• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Responden 1. Sosio demografi

5.2.1. Analisa Bivariat

5.2.1.1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Pendidikan merupakan variabel yang mempunyai peran cukup penting

terhadap seseorang terutama dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Unsur ini sangat penting dan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan dimana tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat menambah atau meningkatkan wawasan pengetahuannya terutama tentang kesehatan reproduksi.

Pendidikan yang dimiliki wanita dikaitkan dengan aspek pengetahuannya tentang siklus masa reproduksinya selama kurun waktu kehidupan.

Hasil uji statistic dengan Chi Square antara tingkat pendidikan responden dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan diperoleh p = 0,00, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Pendidikan yang dimiliki seorang wanita diharapkan dapat menambah pengetahuannya terutama yang berhubungan dengan upaya pencegahan penyakit dan akses ke pelayanan kesehatan untuk mengenali dan mengobati keluhan yang dialami dan dengan pengetahuan yang dimilikinya diharapkan dapat mengubah perilaku dan menyadari bahwa seorang wanita mempunyai suatu siklus kehidupan yang akan dialaminya yaitu masa peralihan dari masa reproduktif ke masa nonreproduktif , dimana pada masa ini wanita akan mengalami berbagai keluhan klimakterik yang dapat mengganggu fisik dan psikologisnya.

Kondisi ini akan dialami semua wanita, diharapkan wanita dapat mengenali siklus ini sehingga perubahan yang terjadi dapat dilalui dengan baik tanpa gangguan berarti. Wanita harus dapat mengenali dirinya sendiri termasuk siklus kehidupan yang harus dilaluinya diantaranya adalah siklus kehidupan di masa perimenopause yang banyak membawa beragam masalah yang dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita di masa usia lanjut.

Notoadmodjo (1982), mengemukakan bahwa mereka yang mempunyai

kesehatan. Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran terhadap pentingnya arti kesehatan sehingga mendorong permintaan terhadap pelayanan kesehatan.

Wanita yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan lebih memperhatikan masalah kesehatannya termasuk masalah kesehatan reproduksi pada masa klimakterium. Pada penelitian ini, ibu yang berpendidikan tinggi ada sebesar 140 (66,7%) dan sebanyak 50 % orang yang mempunyai pendidikan tinggi pergi ke pelayanan kesehatan dalam mengatasi keluhan klimakterik yang dialaminya.

Berbeda dengan wanita yang mempunyai pendidikan dengan kategori rendah, hanya 16 orang (22,9 %) saja yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.Wanita cenderung mengabaikan keluhan ini dan bahkan berusaha mengatasinya sendiri karena menganggap tidak mengganggu dan keluhan tersebut hilang timbul sehingga menganggap tidak perlu ke pelayanan kesehatan.

Ibu yang berpendidikan tinggi cenderung lebih banyak mendapatkan berbagai sumber informasi dan karenanya menjadi lebih kritis dibandingkan

mereka yang tidak atau kurang mendapatkan informasi.  Diperlukan suatu

intervensi berupa pemberian pendidikan kesehatan pada wanita pada periode klimakterium. Hal ini bertujuan, agar kehidupan usia senja dapat berlangsung dalam kepuasan dan kebahagiaan, maka setiap wanita perlu mengadakan persiapan untuk menghadapinya. Salah satu persiapan yang penting adalah mengetahui organ tubuh wanita itu sendiri dan fungsinya, serta mengenal bagaimanakah sebenarnya kejadian masa klimakterik itu.

Dapat disimpulkan bahwa tanggapan masing-masing wanita berbeda satu sama lain dalam menanggapi keluhan-keluhan klimakterik yang dialaminya. Wanita yang mempunyai pendidikan tinggi menganggap bahwa keluhan klimakterik yang dialaminya memerlukan perhatian dari pelayanan kesehatan. Wanita dengan pendidikan rendah menganggap keluhan tersebut adalah suatu hal yang biasa-biasa saja sehingga tidak perlu ke pelayanan kesehatan.

5.2.1.2. Hubungan Pekerjaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Hasil analisis dengan uji Chi Square antara jenis pekerjaan responden dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan diperoleh nilai p = 0,000, hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara status pekerjaan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Wanita yang bekerja akan mempunyai akses yang lebih baik ke fasilitas kesehatan bila dibandingkan dengan yang tidak bekerja, hal ini dapat terjadi bila ditinjau dari sudut pendapatan, seorang yang bekerja akan memiliki pendapatan dan bahkan asuransi kesehatan yang memudahkannya untuk mendapatkan fasilitas kesehatan.Wanita yang bekerja akan mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengurus dirinya sendiri karena mempunyai uang untuk merawat dirinya, termasuk akan tetap menjaga kesehatannya mengingat tanggung jawab moralnya terhadap pekerjaannya dan adanya perasaan takut dipecat dari pekerjaannya.

