Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI SEBAGAI BENTUK
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA
(STUDI KASUS No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan
(STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
PERDINAN MARKOS SIANTURI NIM : 040200248
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI SEBAGAI BENTUK
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA
(STUDI KASUS No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan
(STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
PERDINAN MARKOS SIANTURI NIM : 040200248
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana:
( Abul Khair, SH.M.Hum ) Nip: 131 842 845
Pembimbing I Pembimbing II
( Nurmalawaty, SH.M.Hum.) ( Rafiqoh Lubis,SH.M.Hum )
Nip: 131 803 347
Nip: 132 300 076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
Yang terus memberkati dan memberikan anugerahnya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini merupakan syarat bagi setiap mahasiswa untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan.
Sehubungan dengan syarat tersebut maka penulis telah memilih judul yang
menjadi pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan tentunya mempunyai kekurangan dan kelemahan. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan literatur yang dimiliki oleh
penulis.Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan
kritik yang konstruktf bagi diri penulis demi perbaikan dan penyempurnaan
skripsi ini.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapakan terima
kasih yang setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada orang-orang yang telah
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL... v
ABSTRAKSI... vi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Ruang Lingkup Permasalahan... 6
C. Keaslian Penulisan... 7
D. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan... 8
E. Tinjauan Pustaka... 9
a) Pengertian Tindak Pidana... 9
b) Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 11
c) Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga... 13
F. Metode Penelitian... 15
G. Sistematika Penulisan... 17
BAB II. TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No.23 TAHUN 2004... 19
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
No.23 Tahun 2004... 18
B. Bentuk-bentuk Penelantaran Istri Dalam Rumah Tangga... 26
C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk
Tindak Pidana... 28
C.1. Para Pelaku Tindak Pidana Penelantaran Rumah
Tangga... 38
C.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penelantaran Istri... 41
C.3. Sistem Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penelantaran Istri... 43
BAB III. KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN LAIN YANG
TERKAIT DENGAN TINDAKAN PENELANTARAN
ISTRI OLEH SUAMI... 49
A. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam... 49
B. Tindakan Penelantaran Istri Oleh Suami Menurut
Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia... 56
BAB IV. IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA TERHADAP
TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI
DALAM PUTUSAN PENGADILAN... 63
A. Kasus Posisi... 63
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 78
A. Kesimpulan... 78
B. Saran... 80
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Keluarga merupakan hubungan yang dibina atas dasar cinta dan kasih
sayang, namun dalam kenyataan sehari-hari terdapat beberapa kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang salah satu bentuknya adalah tindakan tidak bertanggung
jawab yang dilakukan oleh suami karena menelantarkan keluarganya. Adanya
kesadaran dan tuntutan para kalangan Feminis untuk mendapat legitimasi
perlindungan dari ancaman bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
salah satunya adalah penelantaran dalam rumah tangga melatarbelakangi lahirnya
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.
Kriminaslisasi tindakan penelantaran rumah tangga menimbulkan
pembahasan lebih lanjut terhadap beberapa permasalahan tentang pengaturan
tindak pidana penelantaran istri oleh suami menurut Undang-undang No.23 Tahun
2004, dan melihat tentang pengaturan ketentuan perundang-undangan lain yang
mengatur hal tersebut serta penerapan hukumnya. Dengan menggunakan metode
penelitian yang yuridis normatif dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan
studi pustaka dan mengembangkan teori-teori yang telah ada dengan melihat data
yang didapat dari pengadilan Negri Medan. Dari metode tersebutlah penulis akan
membahas lebih lanjut mengenai permasalahan yang timbul dalam penulisan.
Dalam pembahasan permasalahan tersebut maka dapat disimpilkan bahwa
tindakan penelantarn rumah tangga telah diatur terlebih dahulu dalam perturan
lain yaitu hukum islam dan Undang-undang Hak asasi manusia, namun lgitimasi
tindakan penelantaran istri oleh suami sebagai tindak pidana hanya diatur lebih
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dewasa ini berbagai peristiwa yang terjadi cukup kiranya untuk
mengambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya dijumpai
dalam novel, dan dinegara-negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan
perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens makin
terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang menciptakan
korban-korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara
fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun
ekonomis.1
Bahkan, suami-istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup didalam masyarakat serta berhak
untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 Undang-undang Perkawinan).
Adapun tujuan dari Undang-undang Perkawinan mengatur hal tersebut adalah Rumah tangga seharusnya adalah tempat yang aman bagi para anggotanya
karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar ikatan lahir batin diantara
keduanya. Akan tetapi, pada kenyataannya justru banyak rumah tangga menjadi
tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindak kekerasan. Menurut
Pasal 33 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:
“Antara suami-istri mempunyai kewajiban umtuk saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
1
Harkristuti Harkrisnowo.,Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
agar rumah tangga terhindar dari perselisihan dan tindakan kekerasan. Namun,
kenyataannya berbicara lain karena semakin banyak kekerasan dalam rumah
tangga.
Berkaitan dengan fenomena ini Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan:
“Fenomena yang memprihatinkan adalah bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan yang sudah diangkat isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Menguak kuasa dari ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit untuk mengakui adanya masalah.”2
Untuk menanggapi fenomena tersebut maka pada tahun 1997 sebagai
respon terhadap dekade perempuan Internasional, untuk pertama kalinya
pemerintah Indonesia memasukan kebijakan perempuan dalam GBHN yang
populer dengan kebijakan ganda perempuan. Selanjutnya berdasarkan
Undang-undang No.5 Tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang-undang
tentang pengesahan “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment” (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau
Merendahkan Martabat Manusia). Dengan disahkannya konvensi ini, maka
pemerintah Republik Indonesia menyatakan akan melaksanakan konvensi dengan
memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara,
terutama dalam hal perlindungan bagi perempuan akan semakin membantu
memberikan rasa keadilan terhadap tindakan kekerasan yang dialami perempuan.
