• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Responden 1. Sosio demografi

5.1.3. Keluhan Klimakterik

Hasil penelitian tentang keluhan klimakterik yang dirasakan/dialami oleh responden dalam waktu 1 (satu) tahun terakhir seperti yang terlihat pada tabel 4.6, dari antara 210 orang yang dijadikan subjek penelitian yang mengalami keluhan tersebut ada sebanyak 194 orang (92,4%) dan yang memanfaatkan pelayanan kesehatan hanya 86 orang (44,3 %).

Seperti yang telah diuraikan pada landasan teori, bahwa wanita akan mengalami penurunan produksi hormone estrogen telah dimulai sejak usia 35 tahun, akibat penurunan hormone tersebut wanita akan dihadapkan pada gejala yang ditimbulkan sehubungan dengan penurunan tersebut berupa gejala-gejala yang dapat dibagi menjadi efek jangka pendek dan efek jangka panjang.

Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala, gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido). Gejala urogenital (vagina kering, keputihan, gatal pada vagina, irigasi pada vagina, inkontinensia urin). Gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesterol tinggi, High Density Lipoprotein/HDL turun, Low Density Lipoprotein/LDL naik) dan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar (Angkasa, 2005).

Pernyataan Reitz (1993) yang dikutip oleh Azhar (2004), mengutarakan bahwa tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh wanita yang memasuki masa menopause tidaklah sama. Sekitar 16 % dari wanita sama sekali tidak mengalami

keluhan berarti, fase ini dapat dilalui dengan tenang tanpa tanda dan gejala yang mengganggu dan 10 % yang memasuki masa ini dengan keluhan yang serius.

Hutapea (1998) menemukan keluhan klimakterium pada sekelompok wanita paramedis yang berusia 40 tahun berupa berkeringat banyak pada malam hari (26,9 %), mengalami gejolak panas (hot flush) yang ringan (19,3 %), keluhan di daerah urogenital seperti panas pada vagina dan nyeri saat senggama masing-masing dijumpai 16,1 % dan 10,7 %.

Ismail (1997) dalam Rachman et al ( 2004), mengemukakan bahwa tanggapan wanita dan masyarakat terhadap keluhan klimakterium berbeda di setiap komunitas, lebih dari 70 % populasi studi di Malaysia tidak pernah merasakan hot flushes, berkeringat atau palpitasi. Insidens keparahan dari keluhan klimakterik ini bergantung terutama pada adanya ketidakstabilan emosi sejak sebelum menopause.

Aso (1997) dalam Rachman et al ( 2004) mengemukakan hasil studi lain di Jepang yang dilakukan pada 3200 wanita berusia 45-60 tahun melaporkan bahwa sebanyak 45 % wanita mengalami kekakuan bahu sebagai keluhan utama sedangkan untuk keluhan vasomotor hanya 25 %.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keluhan yang berhubungan dengan gangguan yang dialami pada urogenital justru tidak membutuhkan pelayanan kesehatan. Sementara keadaan tersebut sangat penting dikonsultasikan ke pelayanan kesehatan terutama pada ahlinya karena sangat perlu untuk diatasi mengingat banyaknya dijumpai ketidakharmonisan hubungan suami istri

menjelang usia lanjut. Peneliti berasumsi keadaan ini tidak dikeluhkan secara serius karena masih dianggap tabu atau mungkin masih merasa malu untuk diketahui orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya pengetahuan responden tentang masalah seksual yang akan dihadapinya menjelang usia lanjut.

Keluhan yang dialami tiap-tiap wanita juga berbeda-beda dan menurut Peyer 1991 dalam Hanafiah (1999) bahwa keluhan-keluhan pada masa klimakterium berkaitan erat dengan budaya dan gizi.

5.1.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian yang dilakukan pada 210 responden di kota Pematangsiantar yang mengalami keluhan klimakterik, tabel 4.4 dan tabel 4.5, yang memanfaatkan pelayanan kesehatan sehubungan dengan keluhan yang dialaminya hanya sebanyak 86 orang (44,3 %) sedangkan sebanyak 108 orang (55,7 %) mengatasi sendiri keluhan yang dialaminya.

Sarana pelayanan yang banyak dikunjungi oleh responden adalah praktek bidan, sebanyak 26 orang (30,2 %) diikuti dengan Puskesmas sebanyak 24 orang (27,9 %), sarana ini menjadi sarana yang diminati mungkin dikarenakan oleh lokasi dan kemudahan menjangkaunya serta biaya yang relative murah. Sarana pelayanan dengan urutan ketiga yang dikunjungi adalah rumah sakit (15,1 %), hal ini dimungkinkan karena mekanisme rujukan yang dilaksanakan di Puskesmas terutama bagi para pengguna asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Jasa asuransi yang digunakan oleh responden yang mengalami keluhan klimakterik ada sebanyak 33 responden (38,4 %) sedang sebanyak 53 responden (61,6%) tidak menggunakannya. Responden yang memanfaatkan jasa asuransi ditinjau dari status pekerjaan ibu, hanya sebanyak 27 responden (38,6%) yang memanfaatkannya.

Sarana pelayanan kesehatan berikutnya yang dikunjungi oleh responden adalah praktek dokter umum ada sebanyak 12 orang (14 %) diikuti dengan sarana praktek dokter spesialis syaraf, penyakit dalam dan obgyn dan spesialis penyakit jantung sebesar 2,3 %. Penggunaan sarana praktek dokter spesialis digunakan oleh ibu yang mengeluhkan gejala klimakterik ketika mereka merasakan keluhan yang sangat mengganggu seperti jantung berdebar-debar, gangguan pada lambung dan rasa sakit pada pinggang. Keadaan yang dinilai ibu serius dan dapat mengganggu aktivitasnya sehari-hari sehingga harus segera diatasi dengan pergi ke pelayanan spesialis guna mendapatkan penanggulangan sehubungan dengan keluhannya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Lewin (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa individu bertindak melawan atau mengobati penyakitnya, melibatkan empat variable kunci di dalam tindakan tersebut yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut.

