• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara kathina dalam agama budha : studi kasus pada vihara budha metta rama Menteng Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upacara kathina dalam agama budha : studi kasus pada vihara budha metta rama Menteng Jakarta"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA

(

Studi Kasus Pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta

)

Oleh

MA’MUN

NIM. 0032118712

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA

(

Studi Kasus Pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta

)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Teologi Islam

Oleh

Ma’mun

NIM. 0032118712 Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Roswen Dja’far Dra. Hj. Hermawati, M.A NIP. 150 022 782 NIP. 150 227 408

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

KA TA PEN G A N TA R

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.

yang telah memberikan kekuatan iman dan Islam, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Saw. yang telah

memberikan cahaya dan fatwa kepada seluruh ummatnya hingga akhir zaman. Syukur dengan mengucap al-hamdulillah, dan dengan usaha maksimal

dan tekad yang bulat serta dorongan yang kuat dari saudara-saudaraku tercinta dan kedua orang tua, akhirnya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan, walaupun tentunya hambatan dan rintangan senantiasa menanti silih berganti. Atas izin Allah Swt. semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi, sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat disajikan sebagaimana yang ada di hadapan pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai ukuran sempurna. Untuk itu sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang konstruktif dari

pembaca sangat penulis harapkan. Disadari sepenuhnya dengan kerendahan hati, bahwa penulisan skripsi ini

tidak terlepas dari berbagai pihak yang turut membantu dengan rela berpartisipasi dalam membantu proses penulisan skripsi ini dari awal hingga selesai, maka sudah sepantasnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

(4)

dan Dra. Hj. Hermawati, M.A sebagai pembimbing II atas kebijaksanaannya dalam memberikan tugas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan

Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

4. Bapak Suddhi Citto, selaku Bhante/Bikkhu Vihara Buddha Metta Arama Menteng, Jakarta yang telah memberikan data dan kontribusinya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

5. Kakak dan adik-adikku tercinta Hendar & Ali serta teman-teman satu perjuangan seperti Topan & Bezho yang telah membantu penulis dalam memberikan semangat dan motivasinya demi terselesaikannya skripsi ini. 6. Ayah dan Ibunda tercinta (Bapak Marhadi dan Umi Sunaiyah) yang senantiasa

berusaha dan berdoa serta mendidik penulis dengan penuh tanggungjawab dan selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil.

(5)

Walaupun demikian, banyaknya pihak yang telah berjasa dalam

penyelesaian skripsi ini, bukan berarti kepada mereka pertanggungjawaban dibebankan, akan tetapi penulislah yang bertanggung jawab sepenuhnya, baik

yang menyangkut kekhilafan maupun kekurangan-kekurangannya. Akhirnya hanya kepada Allah Swt. penulis serahkan segalanya, semoga

jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Mudah-mudahan usaha kecil penulis melalui tulisan ini dapat membawa manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin ya rabb al-‘alamin.

01 Pebruari 2007 M

Jakarta, 13 Muharram 1428 H

(6)

DA FTA R ISI

Halaman Judul

KATA PENGANTAR

...

...

i

DAFTAR ISI

...

...

...

iv

BAB I :

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 7

E. Sistematika Penyusunan ... 8

BAB II : RUANG LINGKUP PERAYAAN KATHINA A. Pengertian Kathina ... 10

B. Sejarah Timbulnya Kathina ... 13

C. Manfaat Perayaan Kathina ... 18

D. Persembahan Dana Dalam Kathina ... 23

BAB III : VIHARA BUDDHA - METTA ARAMA MENTENG - JAKARTA A. Sejarah Singkat Vihara Buddha Metta Arama ... 29

B. Peran dan Fungsi Vihara Buddha Metta Arama ... 31

C. Aktivitas Dalam Vihara Buddha Metta Arama ... 35

D. Arti Simbol Dalam Vihara Buddha Metta Arama ... 39

BAB IV :

(7)

BUDDHA METTA ARAMA MENTENG JAKARTA

A. Persiapan Upacara Kathina ... 46

B. Tata Cara Upacara Kathina ... 49

C. Tujuan Upacara Kathina ... 52

D. Kandungan Makna Dalam Upacara Kathina ... 55

E. Analisa Kritis ... 61

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 67

B. Saran-saran ... 68 DAFTAR ISTILAH BUDDHA

...

...

71

DAFTAR PUSTAKA

...

...

72

LAMPIRAN-LAMPIRAN

...

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia, religi merupakan unsur yang teramat penting.

Hal ini disebabkan karena religi telah mengambil tempat yang teramat besar dalam jiwa manusia. Kurft mengatakan bahwa kepercayaan adalah urusan hati, menyita seluruh hidup, berakar dalam jiwa manusia sebagai keseluruhan dengan segala ungkapan yang banyak seginya.1 Dengan kepercayaan yang dimiliki, manusia menjawab pertanyaan yang timbul sebagai akibat dari berbagai pengalaman yang tidak dapat dimengerti, pengalaman yang timbul dalam konfrontasi dengan alam dan dalam kehidupan pribadi dan sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan terkadang tidak dapat dijawab misalnya

adalah masalah upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan manusia. Kepercayaan bagi manusia menjadi suatu pegangan dalam meyakini

sebuah upacara yang sifatnya mungkin bisa dikatakan supranatural yang berada di luar batas pemikirannya. Suparlan mengatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan dalam suatu masyarakat dalam menginterpretasi atau memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang gaib dan suci.2 Pandangan

1

A.C. Kruyt, Keluarga Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1976), h. 76

2

(9)

terhadap adanya suatu dunia yang gaib dan suci yang sifatnya supranatural itu adalah sesuatu yang universal dalam setiap kepercayaan yang dimiliki manusia yang selanjutnya kepercayaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk berbagai

aktivitas upacara. Aktivitas dan tindakan religius tersebut yang diperagakan pada suatu

upacara merupakan usaha manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dewa-dewa dan penghuni-penghuni dunia gaib lainnya. Tindakan-tindakan religius itu sendiri memang cenderung bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipahami dengan simbol-simbol. Hal tersebut pada dasarnya menguatkan dan membuat suatu kepercayaan menjadi nyata. Dalam hal ini C. Greetz

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Agama adalah suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan

suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat dan tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep tentang suatu tatanan umum, eksistensi dan membungkus konsep-konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak

nyata.3

Upacara dengan segala perlengkapannya senantiasa mewujudkan emosi

keagamaan yang menjadi perhatian anggota masyarakat. Penyelenggaraan upacara, selain berfungsi komunikatif juga dapat mensosialisasikan norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan oleh sistem kepercayaan. Sosialisasi memang dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi upacara bersama adalah suatu cara yang mempercepat terjadinya sosialisasi. Hal ini bukan saja menampilkan materi dan tahap-tahap upacara, melainkan terkandung di dalamnya ungkapan-ungkapan