Keadaan ini sudah menunjukkan bahwa status dan peranan wanita sudah mendapat tempat yang berarti, adanya pemberdayaan pada wanita dapat meningkatkan pengembangan kesadaran wanita terutama dalam hal menghadapi

masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi oleh pria yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Oleh sebab itu wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.

5.2.1.3.Hubungan Keluhan Klimakterium dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian terhadap responden dengan keluhan klimakterik yang dialami didapatkan bahwa sebanyak 86 orang (44,3 %) yang merasakan keluhan klimakterik dan pergi ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan bantuan di dalam mengatasi keluhan tersebut sementara sebanyak 108 orang mengalami keluhan klimakterik tetapi digolongkan pada tidak merasakan keluhan karena tidak memerlukan pelayanan kesehatan untuk menanggulanginya.

Hasil uji statistic dengan Chi Square diperoleh hasil (p = 0,00), artinya keluhan klimakterik yang dialami berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut Foster dan Andersen (1996) bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh persepsi individu tentang sakit, dengan mempersepsikan dirinya sakit seseorang akan pergi mencari pengobatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan dari 86 orang yang mencari pelayanan berdasarkan keluhan yang dialaminya yaitu adanya gangguan pada lambung (100%), rasa sakit pada pinggang (100%), jantung berdebar-debar (16,5 %), linu/ngilu pada sendi (14,3 %), gerah (hot flushes) ada sebesar 13,5 %.

Data di atas menunjukkan bahwa responden yang mengalami keluhan klimakterik yang dianggap lebih serius dan mengganggu yang pergi ke pelayanan kesehatan sementara keluhan-keluhan yang masih dianggap ringan mendapatkan tempat yang rendah pada pelayanan kesehatan dan keluhan yang berhubungan dengan system reproduksi dan urogenital bahkan tidak mendapat perhatian yang serius sehingga tidak pergi ke pelayanan kesehatan.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang digunakan, terbanyak adalah praktek bidan sebesar 30,2 %, Puskesmas 27,9 % dan praktek dokter spesialis obstetri dan ginekologi hanya 3,5 % saja. Pelayanan yang didapatkan masih pelayanan umum yang bersifat simtomatis yaitu hanya penanganan atau pengobatan dalam mengatasi keluhan saja, dari hasil penelitian yang didapat belum ada suatu pelayanan khusus yang menangani ibu dengan keluhan klimakterik. Unit pelayanan yang dikunjungi juga tidak menyediakan pelayanan khusus untuk masalah tersebut seperti konseling atau informasi tentang kesehatan reproduksi yang didapat ibu tentang apa yang menjadi penyebab keluhan yang dialami ibu.

Sangat diperlukan suatu intervensi berupa penjelasan tentang gejala-gejala klimakterium yang akan dialami oleh responden agar dapat melakukan upaya pencegahan terhadap gejala yang akan dihadapinya dan penyakit yang berpotensi menyerangnya ketika usia menopause telah terlewati. Dari penelitian yang dilakukan, responden yang datang ke pelayanan kesehatan bukan karena mengetahui bahwa keluhan yang dialaminya adalah keluhan akibat klimakterium

tetapi menganggap keluhan yang dialaminya adalah penyakit umum yang juga dirasakan atau dialami oleh kelompok umur yang lain.

Mengingat usia harapan hidup wanita Indonesia yang semakin tinggi, telah mencapai lebih dari 70 tahun sementara penurunan kadar estrogen dalam tubuh telah dimulai sejak usia 35 tahun. Kadar estrogen akan menetap setelah menopause sekitar 5 pg/ml sehingga wanita Indonesia sangat berisiko untuk terkena efek jangka panjang akibat kekurangan estrogen seperti angka kejadian patah tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia dan kanker usus besar yang semakin meningkat (Said, 2004).

Saat ini Indonesia dihadapkan pada beban ganda penyakit, pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti TB, ISPA, malaria, diare, dan penyakit kulit. Pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi

dan menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).

Dengan terjadinya beban ganda yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, serta perubahan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia produktif dan usia lanjut, akan mempengaruhi jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di masa datang.

