• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

5.2 Analisa Data

Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba dewasa ini sudah menjadi permasalahan serius, dan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa Extra Ordinary Crime. Permasalahan ini tidak hanya menjadi masalah nasional ataupun permasalahan di beberapa negara saja, namun permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menjadi permasalahan dari seluruh dunia. Menurut United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, pemakaian narkoba di dunia sebanyak 162,4 juta orang pada tahun 2008 yang diperkirakan terjadi peningkatan 4 % penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia, dari 200 juta orang tahun 2006 menjadi 208 juta orang pada tahun 2007, dan jumlahnya terus meningkat sampai saat ini.(http://bnn.go.id/_multimedia/document/20160713/hasil_lit_bnn_2014.pdf di akses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 21.15 WIB)

Indonesia sendiri memang sudah mengalami kondisi darurat Narkoba, dan itu juga telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia. Terlihat dari peningkatan prevalensi penyalahgunaan Narkoba, yang sebelumnya pada bulan juli tahun 2015 tercatat 4,2 juta orang penyalahguna dan pada november 2015

mengalami peningkatan yang signifikan yakni menjadi 5,9 juta penyalahguna narkoba dan ada 30-40 orang mati setiap harinya karena narkoba. (Badan Narkotika Nasional,2015) Indonesia disinyalir berada di peringkat keempat penggunaan dan penyalahgunaan narkoba terbesar di dunia. (http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkob a.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang , di akses pada tanggal 16 Oktober 2016 pukul 21.21 WIB)

Berbagai macam metode dan terapi yang diberikan kepada residen atau penyalahguna narkoba di lembaga rehabilitasi ternyata tak sepenuhnya serta merta membuat residen dapat sembuh. Karena dalam proses rehabilitasi narkoba sangat tidak mungkin untuk sembuh secara total, melainkan hanya dapat dikatakan pulih dari ketergantungan , dimana tidak ada lagi keinginan yang menggebu untuk mengonsumsi narkoba ataupun bahkan merasakan efek “sakaw “ setelah menjalani program atau terapi rehabilitasi. Maka dari itu, sering sekali terjadi keadaan seorang yang telah selesai menjalani program rehabilitasi kembali menjadi penyalahguna narkoba. Kondisi ini dikenal dengan istilah “ Relapse “. Hal cukup menghawatirkan yaitu tingginya angka pengguna narkoba yang juga sebanding dengan tingginya angka relapse pada penyalahguna narkoba. Relapse merupakan perilaku penyalahgunaan kembali narkoba setelah menjalani program rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku, dan perasaan adiktif setelah periode putus zat. Menurut World Health Organization (WHO) seseorang dikatakan pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau bersih dari narkoba selama minimal 2 (dua) tahun.

Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di lembaga Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38 kasus, relapse berkali-kali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama. Tahun 2007 tingkat relapse sebesar 95% bahkan ada residen yang masuk untuk ke empat kalinya ke lembaga rehabilitasi tersebut. Tahun 2008 menunjukkan data relapse di Indonesia mencapai 90%. Artinya dari 10 pecandu yang direhabilitasi, 9 kemungkinan besar akan kembali menggunakan lagi dan hanya 1 yang benar-benar pulih. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang diadakan oleh YCAB (Yayasan Cinta AnakBangsa) tahun 2010, dimana hasil yang diperoleh ialah angka kekambuhan yang mencapai 90% dari yang dinyatakan telah pulih, kemudian kambuh kembali,berarti kira-kira hanya 10% yang berhasil mempertahankan keadaan bebas zatnya(abstinence). (Pertiwi, 2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka diperoleh model penanganan sosial bagi penyalahguna relapse narkoba yang diterapkan pada residen di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih, yaitu :

Yang pertama, model penanganan sosial bagi penyalahguna relapse narkoba yang dilakukan di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf”. Pada dasarnya PSPP “Insyaf” Sumut menerapkan metode Therapeutic Community (TC). Kemudian hal yang dilakukanketika seorang pecandu narkoba menjalani rehabilitasi di PSPP “Insyaf” Sumut, mereka yang bukan relapse akan di masukkan terlebih dahulu ke ruang perenungan dan penghilangan efek zat yang dinamakan dengan fasedetoksifikasi sosial selama satu bulan, lalu kemudian

dipindahkan ke ruang primerydan menjalani program hingga 9 bulan dalam komunitas yang dibentuk atas bimbingan pekerja sosial dan konselor di PSPP “Insyaf” Sumut.

Namun bagi penyalahguna relapse narkoba, seperti yang disebutkan oleh dua residen relapse di PSPP “Insyaf” Sumut, bila relapse, residen akan langsung di masukkan ke primery dalam jangka waktu tiga bulan saja yang disebut sebagai program Clean Help Program, dan kemudian langsung di masukkan ke re-entry selama enam bulan. Dan senada dengan itu, Kepala Panti juga telah mengungkapkan hal demikian.