3

(10)

emosional yang merangsang terciptanya kekokohan norma dan nilai yang bersifat kohesif pada anggota masyarakat. Masyarakat Indonesia yang bersifat bhinneka terdiri dari berbagai suku

yang tersebar di seluruh nusantara pada hakekatnya adalah eka atau satu adanya. Demikian pula agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia bersifat bhineka yang terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Konghuchu dan Buddha serta setiap agama mempunyai kitab suci yang berbeda-beda. Walaupun agama tersebut tidak mungkin dapat dipersatukan, namun sebagai bangsa yang besar, seluruh umat beragama dapat dipersatukan di bawah landasan hukum Pancasila. Salah satu agama yang hidup dan berkembang di Indonesia

serta berada di bawah landasan hukum Pancasila adalah agama Buddha. Agama Buddha merupakan salah satu agama yang hidup dan berkembang

di Indonesia. Agama ini terdiri dari beberapa aliran yang terorganisir dalam majelis-majelis serta Sangha yang tergabung dalam perwalian umat Buddha Indonesia (WALUBI). Ada tiga aspek yang menjadi kerangka dasar dari ajaran agama Buddha yaitu aspek Bakti, Saddha dan Sila. Mengenai aspek bakti, setiap aliran dalam agama Buddha memiliki perbedaan dalam hal cara pelaksanaan upacara kebaktian. Akan tetapi ada juga persamaan dan keseragaman pada saat mereka mengadakan upacara kebaktian tersebut. Aspek bakti ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu :4 Tata kebaktian menurut agama Buddha terdiri atas kebaktian umum yang

dihadiri oleh Bhikkhu Sangha, kebaktian umum yang tidak dihadiri oleh Bhikkhu

4

(11)

Sangha, kebaktian pembukaan pendidikan agama Buddha dan kebaktian penutupan pendidikan agama Buddha. Sedangkan upacara menurut agama Buddha terdiri dari upacara suci waisak, upacara asaddha, upacara magha puja,

upacara perkawinan, upacara kematian dan upacara kathina.5 Tidak dapat dipungkiri bahwa memang setiap agama memiliki perayaan

dan upacara keagamaan. Demikian pula dengan umat Buddha, memiliki berbagai upacara keagamaan berikut tata caranya yang wajib dilaksanakan untuk memohon kepada Tuhan agar senantiasa memberikan tuntunan, perlindungan dan

kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu, dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, umat

Buddha melaksanakan upacara kebaktian dan berbagai upacara lainnya dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kehidupannya dalam melaksanakan sembahyang yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh seluruh umat Buddha di manapun mereka berada. Salah satu upacara yang tidak kalah pentingnya bagi kalangan umat Buddha adalah upacara kathina. Dari beberapa kebaktian agama Buddha, upacara kathina6 merupakan

salah satu upacara penting dalam agama Buddha. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifat-sifat Sang Buddha. Para umat Buddha diharapkan dapat saling asih, saling asuh dan saling asah, demi solidaritas dan kelangsungan agama Buddha – Sasana. Di samping itu, upacara kathina mendorong seorang Bhikkhu menjadi bhikkhu yang baik dan taat pada Vinaya

5

Suwarno T., Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta : Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999), h. 15

6

(12)

serta mendorong umat yang baik serta taat pada sila. Hal ini sesuai dengan sabda Sang Buddha : “Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. Oh Bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar,

maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”.7 Demikian sabda Sang Buddha yang tentunya sangat berkaitan dengan perayaan kathina. Adapun yang mendorong penulis untuk mengangkat ke permukaan

tentang masalah ini dilandasi oleh beberapa hal yaitu : 1. Perayaan kathina merupakan praktek kehidupan beragama Buddha, yakni

melaksanakan kewajiban umat terhadap Sangha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada masyarakat luas.

2. Upacara kathina memiliki keunikan tersendiri, bahwa upacara ini tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran bhikhu.

3. Sejauh pengamatan penulis, masalah ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berangkat dari pola pikir di atas, penulis merasa tertarik untuk

menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul : “UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA (Studi Kasus pada Vihara Buddha Metta Arama

Menteng-Jakarta)”. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat

7

(13)

luas sehingga dapat dijadikan gambaran bagi umat lain untuk mengeluarkan dana dalam melakukan kebajikan/jasa sepanjang hayatnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Upacara kathina yang menjadi pembahasan utama dalam karya ilmiah ini

adalah salah satu rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh umat Buddha. Banyak hal yang dapat diangkat dalam persoalan ini seperti ajaran Kitab Suci Agama Buddha, pengetahuan umat Buddha dan pengaruh agama Buddha terhadap perayaan upacara kathina. Agar dapat memberikan fokus masalah, maka pembahasan skripsi ini dibatasi hanya pada upacara kathina dalam agama Buddha dengan rumusan permasalahannya yaitu : Bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha khususnya di vihara Buddha Metta Arama Jakarta, dengan batasan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha ?

2. Sarana apa saja yang dapat digunakan dalam upacara kathina pada agama Buddha ?

3. Maksud dan Tujuan apa yang hendak dicapai dalam upacara kathina ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah serta manfaat penulisan, maka penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Memperoleh gambaran tentang proses pelaksanaan upacara kathina dalam

(14)

2. Memperoleh gambaran tentang maksud dan tujuan pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha pada vihara Metta Arama Menteng Jakarta. 3. Memenuhi sebagian persyaratan akademis untuk mencapai gelar kesarjanaan

di bidang agama Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Perbadingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini dapat digambarkan sebagai

berikut : 1. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan khazanah keilmuan Islam dan dapat memberikan penjelasan

tentang proses pelaksanaan upacara kathina dalam agama Buddha. 2. Manfaat praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa bahan bacaan berbentuk karya ilmiah di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Perbandingan Agama.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni penelitian tentang hubungan

fenomena sosial tertentu dengan menganalisa dan menginterpretasikan melalui data yang ada.8 Pengumpulan data dalam rangka pembahasan skripsi ini diperoleh

