• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga Tangga

Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki ditengah-tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang layak dikorbankan dan dipandang sebatas alas kaki diwaktu siang dan alas tidur diwaktu malam.

Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada semisal Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan rancangan perubahannya, Undang-undang Perkawinan dan rancangan amandemennya, Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi dan Undang-undang lainnya memang dari awal tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, melainkan hanya untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kasus perkosaan, perdangangan perempuan dan kasus pornografisme sebagai persoalan kesusilaan bukan dalam rangka melindungi integritas tubuh perempuan

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

yang justru sering menjadi korban. Implikasinya selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jka pada tataran tertentu hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh marjinalisasi perempuan.

Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga mereka merasa perlu melakukan pembaharuan institusional dan hukum yang lebih memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis.

Pembaharuan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma, dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Adapun pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melelui legislasi produk hukum yang lebih bersifat jender.

Dalam hal ini, upaya strategis yang pertama kali mereka lakukan adalah mendesak Pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan-tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No.181 Tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diantaranya adalah melalui penyusunan Undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

sekaligus melalui pemberian advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ketengah-tengah masyarakat. Hasilnya adalah disahkannya Rancangan undang Kekerasan dalam Rumah Tangga menjadi Undang-Undang.

Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan bukti konkret sikap formal negara yang menyatakan kekerasan di dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi. Pandangan ini linier dengan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maupun amandemennya.

Sebagai rujukan hukum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terbukti tidak mampu memberikan perlindungan optimal bagi korban, karena kedua aturan tersebut masih bersifat umum, tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarki dan feodal, serta adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya disparatis sosial dan bias gender.15

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dan Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana merupakan landasan dalam menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana, namun keduduk an Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak bisa terlepas dari sistem hukum kebiasaan dalam masyarakat, dimana Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak dapat memberikan adanya perlindungan hukum terhadap para korban kekerasan dalam tangga dan para pencari keadilan yang menyangkut adannya kekerasan

15

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

dalam rumah tangga, hal tersebut karena budaya patriarki dan feodal, meskipun dibeberapa daerah menganut budaya matrilineal namun negara Indonesia yang terdiri dari beberapa suku bangsa ini hampir seluruhnya menganut budaya partiarki, dan adanya anggapan bahwa tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan privat juga didukung oleh adanya disparatis sosial membuat sulitnya para aparat penegak hukum menempatkan posisinya dalam membantu masyarakat dalam tindakan preventif dan represif sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Pengertian ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang dianut masyarakat selama itu dan dianggap persoalan privat. Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tegas hadir untuk menetang adanya tindankan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan memberikan definisi tentang apa yang dikategorikan dengan kekerasan tersebut beserta variannya.

Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk mengakses perlindungan hukum bukan fenomena baru. Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan mengatakan 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama diderah pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga.16

Kendala untuk mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek struktural lebih banyak disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan perlakuan feodal masyarakat. Dalam budaya patriarki, korban Kekerasan dalam

16

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Rumah Tangga menghadapi kendala yang berlapis untuk mengakses hukum, seperti:17

1. Adanya nilai sosial masyarakat yang menganggap Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah urusan suami istri sehingga campur tangan pihak luar dianggap tidak lazim/tabu.

2. Melaporkan kejadian Kekerasan dalam Rumah Tangga berarti membuka aib keluarga.

3. Ketergantungan ekonomi, dalam arti bahwa keluarga miskin atau keluarga yang dilanda masalah ekonomi memiliki peluang terjadinya kekerasan dlam rumah tangga.

4. Respon aparat polisi dalam menangani pengaduan Kekerasan dalam Rumah Tangga kurang serius.

Secara struktural belum adanya perangkat hukum yang secara khusus dijadikan rujukan hukum. Selama ini dalam menyelesaikan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah Undang-undang perkawinan, yang tidak sesuai dan tidak akomodatif, karena secara tegas tidak mampu memberikan definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu oleh undang-undang. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sangat luas dan terperinci. Bagaimana cara kekerasan itu dilakukan, jenis kekerasan itu dilakukan dan dan akibat yang ditimbulkan. Disamping itu ukuran waktu dari dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan juga dikategorikan untuk menentukan bobot pelanggaran/kejahatan.

17

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal 8

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Dari berbagai jenis/bentuk kekerasan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 bukan tidak mungkin terdapat satu atau lebih jenis kekerasan yang universal/lazim dilakukan oleh kelompok/golongan masyarakat, tetapi masyarakat justru mengamininya karena terdapatnya dukungan tatanan sosio-kultural setempat yang memberikan pembenaran bahwa hal itu diwajarkan, misalnya suami karena sebagai kepala rumah tangga berhak memukul atau menghardik istrinya bila dianggap tidak tunduk dengannya. Atau diwajarkan lelaki yang memiliki kekuasaan atau kekuatan ekonomi tinggi untuk merendahkan eksistensi perempuan dengan mengulurkannya dengan ukuran material seperti pemberian uang atau barang.