2
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Tentunya hal ini juga semakin menunjukan keseriusan pemerintah dalam
memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketidak pedulian masyarakat dan negara terhadap masalah Kekerasan
dalam Rumah Tangga karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki.
Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik laki-laki dan perempuan
yang dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka. Pengertian patriarki adalah
budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau superior
dibandingkan dengan perempuan.3
Kondisi tesebut menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap
hak-hak perempuan yang terjadi didalam ruang lingkup privat/domestik ini Ideologi gender dan budaya patriarki kemudian oleh pemerintah
dilegitimasi disemua aspek kehidupan. Hal-hal yang berkaitan dengan bidang
domestik, seperti rumah tangga dan reproduksi dikategorikan privat dan bersifat
personal misalnya: relasi suami-isteri, keluarga dan seksualitas. Hal-hal yang
bersifat domestik dan privat ini merupakan hal yang berada diluar campur tangan
masyarakat/ individu lain dan negara. Akibat budaya patriarki dan ideologi gender
tersebut juga berpengaruh pada ketentuan didalam Undang-undang perkawinan
yang membedakan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan
sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 Undang-undang Perkawinan) yang
menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki
sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya,
termaksuk melalui kekerasan.
3
Niken Savitri,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
menjadi tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan
yang melanggar hak perempuan dan seharunya menjadi tanggung jawab negara
dan aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga.
Selain itu, juga ada kecenderungan dari masyarakat untuk selalu
menyalahkan korbannya. Hal ini dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu
ingin tampak harmonis. Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk
melindungi korban dan menghukum para pelaku sering mengalami kegagalan,
khususnya terhadap perempuan tidak pernah dianggap sebagai masalah
pelanggaran Hak Azasi Manusia.4
Dengan seringnya muncul berita dalam media masa tentang kekerasan
dalam rumah tangga dan akibat yang ditimbulkan bagi korban, menyebabkan Padahal, Kekerasan dalam Rumah Tangga
sebenarnya merupakan kejahatan terhadap individu dan masyarakat yang
pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena
dianggap sebagai urusan internal suatu rumah tanggga.
Anggapan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan urusan
rumah tangga timbul diantara suami-isteri yang hubungan hukum antara individu
tersebut terjadi karena terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup
hukum perdata. Dengan demikian, apabila terjadi pelanggaran di dalam hubungan
hukum antar individu tersebut, penegakan hukumnya dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan kepengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik (pidana).
4
Ita F.Nadia,Kekerasan Terhadap Perempuan dari Perspektif Gender (Kekerasan
Terhadap Perempuan, Program Seri Loka Karya Kesehatan Perempuan) , Jakarta: Yayasan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
sebagian masyarakat menghendaki agar pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga
dipidana. Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan Pasal 90, tetapi kekerasan yang
dimaksud dalam KUHP tersebut hanya ditujukan pada kekerasan fisik. Selain itu
juga tidak mengatur kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah
tangga yang termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2004.
Berdasarkan kelemahan yang dimiliki Undang-undang Perkawinan dan
KUHP maka diperlukan aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini berarti dibutuhkan aturan hukum yang jelas dan kebijakan publik
mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga karena ketiada aturan hukum dan
kebijakan publik yang jelas akan semakin menyuburkan praktik Kekerasan dalam
Rumah Tangga tersebut.
Upaya untuk mengatur Kekerasan dalam Rumah Tangga ke dalam suatu
perundang-undangan telah dilakukan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang
tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 untuk menghapus segala bentuk
kekerasan di bumi Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain
itu, juga sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah
diretifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dengan demikian, terlihat ada perubahan pandangan dari pemerintah
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
urusan privat, melainkan juga masalah publik, dari urusan rumah tangga dalam
hukum perkawinan yang diatur melalui Undang-undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Meski demikian, lahirnya Undang-undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak serta-merta akan memenuhi harapan para
perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam mendapatkan
keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh dari
harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih
menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan, baik kekuasaan ekonomi,
sosial, maupun budaya.5
5
Arief sidharta, HAM Permpuan Kritik Teori Feminis Terhadap KUHP, Bandung:Reflika Aditama, 2008, hal 3
Dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 telah dipaparkan beberapa
lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana salah satu bentuk kekerasan
tersebut adalah “penelantaran rumah tangga” dimana tidak terdapat penjelasan
yang pasti mengenai apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga.
Dengan hal-hal yang dipaparkan diatas, dan didorong oleh keinginan
untuk mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksud dengan penelantaran rumah
tangga dan melihat bagaimana penerapan hukum terhadap tindakan penelantaran
rumah tangga tersebut, maka akan diulas dalam skripsi ini. Dan sebagai tambahan
alasan pemilihan judul tersebut adalah masih kurangnya pengertian masyarakat
umum dan kalangan akademis untuk memahami penerapan hukum terhadap
tindakan penelantaran rumah tangga, dimana penelantaran Isteri oleh suami
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
B. Ruang Lingkup Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan dalam skripsi dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana mentelantarkan isteri oleh suami
ditinjau menurut Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga?