8

(15)

melalui studi kepustakaan atau library research dan field research atau penelitian lapangan. Pengumpulan data-data skripsi yang diperoleh melalui studi kepustakaan, penulis mengambil sumber dari buku-buku, makalah, majalah dan

surat kabar yang berhubungan erat dengan tema skripsi ini. Kemudian untuk memperoleh data lapangan, penulis melakukan

observasi dan wawancara dengan cara mendatangi obyek yang diteliti seperti gambaran umum lokasi penelitian dan kondisi Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta untuk mendapatkan data serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan dalam penelitian ini. Pada metode ini, penulis menggunakan dua

teknik yaitu : a. Observasi, penulis mengadakan pengamatan langsung ke Vihara Buddha

Metta Arama Menteng Jakarta untuk memperoleh data yang akurat tentang gejala, peristiwa dan kondisi aktual yang terjadi pada masa sekarang yang sudah barang tentu berkaitan erat dengan masalah upacara kathina.

b. Wawancara, penulis mengadakan tanya jawab dengan Bhikkhu Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta untuk memperoleh data yang dibutuhkan dan dianggap akurat.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta” yang diterbitkan oleh PT. Hikmat Syahid Indah Jakarta akan mewarnai

seluruh bentuk penulisan skripsi ini.

(16)

E. Sistematika Penyusunan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka

diperlukan suatu sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam

pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang tujuannya untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metodologi penelitian yang dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penyusunan dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar mengenai

pembahasan yang akan diuraikan dalam skripsi ini. Bab II berisikan tentang ruang lingkup perayaan kathina yang

pembahasannya meliputi pengertian kathina, sejarah timbulnya kathina, manfaat perayaan kathina dan persembahan dana dalam kathina. Bab III menguraikan tentang kondisi Vihara Buddha Metta Arama

Menteng Jakarta yang pembahasannya meliputi sejarah singkat Vihara Buddha Metta Arama, peran dan fungsi Vihara Buddha Metta Arama, aktivitas dalam Vihara Buddha Metta Arama serta arti simbol dalam Vihara Buddha Metta Arama. Bab IV membahas inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini,

(17)

cara upacara kathina, tujuan upacara kathina dan kandungan makna dalam upacara kathina dan analisa kritis. Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini, di dalamnya memuat

beberapa kesimpulan dan saran-saran yang merupakan kristalisasi dari uraian-uraian bab-bab terdahulu yang kemudian diakhiri oleh daftar kepustakaan dan

(18)

BAB II

RUANG LINGKUP PERAYAAN KATHINA

A. Pengertian Kathina

Kathina berasal dari bahasa Pali/Sansekerta. Menurut S. Wojowasito,

kathina merupakan kata sifat yang berarti keras, kuat dan kokoh.9 Sementara itu Suddhi Citto mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kathina adalah kain katun untuk bahan jubah, karena pada masa silam, para bhikkhu membuat jubahnya dari kain-kain bekas jika tidak menerima pemberian dari umat.10 Dengan demikian kathina adalah upacara keagamaan di lingkungan umat Buddha, merupakan hari dana yang biasanya dilangsungkan setiap bulan purnama pada bulan Oktober.11 Masa kathina dimulai satu hari setelah hari purnama pada bulan Oktober sampai dengan hari purnama bulan November. Salah satu hari dalam batas waktu satu bulan tersebut dapat dipilih untuk penyelenggaraan upacara. Dibalik persembahan jubah, upacara kathina tidak semata-mata

merupakan suatu bentuk peringatan. Perayaan kathina adalah praktek kehidupan beragama Buddha, yakni melaksanakan kewajiban umat terhadap Sangha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada

9

S. Wojowasito, Kamus Kawi – Indonesia, (Bandung : CV. Pangarang, tth), Cet. ke-1, h. 131

10

Suddhi Citto, Samanera Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta 29 Maret 2006

11

(19)

masyarakat luas. Umat mempersembahkan dana kepada mereka.12 Tidak ada upacara kathina tanpa persembahan dana. Istilah Bulan Dana bagi umat Buddha tentu tidak asing lagi, karena di

dalam agama Buddha juga terdapat bulan dana tetapi tidak menggunakan istilah Bulan Dana umat Buddha atau Bulan Berdana Bagi Umat Buddha atau dengan istilah yang lainnya. Masa satu bulan yang merupakan bulan dana tersebut dikenal dengan istilah masa atau bulan kathina.13 Bulan kathina selalu hadir antara bulan Oktober dan bulan November,

yakni setelah berakhirnya masa vassa. Masa ini merupakan yang tepat bagi umat Buddha memberikan dana kepada para bhikkhu yang telah menjalankan masa vassa. Sang Buddha memberikan izin kepada para bhikkhu untuk mencari

kain/bahan jubah baru, untuk mengganti jubah yang lama yang telah robek.14 Kalau dibayangkan kehidupan di zaman Sang Buddha, tentu tidak sama

dengan kehidupan di zaman sekarang. Dalam kitab-kitab suci diceritakan bagaimana kehidupan pada zaman Sang Buddha. Ada orang yang kaya raya, ada raja yang menjadi sponsor atau menopang kehidupan para bhikkhu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tentu tidak semua bhikkhu hidup dari bantuan orang kaya atau raja yang memerintah.15 Para bhikkhu yang hidup di daerah yang makmur, yang didukung oleh

orang kaya atau raja, tidak akan merasakan kesulitan untuk mendapatkan empat

12

K. Wijaya Mukti, Berebut Kerja Berebut Surga, (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), Cet. ke-2, h. 16

13

Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, No. 4, Edisi Oktober 1990, h. 3

14

Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina” Warta Visudha, Oktober 1990, h. 4

15

(20)

kebutuhan pokok yang berupa jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Nampaknya umat Buddha pada zaman Sang Buddha selalu menyediakan empat kebutuhan pokok dengan baik, tetapi untuk jubah para bhikkhu umumnya mengumpulkan kain bekas pembungkus mayat yang dikenal dengan nama amsukula. Kain-kain tersebut dikumpulkan dan dijahit menurut ketentuan yang ada, menjadi jubah. Pembuatan jubah ini biasanya dilakukan pada masa kathina, dan untuk mewarnai diperlukan alat berupa bingkai untuk membentangkan jubah tersebut. Bingkai inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kathina.16 Masa kathina merupakan satu kurun yang paling baik bagi umat Buddha

untuk mempraktekkan perbuatan baik, terutama dengan cara berdana. Ladang yang paling baik untuk berdana adalah Sangha. Dalam Paritta Sanghanussatti dinyatakan bahwa lapangan untuk menanam jasa, yang tiada taranya di alam semesta, dan lain sebagainya merupakan tempat yang cukup baik untuk berdana.17

Dalam masa satu bulan tersebut, umat memilih satu hari tertentu untuk

merayakan upacara kathina. Pemilihan hari tersebut tentu sangat bergantung pada umat itu sendiri, di samping kesediaan para bhikkhu yang akan menghadiri

upacara kathina yang diadakan.18 Dari uraian-uraian tentang definisi kathina, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa kathina pada dasarnya suatu upacara keagamaan di lingkungan

16

Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, Oktober 1990, h. 3

17

Dhana Putra, ,”Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudha, h. 4

18

(21)

umat Buddha dengan cara memberikan dana kepada Sangha dan dilaksanakan pada setiap bulan purnama yang jatuh pada bulan Oktober.

