• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan tentang analisa kritis ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua

golongan yakni secara internal dan eksternal. Secara internal, analisa kritis dalam pelaksanaan upacara kathina ini dapat memberikan motivasi kepada setiap individu untuk berdana tanpa mengharapkan imbalan. Sedangkan secara eksternal, analisa kritis dalam perayaan upacara kathina adalah dapat menimbulkan rasa kepedulian sosial, yaitu dengan cara meringankan beban penderitaan orang lain melali pemberian dana. Berdana merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat

Demikian pula halnya dengan agama Buddha, agama ini mengajarkan tentang cara-cara berdana. Sang Buddha menjelaskan bahwa dana adalah suatu pemberian yang ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Dana juga merupakan pelepasan sebagian milik umat kepada makhluk lain tanpa adanya pamrih. Hal ini perlu dijelaskan oleh umat Buddha guna menangkal berbagai anggapan dari kelompok

lain bahwa ajaran Buddha sama dengan ajaran agama lainnya. Salah satu tujuan berdana dalam agama Buddha adalah menebarkan kasih

sayang. Dengan melakukan dana kathina, maka mereka telah mempraktekkan ajaran cinta kasih yang dalam agama Buddha dikenal dengan istilah metta atau cinta kasih yang tanpa batas dan karuna atau belas kasihan yang terdapat dalam diri umat Buddha. Oleh sebab itu menurut Buddha, semua agama hendaknya mengemban misi perdamaian dalam menyebarkan agamanya. Cinta, damai dan sejahtera bukanlah milik kelompok tertentu, tetapi milik semua orang merealisasikan agama dalam kehidupan baik itu di lingkungan keluarga maupun

di lingkungan masyarakat, karena agama adalah perekat kemanusiaan. Jika manusia dalam beragama hanya sebatas tradisi, budaya, ritual dan

hanya berhenti pada kepuasan intelektual semata, maka tidak ada perubahan. Gambaran yang nyata terjadi pada kehidupan sekarang ini, hanya demi ego banyak orang melakukan tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Penyimpangan moralitas hampir terjadi setiap saat dan mereka sangat bangga dengan apa yang dilakukannya.112 Tragedi kemanusiaan melanda dunia ini, perang terjadi di mana- mana, aksi teror dilakukan tanpa berpikir akan ada banyak korban yang tidak

berdosa mati sia-sia.

112

Bhikkhu Abhayanando, “Cinta Damai dan Sejahtera”, Majalah Dhammacakka, No. 30, Vol. IX, 2003, h. 13

Tragedi demi tragedi seharusnya dapat menyadarkan manusia sebagai

umat beragama untuk menciptakan cinta, perdamaian dan kesejahteraan. jika hal ini masih saja terjadi, maka manusia tidak dapat merealisasikan ajaran agama

dalam kehidupan sehari-hari. Agama mengajak penganutnya untuk merubah pola pikir yang menuju ke

arah kebaikan. Agama yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kepada tingkat kualitas batin yang sempurna yang tentunya perjuangan

ke arah itu tidak secara cepat tetapi secara bertahap. Jika manusia sudah memahami ajaran agama secara benar dan

merealisasikan agama dalam kehidupan dan menghilangkan motivasi-motivasi yang tidak baik dalam beragama, nantinya diharapkan akan sampai pada pemahaman agama yang benar dan mempunyai kepekaan atas penderitaan umat

manusia. Adanya kepekaan terhadap kemanusiaan sebagai awal perwujudan cinta

kasih. Kemajuan zaman yang tidak diimbangi dengan sumber daya manusia baik mental maupun spiritual akan membahayakan kehidupan ini. Orang berlomba-

lobam dalam mendapatkan materi, jabatan dan kemewahan duniawi lainnya.113 Manusia melegalkan semua cara dalam pencapaian kebahagiaan dan

kebutuhannya, karena manusia tidak pernah terpuaskan oleh semua yang telah ia peroleh. Manusia mencari sesuatu yang tidak ada atau menginginkan lebih atas apa yang ia peroleh sebelumnya. Hal ini menjadikan manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari jalur agama seperti meniup, mencuri,