2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dengan
tindakan penelantaran isteri oleh suami?
3. Bagaimana implementasi ketentuan pidana terhadap tindakan penelantaran
istri oleh suami dalam putusan pengadilan?
C. Keaslian Penulisan
Adapun hasil dari penulisan skripsi ini merupakan hasil buatan sendiri
tanpa ada bentuk jiplakan dari karya tulis mananpun. Dimana untuk menunjukan
bahwa tulisan ini adalah asli adanya, dapat dilihat dari rangkaian judul tulisan ini
dan dari hasil penelusuran terhadap perpustakaan Fakultas Hukum Maupun
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara menyangkut judul”penelantaran istri
oleh suami sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dan penerapan
hukumnya.”
Dalam pembahasan tulisan skripsi ini, penulis juga mengambil
permasalahan dari berita hangat yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, dan
juga penulis menggunakan perbandingan analisa kasus tahun 2005 dengan kasus
tahun 2007. Dan apabila ada kemiripan dari tulisan skripsi ini dengan hasil tulisan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
penulis, dan apabila dikemudian hari ditemukan skiripsi yang sama maka penulis
akan bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan.
Dari segi ilmiahnya pembahasan ditujukan pada beberapa hal yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana mentelantarkan isteri oleh suami
ditinjau menurut Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga.
2. Untuk mengetahui ketentuan perundang-undangan lain yang terkait dengan
tindakan penelantaran isteri oleh suami.
3. Untuk mengetahui implementasi ketentuan pidana terhadap tindakan
penelantaran istri oleh suami dalam putusan pengadilan.
Dari keempat hal yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini secara ilmiah,
maka dapat diambil beberapa hal yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini
yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan bagi
kalangan akademis akan pemahaman lebih lanjut terhadap tindakan penelantaran
rumah tangga. Penulisan ini juga diharapkan memberi pemikiran dalam rangka
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan hukum pidana
khususnya mengenai penerapan sanksi pidana terhadap tindakan suami
menelantarkan istri sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
2. Manfaat praktis
Penulisan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran para pembaca dan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
demi terciptanya masyarkat yang tertib, hukum yang adil dan memberi kepastian
hukum bagi masyarkat. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan
solusi terhadap problematika dalam masyarakat yaitu tindakan penelantaran
rumah tangga dalam masyarkat.
E. Tinjauan Kepustakaan
Untuk lebih mempermudah pembaca mengetahui isi skripsi ini dan untuk
menjaga tidak terjadi kesalahpahaman, maka perlu kiranya diberikan beberapa
uraian sebagai berikut:
a) Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana/pristiwa pidana/perbuatan
pidana/perbuatan-perbuatan yang dihukum/ strafbar feit mempunyai arti yang sama, seperti yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut:6
1. Mezger menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya
pidana.
2. J.Bauman menyatakan tidak pidana adalah kesluruhan syarat untuk adanya
pidana.
3. Karni menyatakan perbuatan pidana adalah delik yang mengandung
perbuatan perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dan dosa, oleh
orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggungkan.
4. wirjono prodjodikoro menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
6
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
5. W.P.J Pompe menyatakan bahwa menurut hukum positip strafbar feit
adalah tindakan daripada feit yang diancam pidana dalam ketentuan
Undang-undang. Didalam teori beliau menyatakan bahwa strafbar feit
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan
kesalahan dan diancam pidana.
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbar feit, kadang-kadang juga
delik yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara
anglo-saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh
karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun
sama yaitu sraffbar feit. Timbulah masalah dalam menterjemahkan istilah
strfbaarfeit ke dalam bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai
istilah perbuatan pidana meskipun tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit itu.
Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah
pengertian yang konkret yang hanya menunjukan kepada suatu kejadian saja,
misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi
melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.
Sekarang ini semua Undang-undang telah memakai istilah tindak pidana,
seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Tindak Pidana
Imigrasi, Undang-undang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Istilah tindak
pidana itupun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
memakai kata “tindak pidana” baik dalam Pasal-Pasalnya sendiri, maupun dalam
penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “Perbuatan”.7
Tetapi A. Z. Abidin menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah
padananya saja, yang umum dipakai oleh para sarjana saja, yaitu delik. Memang
jika diperhatikan hampir semua penulis memakai istilah “delik” disamping
istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh disamping memakai “Perbuatan Pidana”
juga memakai istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, disamping memakai
istilah “tindak pidana” juga memakai istilah “delik”.
8
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah setiap pebuatan-perbuatan
seseorang yang melanggar hukum baik berupa pelanggaran maupun kejahatan
yang memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi pidana
terhadap perbuatan tersebut. Didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
mengenal adanya mengenal adanya delik aduan, yang mana delik tersebut juga
ada dua jenis yaitu:
Melihat hal tersebut ternyata
masih ada kontroversi antara pengertian tindak pidana dan delik pidana akan
tetapi penulis akan menggunakan bahasa yang lebih sering digunakan oleh aparat
penegak hukum yaitu istilah tindak pidana dengan alasan agar lebih menyesuaikan
dengan penggunaan bahasa dalam realita peradilan yang ada saat ini.
9
1. Delik aduan yang absolut
7
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana, Jogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1959, hal
8
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Jakarta : Aksara Baru,1983, hal
9
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Yaitu tiap delik yang dalam keadaan apapun hanya dapat dilakukan
penuntutan apabila telah adanya pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak
pidana.