B. Sejarah Timbulnya Kathina

Hari raya kathina juga bisa disebut hari raya persembahan dana kepada

Arya Sangha, yang terdiri dari para bhikksu dan bhiksuni. Hari raya yang diperingati dan dirayakan setelah para bhiksu dan bhiksuni berada pada masa vassa atau istirahat pada musim hujan selama tiga bulan ini memiliki makna yang

dalam, yang wajib direnungkan oleh umat Buddha. Dalam masa vassa tersebut para bhiksu tidak berkelana, tetapi berdiam

di satu tempat untuk membina diri guna meningkatkan kemajuan batin. Masa vassa ditetapkan Sang Buddha setelah mendengar masukan, yang mempertanyakan mengapa para siswa Sang Buddha pergi berkelana pada musim hujan di mana saat itu banyak tunas baru yang tumbuh, sehingga tunas-tunas tersebut banyak yang terinjak dan mati. Dari laporan ini, akhirnya ditetapkanlah masa vassa.19 Alasan lain adalah karena ketika para bhiksu ingin menyampaikan

hormat kepada Sang Buddha, beliau melihat pakaian yang mereka kenakan telah rusak. Oleh karena itu, beliau menganjurkan kepada umat Buddha yang mampu untuk memberikan persembahan jubah kepada Sangha sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, dan waktu yang paling tepat untuk memberikan persembahan

19

(22)

tersebut adalah setelah masa vassa,20 karena setelah melatih diri, para bhiksu memiliki batin yang lebih tinggi kualitasnya, sehingga dapat diharapkan menjadi ladang yang subur untuk menanam jasa. Selain merupakan saat yang sangat tepat dan amat baik untuk berdana, bulan kathina juga merupakan saat yang indah bagi semua umat Buddha untuk mendengarkan khotbah dharma dari Sangha yang membina secara intensif, sehingga merupakan berkat rohani yang menyegarkan batin.21 Umat Buddha biasa memberikan persembahan kepada para bhiksu dan bhiksuni, baik berupa bahan untuk jubah, obat-obatan, barang-barang keperluan sehari-hari maupun uang dengan tujuan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberian semacam ini biasanya mereka lakukan pada hari raya

kathina. Adapun sejarah timbulnya kathina ini mengacu kepada peraturan

kebhikkhuan yang mengharuskan para bhikkhu untuk menetap di suatu tempat selama musim hujan atau masa vassa. Selama masa itu, mereka tidak berkelana seperti biasanya. Hal ini dapat dilihat pada masa sejarah timbulnya kathina di India misalnya.22 Pada masa kehidupan Sang Buddha masyarakat mulai menanam sayur

mayur dan tanaman lainnya, di ladang mereka pada awal musim hujan. Karena itu, mereka merasa khawatir kalau tanaman mereka yang mulai tumbuh subur itu akan terinjak-injak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu meminta kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan.

20

Masa vassa adalah masa istirahat bagi para bhikkhu untuk tidak melakukan perjalanan. Lihat Warta Walubi, Edisi November 2003

21

Warta WALUBI, November 2003, h. 17

22

(23)

Permohonan mereka pun dikabulkan oleh Sang Buddha dengan menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di satu tempat selama musim hujan atau yang lebih dikenal dengan istilah masa vassa.23 Masa vassa berlangsung selama tiga bulan terhitung sejak hari pertama setelah purnama Sidhi bulan Asadha.24 Dalam masa vassa ini para bhikkhu berusaha mendalami ajaran sang Buddha yang lebih sungguh-sungguh, melatih diri dengan sila dan Samadhi, serta meminta bimbingan dari bhikkhu-bhikkhu yang lebih senior.25 Akhir dari masa vassa ini ditandai dengan hari pavarana. Hari pavarana

adalah hari uposatha istimewa, karena pada hari uposatha ini para bhikkhu tidak membacakan peraturan kebhikkhuan sebagaimana biasanya. Pada hari ini, para bhikkhu saling introspeksi, yang telah melakukan kesalahan, mengakui kekeliruannya kepada bhikkhu yang lebih senior dan saling maaf memaafkan,

serta saling memberikan nasehat agar kelak menjadi lebih baik lagi.26 Setelah hari pavarana, tibalah masa kathina. Masa kathina ini

berlangsung selama satu bulan. Para bhikkhu boleh mencari kain-kain untuk bahan jubah, karena pada masa silam para bhikkhu membuat jubahnya dari kain-kain bekas jika tidak menerima pemberian dari umat. Untuk itulah, pada masa kathina ini umat Buddha mempersembahkan kain-kain untuk jubah serta berbagai keperluan pokok lainnya sebelum para bhikkhu mulai berkelana kembali.27

23

“Tahukkah Anda Apakah Kathina itu?”, Buddha Cakkha, 1990, h. 31

24

Asadha menurut umat Buddha adalah bulan November dan pada bulan ini biasanya turun hujan. Lihat Herman S. Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 20

25

Herman, Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 21

26

Herman, Endro, Hari Raya umat Buddha dan Kalender Buddhis, h. 22

27

(24)

Ada satu hal yang penting dalam masa kathina ini, yaitu persembahan

jubah kathina. Meskipun jubah atau kain bisa dipersembahkan hampir setiap saat kepada para bhikkhu atau Sangha, namun jubah yang dipersembahkan itu hanyalah jubah biasa, bukan jubah kathina. Agar bisa disebut sebagai jubah kathina, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :28 Jubah itu dipersembahkan pada masa kathina. Jubah itu diterima oleh

minimal 5 orang bhikkhu yang menetap bersama-sama di suatu tempat yang sama. Para bhikkhu tersebut semuanya menjalani masa vassa dengan baik dan lengkap. Jubah atau kain jubah itu diperoleh dengan cara yang sah, bukan dengan jalan meminta, meminjam, mengambil milik orang lain, dan lain sebagainya. Kain jubah tersebut dicuci, dipotong, dijahit dan dicelup selama tidak

lebih dari satu hari. Sebelum matahari terbit kembali, jubah tersebut harus sudah siap pakai, dan Sangha yang menerima persembahan kathina akan melakukan Sangha Kamma, bermusyawarah untuk menentukan siapa di antara mereka yang

berhak untuk mengenakan jubah kathina tersebut. Semua bhikkhu yang mengikuti upacara persembahan jubah kathina ini

akan memperoleh lima hak istimewa sampai selesai musim dingin atau sampai empat bulan setelah masa kathina, yaitu : 1. Para bhikkhu boleh meninggalkan vihara tanpa pamit.