Masih begitu kuat tatanan nilai sosial-kultural dan perlakuan feodal mengisyaratkan bahwa sebagai perangkat hukum, efektifitas Undang-undang tersebut dilapangan masih harus melalui proses sosialisasi yang kompeherensif dan bulat. Agar proses sosialisasi Undang-undang 23 Tahun 2004 benar-benar melahirkan pandangan sosial yang dapat merekonstruksi tata nilai sosial yang keliru (korektif), maka sosialisasi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, dan melibatkan seluruh unsur dinamika masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini dilakukan untuk menadapatkan dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat agar substansi materi yang disosialisasikan dapat diyakini kebenarannya secara melembaga pula.

Pola sosialisasi mencakup dua aspek, yakni:18

18

Arief Gosita,Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

1. Aspek material adalah memberikan penjelasan mengenai definisi serta kriteria Kekerasan dalam Rumah Tangga beserta varianya. Dalam memberikan penjelasan hendaknya menitikberatkan pada pemberian pemahaman yang dikaitkan dengan nilai-nilai sosial-kultural setempat atau religi yang selama ini diyakini. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak merasa takut/bersalah untuk meyakini nilai-nilai sosial baru, yang selama inidianggap melanggar aturan adat atau agama.

2. Aspek ketepatan objek sasaran. Dimana sosialisasi target sasaran hendaknya diarahkan pada kelompok masyarakat yang tersubordinisir atau rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.seperti permpuan miskin atau yang memiliki latar belakang pendidikan formal rendah. Target sasaran juga perlu memperhatikan aspek wilayah, karena data empiris menunjukan frekuensi kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga banyak terjadi dipedesaan atau wilayah kemasyarakatan yang masih kuat memegang aturan adat sebagai tatanan nilai sosial bermasyarakat.

Undang-undang No.23 Tahun 2004 adalah Undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga di dalamnya memuat unsur lex

special yaitu unsur korektif, preventif dan korektif. Namun sebagai instrumen

hukum Undang-undang No.23 Tahun 2004 tingkat efektivitas penerapanya akan berhadapan dengan sikap resistensi dari sebagian masyarakat akibat masih diyakini cara pandang yang bermuara pada budaya patriarki dan feodal.

Berpijak dari kenyataan empiris fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga serta masih begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang masih belum mengerti dan memehami konsep tentang kekerasan dalam rumah tangga, maka

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

guna mengefektifkan Undang-undang No.23 Tahun 2004 perlu dilakukan sosialisasi secara terpadu dan melembaga. Sosialisasi ini diharapkan terekonstruksi tata nilai sosial baru yang dapat diyakini masyarakat bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan dan bukan lagi hanya urusan suami-istri/keluarga(privat). Karena secara substansi telah melanggar hak azasi manusia dan juga sebagaimana tindakan yang dilarang oleh agama dimana pengaturannya terdapat juga dalam hukum perkawinan islam.

Bentuk-Bentuk Penelantaran Istri Dalam Rumah Tangga.

Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberi pemeliharaan kepada orang tersebut.

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Pusat komunikasi kesehatan berprespektif gender menambahkan bahwa bentuk penelantaran rumah tangga selain tidak memberikan nafkah kepada istri, tetapi juga membiarkan istrinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai istri dan memanfaatkan ketergantugan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.

Jika dibandingkan dengan rumusan kekerasan Rancangan Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diajukan oleh Lembaga Bantuan Hukum

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, istilah yang digunakan adalah kekerasan ekonomi yang berarti:

“Setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau diluar yang menghasilkan uang, barang dan atau jasa, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga.”

Istilah kekerasan ekonomi juga digunakan di dalam usulan perbaikan atas Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif dewan perwaklan rakyat, tanggal 6 Mei 2003. Dalam Pasal 1 angka 6 usulan tersebut disebutkan bahwa kekerasan ekonomi adalah:

“Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang utnuk bekerja di dalam atau diluar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.” Dari definisi yang diberikan oleh badan legislatif diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan digunakannya istilah penelantaran rumah tangga dalam Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tampak bahwa pembuat Undang-undang cenderung untuk mempersempit tindakan-tindakan yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai kekerasan ekonomi19

Penelantaran rumah tangga akan menimbulkan ketergantungan secara ekonomi hanya merupakan dua dari sekian banyak jenis kekerasan ekonomi, seperti mengeksploitasi istri dengan cara menyuruh istri bekerja, tetapi penghasilanya tersebut kemudian diminta suami dan istri tidak memiliki akses

.

19

R.Saraswati,Perempuan dan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga, Citra Aditya, Bandung.2006, hal 27

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

apapun atas penghasilannya tersebut, memakai dan menjual barang-barang milik istri untuk keperluan yang tidak jelas.

C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Tindak Pidana Kekerasan