113

“Berapakah harga kasih sayang?”, Suara Bodhidharma, Vol. 5, No. 2, Edisi 11 Maret 2002. h. 15

korupsi dan melakukan hal-hal yang tidak bermoral lainnya dapat merugikan orang lain. Moral mengajarkan seseorang menjadi orang saleh, bertingkah laku

sesuai dengan norma-norma masyarakat, sehingga tidak menimbulkan tekanan- tekanan pada diri sendiri dan orang lain. Namun sekalipun seseorang sudah bermoral, ia masih belum bebas dari tekanan-tekanan kekotoran batin. Ajaran Buddha mendalami lebih jauh akan hal ini, tujuannya langsung untuk

menghentikan atau menghilangkan penderitaan menuju kebahagiaan sejati.114 Kekotoran-kekotoran ini sesungguhnya merupakan penyakit hati

manusia. Penyakit mental ini jauh lebih berbahaya dibanding penyakit fisik. Lihatlah manusia-manusia yang diktator, mereka adalah orang-orang yang sehat secara fisik. Penyakit mereka memang kasat mata, oleh karena itu sangat berbahaya bila bersarang dalam diri manusia atau penguasa yang zalim. Sang Buddha menganjurkan agar mengalahkan musuh yang bersarang dalam diri manusia. Dalam hal ini Sang Buddha mengatakan “walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya

sendiri”.115 Sang Buddha menasehati agar manusia memilih jalan yang agung dalam

menangani keberingasan yaitu dengan cinta kasih, kemurahan hati, penuh maaf dan berdana. Obat peneduh dalam bentuk cinta kasih dan seringnya memberikan

114

Buddha Bhikkhu, “Hakikat Kehidupan”, Majalah Jalan Tengah, 1991, Cet. ke-1, h. 1

115

dana yang diikuti pemberian yang tulus merupakan cara satu-satunya untuk dapat menenangkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Bila dilihat kondisi sekarang ini, sepertinya manusia tidak lagi memiliki

hati nurani. Mereka melakukan perbuatan yang tanpa disadari atau memang mereka sadari telah menyakiti orang lain demi tercapainya keinginan mereka. Rasa egoisme dan rasa keangkuhan telah menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak mempunyai sedikit rasa belas kasihan dan enggan mengulurkan tangan

untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Memberikan dana kathina yang diajarkan oleh Sang Buddha dapat

menjadikan seseorang memiliki pengertian akan sifat kasih sayang secara universal, tanpa membedakan kasta, ras atau agama karena hanya dengan perasaan seperti ini orang dapat menghilangkan sifat egois yang menyebabkan manusia saling berselisih, meniup, bertengkar dan melakukan hal-hal yang buruk lainnya. Bila manusia telah memahami bahwa bukan hanya dia saja yang

mengalami kesukaran hidup, orang lain pun mengalami penderitaan yang sama, maka pandangan seperti ini dapat memperbesar tekad dan kemampuan seseorang untuk mengatasi kesukaran. Dengan demikian setiap kesukaran baru dapat dilihat sebagai suatu kesempatan berharga untuk mengembangkan batinnya, sehingga secara berangsur-angsur dapat memiliki perasaan kasih dan sayang, yang berarti bahwa ia dapat mengembangkan perasaan simpati yang tulus untuk penderitaan orang lain.116

116

Tenzin Gyatso Dalai Lama XIV, Belas Kasih dan Pribadi, (Jakarta : Yayasan Dian Dharma, 2000), h. 5