2. Para bhikkhu boleh pergi tanpa harus membawa tiga perangkat jubah secara lengkap.

28

(25)

3. Para bhikkhu boleh makan secara berkelompok tanpa melakukan pelanggaran vinaya.

4. Para bhikkhu boleh menyimpan jubah ekstra atau jubah tambahan tanpa batas waktu.

5. Para bhikkhu bisa memperpanjang masa kathina sampai akhir musim dingin.29 Dengan demikian proses lahirnya kathina ini sangat berkaitan dengan

erat kondisi musim pada suatu negara misalnya India. Selama musim hujan, biasanya berbagai jenis tanaman akan tumbuh subur. Oleh karena itu masyarakat mulai menanam beberapa jenis tanaman yang biasa dikonsumsi oleh mereka setiap hari pada awal musim hujan. Namun terdapat kekhawatiran yang sangat berlebihan pada diri masyarakat bahwa tanamannya itu akan terinjak-injak oleh kaki para bhikkhu yang berkelana. Mereka lalu memohon kepada Sang Buddha agar para bhikkhu tidak berkelana selama musim hujan. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan oleh Sang Buddha dengan cara menetapkan aturan bahwa setiap bhikkhu harus menetap di satu tempat selama musim hujan yang kemudian

istilah Buddha dikenal sebagai masa vassa.30 Pendapat lain mengatakan bahwa selesai masa vassa yang lamanya tiga

bulan, rombongan para bhikkhu akhirnya meneruskan perjalanan ke Savathi walaupun hujan terus turun, jalan tergenang air dan para bhikkhu akhirnya tiba di vihara Jetavana. Kemudian Sang Buddha melihat dan memperhatikan para bhikkhu jubahnya sudah mulai rusak, lalu Sang Buddha mengizinkan untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah lama. Setelah Sang Buddha

29

Buddha Cakkha,, 1990, h. 31

30

(26)

mengizinkan pembuatan jubah berarti membuat kesempatan bagi umat untuk berdana kain jubah dan barang kebutuhan sehari-hari para bhikkhu. Sejak peristiwa itu dimulailah kathina dana. Demikian proses sejarah timbulnya kathina yang menurut kepercayaan umat Buddha merupakan bulan dan kesempatan yang amat baik untuk memberikan dana kepada para bhikkhu.31

C. Manfaat Perayaan Kathina

Perayaan kathina merupakan tradisi dari zaman Sang Buddha, di mana

suatu ketika Sang Buddha bersemayam di vihara Jetavana, di kota Savathi, waktu itu ada para bhikkhu di kota Patheyya yang berjumlah 30 orang bertekad melatih meditasi untuk menemani Sang Buddha, tetapi di tengah perjalanan sudah mulai musim hujan. Jadi dengan terpaksa rombongan para bhikkhu tersebut bervassa di kota Sakeyya yang jaraknya tinggal 6 Yojana dari kota Savathi. Selesai masa vassa yang lamanya tiga bulan akhirnya meneruskan perjalanan ke Savathi walaupun hujan terus turun dan jalan tergenang air. Para bhikkhu akhirnya tiba di vihara Jetavana. Kemudian Sang Buddha melihat dan memperhatikan para bhikkhu jubahnya sudah mulai rusak, lalu Sang Buddha mengizinkan untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah yang lama. Setelah Sang Buddha mengizinkan pembuatan jubah berarti membuat kesempatan bagi umat untuk

31

(27)

berdana kain jubah dan barang kebutuhan barang sehari-hari para bhikku. Sejak peristiwa itu dimulailah kathina dana.32 Berdasarkan pada peristiwa kathina dana inilah, maka kemudian setiap

tahun para bhikkhu diwajibkan untuk melaksanakan vassa di suatu tempat selama tiga bulan, dan menurut kitab Vinaya Pitaka bagi bhikkhu yang tidak

melaksanakan vassa dianggap telah melanggar vinaya.33 Salah satu tujuan vassa adalah untuk memberi kesempatan kepada para

bhikkhu agar dapat mengkonsentrasikan pikiran mereka pada pengembangan diri baik dalam hal meditasi maupun dalam dhamma. Hal ini sangat penting, sebab selain pada masa vassa ini maka sepanjang tahun para bhikkhu sangat sibuk dengan tugas-tugas rutin, sehingga mereka seringkali tidak mempunyai kesempatan untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan diri

masing-masing.34 Umat yang berdiam di sekitar tempat vassa para bhikkhu juga selain

akan mendapatkan banyak manfaat, juga bisa merayakan hari kathina. Hari kathina yang oleh umat Buddha dirayakan sekali dalam satu tahun memang bukan sekedar perayaan biasa. Hari kathina tidak bisa disamakan dengan hari raya Budhis lainnya. Karena pada hari kathina umat Buddha secara langsung mengamalkan ajaran Sang Buddha, yaitu berdana. Namun, di samping itu masih

32

Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, (Jakarta : Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), Cet. ke-1, h. 29

33

Adi Suhardi Heryanto, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkhu, Edisi November 1988, h. 10

34

(28)

banyak manfaat yang dapat diperoleh bagi umat sehubungan dengan perayaan hari kathina. Bagi umat Buddha, perayaan kathina memiliki banyak manfaat di

antaranya adalah sebagai berikut : 1. Mendapat banyak kesempatan untuk mendengar khotbah dhamma

Seperti diketahui bahwa saat ini jumlah vihara dan cetiya35 yang ada di

Indonesia cukup banyak, sedangkan jumlah bhikkhu yang ada belum memadai, sehingga banyak umat pada vihara-vihara dan cetiya-cetiya tertentu yang jarang mendapat kesempatan untuk mendengar khotbah dari para bhikkhu, terutama bagi umat di daerah-daerah. Dengan adanya bhikkhu yang melaksanakan vassa di tempat mereka, berarti banyak umat yang

mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan khotbah dhamma. 2. Mendapat peluang untuk berdana

