• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA TERHADAP TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DALAM PUTUSAN

B. Analisa Kasus

Sebelum melakukan analisa pada kedua kasus tersebut maka telah disajikan bentuk putusan dan pertimbangan hakim yang disusun secara sistematis dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 2

Pertimbangan Hakim dalam Putusan Kasus Tindak Pidana Penelantaran Istri

No Putusan Pertimbangan Hakim

1 Menyatakan bahwa Ardian Syam, SE.AKT.MSI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 49 huruf a UU RI No.23 Tahun 2004 yaitu menelantarkan istri.

Terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 2(dua) bulan dengan masa percobaan 4(empat) bulan

Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim yaitu:

Hal yang memberatkan:

Perbuatan terdakwa menyebabkan saksi korban terlantar

Hal yang meringankan:

Terdakwa belum pernah dihukum

2 Heri Irawan Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim

yaitu:

Hal Yang memberatkan:

• Perbuatan terdakwa tidak layak dilakukan oleh seorang suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

kepada istrinya

• Perbuatan terdakwa yang sering menceritakan kepada tetangga tentang tingkah laku saksi korban sebagai istrinya juga tidak layak dilakukan. Hal yang meringankan:

• Terdakwa belum pernah dihukum

• Terdakwa masih berusia muda dan diharapkan dapat memperbaiki tingkah lakunya dikemudian hari.

Dalam kasus pertama yaitu pada kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan dapat dilihat dari tuntutan saksi korban dahwa saksi korban telah mengalami kekerasan ekonomis. Kekerasan ekonomis yang dialami saksi korban berupa penelantaran dalam hal terdakwa tidak lagi pulang kerumahnya dan terdakwa tidak bersedia menafkahi saksi korban meskipun status daripada saksi korban adalah masih istri yang sah menurut hukum perkawinan yang berlaku. Keputusan saksi korban untuk mengajukan pengaduan kepada terdakwa yang masih suami daripada saksi korban sendiri memiliki alasan yang pantas diterima oleh akal dan hati nurani setiap orang.

Hal tersebut penulis tanggapi demikian karena memang jika melihat dari tindakan terdakwa yang telah menelantarkan istrinya dan anak yang seharusnya juga ia sayangi seperti anaknya sendiri adalah tidak pantas jika terdakwa membiarkan istri dan seorang balita yang masih membutuhkan kasih sayang dan asupan nutrisi yang cukup.

Kekerasan ekonomi yang dilakukan terdakwa dapat disimpulkan dari dalil-dalil yang diajukan saksi korban bahwa tergugat telah meninggalkan rumah dan selama proses gugatan perceraian tidak pernah datang untuk melihat keadaan

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

saksi korban dan anak yang juga masih membutuhkan seorang anak. Kekerasan yang dilakukan saksi korban sebenarnya juga merupakan kekerasan psikologis, penulis berpendapat demikian karena dari fakta-fakta yang terungkap dari persidangan dapat dilihat bahwa terdakwa pernah mengajukan surat cerai kepada saksi korban dirumah kakak terdakwa dan saat saksi korban tidak mau menandatangani surat cerai tersebut terdakwa dan keluarga terdakwa memakasa sambil melakukan introgasi yang menyudutkan saksi korban. Tekanan psikologis juga dialami oleh saksi korban dilingkungan sekitar saksi korban, dimana saksi korban sering mendapat guncingan dari tentangga terdakwa dan setiap saat saksi korban sering mengalami ketakutan karena ancaman dari para penagih hutang, saksi korban juga terpaksa memiliki hutang karena terdakwa tidak lagi menghidupi/menafkahi saksi korban.

Terdakwa sebagai suami dari saksi korban seharusnya menafkahi saksi korban bahkan selama berlangsungnya proses perceraian, seperti yang diatur dalam bunyi ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:

selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas tergugat, pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak:

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam putusan hakim sungguh hal yang aneh jika melihat bunyi Pasal 49 Undang-undang No.23 Tahun 2004 dimana hukuman maksimal terhadap tindakan penelantaran rumah tangga adalah 3(tiga) tahun Penjara atau denda maksimal Rp.15.000.000,00(lima belas juta rupiah) dan juga melihat Pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004 seharusnya hakim juga memberikan hukuman tambahan.

Dalam kasus No.1921/PID.B/2005/PN-Medan juga masih mengenai penelantaran istri yang dilakukan oleh suami. Fakta-fakta yang didapat selama persidangan telah meyakinkan hakim bahwa terdakwa dinyatakan bersalah.

Namun apabila dibandingkan dengan kasus pertama dapat dilihat perbedaan bahwa terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan bentuk surat dakwaan biasa, namun terdiri dari dua dakwaan yaitu:

 Dakwaan pertama, terdakwa didakwa melanggar Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

 Dakwaan kedua, terdakwa didakwa dengan Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pada umumnya dakwaan yang benar adalah dakwaan pada kasus kedua dengan rincian dakwaan melanggar Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jo Pasal 49 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004.

Jika dibandingkan antara kasus pertama dengan kasus kedua dapat dilihat perbedaan yang menonjol yaitu dalam putusan Majelis Hakim yang mengadili. Dalam kasus yang pertama terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 2(dua) bulan dengan masa percobaan 4(empat) bulan sedangkan dalam kasus kedua

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 6(enam) bulan dengan masa percobaan 9(sembilan) bulan.