Jenis pelayanan yang didapat ketika responden pergi ke pelayanan kesehatan seperti pada tabel 4.8, jenis pelayanan yang terbanyak diberikan adalah pengobatan (86,7%), diikuti dengan pengukuran tekanan darah (88,9 %), penimbangan berat badan (51,1 %), pemeriksaan laboratorium ( 24,4 %), pemeriksaan ECG (0,6%) dan foto rongen serta USG masing-masing sebanyak (0,1 %). Keadaan jenis pelayanan ini menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan masih hanya sebatas prosedur pemeriksaan fisik dan pengobatan yang dilakukan secara umum saja, padahal responden ingin mendapatkan penjelasan tentang apa sebenarnya yang sedang dia rasakan atau dihadapi.

Jenis pemeriksaan yang diinginkan oleh responden untuk dapat mencegah efek jangka panjang setelah menopause (tabel 4.8) adalah pemeriksaan papsmear dan pemeriksaan laboratorium masing-masing ada sebanyak 38,9 % menginginkannya diikuti dengan pemeriksaan massa tulang sebesar 22,2 %, pemeriksaan jantung dan rheumatic masing-masing 0,2 %.

Pemeriksaan papsmear sebaiknya dilakukan ketika ibu sudah berada pada usia 35 tahun ke atas dan pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan secara rutin untuk dapat mendeteksi keganasan pada organ reproduksi secara dini begitu juga halnya dengan pemeiksaan laboratorium (yang meliputi darah lengkap, ginjal dan hati) merupakan suatu pemeriksaan umum yang sewaktu-waktu dapat dilakukan.

Berbeda halnya dengan pemeriksaan massa tulang (densitometer) yang sebenarnya jauh lebih penting dilakukan pada wanita yang mempunyai faktor risiko osteoporosis oleh karena pasca menopause. Jenis pemeriksaan ini sangat

penting disosialisasikan pada wanita yang berisiko untuk dapat menekan prevalensi kejadian osteoporosis yang banyak menyerang wanita pascamenopause (Said, 2004).

Responden yang pergi ke sarana pelayanan kesehatan (tabel 4.10) yang terbanyak adalah oleh karena kemauan sendiri (60,5 %), karena saran keluarga (anak, suami, saudara) ada sebesar (24,4 %) dan saran teman , tetangga ada sebesar 15,1 %.

Adanya kesadaran responden untuk pergi berobat atas kemauan sendiri, merupakan hal yang positif untuk mewujudkan peningkatan kesehatan wanita, pada penelitian ini diperoleh data bahwa yang mempunyai kemauan sendiri untuk berobat adalah mayoritas pekerja (45 orang atau 64,3%), hal ini menunjukkan bahwa wanita telah menyadari pentingnya kesehatan dan rasa tanggung jawab moral atas pekerjaannya.

Dukungan dari keluarga (anak, suami, saudara) diharapkan menjadi faktor yang lebih dominan dalam menyarankan responden untuk pergi berobat sebab status perkawinan dikaitkan dengan adanya perhatian dan dukungan yang didapat dari masing-masing pasangannya.

Alasan responden tidak ke pelayanan kesehatan sehubungan dengan keluhan klimakterium yang dialaminya (tabel 4.12) mayoritas alasannya adalah bahwa keluhan tersebut dapat diatasi sendiri (46,3 %), ibu mengatasi keluhannya dengan membeli obat di warung, meminum jamu, pergi ke tukang urut, alasan berikutnya adalah tidak mempunyai dana (31,5 %), takut makan obat (8,3 %),

kelengkapan alat pemeriksaan (7,4%) dan jarak tempuh ke fasilitas kesehatan (0,5%).

Berbagai alasan yang dikemukan oleh 108 responden yang mengalami keluhan klimakterium dan tidak pergi ke pelayanan kesehatan untuk mengatasinya, dapat menunjukkan secara tidak langsung bahwa mereka tidak mengalami keluhan klimakterium secara serius dan mengganggu bahkan dapat mengatasi sendiri keluhannya sehingga tidak membutuhkan pelayanan kesehatan .

Andersen dalam Notoadmodjo (2003) menyatakan bahwa keadaan status

kesehatan seseorang menimbulkan suatu kebutuhan yang dirasakan dan membuat seseorang mengambil keputusan untuk mencari pertolongan kesehatan. Faktor predisposisi dan factor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.

Tidak semua wanita mengalami keluhan klimakterium yang berarti, diduga faktor sosial kultural ikut berperan terhadap munculnya gejala-gejala menopause, pada masyarakat Asia umumnya gejala klimakterium tidak banyak dikeluhkan karena secara kultural orang-orang yang menjadi lanjut usia justru mendapatkan kedudukan sosial yang terhormat dan aktivitas wanita juga dapat menekan pemunculan gejala tersebut (Irawati, 2002).

Keadaan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Reitz (1993) dalam Azhar (2004) bahwa sekitar 16 % dari wanita sama sekali tidak mengalami keluhan berarti, fase ini dapat dilalui dengan tenang tanpa tanda dan gejala yang mengganggu dan 10 % yang memasuki masa ini dengan keluhan yang serius.

Dokumen terkait