“Bagi vihara atau cetiya yang jarang mendapat kunjungan para bhikkhu akan sedikit pula mempunyai peluang untuk berdana kepada bhikkhu Sangha. Jika terdapat bhikkhu yang melaksanakan masa vassanya di sana, maka selama kurang lebih tiga bulan para umat yang berada di sekitar tempat vassa mempunyai kesempatan untuk berdana, baik berupa dana makanan,

obat-obatan maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya”. 3. Mendapat peluang untuk melatih diri dalam hal Sila dan Bakti

35

(29)

Dengan adanya bhikkhu yang berdiam di daerahnya selama masa vassa, maka umat yang ada di sana mendapat banyak kesempatan untuk berlatih diri dan meminta bimbingan sila dan sekaligus mempraktekkan bakti mereka

kepada bhikkhu Sangha. 4. Mendapat peluang untuk memperoleh bimbingan langsung dari para bhikkhu Dengan adanya bhikkhu yang melaksanakan masa vassa di suatu vihara

atau cetiya, maka para umat akan mendapatkan bimbingan langsung dari para bhikkhu, sehingga hal yang tidak diketahui mengenai Buddha Dhamma ataupun keragu-raguan para umat dapat langsung terjawab. Di samping itu, para umat juga akan mendapat bimbingan langsung dalam hal Buddha Dhamma dan latihan meditasi, serta nasehat-nasehat atau saran-saran untuk

mengatasi masalah-masalah yang ada. 5. Mendorong dan memberi semangat kepada para umat untuk lebih giat belajar

dhamma. Dengan adanya bhikkhu di dekat para umat, maka mereka akan bersemangat dan rajin mengikuti kebaktian dan belajar dhamma.

6. Memberi peluang untuk menumbuhkan suasana religius dalam keluarga Dengan adanya bhikkhu di sekitar tempat tinggal umat Buddha, maka para umat dapat menumbuhkan suasana religius dalam keluarga masing-masing dengan cara mengajak keluarga mengunjungi para bhikkhu, mengajak keluarga untuk berdana kepada para bhikkhu, mengajak keluarga untuk mengikuti setiap kebaktian dan kegiatan-kegiatan vihara atau cetiya, dan lain

(30)

Dengan hadirnya bhikkhu di sekitar umat Buddha selama masa vassa, maka umat yang akan mendapat peluang untuk melatih dan mengembangkan diri masing-masing dengan cara mencontoh hal-hal yang baik dari kehidupan para bhikkhu seperti hidup sederhana, mudah dirawat dan sedikit kebutuhannya, bersemangat, teguh dalam hal vinaya atau sila, rajin untuk mengembangkan diri, melatih kesabaran dan hidup penuh dengan cinta kasih

serta sayang kepada semua makhluk. 8. Memupuk karma baik

Dengan melakukan dana kepada bhikkhu Sangha, rajin mengikuti kebaktian dan secara kontinyu berlatih meditasi, maka berarti umat Buddha

telah memupuk karma baik. 9. Membantu menjaga kelestarian Buddha Dhamma

Dengan memperhatikan dan melengkapi kebutuhan-kebutuhan bhikkhu

Sangha berarti umat Buddha telah membantu menjaga kelestarian Buddha Dhamma di dunia ini. Setelah masa vassa berakhir, maka para umat yang ada di sekitar tempat

vassa para bhikkhu diberi kesempatan untuk menyatakan rasa terima kasih mereka atas bimbingan, pengarahan serta bantuan dan pengabdian yang telah diberikan para bhikkhu dengan cara berdana keperluan-keperluan para bhikkhu seperti

jubah-jubah, obat-obatan, makanan, dan lain sebagainya. Kesadaran umat Buddha untuk berdana selama bulan kathina cukup

(31)

sehingga pernah terjadi pengurus sebuah vihara terpaksa memesan nasi catering untuk para bhikkhu karena tidak setiap hari ada umat yang berdana makanan, padahal cukup banyak umat Buddha yang tinggal di sekitar tempat tersebut. Dengan demikian, perayaan kathina seharusnya dijadikan momen yang paling untuk mengintrospeksi diri, jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Kenyataan yang ionis ini seharusnya tidak sampai terjadi jika para umat

yang ada dapat menyadari dan mau memperhatikan hal-hal yang tampak kecil namun cukup penting ini. Untuk mengatasi hal tersebut perlu ditingkatkan pengarahan dan penerangan yang cukup intensif oleh para tokoh dan Pandita Buddhis, agar dapat menggerakkan hati dan kesadaran para umat untuk lebih sering berdana makanan dan mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para bhikkhu, demi untuk kelestarian Buddha Sasana di dunia ini.36

D. Persembahan Dana Dalam Kathina

Berdana adalah hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat beragama.

Semua agama mengajarkan pada ummatnya untuk berdana. Dalam agama Buddha pun diajarkan tentang berdana. Sang Buddha sering menjelaskan dana dalam berbagai kesempatan kepada siswa-siswa dan para bhikkhu serta kepada umat awam sebagai salah satu dari perbuatan baik. Beliau menjelaskan bahwa dana adalah suatu pemberian yang ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Dana juga merupakan pelepasan sebagian miliki umat kepada makhluk lain tanpa ada pamrih

36

(32)

apapun. Hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha guna menangkal berbagai anggapan dari kelompok lain bahwa ajaran Sang Buddha sama dengan ajaran mereka.37 Kelompok-kelompok lain pada zaman Sang Buddha dahulu juga

mengajarkan tentang dana, tetapi disertai dengan persembahan kepada dewa-dewa agar mereka memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada ummatnya. Inilah contoh dana yang disertai dengan harapan-harapan. Sedangkan dalam ajaran Buddha dana adalah salah satu dari sepuluh perbuatan baik yang merupakan suatu pemberian, derma, atau pelepasan sebagian milik umat itu sendiri kepada makhluk lain tanpa menginginkan imbalan. Bila umat berdana pasti ada pahalanya, karena hal ini sesuai dengan kerja hukum kamma bahwa segala perbuatan pasti ada akibatnya. Sang Buddha juga menjelaskan bahwa jika dana yang diberikan disertai dengan suatu harapan-harapan akan mengurangi buah atau pahala berdana itu

sendiri.38 Dari gambaran di atas tampak bahwa umat Buddha meyakini bahwa

perbuatan baik itu adalah usaha untuk kemandirian manusia itu sendiri, dalam arti bahwa manusia tidak bergantung kepada dewa-dewa atau Tuhan menurut

keyakinan para umat Buddha. Sang Buddha sebagai guru para dewa dan manusia mengajarkan kepada

para siswa-Nya untuk selalu gemar berdana. Sang Buddha menerangkan bahwa ketika beliau menjadi bodhisatta, beliau selalu berusaha menyempurnakan dasa paramita yang salah satunya adalah berdana. Dalam sepuluh paramita, dana

merupakan urutan yang pertama dan sering dilakukan oleh bodhisatta.39 Dalam kesempurnaan paramita, seorang bodhisatta menyempurnakan

dana paramita dalam tiga tingkatan. Pertama dana paramita yaitu kesempurnaan dari dana biasa (materi), kedua upadana paramita yaitu