Dunia kini lebih membutuhkan dana sebagai jawaban atas permasalahan

dan kekacauan yang pernah terjadi. Pemberian dana yang diwujudkan melalui aktivitas keagamaan dapat memberikan solusi bagi kehidupan manusia. Dana kathina merupakan esensi jiwa dan spirit bagi manusia, karena jiwa yang hidup adalah jiwa yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Inilah sisi manusia yang paling dalam. Tanpa adanya kucuran dana, manusia mungkin akan mengalami kering kerontang seperti yang dapat dilihat pada orang yang mudah sekali mengutuk orang lain. Berdana kathina merupakan bentuk kasih sayang manusia terhadap manusia lainnya. Berdana kathina seperti yang telah diajarkan oleh Buddha adalah cara

berdana yang tidak pandang bulu, tanpa membedakan agama, suku bangsa, dan kedudukan seseorang, baik atau jahat, teman atau lawan. Karena bagi mereka memberikan dana kepada seseorang yang tidak ia sukai, itulah kesempatan bagi dia untuk mempraktekkan ajaran Buddha. Berdana kathina yang diajarkan Buddha adalah mengasihi seseorang atau

apa saja dengan tidak melekat pada seseorang atau benda apa saja. Mengasihi tanpa keinginan untuk memiliki karena dalam tingkat yang tertinggi tidak ada pemilik dan yang dimiliki. Berdana merupakan perbuatan yang dapat meringankan beban orang lain dengan cara memberikan sebagian harta kepada

orang membutuhkannya. Dengan demikian bila semua orang telah memahami dan menerapkan

kembali prinsip-prinsip berdana dalam kehidupan sehari-hari, maka hal ini merupakan solusi yang paling baik dalam menghadapi penyakit-penyakit rohani,

kegelisahan jiwa yang banyak dialami oleh manusia modern belakangan ini. Hal seperti ini merupakan kandungan makna dari upacara kathina.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian, penjelasan dan analisa di atas sebagai hasil dari penelitian yang

berkenaan dengan upacara kathina dalam agama Buddha, maka sebagai upaya mengakhiri pembahasan skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut : 1. Proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha dimulai dari

penyerahan jubah yang dipimpin oleh bhikkhu Sangha. Kain bahan jubah yang berwarna putih diserahkan kepada bhikkhu Sangha. Setelah menerima kain jubah, bhikkhu Sangha akan mengadakan pembagian tugas untuk membuat jubah kathina. Kain jubah tersebut kemudian dipotong-potong menurut ukuran dalam vinaya. Kemudian dijahit menjadi jubah. Setelah jadi jubah akan dicelup dalam zat pewarna jubah, dan kemudian dikeringkan. Sesudah kering, Sangha akan mengadakan upacara pembagian jubah. Seorang bhikkhu yang akan menerima jubah kathina diumumkan dalam sidang Sangha setelah melalui kesepakatan bersama. Selanjutnya bhikkhu yang berhak menerima jubah kathina akan melepaskan jubah lamanya dan memakai jubah baru, yaitu jubah kathina.

2. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara kathina pada agama Buddha adalah dana. Pada saat menjelang upacara kathina dana, umat akan mencari

dan mengumpulkan dana yang berupa kain putih, uang atau kebutuhan pokok para bhikkhu yang lain. Setelah itu umat akan datang ke salah satu vihara untuk menyampaikan maksud mereka mengadakan kathina dana di vihara tersebut. Pihak vihara akan menentukan apakah akan menerima dana tersebut atau tidak. Jika suatu permohonan telah diterima, maka akan ditentukan tanggal berikut harinya dan kemudian disiapkan segala sesuatunya.

3. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam upacara kathina yang lebih spesifik adalah pertama, agar manusia bisa memperlemah kemelekatan terhadap harta duniawi, sehingga penderitaan akibat terlalu mencintai harta akan dapat dikurangi dengan cara berdana. Jika ia sering berdana, maka ia mengkondisikan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, baik untuk masa depan maupun masa yang akan datang. Kedua, supaya orang-orang yang pantas menerima pembertian mendapatkan apa yang patut mereka terima, begitu pula orang-orang yang patut menerima pertolongan. Orang-orang yang patut menerima pemberian antara lain adalah bhikkhu dan bhikkuni, samanera dan pandita yang memiliki sila terpuji. Sedangkan orang-orang yang patut mendapatkan pertolongan antara lain adalah fakir miskin, yatim piatu, orang cacat yang tidak mampu bekerja, dan orang-orang jompo.