2. Delik aduan yang relatif
Yaitu tiap delik yang memberikan kesempatan kepada pemerintah dalam
melakukan penuntutan apabila tidak adanya pengaduan.
b) Pengertian Kekerasan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Secara umum pengertian kekerasan adalah:
“Perihal yang bersifat, berciri keras:Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan atau barang orang lain: Paksaan.”10
10
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka,edisi ketiga,2001, hal 425
Dalam kenyataan ditengah masyarakat, sejumlah besar kekerasan terhadap
perempuan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam sistem hukum,
termasuk aparat hukumnya sendiri dan juga budaya hukum yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan makna kekerasan atau persepsi
mengenai tindak kekerasan itu sendiri dalam masyarakat. Tindak kekerasan atau
Violence pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat
bergantung pada masyarakat itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Michael
Levi Dikutip dari Michael Levi (1994
Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yaitu:
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian,
yang dimaksud tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau
tenaga sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama sekali,
tetapi seseorang tiadak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi pada
dirinya. Pengertian kekerasan seperti tersebut diatas dapat dikatakan
penganiayaan.11
Dari dua definisi tersebut diatas terlihat untuk siapa Undang-undang ini
diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi
untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi. Dikutip dari
Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Pasal 1
Uandang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
sebenarnya adalah:
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama permpuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut draft Usulan Perbaikan Atas Rancangan Undang-undang Anti
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR
tanggal 6 Mei 2003, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah:
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga.
11
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Schafer dan Caentano (1998) dalam Elizabet Kandel Englander menyatakan
bahwa pihak yang mengalami suberdinasi dalam kenyataanya bukan hanya
perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak, melainkan juga laki-laki, baik
dewasa maupun anak-anak. Hanya saja selama ini fakta menunjukan bahwa
korban yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagian besar adalah
perempuan.
c) Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi: kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Jika dibandingkan dengan draft Rancangan Undang-undang Kekerasan
dalam Rumah Tangga yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan, kekerasan fisik diartikan sebagai: “sakit,
cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang.
Dari kedua definisi di atas terdapat perbedaan-perbedaan, bahkan dalam
penjelasan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga yang dimasud dengan rasa sakit adalah: “kondisi seseorang
mengalami penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1 x
24 jam.
Kemudian yang dimasud dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
“Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada sesorang.”
Contoh-contoh perbuatan yang dikategorikan kekerasan psikis adalah
sebagai berikut: menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana
untuk memaksakan kehendak, mengisolasi istri dari dunia luar.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
hanya memberi penjelasan pada Pasal 8 huruf a bahwa:
“Yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.”
Kemudian, untuk penjelasan Pasal 8 huruf b hanya disebutkan cukup jelas.
Jika dicermati, penjelasan huruf a ini seharusnya diperuntukan untuk huruf b.
Selanjutnya, penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkungan rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal.
Menurut Soerjono soekamto sebagaimana dikemukakan oleh Burhan
Ashofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa:12
1. Inventaris hukum positif;
2. Penemuan azas hukum;
3. Penemuan hukum in concreto;
4. Perbandingan hukum;
5. Sejarah hukum.
Soetandyo Wignjosoebroto sebagaimana yang dikemukakan oleh
Bambang Soegono, membagi penelitian hukum doktrinal sabagai berikut:13
1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif;
2. Penelitian yang berupa usaha penemuan azas-azas dan dasar-dasar falsafah
(dogma atau doktrinal) hukum positip;
3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan, alasan dipilihnya
kota medan dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana penelantaran
12
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rieneka Cipta, 1996, hal 14 13
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
rumah tangga yang mana dalam hal ini korbannya adalah perempuan sebagai istri
yang mana dalam penyelesaiannya belum memuaskan.
3. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:
Data sekunder, diperoleh melalui pustaka yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen
resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan ijazah.14
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian Kepustakaan (Library Research) adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder seperti
peraturan perundang-undangan, buku-buku, pendapat sarjana dan bahan kuliah
dan penerapannya dalam praktek di Indonesia.
2. Analisis data
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data skunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan
dalam skripsi ini.
G.Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca maka penulis akan memnguraikan
sistematika penulisan yang dimulai dari Bab I sampai Dengan Bab V antara lain:
14
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Pada Bab I Penulis memulai dengan pendahuluan yang berisikan pemaparan
judul, latar belakang , keaslian penulisan, tujuan penulisan dan
manfaat penulisan, tinjauan pustaka dan metode penelitian yang
digunakan.
Pada Bab II beirsikan tentang pembahasan terhadap topik “tindakan penelantaran
istri oleh suami ditinjau dari Undang-undang kekerasan dalam
rumah tangga”, yang terdiri dari beberapa sub-sub bahasan yaitu
dimulai dari latar belakang lahirnya Undang-undang kekerasan
dalam rumah tangga, selanjutnya tentang bentuk-bentuk
penlantaran istri oleh suami dalam rumah tangga, penelantaran istri
oleh suami sebagai bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga, para pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga,
unsur-unsur tindak pidana menelantarkan istri, sistem sanksi
terhadap pelaku tindak pidana menelantarkan istri.