37

“Berdana, Menyempurnakan Paramita”, Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h. 12

38

Adi Suhardi, “Hari Kathina dan Manfaatnya”, Buddha Cakkha, November 1988, h.13

39

(33)

kesempurnaan dekat (memberikan anggota badan), dan ketiga adalah paramatha dana paramita yaitu kesempurnaan mutlak (memberikan kehidupannya untuk makhluk lain). Dengan usaha yang gigih dalam menyempurnakan dana paramatha dan juga paramita yang lain akhirnya beliau mencapai penerangan

kesempurnaan.40 Untuk mencapai tujuan akhir, beliau tidak hanya memberikan materi

atau barang tetapi juga anggota tubuhnya, bahkan mengorbankan kehidupannya sendiri. Hal ini beliau lakukan untuk mengikis nafsu keserakahan yang bersemayam dalam batinnya. Sebagai manusia biasa yang diliputi dosa dan keserakahan, gemar berdana adalah salah satu cara mengikis nafsu di atas. Walaupun dana yang diberikan sebatas materi dan bentuk dana lainnya.41 Selain dana tersebut, masih ada lagi dana mulia lainnya yaitu kathina

dana. Kathina dana berbeda dengan lainnya. Berdana pada bhikkhu tidak berarti melakukan kathina dana, tetapi berdana kepada bhikkhu Sangha yang telah

menjalankan vassa merupakan kathina dana.42 Para bhikkhu selama musim vassa sepanjang tiga bulan menetap di

suatu tempat untuk belajar dan praktek dhamma. Mereka mengembangkan perbuatan baik, melatih sila dan bermeditasi. Ibarat sepetak sawah yang sedang diolah agar menjadi subur, demikianlah para bhikkhu bervassa. Sangha akhirnya pun dikenal sebagai ladang subur untuk menanam jasa. Maka ketika tiba hari

40

Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11

41

Buddha Cakkha, No. 03. Vol. XVII, 1995, h. 12

42

(34)

kathina, umat Buddha dapat menabur benih di ladang yang subur sehingga dapat memetik hasil yang melimpah ruah.43 Kathina merupakan kesempatan yang paling baik bagi umat untuk

berdana. Berdana pada Sangha di bulan kathina berarti memberikan sumber kebahagiaan bagi umat, karena mendapat kesempatan berdana pada Sangha dan sumber kebahagiaan para bhikkhu, karena mereka dapat memberikan kesempatan bagi umat untuk berbuat baik. Kedua kamma pahala inilah yang dapat

melestarikan dhamma baik oleh para bhikkhu maupun oleh umat.44 Bertambahnya pengertian umat akan arti pentingnya berdana terutama

kathina dana, telah mendorong mereka untuk melaksanakan perayaan kathina, sehingga perayaan kathina dilakukan di vihara-vihara atau di cetiya-cetiya di berbagai daerah. Tidak jarang satu kota yang memiliki beberapa vihara

mengadakan perayaan kathina beberapa kali.45 Adapun dana yang dapat umat berikan berupa empat kebutuhan pokok

yaitu jubah, atau bahan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Empat kebutuhan pokok tersebut merupakan kebutuhan bagi semua orang. Memberikan kebutuhan berupa tempat tinggal bukan berarti membawa rumah BTN atau rumah dengan sistem knok down yang kini sedang populer itu. Tempat tinggal yang di

43

“Kemanakah Dana Kathina Anda?”, Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11

44

“Kemanakah Dana Kathina Anda?”, Buddha Cakkha, No. 3, Vol. XVII, 1995, h. 11

45

(35)

sini berarti kuti46 yang ada di vihara, yang merupakan sumbangan umat ketika dalam pembangunannya.47 Di samping itu, umat juga memberikan keperluan yang lainnya seperti

sabun, sikat gigi, handuk, pasta gigi dan benda-benda lainnya. Banyaknya dana yang diberikan kepada para bhikkhu tergantung kepada pribadi masing-masing, tergantung kepada kerelaan, dan faktor-faktor lainnya yang ada dalam benak umat

masing-masing.48 Akibat banyaknya umat Buddha yang merayakan kathina, vihara-vihara

yang cukup besar dan terkenal menjadi supermarket. Sabun, pasta gigi, sikat gigi, handuk, kain putih, dan lain sebagainya sangat banyak. Tentu saja tidak semuanya digunakan oleh para bhikkhu. Akhirnya dana tersebut disalurkan kembali kepada umat yang memerlukan di daerah atau diserahkan ke panti asuhan dan dalam beberapa tahun terakhir ini, umat Buddha lebih senang memberikan uang. Hal ini disebabkan karena umat tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh para bhikkhu dan dengan uang itu tentu bisa dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dana yang akan dipersembahkan pada saat kathina bukan hanya untuk bhikkhu tertentu saja atau kepada bhikkhu yang disenangi atau kepada bhikkhu yang sering memberikan khotbah dhamma di vihara. Dana tersebut dipersembahkan kepada

Sangha,49 bukan kepada pribadi bhikkhu yang hadir dalam perayaan tersebut.50

46

Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu dan samanera yang berada di sekitar vihara

47

Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”,Warta Visudhi, Oktober 1990, h. 4

48

Dhana Putra, “Bulan Dana, Bulan Kathina”, Warta Visudhi, Oktober 1990, h. 6

49

Sangha adalah pemimpin tertinggi yang ada dalam agama Buddha

50

(36)

Berdasarkan keterangan diperoleh keterangan bahwa tampak dengan

jelas adanya perubahan pemikiran dalam Budhisme, bukan nilai pahala atau balasan dari Tuhan, namun kepentingan dan kebutuhan manusia dalam hal ini para penganut agama Buddha dan para bhikkhunya. Dari perayaan kathina yang dilakukan di berbagai daerah, khususnya di

Indonesia para bhikkhu menerima dana kathina. Persembahan dana itu dapat berupa empat kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Selain itu seorang bhikkhu dapat menerima dana materi berupa uang. Dengan demikian persembahan dana dalam kathina merupakan persembahan umat berupa bahan jubah atau jubah, di samping dana-dana lainnya yang merupakan empat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan.

