• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Jalanan: Siapakah Mereka? enjelasan siapa anak jalanan itu, tidak didasarkan pada

Dalam dokumen Dehumanisasi Anak Marginal Dehumanisasi (Halaman 119-124)

pendapat para pakar berbagai organisasi dan departemen

D

Nusa Putra, Yayasan Nanda Dian Nusantara,YNDN

112

yang sampai saat ini belum memiliki kesamaan pendapat dan definisi tentang anak jalanan itu. Penjelasan akan diuraikan berdasarkan pengalaman lapangan mengurusi anak jalanan di lokasi-lokasi yang pernah ditangani, seperti di Grogol dan Tanjung Priok, serta yang masih dikelola di (1) Pasar Induk Kramat Jati, (2) Pasar Kebayoran Lama, (3) Pasar Burung Rawa Bunga, (4) Pasar Ikan Muara Angke, (5) Pasar Ikan Kota, (6) Pemukiman Kumuh Pasar Mangga Dua dan (7) Perkampungan Nelayan Kenjeran Surabaya, serta daerah-daerah yang akan digarap yaitu (1) Pasar Ular Rawasari Jakarta, (2) Pasar Turi, (3) Pasar Wonokromo dan (4) Kompleks Dolly di Surabaya.

Secara umum beberapa ciri anak jalanan itu adalah:

1. berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3 - 24 jam sehari

2. berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit se-kali yang tamat SD)

3. berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan ka-um urban, beberapa di antaranya tidak jelas keluarganya) 4. melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada

sek-tor informal1)

Adanya ciri umum yang dikedepankan di atas tidak berarti bahwa fenomena anak jalanan merupakan fenomena yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka menunjukkan adanya keberagaman. Keberagaman itu antara lain disebabkan oleh latar belakang ke-luarga, lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan, pergaulan dan pola pengasuhan. Tidak mengherankan terdapat keberagaman dalam pola tingkah laku, kebiasaan dan tampilan anak-anak jalanan itu.

Anak-anak jalanan yang tinggal bersama orang tua, masih sekolah dan berada di jalanan sekedar mencari tambahan bagi

1

Tentu tidak termasuk dalam kategori ini para ABG Anak Baru Gede yang 'nongkrong' di pusat-pusat pertokoan atau yang kini dikenal dengan Remaja Mall. Mereka lebih tepat disebut anak jalan-jalan.

Potret Buram Anak Jalanan

113 nafkah keluarga, biasanya masih memiliki banyak persamaan dengan anak-anak lain. Hanya saja ada di antara mereka yang berperilaku agak bebas, liar, dan berani. Ada pula anak jalanan yang tinggal bersama orang tua, tidak lagi bersekolah atau tidak bersekolah sama sekali, lebih lama berada di jalanan dan memiliki beban yang lebih berat untuk menafkahi diri dan keluarganya. Anak-anak seperti ini biasanya memiliki teman sebaya untuk berkumpul dan berbagi. Pada umumnya kelompok teman sebaya dapat menjadi pesaing orang tua dalam hal pengaruh. Anak-anak jenis ini sikapnya sudah banyak berbeda dengan anak-anak lain yang bukan anak jalanan. Terdapat pula anak jalanan yang tinggal bersama orang tua dan menjadi tulang-punggung keluarga dalam mencari nafkah. Mereka biasanya bekerja lebih keras karena keluarganya secara ekonomis sangat tergantung pada penghasilan mereka. Anak-anak seperti ini pada umumnya sering konflik dengan orang tuanya.

Ada juga anak anak jalanan yang tinggal bersama-sama teman sebaya dan orang yang lebih tua, sementara orang tuanya di kampung. Kelompok-kelompok itu ada yang memiliki „bos‟ yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti loper koran atau pengasong rokok, ada pula yang memiliki „bos‟ berdasarkan kebersamaan tempat tinggal dan masing-masing bekerja pada bidang yang berbeda. Juga ada yang terpaksa memiliki „bos‟ dan menyetor sejumlah upeti untuk kelangsungan pekerjaan atau jaminan keamanan. Di antara anak-anak itu ada yang masih rajin pulang ke kampung menjenguk orang tua dan menyerahkan sebagian jerih payahnya, ada yang sesekali saja pulang kampung, setahun sekali di waktu lebaran, bahkan ada yang sama sekali telah hampir putus hubungannya dengan keluarga di kampung.

Anak-anak dari jenis ini biasanya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh kelompok. Hidup dan perilaku mereka relatif sangat bebas, praktek seks bebas, sodomi, dan kebiasaan menenggak minuman keras tumbuh berkembang dengan sangat cepat dalam kelompok ini. Biasanya mereka juga suka berpindah-pindah tempat tinggal. Ada yang ikatan

Nusa Putra, Yayasan Nanda Dian Nusantara,YNDN

114

kelompoknya sangat kuat, baik karena kesamaan daerah asal, jenis pekerjaan maupun karena telah hidup bersama dalam jangka waktu lama.

Terdapat juga anak jalanan yang masih memiliki orang tua, tetapi memberontak dan sepenuhnya melepas diri dari orang tua. Kebanyakan mereka yang tinggal sekota dengan orang tuanya memilih tempat tinggal yang jauh dari orang tuanya. Pemberontakan itu ada yang dilakukan sendirian, juga ada yang melakukannya bersama-sama dengan saudaranya yang lain. Ada yang tetap menjaga hubungan baik dengan adik atau kakaknya, tetapi ada pula yang sama sekali tidak menjalin hubungan dengan seluruh anggota keluarganya. Anak-anak yang memberontak ini pada umumya anak-anak yang sangat berani mengambil rIsiko dan tidak terlalu tergantung pada orang lain.

