• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAKAN PENELANTARAN ISTRI OLEH SUAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

C. Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga

C.3. Sistem Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Menelantarkan Istri

Dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap tindakan suami menelantarkan istri dapat dilihat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, antara lain:

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1):

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku:

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Dari kedua Pasal tersebut dapatlah ditentukan bahwa sistem sanksi terhadap pelaku penelantaran istri berupa sistem Double track system merupakan dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana disatu pihak dan jenis sanksi tindakan dipihak lain. Walaupun ditingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan sering agak samar, namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan mendasar. Keduanya berasal dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan” sedangkan sanksi itu bertolak dari ide dasar:”untuk apa diadakan pemidanaan itu”.33

33

Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana/ ide dasar double track system dan implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. hal 2

Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarkat dan pembinaan atau perawatan sipembuat.34Atau seperti yang dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititik beratkan pada yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.35

Berdasarkan tujuannya maka kita dapat melihat beberapa bentuk teori pemidanaan didunia yaitu:36

1. Teori Retributif

Pencetus teori ini adalah Immanuel Kant dan Hegel yang mana teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehinga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.

2. Teori Deterrence

teori ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan dengan dua orang tokoh yaitu Cessare Beccaria dan Jeremy Bentham. Beccaria menegaskan “bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat. Dan

34

Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A, Semarang: Badan Penyelidikan Kuliah FH-UNDIP, ,1973,hlm.7

35

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT.Bina Aksara, 1987, hlm 350

36

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

berbeda dengan Beccaria maka Jeremy Bentham memberikan pandangan yang lebih radikal, dimana beliau berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat, dan untuk mencapai kebahagiaan tersebut maka tujuan pemidanaan adalah untuk deterrence, incapacitation, dan rehabilitaion. 3. Teori Treatment

Teori Teatment sebagai tujuan dari pemidanaan dikemukakan oleh aliran positip yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya,namun pemidanaan yang dimaksud aliran ini adalah untuk memberikan tindakan perawatan (treatment) dan Perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari hukumannya. Dimana argumen dari aliran positip ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Aliran positip ini lahir pada abad ke 19 yang dipelopori oleh Caesare Lamroso, Enrico Feri dan Raffaele Garofalo

4. Teori Sosial Defence

Sosial defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatika, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat. Teori ini berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Tujuan hukum pidana yang ada sekarang adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

Dari beberapa teori diatas dapatlah ditarik sebuah konklusi bahwa sanksi pidana dari tindakan penelantaran rumah tangga yang menganut sistem Double

track system adalah merupakan bentuk sanksi yang mana tetap berlandaskan

bahwa tujuan pemidanaan adalah sebagai alat pembalasan, sebagai alat yang dapat mencegah sesorang untuk tidak dapat melakukannya, dan sebagai alat untuk tindakan perawatan dan rehabilitasi terhadap pelaku sebagaimana dicantumkannya pidana tambahan pada Pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004.

Dalam hal penentuan sanksi pidana haruslah dilihat dari empat aspek yaitu:

1. Penetapan perbuatan yang dilarang;

2. Penetapan ancaman sanksi pidana terhdapa perbuatan yang dilarang; 3. Tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); 4. Tahap pelaksanaan pidana.

Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan yang lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.37

37

Mudzakir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, makalah

disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: diselenggarakan oleh fakultas hukum UII, 15 Juli 1993,

hal.2

Dari empat aspek tersebut bagian terpenting dari pemidanaan keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakan berlakunya norma. Disisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Dalam hal sanksi pidana yang ditetapkan terhadap tindakan penelantaran rumah tangga dalam pasal 49 dan pasal 50 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tak dapat dipungkiri bahwa masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan Undang-undang yang diajukan kelembaga legislatif tersebut. Pengaruh yang paling menonjol adalah keberagaman jenis dan bentuk sanksinya. Menurut Barda Nawawi Arief:

“strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat permasalahanya” . 38

Sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan yang istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan sipelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.

Jadi dalam hal permasalahan tindak pidana penelantaran rumah tangga maka penggunaan sanksinya adalah pidana pokok berupa hukuman penjara dan pidana tambahan.

39

Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dari sudut ide dasar Double Track System, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan sanksi

38

Barda nawawi Arief, loc.,cit 39

Muladi dan Barda Nawawi arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni Bandung, 1992,hal.5

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. Dengan sistem dua jalur ini (doble track system) pada Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga terutama pada Pasal 49 dan 50 untuk pengaturan tindakan penelantaran rumah tangga. Sistem sanksi pidana tersebut akan membuka peluang bagi difungsikannya sanksi-sanksi yang bersifat retibutif dan teologis secara seimbang dan proporsional. Dengan demikian tujuan pemidanaan yang bersifat plural dapat tercapai. Yakni; pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara soilidaritas masyarakat, menegakan perlindungan hak asasi manusia ,mencegah seseorang untuk melakukan tindak pidana, dan memberikan efek jera terhadap pelaku tersebut agar tidak mengulanginya.

Perdinan Markos Sianturi : Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan), 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN LAIN YANG TERKAIT