Perhatian terhadap wanita menjelang menopause ini sudah saatnya mendapatkan perhatian yang berarti dari pemerintah, salah satunya dibutuhkan suatu peningkatan pengetahuan dan keterampilan para dokter umum dan spesialis

tentang bagaimana menangani wanita menopause. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pendidikan menopause dasar, menengah dan lanjutan secara berkala dan mengadakan pembahasan perkembangan terbaru dalam menangani kasus-kasus menopause dari segala aspek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Diperlukan suatu kebijakan kesehatan untuk mensosialisasikan masa klimakterium sebagai masa dalam siklus kehidupan wanita. Pada masa ini wanita akan mengalami berbagai keluhan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya dan dibutuhkan suatu kebijakan kesehatan dalam membuka klinik untuk konseling dan penanganan menopause di kota Pematangsiantar, sehingga dapat diharapkan wanita-wanita lansia yang ada di kota Pematangsiantar tetap sehat di masa tuanya. Dengan demikian fasilitas pelayanan yang dikunjungi pun sesuai dengan keadaan yang dialami.

5.2.1.4. Hubungan tingkat pengetahuan tentang masa klimakterium dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan

Hasil penelitian yang diperoleh tentang hubungan tingkat pengetahuan responden tentang masa klimakterium dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, dengan uji Exact Fisher diperoleh hasil (p = 0,00), artinya bahwa ada hubungan yang bermakna diantara kedua variable tersebut.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu, pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior)

Fasilitas pelayanan kesehatan akan dicari oleh masyarakat ketika dia merasakan ada suatu kebutuhan yang ingin dipenuhinya dimana secara umum kondisi kesehatannya terganggu dan hal ini menjadi factor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan. Pendapat Hanafiah (1999) yang mengutarakan berbagai hasil penelitian terdahulu bahwa pengetahuan ibu tentang gejala-gejala klimakterium sangat rendah serta berbedanya keluhan sindrom klimakterik yang dialami tiap-tiap wanita.

Wanita tidak mengenali gejala-gejala yang ditimbulkan sehubungan dengan masa perimenopause, gejala yang terjadi dianggap suatu masalah yang biasa karena kadang-kadang gejala hilang timbul sehingga merasa tidak perlu bantuan pelayanan kesehatan. Akan tetapi walaupun wanita mempunyai pengetahuan yang kurang tentang masa klimakterium, jika gejala-gejala klimakterium yang dirasakannnya benar-benar telah mengganggu fisiknya maka dia akan membutuhkan pertolongan pelayan kesehatan untuk mengatasi gejala yang dialaminya.

Pendapat Hutapea (2004), menyatakan bahwa masalah yang timbul pada masa menopause masih belum merupakan keluhan yang berarti di kalangan wanita pasca usia subur di Indonesia, terbukti dari pengalaman klinik menopause dan dari berbagai sumber di Indonesia yang menunjukkan bahwa masalah menopause masih belum popular. Hal ini diduga terjadi oleh karena situasi sosial dan kebudayaan masyarakat yang memperlakukan orangtua sebagai orang yang harus dihormati sehingga walaupun gangguan-gangguan fisik yang ringan atau

sedang itu timbul akan terkalahkan oleh perasaan aman, dihargai dan perasaan masih berfungsi.

Pengetahuan yang dimiliki terutama pengetahuan tentang kesehatan akan mampu mengubah perilaku kearah hidup sehat, dimana hal tersebut sangat diperlukan demi menunjang kualitas hidupnya dimasa tua atau lanjut usia sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain.

Upaya sosialisasi berupa pendidikan kesehatan tentang masa klimakterium didapatkan wanita dengan melakukan penginderaan terhadap objek tersebut. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Pengetahuan wanita tentang masa perimenopause sangat perlu disosialisasikan mengingat usia pada masa perimenopause masih digolongkan usia produktif bila ditinjau dari segi produktivitas kerja, wanita akan kehilangan hari-hari produktifnya bila mengabaikan keluhan-keluhan klimakterik yang dialaminya. Hari-hari kerja akan hilang bila gejala timbul atau ibu tetap bekerja tetapi tidak maksimal, hal ini akan menyebabkan kerugian pada produksi kerja yang turut juga merugikan perusahaan atau instansi lain dimana wanita tersebut bekerja.

Selain hal tersebut di atas, mengabaikan gejala-gejala awal masa perimenopause akan menutup pengetahuan wanita tentang apa yaang sedang dialaminya dan apa penyebabnya. Perlu difikirkan dampak jangka panjang oleh karena kekurangan estrogen dalam waktu yang lama yang akan berakibat pada penyakit-penyakit yang lebih berat seperti osteoporosis, penyakit jantung koroner dan penyakit lain yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas wanita atau wanita akan hidup dengan cacat oleh karena masalah osteoporosis yang pada saat ini prevalensinya tinggi. Hal ini akan menimbulkan masalah baru karena wanita tersebut akan menjadi beban di dalam keluarga atau beban di dalam masyarakat.

