• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fase Perimenopause

2.1.3. Sindrom Klimakterium

Turunnya fungsi ovarium mengakibatkan estrogen dan progesterone sangat berkurang di dalam tubuh wanita. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan vasomotorik berupa hot flushes, vertigo dan keringat banyak. Keluhan konstitusional berupa jantung berdebar-debar, migraine, nyeri otot, nyeri pinggang dan mudah tersinggung dan keluhan psikiastenik dan neurotic dapat berupa merasa tertekan, lelah psikis, lelah somatic, susah tidur, merasa ketakutan, konflik keluarga, gangguan di tempat kerja.

Keluhan urogenital adalah sakit waktu bersetubuh, gangguan haid, keputihan, gatal pada vagina, susah kencing, libido menurun, keropos tulang (osteoporosis), gangguan sirkulasi (Myocard Infarct), kenaikan kolesterol, adepositas (kegemukan dan gangguan metabolisme karbohidrat) dapat juga terjadi (Greandale, 1999).

Menurut Azhar (2004) yang mengutip pernyataan Reitz (1993) mengutarakan bahwa tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh wanita yang

memasuki masa menopause tidaklah sama. Sekitar 16 % dari wanita sama sekali tidak mengalami keluhan berarti dan 10 % yang memasuki masa ini dengan keluhan yang serius.

Lebih dari 50 % wanita di Negara industri maju merasakan dan mengeluh tentang gejolak dan tanda yang timbul pada masa klimakterium. Gejala yang dirasakan lebih banyak berupa tanda-tanda vasomotor yang timbul sebagai akibat turunnya hormon seks, terutama estrogen. Selain gejala di atas ditemukan juga gejala psikologik (Lihat tabel 1).

Tabel 2.1. Gejala-gejala yang Bersifat Sementara pada Wanita Klimakterik Usia 45 – 54 Tahun

Gejala Vasomotor Gejala Psikologi

Semburan panas (hot flush)

Keringat banyak (terutama malam) Jantung berdebar (palpitasi)

Susah tidur (Insomnia)

Pelupa

Kurang percaya diri Lemas

Libido tidak ada Sulit konsentrasi

Sulit mengambilkeputusan Kurang bertenaga

Gampang tersinggung

Menurut Hanafiah (1999) yang mengutip pendapat ahli (Flint, 1975) bahwa keluhan pada masa klimakterium berkaitan erat dengan budaya dan gizi. Pada wanita Cina jarang dijumpai gejolak panas pada masa perimenopause, wanita Jepang menganggap menopause itu bukan peristiwa penting dan jarang mengeluh pada masa perimenopause.Wanita Indonesia agaknya kurang mengeluh pada masa perimenopause, mungkin karena para orangtua di Indonesia mendapat

tempat yang terhormat dalam keluarga. Begitu juga perbedaan yang terdapat diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Keluhan mereka yang tinggal di daerah pedesaan kurang dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan.

Berat ringannya keluhan-keluhan yang dialami berbeda pada setiap wanita. Keluhan ini mencapai puncaknya sebelum dan sesudah menopause dan dengan meningkatnya usia keluhan-keluhan tersebut makin jarang ditemukan.

Berbagai keluhan yang dialami wanita berbeda satu dengan lainnya walaupaun peristiwa menopause merupakan suatu peristiwa fisiologis namun tidak semua wanita dapat beradaptasi dengan keadaan menopause tersebut. Keluhan dan gejala klinik tersebut kurang atau tidak dihiraukan oleh sebagian besar wanita Indonesia, mereka menganggap bahwa keadaan tersebut lumrah terjadi karena sudah tua sehingga tidak mencari pertolongan kepada dokter.

Hal ini diduga dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah karakteristik individu, berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa keluhan-keluhan yang dialami pada masa klimakterium berbeda pada tiap-tiap individu, karena dipengaruhi oleh sosial budaya wanita tersebut (Hanafiah, 1999).

Keluhan vasomotorik berupa semburan panas (Hot Flushes) dirasakan

mulai dari daerah dada dan menjalar ke leher dan kepala. Kulit di daerah tersebut terlihat kemerahan dan mengeluarkan keringat, meskipun terasa panas, suhu badan tetap normal. Keadaan ini akan diikuti dengan sakit kepala, perasaan kurang nyaman dan peningkatan frekuensi nadi. Lamanya semburan panas

berlangsung tiga menit dan dapat berfluktuasi antara beberapa detik sampai satu jam.

Keadaan ini terjadi oleh karena peningkatan pengeluaran hormone adrenalin dan neurotensin setelah ini terjadi penurunan sekresi hormone noradrenalin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah kulit, temperature kulit sedikit meningkat dan timbul perasaan panas . Sebagai akibat vasodilatasi dan keluarnya keringat terjadi pengeluaran panas tubuh sehingga kadang-kadang wanita merasa kedinginan (Baziad, 2003).

Hanafiah (1999), yang mengutip hasil penelitian Payer (1991) bahwa sebanyak 80 % wanita Eropa dan Australia mengalami gejolak panas pada masa perimenopause dan sekitar 20 % saja wanita Asia yang mengalami. Hal ini dapat dipengaruhi oleh factor budaya dalam menanggapi rasa semburan panas sebagai gangguan kecil saja dan yang lain merasakan sangat mengurangi kenyamanan hidupnya.