Kemudian alasan PSPP “Insyaf” Sumut tidak menyatukan terlalu lama residen yang relapse (second add) dengan yang baru abstinence atau baru menjalani rehabilitasi (new add) adalah karena residen yang sudah pernah menjalani program tentu telah paham dan mengerti dengan program, dan tidak lagi perlu berlama-lama mengikuti program yang sebelumnya telah ia jalani. Dan bisa saja residen tersebut menjadi virus bagi residen yang lain. Dalam artian residen tersebut sudah merasa lebih mengetahui program dari pada residen yang lain. Sehingga dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan antar residen di panti.

Alasan selanjutnya mengapa PSPP “Insyaf” tidak memberikan waktu lama untuk residen relapse dalam menjalani program di tahap atau ruang primery, karena dianggap program tidak akan berjalan maksimal lagi terhadap residen karena residen sudah mengetahui tentang program dan sebelumnya telah menjalaninya, jadi ia akan lebih cepat beradaptasi kembali dengan program dan

merenunginya sebagai sebuah kegagalan dan pengingkaran komitmen terhadap diri yang harus ia perbaiki secara internal, sementara lembaga hanya memfasilitasi dan mendampinginya. Kemudian dalam tahap primery tersebut yang dinamakan program Clean Help Program bagi residen atau penyalahguna relapse narkoba, Kepala Panti menyebutkan pada tahap itu residen akan mendapatkan pendampingan untuk dibersihkan secara moralitas, nilai-nilai, etika, dan pola pikir yang telah ia dapatkan dari luar pasca relapse. Lalu langsung dimasukkan ke re-rentry dan diberikan bimbingan keterampilan vokasional dan coping skill yang efektifagar setelah keluar dari panti tidak lagi mengalami relapse.

Hal tersebut seperti yang telah dijabarkan oleh Larimer, dkk dalam jurnalnya yang berjudul Relapse prevention:An overview of Marlatt’s cognitivebehavioral model (Electronic version). Larimer, dkk menjabarkan untuk mencegah terjadinya relapse seorang mantan pecandu narkoba harus dibekali dengan sikap dan cara bertahan yang efektif sesuai dengan kebutuhannya, sehingga seorang pecandu narkoba tersebut dapat meningkatkan keyakinannya bahwa ia dapat melakukan tindakan penolakan terhadap penyalahgunaan narkoba kembali (relapse) .(Larmier, dkk, Cognitive-Behavioral Model of Relapse, 1999)

Yang kedua, model penanganan bagi penyalahguna relapse narkoba di Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dengan metode wawancara dan observasi, di Medan Plus Lau Cih tidak terlalu tampak penanganan khusus yang signifikan terhadap residen penyalahguna relapse narkoba. Namun dari hasil wawancara dengan program manajer Medan Plus Lau Cih, mengenai penanganan terhadap penyalahguna relapse narkoba diserahkan sepenuhnya kepada konselor klien.

Karena menurutnya konselor lah yang lebih mengetahui tentang diri klien atau residen yang ditanganinya. Sedangkan fungsi panti menjadi fasilitator dan motivator terhadap residen. Dimana program yang ada telah dirancang sedemikian rupa melalui proses assesment dan indentifikasi terlebih dahulu, jadi dilakukan secara umum dengan sasaran seluruh residen lembaga. Sementara masalah-masalah khusus dalam pribadi masing-masing klien/residen penanganannya diserahkan kepada konselor residen di facility.

Berdasarkan pengakuan program manajer Medan Plus Lau Cih, memang perlu dibuat suatu program khusus terhadap penyalahguna relapse narkoba. Yang pertama yang harus dilakukan adalah memisahkan antara residen yang baru pertama kali di rehabilitasi dengan penyalahgua relapse narkoba atau yang sebelumnya sudah pernah menjalani rehabilitasi. Lalu kemudian digali secara mendalam permasalahan yang dialami residen kenapa dirinya bisa relapse. Dan selanjutnya dibuat pemecahan masalahnya secara khusus bagi pribadi residen relapse tersebut.

Dalam penelitian ini juga akan dianalisa saran dan data yang didapat dari informan tambahan, yaitu informan tambahan pertama yaitu Ibu Cahaya Hartati Lubis yang merupakan ibu kandung dari Rendy Syahputra Harahap dan Indriani Syahfitri yang merupakan istri dari Edy Syahputra Sembiring yang keduanya merasakan kekecewaan yang mendalam terhadap keluarganya tersebut karena berbagai upaya untuk memulihkan keluarganya telah dilakukan, namun usahanya sia-sia, karena keluarganya tersebut mengalami relapse bahkan tidak hanya sekali.

Kemudian keduanya juga menyarankan agar panti rehabilitasi memberikan parenting skill kepada keluarga para penyalahguna atau pecandu pemulihan narkoba agar tidak lagi mengalami relapse, serta memberikan cara penanganan awal terhadap seseorang yang relapse guna mengantisipasi bilamana keluarganya tersebut kembali mengalami relapse.