B. Saran-saran

Dari hasil studi dan penela’ahan tentang observasi yang tertuang dalam

skripsi ini, kiranya tidak berlebihan jika penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Berdana adalah hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama. Semua agama mengajarkan pada ummatnya untuk berdana. Agar dana yang diberikan mendapat tempat di sisi Tuhan Yang Maha Esa, hendaknya masyarakat yang memberikan dana harus dijiwai dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.

2. Upacara kathina yang sebenarnya dalam arti yang sesuai dengan vinaya adalah upacara persembahan bahan jubah dan pembuatan jubah kathina. Upacara ini hanya dapat berlangsung jika pada masa vassa berdiam lima orang bhikkhu di satu vihara. Jika kurang dari lima bhikkhu, maka umat tidak bisa melaksanakan upacara kathina yang sebenarnya itu. Oleh sebab itu pihak bhikkhu hendaknya memberikan dispensi kepada umat yang hendak menjalankan upacara kathina.

3. Salah satu tujuan vassa adalah memberi kesempatan kepada para bhikkhu agar dapat mengkonsentrasikan pikiran mereka pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dhamma. Agar pikiran para bhikkhu ini tetap berkonsentrasi pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dhamma, maka umat Buddha hendaknya memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti sandang, papan, pangan dan obat-obatan.

4. Hari raya kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Buddhist lainnya, karena pada hari kathina ini umat secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha yaitu dengan cara berdana. Agar dana yang dipersembahkan ini memiliki manfaat, maka umat Buddha hendaknya menyalurkan dana tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya demi kelangsungan hidup mereka.

5. Upacara kathina sangat identik dengan pemberian dana material. Dibalik pemberian dana material itu terdapat satu makna hakiki yang perlu dipahami, yaitu berupa pelepasan diri dari sifat kemelakatan. Oleh karena itu, umat Buddha hendaknya mengaplikasikan ajaran pelepasan diri dari sifat kemelakatan ini dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR ISTILAH BUDDHA

Arya Sangha : Seorang Sangha yang sudah suci

Bodhisttva : Orang yang melakukan kebaikan

Cetiya

: Vihara kecil

Dasa Paramitha : Sepuluh perbuatan baik

Dhamma : Ajaran Jasa

: Kebajikan Kamma

: Sebuah perbuatan, baik negative maupun positif

Kutti

: Tempat tinggal para Bhikkhu

Paramatha : Mengingat perbuatan masa lalu

Pavarana : Pengakuan terhadap kesalahan

Paritta Sanghanusatti : Penghormatan terhadap Sangha

Parinibbana : Seseorang yang suci yang sudah meninggal

Sang Buddha : Pembawa penerangan yang sempurna

Saddha

: Sebuah keyakinan Samanera : Calon Bhikkhu Sangha

: Sebuah persaudaraan / perkumpulan para Bhikkhu

Savathi

: Sebuah kota yang ada di India

Sasana

: Fasilitas yang ada di vihara

Sattopati : Alam kesucian

Sila

: Peraturan untuk umat

Uposatha : Mengulang kembali sila

Vinaya

DAFTAR PUSTAKA

Buddha Cakkha, No. 3, Volume XVII, 1995 Dhammadipa, Kitab Suci Dhammadipa, Jakarta : Yayasan Dhammadipa, tth. Diputra, Oka, Pedoman Agama Buddha Untuk Umat, Jakarta : Aryasurya Candra,

1997

---, Dharma Nidya, Jakarta : Dharma Nusantara Bahagia, 1986, Jilid I ---, Pedoman Penerangan Agama Buddha, Jakarta : Dharma

Nusantara Bahagia, 1986

Dwiyanti, Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha, Jakarta : Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1997

Greezt, C., Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1992 Jinartha Kaharudin, Pandit, Kamus Buddha Dharma, Jakarta : Tri Sattra Buddhist

Centre, 1994

Kruyt, A.C., Keluarga Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1976

M. Dagun, Save, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2000, Cet. ke-2

Majalah Buddhist Indonesia Edisi ke-29, Desember 1994 Majelis Pandita Buddha Indonesia, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha di Indonesia, Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama,