Adapun simtom-simtom psikologis adanya kecemasan bila ditinjau dari beberapa aspek, menurut Blackburn and Davidson (1990 ) yang dikutip oleh Baziad (2003) adalah seperti suasana hati yaitu keadaan yang menunjukkan ketidaktenangan psikis seperti mudah marah, perasaan sangat tegang. Keadaan pikiran yang tidak menentu seperti khwatir, sukar konsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, merasa tidak berdaya. Motivasi yaitu dorongan untuk mencapai sesuatu seperti menghindari situasi, ketergantungan yang tinggi, lari dari kenyataan, perilaku gelisah yaitu keadaan diri yang tidak terkendali

seperti gugup, kewaspadaan yang berlebihan sangat sensitif dan agitasi, reaksi-reaksi biologis yang tidak terkendali seperti berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering.

Keluhan psikis berupa mudah tersinggung, cepat marah dan merasa tertekan serta perubahan fungsi kognitif berhubung dengan penurunan produksi sekresi steroid. Steroid sex sangat berperan terhadap fungsi sensorik dan kognitif manusia (Baziad, 1999).

Gangguan haid sering terjadi pada klimakterium seperti oligomenorea atau amenorea yang selalu diikuti oleh perdarahan banyak (menorrhagia) akibat korpus luteum yang insuffisien atau oleh karena proses ovulasi yang tidak sempurna atau kegagalan ovulasi sehingga hormone progesterone sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari gambaran histopatologi endometrium yang hipertrofi dan atau hyperplasia. Dengan rendahnya kadar progesterone, estrogen tidak cukup diimbangi maka estrogen yang bebas itu akan memacu pertumbuhan endometrium secara berlebihan yang selanjutnya dapat berubah menjadi keganasan yang dikenal dengan karsinoma endometrium (Hutapea, 1998).

Selain gejala efek jangka pendek diatas, banyak gejala efek jangka panjang yang dapat dialami oleh wanita menopause diantaranya adalah osteoporosis dan perubahan-perubahan pada metabolisme lemak yang sering menjurus kepada penyakit kardiovaskular dan keadaan-keadaan ini dikategorikan pada keadaan yang sangat berbahaya karena tidak jarang mengakibatkan kematian. Keadaan ini

merupakan resiko yang paling berat dialami wanita menopause dengan defisiensi estrogen jangka panjang (Hutapea, 1998).

2.1.4. Terapi

Keluhan-keluhan yang dialami wanita pada masa klimakterik ini merupakan pengaruh negative estrogen yang hilang dari darah oleh karena itu untuk mengatasinya diberikan hormone pengganti untuk menggantikan hormone yang kurang kadarnya karena tidak diproduksi lagi dan pemberian hormone ini hanya bersifat sementara.

Terapi hormone pengganti ini harus benar-benar menjadi perhatian karena hidup selama puluhan tahun dengan kekurangan estrogen dengan berbagai kemungkinan gejala klinik yang mengganggu dan bahkan dapat merusak kualitas hidup wanita tersebut, pemberian terapi hormon pengganti (THP) ini diharapkan dapat membuat wanita di hari tuanya berkualitas, gairah dan penuh semangat (Hutapea, 1998).

Pemberian hormon estrogen sebagai terapi sulih hormone, untuk menggantikan hormone estrogen yang kurang telah diteliti dan menghilangkan keluhan defisiensi estrogen klinis dengan baik setelah 2-3 minggu pemberian dosis estrogen tinggi dan 4-5 minggu pemberian dosis estrogen rendah. Peningkatan densitas tulang pada pemberian estrogen progesterone alamiah ditambah dengan pemberian kalsium dan vitamin D akan meningkatkan 4,1– 5,5%, selain itu pemberian estrogen/progesterone alamiah memperbaiki metabolisme lemak yang meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar LDL

sampai 70 % serta menekan terjadinya fraktur tulang antara 40 – 60 % (Burger et al. 2002).

Kontrasepsi hormonal mengandung komponen estrogen dan progesterone yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pelepasan endometrium, mengentalkan lendir servik sehingga sulit dilalui oleh sperma serta mengontrol siklus haid (BKKBN, 2007) sehingga pemanfaatan kontrasepsi ini sering dipakai sebagai hormon pengganti ketika wanita mengalami penurunan kadar hormone di masa menopause.

Pil Keluarga Berencana merupakan kontrasepsi oral yang bersifat hormonal. Komponen estrogen dalam pil bekerja dengan jalan menekan sekresi

FSH (Follicel Stimulating Hormone) sehingga menghalangi maturasi follikel di

ovarium. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keep et al. (1979) dan Stanford et al. (1987) menunjukkan bahwa kontrasepsi oral merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi penundaan usia menopause.

Hasil penelitian “ the Women’s Health Initiative “ (WHI) mengemukakan bahwa pemberian estrogen dan progesterone sebagai terapi pengganti dapat meningkatkan risiko stroke sebesar 41 %, tromboemboli, masalah kardiologi sebesar 29 % dan karsinoma payudara sebesar 26 % (Andra, 2007).

Sehubungan dengan efek yang terjadi kerena pemberian hormone pengganti tersebut, dianjurkan supaya pemberiannya sudah harus dimulai 4 – 5 tahun sebelum menopause bila hendak mencegah gangguan jangka panjang seperti osteoporosis dan penyakit kardiovasculer dan pemberian ini harus

berlangsung bertahun-tahun, 10-15 tahun sesudah menopause dan bahkan dianjurkan sampai seumur hidup. Sebab disangsikan daya cegah estrogen akan menghilang bila substitusinya dihentikan dan proses kekeroposan tulang akan berlanjut kembali (Hutapea, 1998).

Dokumen terkait