Pada Bab III Pembahasan dilajutkan dengan topik bahasan “ketentuan
perundang-undangan lain yang terkait dengan tindakan menelantarkan isteri
oleh suami” yang terdiri dari tindakan menelantarkan istri oleh
suami sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut
hukum islam, dan penelantaran istri oleh suami menurut
Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Pada Bab IV mengakhiri dari pembahasan dari tulisan berupa bentuk
implementasi Penelantaran istri oleh suami dalam putusan
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
disusun oleh saya selaku penulis. Dan Akhirnya penulis
mengakhiri tulisan ini
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
BAB II
TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga
Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang
terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh
dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang
menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak
kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki ditengah-tengah masyarakat
yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap
perempuan sebagai pihak yang memang layak dikorbankan dan dipandang sebatas
alas kaki diwaktu siang dan alas tidur diwaktu malam.
Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk
hukum yang sementara ini ada semisal Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
rancangan perubahannya, Undang-undang Perkawinan dan rancangan
amandemennya, Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi dan
Undang-undang lainnya memang dari awal tidak dirancang untuk mengakomodasi
kepentingan perempuan, melainkan hanya untuk memihak dan melindungi
nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan
hukum yang ada masih memasukan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti
kasus perkosaan, perdangangan perempuan dan kasus pornografisme sebagai
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
yang justru sering menjadi korban. Implikasinya selain memunculkan rasa
ketidakadilan dalam hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan
perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah
untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jka pada tataran tertentu
hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh marjinalisasi
perempuan.
Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga mereka
merasa perlu melakukan pembaharuan institusional dan hukum yang lebih
memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan
sistematis.
Pembaharuan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya
mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui
kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma, dan
tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Adapun
pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan,
pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melelui legislasi produk
hukum yang lebih bersifat jender.
Dalam hal ini, upaya strategis yang pertama kali mereka lakukan adalah
mendesak Pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas
memonitor tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap
perempuan. Upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No.181
Tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional Tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan, termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diantaranya
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
sekaligus melalui pemberian advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk
mensosialisasikannya ketengah-tengah masyarakat. Hasilnya adalah disahkannya
Rancangan undang Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi
Undang-Undang.
Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan bukti konkret sikap
formal negara yang menyatakan kekerasan di dalam rumah tangga adalah
pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan,
serta bentuk diskriminasi. Pandangan ini linier dengan Pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945 maupun amandemennya.
Sebagai rujukan hukum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terbukti tidak mampu memberikan
perlindungan optimal bagi korban, karena kedua aturan tersebut masih bersifat
umum, tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarki dan feodal, serta
adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya
disparatis sosial dan bias gender.15
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dan Kitab Undang-undang Hukum
acara Pidana merupakan landasan dalam menjatuhkan hukuman terhadap tindak
pidana, namun keduduk an Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak bisa terlepas dari sistem hukum
kebiasaan dalam masyarakat, dimana Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak
dapat memberikan adanya perlindungan hukum terhadap para korban kekerasan
dalam tangga dan para pencari keadilan yang menyangkut adannya kekerasan
15
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
dalam rumah tangga, hal tersebut karena budaya patriarki dan feodal, meskipun
dibeberapa daerah menganut budaya matrilineal namun negara Indonesia yang
terdiri dari beberapa suku bangsa ini hampir seluruhnya menganut budaya
partiarki, dan adanya anggapan bahwa tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
merupakan persoalan privat juga didukung oleh adanya disparatis sosial membuat
sulitnya para aparat penegak hukum menempatkan posisinya dalam membantu
masyarakat dalam tindakan preventif dan represif sebelum keluarnya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah kekerasan
dalam rumah tangga. Pengertian ini penting untuk dikemukakan mengingat
ideologi harmonisasi keluarga yang dianut masyarakat selama itu dan dianggap
persoalan privat. Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tegas
hadir untuk menetang adanya tindankan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan
memberikan definisi tentang apa yang dikategorikan dengan kekerasan tersebut
beserta variannya.
Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk mengakses
perlindungan hukum bukan fenomena baru. Mentri Negara Pemberdayaan
Perempuan mengatakan 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta
terutama diderah pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terutama Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.16
Kendala untuk mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek
struktural lebih banyak disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan
perlakuan feodal masyarakat. Dalam budaya patriarki, korban Kekerasan dalam
16
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Rumah Tangga menghadapi kendala yang berlapis untuk mengakses hukum,
seperti:17
1. Adanya nilai sosial masyarakat yang menganggap Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah urusan suami istri sehingga campur tangan pihak luar dianggap
tidak lazim/tabu.
2. Melaporkan kejadian Kekerasan dalam Rumah Tangga berarti membuka aib
keluarga.
3. Ketergantungan ekonomi, dalam arti bahwa keluarga miskin atau keluarga
yang dilanda masalah ekonomi memiliki peluang terjadinya kekerasan dlam
rumah tangga.
4. Respon aparat polisi dalam menangani pengaduan Kekerasan dalam Rumah
Tangga kurang serius.
Secara struktural belum adanya perangkat hukum yang secara khusus
dijadikan rujukan hukum. Selama ini dalam menyelesaikan Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah Undang-undang perkawinan, yang tidak sesuai dan tidak
akomodatif, karena secara tegas tidak mampu memberikan definisi Kekerasan
dalam Rumah Tangga sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu oleh
undang-undang. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 sangat luas dan terperinci. Bagaimana cara kekerasan itu
dilakukan, jenis kekerasan itu dilakukan dan dan akibat yang ditimbulkan.
Disamping itu ukuran waktu dari dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan juga
dikategorikan untuk menentukan bobot pelanggaran/kejahatan.