Perbedaan tersebut dikarenakan pada kasus pertama hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah:

 Terdakwa tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada saksi korban yang menjadi tanggung jawabnya.

 Terdakwa sering menceritakan kepada tetangga tingkah laku saksi korban sebagai istrinya.

Sedangkan pada kasus yang kedua terdakwa dikenakan hal-hal yang memberatkan berupa perbuatan yang menyebabkan saksi korban terlantar. Namun, menurut penulis dalam kasus kedua ini hakim tidak memberikan putusan yang adil dimana dari fakta-fakta persidangan seharusnya terdakwa juga ditutut telah melakukan kekerasan psikologis akibat tindakan dari terdakwa kepada saksi korban.

Sehingga dari analisis kasus yang didapat oleh penulis dapat diambil suatu pendapat bahwa Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 belum memberikan perlindungan kepada korban Kekerasan dalam Rumah Tangga terlebih bagi para istri yang mengalami kekerasan ekonomi, perlindungan yang dimaksudkan adalah tidak adanya kepastian bagi para korban kekerasan ekonomi dalam keluarga terutama bagi para istri untuk mendapatkan nafkah daripara suami.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008. USU Repository © 2009 KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Dari uraian penulisan skripsi ini, maka dapatlah penulis mengambil beberapa kesimpulan yang merupakan perpaduan pengertian atau sistem dari pengembangan yang merupakan kajian yang bersifat menyeluruh dan terpadu:

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

1. Pengaturan tindakan penelantaran istri oleh suami sebagai tindak pidana merupakan sebuah peralihan kasus privat menuju kasus publik dimana adanya kesadaran hukum dalam masyarakat yang menuntut adanya perlindungan dan tindakan antisipasi terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga terutama bagi kaum perempuan yang sering menjadi korban. Kaum perempuan merupakan kaum yang tergolong sering menjadi korban apalagi adanya budaya patriarki hampir diseluruh daerah di Indonesia. Tindakan penelantaran rumah tangga juga sering menimbulkan korban yang lagi-lagi korbannya adalah perempuan dalam hal ini adalah para istri yang ditelantarkan oleh suaminya. Pengaturan tindak pidana penelantaran istri dalam Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga diposisikan sebagai suatu delik aduan.

2. Pada dasarnya tindakan penelantaran rumah tangga sebagai hal yang dilarang telah diatur sebelumnya dalam hukum islam, dan dengan keluarnya sebuah dekade perempuan internasional oleh PBB telah mendesak pemerintah dalam meindungi hak-hak wanita sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi. Dalam ketentuan hukum islam penyelesaian tindakan penelantaran istri diselesaikan dalam pengadilan agama yang mana bentuk putusannya hanya berupa gugatan perceraian dan tuntutan terhadap suami untuk membiayai kehidupan istri dan anak yang harus ditanggungnya. Sedangkan dalam Undang-undang HAM hanya mengatur bentuk perdamaian antara istri dan suami atas alasan guna melindungi masa depan anak.

3. Dalam hal penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran istri oleh suami dalam proses pradilan masih belum memberikan kepuasan bagi kaum wanita dalam hal ini para istri yang mana tuntutan pidana yang diberikan pada sumi

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

yang menelantarkan istri tidak memberikan efek jera malah semakin mendesak para istri yang telah ditelantarkan dalam himpitan ekonomi belum lagi terhadap nasib anak-anak yang harus menjadi tanggungan para istri setelah ditelantarka oleh suaminya.

B. Saran

1. Budaya patriarki yang pada hampir setiap daerah di Indonesia sering menyudutkan kaum wanita dalam hal ini para istri yang sering menjadi korban kekerasan terutama tindakan penelantaran yang dilakukan oleh suaminya haruslah dirubah dalam persepsi masyarakat dimana diharapkan adanya penyuluhan kepada seluruh lapisan masyarakat oleh pemerintah tentang adanya Undang-undang yang telah melarang tindakan tersebut. Penyuluhan tersebut diharapkan dilakukan hingga kepelosok daerah terpencil dan pedesaan. Pengaturan tindak pidana penelantaran rumah tangga yang sering kali korbannya adalah perempuan atau para istri sebagai delik aduan sering memposisikan para istri dalam keadaan yang terdesak, karena disatu sisi adanya anggapan bahwa pengaduan terhadap aparat penegak hukum justru akan mencoreng nama baik keluarga dan membuka aib keluarga kepada masyarakat umum. Oleh sebab itu maka diharapkan bagi seluruh kalangan untuk turut berpartisipasi membantu para istri untuk mengadukan adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini tindakan penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh para suami.

2. Penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran rumah tangga dalam hal ini penelantaran istri oleh suami masih belum memberikan perlindungan terhadap

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

kepentingan para istri dalam hal ini perlindungan secara ekonomi, oleh sebab itu diharapkan adanya perpanjangan tangan oleh pemerintah dalam membantu para istri dimana adanya sosialisasi terhadap para istri yang telah ditelantarkan oleh suaminya untuk dapat hidup mencari nafkahnya hingga para istri tersebut dapat mandiri dalam menafkahi hidupnya apalagi adanya anak yang menjadi tanggungan baginya setelah ditelantarkan oleh suaminya. Juga dalam hal putusan hakim seharusnya memberikan putusan agar para suami yang menelantarkan istrinya tetap untuk menafkahi istri yang telah ditelantarkan beserta anak yang ditinggalkannya.