Aspek pengetahuan tentang masa klimakterium ini sangat penting sekali diinformasikan bagi wanita sehubungan dengan adanya berbagai keluhan yang dapat mengganggu fisik dan psikologisnya. Ditambah lagi, responden yang dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan untuk menilai pengetahuannya tentang masa klimakterium masih sangat rendah. Diharapkan dengan intervensi memberikan penyuluhan tentang masa klimakterium, wanita di Kota Pematangsiantar dapat memahami dan mengenali organ reproduksinya dan apa yang akan terjadi pada organ tersebut ketika usia wanita sudah memasuki usia menjelang menopause.

5.2.1.5. Hubungan Status Menopause dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan.

 

Hasil penelitian yang diperoleh tentang hubungan status menopause dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, dengan uji Chi Square diperoleh hasil

(p = 0,120) artinya tidak ada hubungan antara status menopause dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Keluhan klimakterik akan terjadi sebelum dan sesudah menopause dan dengan semakin meningkatnya usia, keluhan-keluhan jangka pendek pada sindrom klimakterium akan semakin berkurang dan bahkan 3-4 tahun setelah menopause gejala tersebut akan hilang (Baziad, 2003).

Penyakit baru akan timbul sehubungan dengan faktor risiko menopause karena wanita hidup dengan kadar estrogen yang sangat kurang di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama di mana usia harapan hidup yang semakin tinggi dengan demikian wanita akan dihadapkan pada kejadian keropos tulang yang pada saat ini insidensnya cukup tinggi pada wanita yang telah menopause (Rachman et al. 2004).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 132 orang (91 %) yang belum menopause mengalami keluhan klimakterik dan 62 orang (95,4 %) yang telah menopause mengalami keluhan dan diantara responden yang belum menopause yang pergi ke pelayanan kesehatan hanya 55 orang (37,9%) saja dari 132 orang yang mengalami keluhan klimakterik.

Hasil penelitian juga menunjukkan tentang berbagai alasan responden yang tidak pergi ke pelayanan kesehatan walaupun mengalami keluhan klimakterik bahwa sebanyak 46,3 % dari responden yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan mempunyai alasan dapat mengatasi sendiri keluhannya.

Keadaan ini menunjukkan bahwa keluhan yang dialami sebelum menopause belum merupakan keluhan yang berat dan mengganggu bahkan tidak mengetahui bahwa keluhan yang dialami tersebut adalah keluhan klimakterik. Sehingga akses responden terhadap pelayanan kesehatan masih rendah dan bahkan hasil uji menyatakan tidak ada hubungan antara status menopause dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penulis berasumsi respoden masih merasa kuat walaupun gangguan datang dan merasa dapat mengatasinya sendiri tanpa bantuan dari pelayanan kesehatan.

Melihat keadaan ini sangat diperlukan suatu intervensi untuk memberikan penyuluhan yang intensive tentang kesehatan reproduksi wanita menjelang menopause dengan penyebaran informasi melalui kegiatan PKK, Perwiritan, Posyandu Lansia ataupun kegiatan-kegiatan lain yang ada di Kelurahan. Intervensi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan wanita tentang keluhan yang dialaminya pada masa sebelum menopause dan sesudah menopause sehingga wanita termotivasi untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk berkonsultasi.

5.2.1.6. Hubungan Status Perkawinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian yang diperoleh tentang hubungan status perkawinan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, dengan uji Exact Fisher diperoleh hasil (p = 0,318), artinya bahwa tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Wanita yang telah berkeluarga dan mempunyai pasangan hidup diasumsikan akan mendapatkan perhatian yang lebih dari pasangannya apalagi menyangkut tentang status kesehatan pasangannya, bila salah satu pasangannya berada dalam kondisi sakit maka pasangan yang lain akan segera menyarankan untuk pergi berobat bila dibandingkan dengan wanita yang belum atau tidak mempunyai pasangan.

Hal ini mungkin dapat terjadi oleh karena wanita saat ini sudah menyadari pentingnya kesehatan dan kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang tetap harus dipenuhi ditambah lagi karena mayoritas responden yang mengalami keluhan adalah wanita pekerja (adanya beban moral sehubungan dengan tanggung jawab terhadap pekerjaannya), hal ini akan memungkinkan responden segera akses ke pelayanan kesehatan tanpa harus disarankan lebih dulu oleh suami atau keluarganya.