17
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Dari berbagai jenis/bentuk kekerasan yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 bukan tidak mungkin terdapat satu atau lebih jenis
kekerasan yang universal/lazim dilakukan oleh kelompok/golongan masyarakat,
tetapi masyarakat justru mengamininya karena terdapatnya dukungan tatanan
sosio-kultural setempat yang memberikan pembenaran bahwa hal itu diwajarkan,
misalnya suami karena sebagai kepala rumah tangga berhak memukul atau
menghardik istrinya bila dianggap tidak tunduk dengannya. Atau diwajarkan
lelaki yang memiliki kekuasaan atau kekuatan ekonomi tinggi untuk merendahkan
eksistensi perempuan dengan mengulurkannya dengan ukuran material seperti
pemberian uang atau barang.
Masih begitu kuat tatanan nilai sosial-kultural dan perlakuan feodal
mengisyaratkan bahwa sebagai perangkat hukum, efektifitas Undang-undang
tersebut dilapangan masih harus melalui proses sosialisasi yang kompeherensif
dan bulat. Agar proses sosialisasi Undang-undang 23 Tahun 2004 benar-benar
melahirkan pandangan sosial yang dapat merekonstruksi tata nilai sosial yang
keliru (korektif), maka sosialisasi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan,
dan melibatkan seluruh unsur dinamika masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini
dilakukan untuk menadapatkan dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat
agar substansi materi yang disosialisasikan dapat diyakini kebenarannya secara
melembaga pula.
Pola sosialisasi mencakup dua aspek, yakni:18
18
Arief Gosita,Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
1. Aspek material adalah memberikan penjelasan mengenai definisi serta kriteria
Kekerasan dalam Rumah Tangga beserta varianya. Dalam memberikan
penjelasan hendaknya menitikberatkan pada pemberian pemahaman yang
dikaitkan dengan nilai-nilai sosial-kultural setempat atau religi yang selama
ini diyakini. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak merasa takut/bersalah
untuk meyakini nilai-nilai sosial baru, yang selama inidianggap melanggar
aturan adat atau agama.
2. Aspek ketepatan objek sasaran. Dimana sosialisasi target sasaran hendaknya
diarahkan pada kelompok masyarakat yang tersubordinisir atau rentan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga.seperti permpuan miskin atau yang
memiliki latar belakang pendidikan formal rendah. Target sasaran juga perlu
memperhatikan aspek wilayah, karena data empiris menunjukan frekuensi
kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga banyak terjadi dipedesaan atau
wilayah kemasyarakatan yang masih kuat memegang aturan adat sebagai
tatanan nilai sosial bermasyarakat.
Undang-undang No.23 Tahun 2004 adalah Undang-undang yang mengatur
permasalahan spesifik secara khusus, sehingga di dalamnya memuat unsur lex
special yaitu unsur korektif, preventif dan korektif. Namun sebagai instrumen
hukum Undang-undang No.23 Tahun 2004 tingkat efektivitas penerapanya akan
berhadapan dengan sikap resistensi dari sebagian masyarakat akibat masih
diyakini cara pandang yang bermuara pada budaya patriarki dan feodal.
Berpijak dari kenyataan empiris fenomena Kekerasan dalam Rumah
Tangga serta masih begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang masih belum
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
guna mengefektifkan Undang-undang No.23 Tahun 2004 perlu dilakukan
sosialisasi secara terpadu dan melembaga. Sosialisasi ini diharapkan
terekonstruksi tata nilai sosial baru yang dapat diyakini masyarakat bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan yang perlu
dikriminalisasikan dan bukan lagi hanya urusan suami-istri/keluarga(privat).
Karena secara substansi telah melanggar hak azasi manusia dan juga sebagaimana
tindakan yang dilarang oleh agama dimana pengaturannya terdapat juga dalam
hukum perkawinan islam.
Bentuk-Bentuk Penelantaran Istri Dalam Rumah Tangga.
Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberi pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Pusat komunikasi kesehatan berprespektif gender menambahkan bahwa
bentuk penelantaran rumah tangga selain tidak memberikan nafkah kepada istri,
tetapi juga membiarkan istrinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai
suami, bahkan mempekerjakannya sebagai istri dan memanfaatkan ketergantugan
istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.
Jika dibandingkan dengan rumusan kekerasan Rancangan Undang-undang
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, istilah yang digunakan adalah
kekerasan ekonomi yang berarti:
“Setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau
diluar yang menghasilkan uang, barang dan atau jasa, dan atau
membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan
anggota keluarga.”
Istilah kekerasan ekonomi juga digunakan di dalam usulan perbaikan atas
Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan
oleh Badan Legislatif dewan perwaklan rakyat, tanggal 6 Mei 2003. Dalam Pasal
1 angka 6 usulan tersebut disebutkan bahwa kekerasan ekonomi adalah:
“Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang utnuk bekerja di dalam atau diluar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.”
Dari definisi yang diberikan oleh badan legislatif diatas maka dapat
disimpulkan bahwa dengan digunakannya istilah penelantaran rumah tangga
dalam Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tampak bahwa pembuat
Undang-undang cenderung untuk mempersempit tindakan-tindakan yang
sebenarnya dapat dikatakan sebagai kekerasan ekonomi19
Penelantaran rumah tangga akan menimbulkan ketergantungan secara
ekonomi hanya merupakan dua dari sekian banyak jenis kekerasan ekonomi,
seperti mengeksploitasi istri dengan cara menyuruh istri bekerja, tetapi
penghasilanya tersebut kemudian diminta suami dan istri tidak memiliki akses .
19
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
apapun atas penghasilannya tersebut, memakai dan menjual barang-barang milik
istri untuk keperluan yang tidak jelas.