1979

Mukti, K Wijaya, Berebut Kerja Berebut Surga, Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, Cet. ke-2

Paritta Suci, Jakarta : Dhammadipa Arama, 1983 Putra, Dana, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, No. 4, Edisi Oktober

1990

Robert, Ronald, (ed), Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta : Rajawali Press, 1988

S. Endro, Herman, Hari Raya Buddha dan Kalender Buddhist 1996 – 2026, Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1997

, 1999 , ES 3 LP : Jakarta ,

Metodologi Penelitan Survey , . all . et , Masri , Singarimbun Cet. ke-1 , Sangha Theravada Indonesia :

Yogyakarta ,

Bakti Atau Puja , . all . et , Subalaranto tth.

Suhardi Heryanto, Adi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkhu, Edisi November 1988

Tim Penyusun Paritta Suci dan Penuntun Kebaktian dan Upacara, Jakarta : Departeman Agama RI, 1988

WARTA WALUBI, Edisi November 2003 Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto, Jakarta, tanggal 29 Maret 2006 Wojowasito, S., Kamus Kaw–Indonesia, Bandung : CV. Pangarang, tth. Cet. ke-1 Wowor, Coeneles, Pedoman Agama Buddha untuk Kehidupan, Jakarta : CV.

HA SIL W A W A N C A RA

TEN TA N G UPA C A RA KA THIN A DA LA M A G A M A BUDDHA DI V IHA RA BUDDHA M ETTA A RA M A M EN TEN G – JA KA RTA

Responden : Suddhi Citto Jabatan : Bhante Hari/Tanggal : Rabu, 29 Maret 2006 Jam : 14.00 WIB Tempat : Vihara Buddha Metta Arama

Jl. Lembang Terusan D59 Menteng – Jakarta Pusat

Pertanyaan dan Jawaban : Tanya :

Mohon bhante jelaskan secara singkat tentang latar belakang berdirinya Vihara Buddha Metta Arama ini ?

Jawab :

Vihara Buddha Metta Arama pada awal berdirinya dilatarbelakangi oleh kehampaan spiritual yang dialami oleh Dra. Sri Hartati Murdaya, selaku pemilik rumah, padahal beliau ini adalah seorang penganut Buddha yang taat, namun karena sebagai manusia biasa beliau menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan ini, sehingga ia sempat meninggalkan pesan-pesan Buddha yang mengajarkan tentang hidup sederhana. Berangkat dari pola pikir seperti inilah kemudian beliau menghadiahkan rumah berikut isinya untuk dijadikan vihara sebagai bakti beliau

kepada ajaran/dhamma Buddha.

Tanya :

Sejauh mana pemahaman bhante tentang upacara kathina ?

Jawab :

Sepanjang pengetahuan saya upacara kathina itu selalu identik dengan masalah dana, yaitu memberikan dana kepada Sangha. Dana yang dapat kita persembahkan adalah bahan jubah atau

jubah, di samping dana-dana yang lainnya kepada Sangha. Upacara ini dapat berlangsung walaupun hanya dihadiri oleh

seorang bhikkhu yang mewakili Sangha.

Tanya :

Menurut bhante, bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina ini ?

Jawab :

Pelaksanaan upacara kathina selalu diawali dengan cara mengumpulkan dana. Pada saat menjelang upacara kathina dana, umat akan mencari dan mengumpulkan dana berupa kain putih, uang atau kebutuhan pokok para bhikkhu yang lain. Setelah itu umat akan datang ke salah satu vihara untuk menyampaikan maksud mereka, mengadakan kathina dana di vihara tersebut. Pihak vihara akan menentukan apakah akan menerima dana tersebut atau tidak.

Tanya :

Tujuan apa yang hendak dicapai dalam upacara kathina ?

Jawab :

Secara umum tujuan upacara kathina dalam agama Buddha senantiasa dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifat- sifat luhur Sang Buddha. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam upacara kathina adalah agar umat bisa memperlemah kemelekatan terhadap harta dunia, sehingga penderitaan umat dapat dikurangi jika umat sering berdana, baik untuk masa depan

maupun untuk kehidupan yang akan datang.