Dapat disimpulkan, sudah ada peningkatan kesadaran wanita dan pengetahuan tentang hal-hal pokok yang berhubungan dengan kesehatannya sehingga wanita ikut aktif berperan dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan dalam arti kata wanita menghargai kemampuan diri sendiri, memberdayakan diri untuk mengembangkan potensi dan motivasi sehingga menjadi manusia yang mandiri dan mempunyai pilihan sendiri.

5.2.2. Analisa Multivariat

Hubungan karakteristik responden yang meliputi status menopause, umur, pendidikann, pekerjaan , keluhan klimakterium dan tingkat pengetahuan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan uji statistic regresi logistic ganda diperoleh hasil bahwa pekerjaan dan tingkat pengetahuan adalah variabel yang lebih berpengaruh dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan , dengan nilai (p = 0,012) dan (p = 0,000), dan yang lebih dominan mempengaruhi dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah tingkat pengetahuan.

Tingkat pengetahuan yang dimiliki merupakan faktor yang lebih berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal maka ia lebih cenderung akan mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan masalah yang dihadapinya dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang.

Dari hasil penelitian yang diperoleh tentang aspek pengetahuan tentang masa klimakterium yang meliputi pengetahuan tentang pengertian, penyebab, gejala-gejala dan penanggulangan pada keluhan klimakterium. Hasil yang diperoleh dari 13 butir pertanyaan, hanya 27 orang (12,8 %) saja yang dapat menjawab pertanyaan dengan tepat dan ditemukan sebanyak 108 orang yang mempunyai keluhan klimakterik tetapi tidak membutuhkan pelayanan kesehatan (tabel 4.12) dan adapun alasan tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan ada sebanyak 50 orang (46,3 %) dan menyatakan dapat mengatasi sendiri.

Pelayanan kesehatan yang dikunjungi responden dengan keluhan klimakterium, yang pergi ke Dokter spesialis Obstetrik dan Ginekologi hanya 3 orang (3,5%). Hal ini menunjukkan belum diketahuinya tempat pelayanan yang tepat untuk mengatasi keluhannya dan hal ini terjadi oleh karena masih kurangnya

pengetahuan tentang masa klimakterik dengan berbagai masalah dan dampak yang akan terjadi setelah menopause.

Hasil perhitungan peluang pada tabel 4.17 dapat disimpulkan responden yang berpengetahuan baik dan bekerja mempunyai peluang sebesar 93,4 %, yang berpengetahuan baik dan tidak bekerja mempunyai peluang sebesar 85,5 % dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Responden yang berpengetahuan sedang dan bekerja mempunyai peluang sebesar 74,6 %, yang berpengetahuan sedang dan tidak bekerja mempunyai peluang 55 % dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Responden yang berpengetahuan kurang dan bekerja mempunyai peluang sebesar 37,9%, yang berpengetahuan kurang dan tidak bekerja mempunyai peluang 20,3% dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Dengan mempertimbangkan faktor tersebut di atas maka salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan yang intensive kepada kelompok wanita pra lansia dan keluarganya terutama yang berkaitan dengan siklus hidup seorang wanita, organ reproduksi wanita, keluhan-keluhan yang akan dihadapi menjelang menopause dan dampak yang akan terjadi setelah menopause.

Hasil penelitian tentang jenis pelayanan yang di dapat sehubungan dengan keluhan klimakterik yang dialami (tabel 4.8), semua pelayanan kesehatan yang didapat oleh responden adalah jenis pelayanan umum yang belum ada hubungannya dengan keluhan yang dialami (pelayanan yang didapat masih pelayanan yang bersifat umum saja). Hal ini menunjukkan bahwa saat ini masalah

klimakterium belum mendapatkan perhatian yang berarti, hal ini juga dapat dilihat, bahwa tidak satupun dari fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Kota Pematangsiantar yang mempunyai unit pelayanan khusus menopause dimana pelayanan kesehatan di kota Pematangsiantar mempunyai 8 (delapan) Rumah Sakit dan 17 Puskesmas.

Melihat belum adanya perhatian terhadap masalah kesehatan reproduksi wanita pada kelompok usia ini, sementara terdapat kecenderungan peningkatan jumlah wanita yang mengalami menopause setiap tahunnya. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup serta produktivitas wanita pascamenopause. Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan sehubungan dengan keluhan klimakterik yang dialami menyebabkan perlunya suatu kebijakan dalam pengadaan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi wanita Pramenopause, Perimenopause, Menopause dan Pasca Menopause di pelayanan kesehatan Kota Pematangsiantar.

BAB 6

Dokumen terkait