• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN LAIN YANG TERKAIT DENGAN TINDAKAN MENELANTARKAN ISTERI OLEH SUAMI

B. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Menurut Undang-undang Hak Azasi Manusia

Hak Azasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa:

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Atas dasar hal tersebut maka hak-hak asasi yang melekat pada seseorang, misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, hak untuk pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dan persamaan dimuka hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun harus dihormati dan dilindungi. Jika tidak terjadilah pelanggaran hak asasi manusia.51

51

Saraswati Rika, Ibid, hal 4

Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia menurut Pasal 6 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah:

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Berdasarkan hal tersebut maka penganiayaan dan kekerasan yang mengurangi hak-hak asasi manusia adalah kejahatan. Berarti jika terjadi tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam bentuk apapun termasuk juga tindakan penelantaran rumah tangga, dalam hal ini juga yang lebih condong terpaku pada tindakan suami menelantarkan istri lebih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka tindakan tersebut harus diakui sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan seseorang.

Tindakan suami menelantarkan istri sebagai bentu Kekerasan dalam Rumah Tangga juga merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pengertian diskriminasi terdapat pada Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:

Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia, dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual, maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Adapun alasan pembuat Undang-undang menggolongkan kaum perempuan sebagai kaum yang secara eksplisit dan khusus dijamin hak azasinya adalah karena perempuan dalam kajian dalam pengaturan beberapa kenvensi internasional dimasukan ke dalam kelompok yang Vulnerable. Bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok yang rentan lainya. Kelompok perempuan dimasukan ke dalam kelompok yang lemah, tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi daripada laki-laki.52

1. Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.

Selain itu derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun setelah terjadinya kekerasan pada kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki.

Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia membagi secara khusus tentang Hak Asasi Wanita, yang mana dapat dilihat dalam Pasal 51 sebagai berikut:

2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. 3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama

dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

52

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Pasal tersebut hanyalah sebahagian dari Hak Asasi Wanita yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun dalam hal kedudukan wanita dalam perkawinan dapat terlihat jelas hak wanita dalam statusnya sebagai seorang istri. Meskipun dalam penjelasan Undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak. Yang dimaksud dengan "Kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on

The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak). Namun dalam ayat

tersebut penjelasan yang pasti tentang hak istri atas pemilikan dan harta bersama tidak dicantumkan sehingga dapat kita lihat kembali dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 34 “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”Dan dalam Pasal 41 (c)”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

Theo Huiybers mengatakan bahwa:

“makna hak-hak asasi menjadi lebih jelas bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang telah digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat dan tugasnya didunia. Sejarah kebudayaan adalah juga sejarah humanisasi hidup dibidang moral,sosial, dan poitik melalui hukum”.53

53

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Jakarta: kanisius, 1995, hlm 101

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Melalui hukum pula prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengakuan manusia sebagai subjek hukum dirumuskan sebgai suatu bagian integral dari tata hukum. Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki dan terlebih kaum wanita sebagai kelompok yang vulnerable diakui dan dilindungi. Karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk mengakomodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia warganya terlebih kaum hawa.

Komitmen negara untuk melindungi hak asasi warganya dapat dilihat dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Komnas HAM dalam Pasal 75 Undang-undang Hak Asasi Manusia bertujuan:

1. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: dan

2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam hal adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam lingkup keluarga Komnas HAM biasanya mengambil tindakan sebagai berikut:

a. perdamaian kedua belah pihak:

b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli:

c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan:

d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya: dan

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti

Meskipun langkah yang diambil oleh pemerintah merupakan tindakan nyata akan penegakan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu kewajiban pemerintah untuk melindungi Hak asasi warganya, namun pemerintah juga mengharapkan partisipasi masyarakat yang dituangkan dalam Pasal 100 Undang-undang Hak Asasi Manusia “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.”

Untuk itu dalam hal penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suami ataupun tindakan kekerasan lainnya oleh suami terhadap istri maka setiap lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam hal melindungi korban dan memberikan laporan kepada komnas HAM dan aparat penegak hukum disekitar lingkungan tersebut.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

BAB IV

IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA TERHADAP TINDAKAN