Dalam penelitian ini, informan utama yang pertama adalah Rendy Syahputra Harahap yang mengaku bahwa program yang dilakukan oleh PSPP “Insyaf” Sumut belum terlalu optimal dalam menangani residen penyalahguna relapse narkoba. Ia mengaku bahwa bila residen yang telah relapse kembali menjalani treatment atau program yang sama tidak akan memberikan efek yang berarti terhadapnya. Karena ia sudah paham mengenai program.

Kemudian Rendy menjelaskan dalam panti rehabilitasi yang dapat memberi dorongan untuk pulih adalah komunitas sesama penyalahguna narkoba. Sehingga dalam penanganannya yang berperan maksimal dalam pemulihan adalah komunitas sesama penyalahguna. Jadi ada wadah dimana seorang penyalahguna atau pecandu narkoba tersebut untuk sharing dan memberi masukan positif atau motivasi satu sama lain. Maka jika penyalahguna relapse narkoba digabungkan dengan yang baru menjalani rehabilitasi, proses itu tidak akan berjalan efektif.

Rendy juga menyarankan agar residen penyalahguna relapse narkoba harus lebih banyak dibekali pengetahuan mengenai narkoba, cara pencegahan, pencegahan terjadinya relapse, dan cara bertahan dari suggesti terhadap narkoba. Dan lebih dibimbing dan ditekankan tentang perubahan pola pikir seorang penyalahguna atau pecandu narkoba.

Informan utama kedua dalam penelitian ini adalah Roni Yunus Pulungan. Sama halnya dengan informan utama pertama,Informan kedua ini mengatakan perlu penanganan khusus terhadap penyalahguna relapse narkoba. Karena informan menganggap bahwa fungsi program yang telah dijalani sebelumnya tidak akan maksimal dijalankan terhadap seorang pecandu narkoba yang relapse. Dan pecandu relapse narkoba juga seharusnya ditempatkan di tempat yang berbeda dengan pecandu yang baru menjalani rehabilitasi. Dalam arti harus ditangani bersama komunitas pecandu yang mengalami relapse. Informan juga menyarankan agar penanganan terhadap pecandu relapse narkoba harus lebih mengarah kepada terapi terhadap pola pikir dan sikap.

Salah satunya juga yang terpenting bagi Roni adalah lebih perbanyak kegiatan yang bersifat spiritual, agar timbul kesadaran penuh dari residen penyalahguna relapse narkoba tersebut untuk benar-benar bertobat dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pola pikir itu yang harus tertanam bagi penyalahguna relapse narkoba yang pada dasarnya telah mengetahui bagaimana dan apa yang dinamakan dengan narkoba serta dampaknya terhadap diri dan lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.

Informan utama ketiga yaitu Edy Syahputra Sembiring, yang mengatakan bawa perlu dilakukan penanganan khusus terhadap penyalahguna relapse narkoba, seperti lebih mematangkan pola pikir, mengasah kesabaran, dan dapat mengatasi emosi. Karena pada dasarnya ada berbagai faktor seseorang mengalami relapse. Sementara di Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih tidak secara signifikan menangani masalah residen relapse.

Yang menjadi faktor Edy mengalami relapse seperti ketidakmampuan mengatasi emosi yang berlebihan, baik itu emosi marah atau emosi bahagia, seperti yang dialami oleh Edy, disaat ia senang banyak uang, ia kembali menggunakan narkoba, dan ketika ia ada masalah dengan istrinya, ia kembali relapse dengan penggunaan narkoba yang lebih parah dari sebelumnya.

Permasalahan khusus seperti itu yang seharusnya menjadi bahan identifikasi menadalam bagi panti rehabilitasi untuk benar-benar menangani permasalahan yang dialami residen khususnya residen penyalahguna relapse narkoba untuk dapat kembali pulih dari ketergantungannya terhadap narkoba.

Informan utama keempat, yaitu Jontra Alexnader Sinaga. Bebeda dengan informan sebelumnya, Jontra mengaku faktor dirinya mengalami relapse adalah lingkungan sekitarnya, sehingga ia tidak mampu untuk bertahan dari narkoba. Dalam kata lain Jontra tidak memiliki coping skill yang baik dalam menjaga pemulihannya. Atas dasar itu ia mengatakan bahwa penanganan terhadap penyalahguna relapse narkoba harus dilakukan di luar panti rehabilitasi dengan pendampingan yang ketat dan fasilitas komunitas sesama pecandu atau penyalahguna yang telah melakukan pemulihan, dan langsung diajarkan tentang penerapan strategi bertahan (coping skill) yang efektif untuk menjaga pemulihan agar tidak lagi terjerat oleh suggesti akan penyalahgunaan narkoba.

Jontra mengatakan hal tersebut diatas sangat efektif dimana seseorang akan lebih mudah untuk belajar melalui praktek di lapangan. Dengan menyertakan pendampingan secara menyeluruh dalam waktu tertentu yang menurut badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) seseorang penyalahguna

yang telah menjalani pemulihan dapat dikatakan pulih setelah dua tahun abstinence atau dalam kondisi bersih dari narkoba.

Dokumen terkait