Tanya :

Simbol apa yang dapat digunakan dalam upacara kathina ?

Jawab :

Pada dasarnya upacara kathina tidak menggunakan simbol, namun yang dimaksud simbol di sini mungkin dana atau jubah. Dengan demikian simbol yang digunakan dalam upacara kathina adalah jubah atau bahan jubah, karena pada saat pelaksanaan upacara kathina umat memberikan jubah atau bahan jubah kepada para bhikkhu yang bervassa di vihara tersebut.

Tanya :

Kapan timbulnya sejarah upacara kathina ?

Jawab :

Agama Buddha merupakan agama yang berkembang di beberapa negara termasuk India. Pada masa kehidupan Sang Buddha,

masyarakat India mulai menanam sayur mayur dan tanaman lainnya di ladang mereka pada awal musim hujan. Karena itu, mereka merasa khawatir kalau tanaman mereka yang mulai tumbuh subur itu akan terinjak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu meminta kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan. Permohonan mereka pun dikabulkan oleh Sang Buddha dengan menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di suatu tempat selama musim hujan atau yang lebih dikenal dengan istilah masa

vassa. Demikian sejarah timbulnya upacara kathina.

Tanya :

Siapakah yang seharusnya menjadi pemimpin dalam upacara kathina?

Jawab :

Selain memberikan dana, umat pada upacara kathina juga memberikan jubah atau bahan jubah. Khusus acara penyerahan jubah ini dipimpin oleh bhikkhu Sangha. Kain bahan jubah yang berwarna putih diserahkan kepada bhikkhu Sangha. Setelah menerima kain jubah, bhikkhu Sangha akan mengadakan

pembagian tugas untuk membuat jubah kathina.

Tanya :

Mohon bapak jelaskan tentang pengertian kathina ?

Jawab :

Mungkin dalam pengertian kathina ini saya hanya dapat memberikan definisinya secara sederhana saja, namun dalam pengertian yang luas tentang kathina ini harus ditanyakan langsung kepada para pakarnya. Adapun pengertian kathina secara sederhana berasal dari kain katun, karena pada zaman dahulu para bhikkhu membuat jubahnya dari kain-kain bekas jika tidak

menerima pemberian dari umat.

Tanya :

Bagaimana prinsip vihara Buddha Metta Arama dalam menyikapi upacara kathina ?

Jawab :

Hari raya kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Buddhist lainnya. Karena pada hari raya kathina kita secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha yaitu cara berdana. Oleh

karena itu upacara kathina ini harus disikapi dengan penuh hikmah untuk merenungi sifat-sifat luhur Buddha yang telah rela

mengorbankan dirinya untuk membebaskan penderitaan umat.

Tanya :

Sarana apa saja yang dapat dipergunakan dalam upacara kathina ?

Jawab :

Dalam setiap upacara memang selalu membutuhkan sarana. Tanpa adanya sarana, suatu upacara tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Adapun sarana yang digunakan dalam upacara kathina adalah dana dan jubah atau bahan jubah. Tanpa adanya dana dan jubah, upacara kathina tidak mungkin dapat dilaksanakan, karena hal yang penting dalam upacara kathina adalah adanya jubah dan dana yang nantinya akan dipersembahkan kepada para bhikkhu

yang bervassa.

Tanya :

Makna apa yang terkandung dalam upacara kathina ?

Jawab :

Salah satu unsur yang dapat kita persembahkan dalam upacara kathina adalah pemberian dana kepada Sangha. Dibalik pemberian dana materil itu adalah satu makna hakiki yang perlu kita pahami, yaitu pelepasan diri dari sifat kemelekatan. Hal ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang mengajarkan bahwa kemelekatan dalam segala bentuknya terutama pada hal-hal yang bersifat duniawi

akan mendatangkan penderitaan.

Tanya :

Kapan waktu yang paling tepat untuk melaksanakan upacara kathina ?

Jawab :

Sesuai dengan petunjuk Sang Buddha bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan upacara kathina adalah bulan Oktober.

Dokumen terkait