C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Keberadaan Undang-undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
menjadi sangat penting karena tanpa aturan hukum yang jelas atau kebijakan
publik akan semakin menyuburkan praktik Kekerasan dalam Rumah Tangga
tersebut. Ketiadaan kebijakan publik terlihat dari tidak adanya perhatian yang
serius dari pemerintah terhadap koraban kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan,
masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga belum dipandang sebagai persoalan
publik, melainkan dianggap sebagai persoalan sepele yang terjadi ditingkat
domestik. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah kekerasan
didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum memberikan perlindungan
yang memadai bagi korban kekerasan karena kekerasan yang dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya ditujukan pada kekerasan fisik,
seperti yang dirumuskan dalam Pasal 89 dan 90 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Rumusan tersebut belum menjangkau bentuk-bentuk kekerasan selain
kekerasan fisik, seperti kekerasan emosional/psikologis,seksual dan terutama
dalam hal ekonomi yaitu berupa penelantaran rumah tangga. Penelantaran dalam
rumah tangga tersebut yang ditujukan adalah penelantaran istri oleh suami.
Keterbatasan lain didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah
tidak adanya pidana minimum sehingga seringkali hukuman yang dijatuhkan oleh
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
ayat 2, ayat 3, Kitab undang Hukum Pidana dan Pasal 356 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang sering digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, mengatur hukuman selama dua sampai dengan dua belas
tahun pidana penjara bagi pelaku penganiayaan. Namun, dalam kenyataannya
pelaku kekerasan sering dihukum percobaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
persepsi aparat penegak hukum (Hakim atau Jaksa) yang melihat bahwa
penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya berbeda dengan
penganiayaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai hubungan suami
istri. Dengan kata lain pendekatan yang dilakukan oleh hakim atau jaksa
cenderung menekankan konsep harmoni dalam keluarga.
Untuk melihat pergeseran dari hukum perdata ke hukum publik terhadap
kekerasan dalam rumah tangga, akan ditinjau berdasarkan teori Pitlo Yang
menyatakan bahwa:
“Pada awalnya setiap orang memeiliki kebebasan untuk menentukan posisi yuridis. Disini ada kebebasan individu yang utama dalam melakukan hubungan hukum dalam masyarakat, namun ternyata
pengutamaan kebebasan individu dalam lalu lintas hidup bermasyarakat menyebabkan kesenjangan yang tajam dalam kehidupan masyarakat.
Akhirnya, tumbuh suatu kesadaran dimana kepentingan masyarakat umum yang utama. Hal ini dilandasi adanya kenyataan bahwa kebebasan yuridis dan ketidaksamaan ekonomi menimbulkan peluang bagi penyalahgunaan
kekuasaan yang berakhir pada pembelengguan dan penindasan kepada pihak yang lemah secara ekonomi. Selanjutnya, penguasa atau
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
melindungi silemah dalam bentuk mengeluarkan peraturan
perundang-undangan. Hal ini menyebabkan dengan sendirinya terjadi pembatasan kebebasan individu.”20
Hal tersebut diatas terjadi karena pengertian didalam masyarakat yang
menyatakan bahwa masalah yang terjadi didalam keluarga adalah masalah yang
harus diselesaikan oleh orang-orang didalam keluarga tersebut. Karena
sebelumnya didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tindakan penelantaran Dari pendapat pitlo diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam
hubugan manusia, hukum yang pertama sekali berlaku adalah hukum privat,
dimana dalam hubungan manusia tersebut telah terjadi perjanjian yang menjadi
ketentuan peraturan bagi orang-orang yang melakukan perjanjian. Tindakan
penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri sebelum
keluarnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih
menjadi masalah hukum Privat atau penyelesaiannya dilakukan melalui
Pengadilan Agama.
Dalam beberapa kasus sebelum lahirnya Undang-undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga terlihat bahwa budaya patriarki selalu menekan
wanita dalam mendapatkan perlindungan hukum. Banyak terjadi penelantaran
rumah tangga oleh para suami dimana akhirnya para istrilah yang akhirnya
menjadi tulang punggung dalam menafkahi keluarga yang ditinggalkan oleh sang
suami.
20
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
istri oleh suami tidak termaksud ke dalam tindakan kekerasan seperti yang tertulis
didalam Pasal 89 dan 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Menurut Paul Scholten, hukum perdata harus dianggap sebagai hukum
umum yang mengatur segalanya kecuali hukum publik telah mengatur secara
menyimpang. Semantara itu menurut Mr. L.J.Van apeldoorn mengatakan bahwa:
“Hukum sipil adalah peraturan hukum yang mengatur kepentingan orang
perseorangan (Bijzondere Belagen) yang pelaksanaannya terserah kepada
maunya yang berkepentingan, sedang hukum publik adalah peraturan
hukum yang mengatur kepentingan umum.”21
Perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu yang cepat serta bertanbah
kompeksnya masyarakat dapat dikatakan membawa difrensiasi dan spesialisasi
dalam seluruh bidang pemikiran manusia yang menampakan dirinya dalam
semakin kompleksnya hukum. Hal ini berarti, perundang-undangan semakin
bertambah luas dan terperinci undang-undangnya. Hal tersebut akan menciptakan
problema baru sebagai akibat adanya prumusan yang rumit. Dalam periode ini
dianggap bahwa pertimbangan-pertimbangan para hakim yang bijaksana dan
didasarkan pada kepatutan dan keadaan lebih menjamin terpenuhinya rasa
keadilan bagi pencari hukum daripada penyelesaian suatu persoalan konkret yang Ditegaskan pula oleh Mr.Van Apeldoorn bahwa hal tersebut perbedaan
bukan perpisahan. Artinya kepentingan orang perorangan tidak dapat dipisahkan
dari kepentingan umum oleh karena seorang manusia bersama-sama adalah orang
perseorangan dan juga anggota masyarakat maka antara dua macam hukum itu
sebetulnya tidak mungkin diadakan perbedaan yang terang.