Keadaan yang paling ekstrem adalah anak jalanan yang tidak jelas siapa orang tuanya dan di mana keluarganya. Anak-anak ini sejak bayi sudah dipersewakan atau diperjualbelikan untuk pelengkap meminta sedekah. Pada umur tertentu oleh orang tua yang „kesekian‟ mereka dilepas begitu saja dan sepenuhnya menjadi anak jalanan. Dibanding yang lain, anak-anak jenis ini memang tampak lain sama sekali, tingkat kebebasan, keliaran, dan pelanggaran norma paling tinggi ada pada kalangan ini. Apapun latar belakang keluarga anak-anak jalanan adalah karena terpaksa melakukan pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluar-ganya. Oleh karena pada umumnya pendidikan dan ketrampilan mereka rendah, maka pilihan pekerjaan yang paling mudah adalah pekerjaan dalam sektor informal. Sedangkan dalam sektor ini dibutuhkan waktu kerja yang panjang untuk mendapatkan penghasilan yang memadai. Itu yang menyebabkan keberadaan mereka dalam jangka waktu yang sangat panjang di jalanan menjadi tak terelakkan. Sebagai akibatnya dalam jangka panjang akan muncul masalah-masalah sosial yang akut. Akibat-akibat tersebut adalah pertama, banyak anak yang terpaksa meninggal-kan sekolah atau tidak sekolah sama sekali. Keadaan ini diper-parah oleh sikap orang tua yang

Potret Buram Anak Jalanan

115 lebih cenderung mendorong anaknya bekerja dan menghasilkan uang, daripada bersekolah yang dirasa hanya menghabiskan uang dan tidak menjanjikan apa-apa. Ini yang mengakibatkan terbentuknya pola hubungan yang eksploitatif antara orang tua dan anak. Dalam perjalanan waktu, pola ini akan membawa akibat-akibat yang destruktif bagi anak-anak. Munculnya pola eksploitatif di rumah dengan keharusan-keharusan menghasilkan jumlah uang tertentu yang dibawa pulang, memaksa anak-anak itu harus bekerja keras dan menghabiskan waktu di jalanan. Melewati waktu yang panjang, anak-anak itu cenderung lebih lama dan lebih betah di jalanan daripada di tempat tinggalnya. Kondisi tempat tinggal yang tidak layak makin memperkuat pilihan ini.

Kedua, perlahan secara bertahap anak-anak ini mengalami per-ubahan perilaku ke arah pelecehan dan pelanggaran norma dan hukum. Mereka mulai liar, cuek, seenaknya, tidak mau peduli pada orang lain, melakukan pelanggaran hukum dan norma, sehingga akhirnya membangun norma dan hukum ala mereka. Perubahan perilaku ini tampak dari ucapan-ucapan dan tindakan, kata-kata kotor, makian yang berkaitan dengan binatang, perkelaminan, perilaku senggama menjadi bahasa sehari-hari mereka, bahkan kata-kata ancaman menjadi kosakata utama. Sementara itu ada yang mulai melakukan pencurian kecil-kecilan, ikut mengedarkan dan menggunakan minuman keras dan obat terlarang. Ada yang melakukan hubungan kelamin secara bebas dan perilaku asusila lainnya.

Ketiga, terbentuknya komunitas-komunitas anak jalanan yang merupakan peer group berfungsi sebagai keluarga kedua yang dimanfaatkan oleh anak-anak itu sendiri atau oleh orang lain untuk tujuan-tujuan kriminal dan asusila. Jika pada mulanya perubahan perilaku terjadi begitu saja dalam jalinan interaksi antara individu dengan individu, dan individu dengan kelompok, maka lama kelamaan terrbentuk pola-pola tertentu yang secara sistematis dikelola dalam komunitas-komunitas anak jalanan. Ada komunitas yang mengadakan semacam 'arisan teler', pada mulanya para pendatang baru diberi minuman gratis sampai pada waktu tertentu, ketika mulai

Nusa Putra, Yayasan Nanda Dian Nusantara,YNDN

116

ketagihan ia harus ikut serta memberikan sumbangan dalam arisan itu. Biasanya arisan itu diteruskan dengan bersama-sama mencuri kaca spion mobil dan kegiatan kriminal lainnya yang mendatangkan uang.

Di beberapa tempat ada pola-pola transaksi seks. Awal pemun-culannya sangat beragam, ada yang dimulai oleh penyerahan gadis belia belum pernah menstruasi oleh orang tua si anak kepada preman sebagai ganti membayar upeti yang harus dibayar tiap hari. Si preman akan 'memakai' gadis itu sampai ia merasa harus mencari yang baru, kemudian si wanita mulai menjajakan cinta kepada orang lain. Ada pula yang dengan sengaja memilih profesi itu. Pada mulanya transaksi terbatas dalam komunitas sendiri, tetapi biasanya terus berkembang melintasi batas-batas komunitas. Di lokasi-lokasi tertentu para wanita itu bahkan menemukan ramuan sendiri untuk mengasamkan rahim agar tidak hamil.

Keempat, perluasan wilayah konflik. Keberadaan anak-anak di jalanan, di tempat-tempat yang ramai dan menjadi pekerja sektor informal bukan saja belum dilindungi hukum, tetapi bahkan dianggap melanggar hukum, sehingga anak-anak tersebut meng-alami beragam konflik dengan banyak pihak. Baik pihak resmi seperti polisi, kamtib dan satpam maupun pihak-pihak tidak resmi seperti para jegger. Konflik-konflik ini menambah runyam nasib anak-anak itu.

Dalam dokumen Dehumanisasi Anak Marginal Dehumanisasi (Halaman 119-124)