Untuk megetahui makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab

dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia

D. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif

kualitatif, dengan jalan mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang

akan diteliti berbentuk kata-kata, bukan angka-angka9 data yang penulis dapatkan

dalam hal ini merujuk sumber primer dan bahan sekunder.

Data yang diperoleh yaitu melalui, teori makna konotatif, teori konotatif

Roland Barthes, hermeneutik, dan juga akan diperkaya teori mutaradifat. teori

tersebut akan dibahas lebih dalam di (bab 2) kemudian wawancara langsung

kepada salah satu tokoh Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna mempertajam

analisa yang penulis paparkan.

(19)

6

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku Mafahim Hizbut Tahrir

Indonesia. Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir Di dalam buku Mafâhim

Hizbut Tahrir’terdapat 78 kosakata yangditulis dalam bahasa Arab. Kosakata

tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa kosakata tersebut adalah kosakata

asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun

belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut

mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan

dalam bahasa asalnya

Namun, di dalam buku ini tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai

karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa

makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/jelek. Kata

tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan

mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya.

Demikian pula dengan katahasan (terpuji) „syarah’ yang berarti penjelasan. Jika

tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia

sesunguhnya lebih baik.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data berupa kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim HTI berupa

kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dicatat pada kartu.

Kemudian catatan itu dianalisis untuk menemukan bentuk-bentuk

(20)

7

3. Teknik Analisis Data

Data yang berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab

dianalisis dengan mengacu pada perubahan konotasi yang terjadi pada proses

pengambilan. Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan register dan makna

yang terjadi yaitu makna konotasi yang merupakan makna yang bukan sebenarnya

dan merujuk pada hal lain.Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang,

dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu, konotatif merupakan

makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan

dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata

tersebut10

E. SistematikaPenulisan

Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan secara sistematika dengan

cara pandang masalah secara objektif, agar dapat dipahami secara baik. Penulisan

ini dibagi menjadi VI BAB.

BAB I, Pendahuluan: terdiri dari enam subbab yaitu; Pertama, Latar belakang

masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan

penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam,

sistematika penulisan.

(21)

8

Pada bab selanjutnya (bab 2), peneliti menjelaskan teori kata ambilan Arab,

Distingsi: kata ambilan dan serapan, teori penerjemahan, ideology penerjemahan

ormas fundamentalis, teori makna konotasi, denotasi, dan teori mutaradifat.

Kemudian pada bab berikutnya (bab 3) penulis akan menggambarkan profil

dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir.

Selanjutnya, pada bab inti (bab 4), peneliti akan membahas analisis

Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku

Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa.

Pada akhirnya peneliti mengakhiri di (bab 5) penelitian ini dengan beberapa

kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kata ambilan Arab di dalam buku

(22)

9

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Kata Ambilan

1. Definisi Kata Ambilan

Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun

asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa

asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang

terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa

Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada

padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1

Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas

asam,

b. Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,

c. Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya

d. Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu

banyak sinonimnya.

Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil

kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)

1

(23)

10 mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c)

menerjemahkan.2

2. Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan

Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya

sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses

pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison).

Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak

tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna.

Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata

bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri

sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya

kata-kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai

macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta

dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud

baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau

telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab,

maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu

paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang

(seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab

klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak

menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.

2

Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134

3

J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65

(24)

11 Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun

yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang

klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic

Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik

adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di

mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir =

gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti

dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).”5

Namun tidak

seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris

Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa

Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya

yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam

penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil,

barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya

tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan

asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata

resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula

dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan

sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam

bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam

bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa

Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa

(25)

12 Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab

bermakna kata.6

Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa

lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa

dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa

yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa

Indonesia.

Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata

serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut.

Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang

dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata

ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku,

tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku

yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan

harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut

asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab

dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7

Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih

menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis

atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu

yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang

tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber

6

Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 7

(26)

13 merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir

Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas

fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata

akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla

(peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan),

Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9

Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah

Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis

politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab

seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah

(kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi

lebih ilmiah lagi.10

Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga

mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan

berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami

perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek

Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke

dalam bahasa resmi Indonesia.11

8U iKulsu ,

Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278

9

Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10

10

SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7.

11

(27)

14 B. Teori Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke

dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur

semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak

komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang

mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target).

Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu

memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai

mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12 Lebih jelasnya

Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan

biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:

Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui

telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta

memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang

termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya

menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan

dalam bahasa target.13

Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya

penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa

sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima,

baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai

12

M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23

13

SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and

(28)

15 terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan

adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14.

Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan.

Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara

penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang

menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai

kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain

dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan

pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung

jawab besar.15Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa

target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai.

Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya,

dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan.

Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan

menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat

berlangsungnya proses penerjemahan.16

Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam

penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya

ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun

masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian

penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri.

M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 25

16

(29)

16 tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi,

dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan

yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari

bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi

mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor

keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa

target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian

terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara

berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.

2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis

Pengertian Fundamentalisme

Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat

dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum

fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama).

Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten

dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus

besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau

gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu

kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang

sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus

webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1)

gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab

(30)

17 kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan

secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17

Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan

modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama

atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap

Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada

„ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut.

Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi

sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang

mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas

„ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan

politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu

pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18

Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik

merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum

klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja.

Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di

Iran.

Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan

oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi.

Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi

ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti

kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai

17

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164

18

(31)

18 bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern

tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang

secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa

karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik,

insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam

anti-clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun

fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki

klerikal seperti disebut terdahulu.

Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang

ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam

terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti

ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena

fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah

gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan

pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin

fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi

Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan

aktifis politik.19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni.

Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan

kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan

politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas

mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program,

strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini,

fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.

19

(32)

19 Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan

kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi

fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang

domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi

sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum

atau shari„at Islam (ideologi Islam).

Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka,

fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius,

melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama

(mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan

karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik,

fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan

pluralisme.20

Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di

dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa

dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara

kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli

kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir

agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang

yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau

percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya

mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan

negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur,

memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti

20

(33)

20 pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai

monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka;

(5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu

program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya

cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan

nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan

sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21

Diantara beragam corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang

berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam

dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah

kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia

adalah NII (Negara Islam Indonesia).

Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik

beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia

tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana

organisasi-organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan

sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai

kesempatan dan kepentingan.22

Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam

riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI

dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI

mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara

21

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166

22

(34)

21

kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali

penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam

kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah

sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang

itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual.

NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan

bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas

dasar-dasar agama. Konsep ini didasar-dasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk

mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

C. Makna Konotasi

1. Definisi Konotatif

Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya

yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai

makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun

negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi,

tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa

sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu

sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif

maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu

yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.

Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia

maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa

(35)

22 itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka

lambang yang tidak baik.23

Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat

yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup

dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di

daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi

negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis.

Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di

pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.

Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata

ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang

konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang

berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.

Contoh kata bermakna konotasi:

A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet

B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan

kegelisahanku.

Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi

negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan,

dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar,

kotor, dan tidak sopan

23

(36)

23 Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta,

pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya

sastra.24

2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif

Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam

taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya.

System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan

menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system

tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk

merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti

bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain

ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam

penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian

diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar

karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti

karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna

sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua,

meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat

pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex

(tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan

nucleus (struktur makna dalam).

24

(37)

24 Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang

melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa,

yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike,

maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat

di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra,

pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk

karya sastra dan nilai keindahan25

Selain itu, Piliang,26 menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan

yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan

rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan

pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa

yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto

sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat

konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat

penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di

dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak

pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis

kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,

seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan

“kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat

implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).

Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna

deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.

25Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-109

(38)

25 Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda

dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan

ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda

jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika

konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai

sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi

kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan

melekat pada nalar awam.27

Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna

tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat

berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran

sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh

ideologi tersebut.28 Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan

konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang

makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan

petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode

yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan

makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut

Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29Bagi Barthes, mitos

merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa

kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang

membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna

mitologis konotatif.

27Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74. 28Chris Barker, h.109

(39)

26 Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia

tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos

bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan

menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.30Makna dan

terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.

Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan

makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang

lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu

macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna

leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna

sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus.

Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable

parts at the of the arms, including the fingers.31Makna gramatikal adalah makna

yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau

kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang

ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang

menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau

kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32Sedangkan makna tekstual adalah

makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di

dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna

yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan

tersebut dipakai.33Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang

30 Chris Barker,Culturalh. 75

31ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,

(Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118

32Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124

(40)

27 berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya

kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan

oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu,

mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah

teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian

kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah

makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya

masyarakat pemakai bahasa itu.34

Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses

pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan

tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi,

konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana

komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa

adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya

berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna

konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna

denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup

dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi.

Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali

berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35

Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya.

Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan

de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar

34SugengHariyanto, Translation,

(41)

28 sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada

tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah

makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem.

Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata

babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk

dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh

seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.

Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari

sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang

ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari

orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata

babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat

Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar

kata itu.36

Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah

dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus

leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus

bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau

makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus.

Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah

atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau

ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata

lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan

36ZaenalArifin,

(42)

29 oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37 Misalnya,

kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat

yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal

ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia

amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna

konotatif, yakni berilah ia uang.38Sehubungan dengan contoh di atas konotasi

terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul

pada sebuah kata.

Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi,

antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah

tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan

deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri

sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain,

kadang-kadang masih berdekatan dan kadang-kadang-kadang-kadang perkembangan makna itu sudah

menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh

masyarakat pemakainya.39

Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan

tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut

mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah

gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna

terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh

37

SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163

38R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112

(43)

30 adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam

bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa.

Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan

berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau

leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain.

Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1)

Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama

terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata

lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41

Suatu bahasa menyerap kata dari

bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep,

barang, atau tempat.

Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih

mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab

perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni

faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang

meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan

kata.42

Fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak

sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya

terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena

berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi,

perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43

40J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145

41TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45

42Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta: PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67

(44)

31 Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk

berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan

ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau

cakupan.44

Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam

bahasa Arab jama’ah(ةعامج).Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut

bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani,

sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut

tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat.

Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu

jama’ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI,

kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara

arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan

kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat

digunakan oleh umat kristiani.

Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan

Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama

Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap

yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata

Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama

etimonya dan maknanya.

Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami

salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau

44U iKulsu , Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register

(45)

32 tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami

adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi

bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu

kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45

Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama,

kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda.

Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk

makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis

seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak

berubah.46 berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim

berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47

dengan kata lain

sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna

antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48 Misalnya,

antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.

45U iKulsu ,

Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306

46

Ibid, h. 307

47

J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36

48

(46)

33 Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa

Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna

atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana

menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling

menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat

bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat

bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49 Kata-kata

tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan

perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia

i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang

ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia

Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia.

Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata

manusia, seperti pada;

iii. Tuan Imam orang asing

iv. Tuan Imam manusia asing

Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan

perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari

manusia asing.50

Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat

dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama,

misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama,

misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang

49

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72

50

(47)

34 dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar

pembangunan masjid berjalan terus”51

Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu

perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol

adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan

kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami

Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52 Begitupun sebaliknya kelompok

Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat

mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua

pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat

suci Alquran.53Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang

fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.

51

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223

52

Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39

53

Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab,

Referensi

Dokumen terkait

Pergeseran makna ini terjadi dikarenakan perubahan wilayah makna (Ullmann, 1983:228). Salah satu bahasa yang berkontak dengan bahasa Indonesia adalah bahasa Arab. Pergeseran makna

Skripsi berjudul KATA SERAPAN; PERBANDINGAN PERUBAHAN MAKNA KATA SERAPAN DARI BAHASA ARAB PADA AL-QUR’AN TERJEMAH BAHASA INDONESIA DAN BAHASA SUNDA (Surah At-Taubah Ayat 1-50)

Atas dasar itu dan teori tentang hubungan makna dalam kata maka perlu dikaji sebuah penelitian dengan judul: Medan Makna ―Ketaatan‖ Dalam Bahasa Arab Kajian Atas Al-Qur‘an,

Jika ditinjau lebih jauh, Hizbut Tahrir Indonesia merupakan organisasi keagamaan yang berubah menjadi organisasi politik, dimana tujuannya adalah menjadikan

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini berusaha mengkaji secara mendalam tentang Analisis Yuridis Terhadap Konsep Poligami Hizbut Tahrir Indonesia (Kajian

Mencermati apa yang telah dilakukan Hizbut Tahrir dalam proses pembentukan dan mengokohkan keberadaannya sebagai gerakan Islam Ideologis maka dapat diperoleh suatu gambaran

Tim HizbutTahrir, 2009, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam, Jakarta: HTI Press. Tim HizbutTahrir, 2007,Mengenal

Jadi, kata manfaat yang diserap dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tidak mengalami perubahan makna, namun kata tersebut mengalami perubahan penyesuaian