21
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
banyak sedikitnya selalu digantungkan pada ketentuan undang-undang yang
terperinci.
Dari hal tersebut maka terlihat bahwa:
1. Hukum bergeser dari suasana hukum perdata kehukum publik. Dalam bidang
yang tetap dikuasai oleh suasana hukum perdata, kebebasan hakim lebih besar.
Pergeseran kehukum publik membawa serta perluasan ketentuan-ketentuan
hukum memaksa terhadap ketentuan-ketentuan hukum pelengkap. Gejala ini
berarti pembatasan kebebasan individu.
2. Dengan semakin intensifnya lalu lintas hukum, bentuk-bentuk pun semakin
berkurang. Berhadapan dengan itu, sebagai salah satu akibat dari sosialisasi
hukum dan juga bertambah intensifnya lalu lintas hukum, ialah bertambah
banyaknya tindakan-tindakan hukum yang dikenakan syarat publikasi. Dengan
lebih seringnya setiap orang berurusan dengan setiap orang lain dan posisi
hukum seseorang semakin ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh
orang-orang lain, maka Undang-undang pun harus menjaga agar orang-orang-orang-orang lebih
banyak saling mengetahui perbuatan masing-masing.
3. Pemikiran manusia mengalami proses pertumbuhan yang abadi juga karena itu
hukum bergerak sebab hukum adalah produk dari pemikiran manusia.
Menganggap diri sendiri lebih leluasa terhadap naskah undang-undang,
menciptakan ruang gerak untuk mengakui etika didalam hukum, untuk
menerapkan pengertian-pengertian tentang kepatutan dan itikad baik, juga hal
ini bertentangan dengan bunyi harfiah undang-undang.
Pergeseran masalah hukum perdata tersebut juga dapat dilihat pada
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
pemerintah untuk membatasi hubungan antara suami-istri meskipun hubungan
antara suami-istri tersebut awalnya adalah hubungan perdata yang berarti
memberikan kebebasan individu, namun Undang-undang tersebut telah
mengalami Permasyarakatan hukum atau sosialisering proses.
Menurut Pitlo, permasyarakatan hukum atau sosialisering proses
merupakan suatu perkembangan dimana hukum publik mendesak hukum perdata
yang disebabkan oleh adanya campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan
keperdataan.22
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbagi dalam tiga buku,
yaitu buku 1 tentang peraturan umum, Buku II tentang kejahatan dan buku III Pemerintah melalui aturan-aturan hukum membatasi kebebasan
individu, artinya kebebasan individu dalam lapangan hukum keperdataan dibatasi
demi kepentingan umum. Pembatasan kebebasan individu ditujukan untuk
memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Jadi pergeseran masalah
hukum perdata pada hukum publik terhadap tindakan suami mentelantarkan istri
adalah dalam rangka menghormati pihak yang lemah atau tersubordiansi
dilakukan dengan menghormati hak-hak azasi kaum wanita atau para istri.
Adanya campur tangan pemerintah dalam memberikan keadilan dan
perlindungan hukum terhadap para korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
dalam hal kekerasan ekonomi yaitu penelantaran rumah tangga oleh suami yang
tidak mau bertanggung jawab atas istri yang telah memiliki oleh ikatan yang sah,
hal ini telah memberikan tindakan represif dan preventif terhadap tindakan
penelantaran rumah tangga yang menjadi tindakan kekerasan dalam rumah
tangga.
22
Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.
USU Repository © 2009
tentang pelanggaran. Buku I berisi tentang aturan-aturan umum yang menjadi
acuan baik bagi keseluruhan penerapan Pasal di dalam buku II dan buku III dari
KUHP ini, maupun bagi Undang-undang Pidana lainya yang berdiri sendiri,
kecuali apabila diatur tersendiri dalam Undang-undang tersebut. Seperti dikatakan
oleh R.Tresna title (maksudnya bab) I sampai dengan VIII dari buku I ini berlaku
juga terhadap perbuatan-perbuatan pidana yang ditetapkan di dalam
peraturan-peraturan lain, kecuali jikalau dalam Undang-undang tersebut ditetapkan lain.23
Pembuat Undang-undang waktu itu bebas menentukan suatu perbuatan
terlarang apakah akan dikategorikan sebagai pelanggaran atau kejahatan. Namun
menurut Bambang Poernomo, ada perbedaan antara kategori kejahatan dan
pelanggaran dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kejahatan atau
crimineel onrecht merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan Tuhan atau membahayakan
kepentingan umum. Sedangkan pelanggaran atau politie onrecht adalah perbuatan
yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa.
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana berisi rumusan atas
perbuatan yang dilarang dan harus dilakukan, yang dikategorikan sebagai
kejahatan dan buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana berisi perbuatan
yang dikategorikan sebagai pelanggaran.
24
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pengertian kekerasan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 89 hanya menggambarkan kekerasan pisik
saja, sebagaimana dimasukannya definisi kekerasan tersebut dalam Pasal 285,
23
R.Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara, 1959, hlm 195 24