(37)

BAB III

VIHARA BUDDHA METTA ARAMA MENTENG JAKARTA

A. Sejarah Singkat Vihara Buddha Metta Arama

Lahirnya vihara Buddha Metta Arama ini dipelopori oleh seorang

pengusaha kaya raya yang memang memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap perkembangan agama Buddha di Indonesia. Beliau ini tidak segan-segan untuk memberikan sebagian hartanya guna mengembangkan agama Buddha di Indonesia. Pengusaha kaya raya tersebut yang peduli terhadap perkembangan agama Buddha di Indonesia belakangan ini kerap kali dikenal dengan sebutan Dra. Sri Hartati Murdaya. Dra. Sri Hartati Murdaya adalah seorang pengusaha terkenal beserta

suaminya memiliki rumah mewah yang beralamat di jalan Lembang Terusan D59 Jakarta dengan luas tanah sekitar 250 m2 bermaksud menghadiahkan rumah tersebut untuk dijadikan vihara Buddha Metta Arama. Pengambilan nama vihara ini berawal dari pemikiran beliau tentang adanya vihara di dalam rumah. Oleh karena letak vihara ini di dalam rumah, maka beliau namakan arama yang kini resmi dinyatakan dengan sebutan vihara Buddha Metta Arama. Vihara Buddha Metta Arama ini kemudian diresmikan menjadi tempat ibadah pada tanggal 15 September 1997. 51 Dra. Sri Hartati Murdaya pada awalnya adalah seorang penganut agama

Buddha yang taat, namun karena banyaknya permasalahan yang ia hadapi

51

(38)

terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan dunia, maka akhirnya ia mengalami kehampaan spriritual yang mengakibatkan dirinya tidak lagi berpedoman kepada ajaran Sang Buddha dalam setiap tingkah lakunya dan cenderung meninggalkan pesan-pesan Buddha yang mengajarkan tentang hidup sederhana. Mungkin hal inilah yang kemudian ia sebut sebagai kehampaan

spiritual.52 Berlatar belakang dari kehampaan spiritual inilah kemudian ia

menghadihakan rumahnya untuk dijadikan vihara sebagai bentuk kepeduliannya kepada para bhikkhu dan sekaligus menemukan jalannya sesuai dengan ajaran-ajaran Buddha yang selama ini ia tinggalkan dan campakkan. Kerelaan Sri Hartati Murdaya untuk memberikan rumahnya agar dijadikan sebagai vihara ini terbukti dengan banyaknya fasilitas rumah yang seharusnya ia pergunakan untuk

kepentingan bisnis, kini ia digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan vihara. Berkat kemurahan hati beliau dan sebagai penganut agama Buddha yang

taat, maka sekarang ini telah berdiri sebuah vihara di tengah-tengah perumahan mewah yang diberi nama Vihara Buddha Metta Arama. Vihara ini terletak di jalan Lembang Terusan D59, Telp. (021) 331961 Jakarta 10310 – Indonesia. Kini Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta ini dihuni oleh 5

orang bhikkhu dan 4 orang samanera. Semua kebutuhan pokok bhikkhu dan 4 orang samanera ini seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan ditanggung oleh seorang pengusaha terkenal bernama Dra. Sri Hartati Murdaya. Dengan demikian tugas para bhikkhu dan siswanya saat ini hanyalah mengajarkan

52

(39)

pesan Buddha dan tidak perlu memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia, karena urusan dunia telah ada yang mengaturnya. Untuk menjaga kelestarian agama Buddha ini, diperlukan para bhikkhu

yang memiliki kualitas keilmuan tentang agama Buddha. Sedangkan untuk menghasilkan para bhikkhu yang berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam memenuhi kebutuhan para bhikkhu. Oleh sebab itu, dibutuhkan donatur-donatur terutama di kalangan umat Buddha untuk menopang kehidupan para bhikkhu. Saat ini mungkin umat Buddha sangat mengharapkan donator-donatur yang memiliki kepekaan terhadap perkembangan agama Buddha seperti sosok Dra. Sri Hartati Murdaya. Di samping sebagai donatur yang memiliki kepekaan terhadap perkembangan agama Buddha, beliau juga merupakan salah satu pejabat dari organisasi WALUBI.

B. Peran dan Fungsi Vihara Buddha Metta Arama

Bagi umat Buddha, vihara memegang peranan yang sangat penting dalam

rangka melanjutkan estafeta ajaran Buddha. Di samping digunakan sebagai sarana pengajaran agama Buddha, vihara juga merupakan tempat para bhikkhu yang

memang mengabdikan seluruh kehidupannya untuk kepentingan ajaran Buddha. Dahulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah

(40)

bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana vihara.53 Pada mulanya umat Buddha belum memiliki vihara secara khusus.

Gagasan membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah raja Bimbisara mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai sottapati atau tingkatan kesucian pertama, maka

beliau memberikan persembahkan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.54 Atas pemberian tersebut, kemudian Sang Buddha memberikan

persyaratan sebagai berikut : 1. Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk dilalui.

2. Tidak terlalu banyak suara pada siang hari dan malam hari.

3. Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar.

4. Orang yang tinggal di sekitarnya mudah memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan sebagai penyembuhan bagi orang sakit.

5. Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih senior yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci.

Dengan semakin banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara

bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikkhu, tetapi juga digunakan oleh para upasakha dan upashika untuk belajar dhamma. Pada hari-hari uposhata umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan attha sila dan melatih meditasi.

53

Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.

54

(41)

Pada saat ini umat Buddha, terutama di Indonesia datang ke vihara untuk

melakukan puja bakti, umat juga mengadakan berbagai kegiatan lain yang sesuai dengan dhamma di vihara. Dengan demikian vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat

Buddha. Sedangkan bila ditinjau dari fungsinya, vihara memiliki fungsi sebagai

berikut : 1. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera

2. Tempat pendidikan putra dan putri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna, khususnya penganut Buddhisme.

3. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha. 4. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. 5. Tempat menyebarkan dhamma.

6. Tempat menunjukkan jalan kebebasan.

7. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasikan cita-cita kehidupan suci.

8. Tempat kegiatan sosial keagamaan. 55

Bila ditinjau dari aspek fungsi dalam memenuhi kebutuhan batin, maka

pada umumnya vihara dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu Brahmana vihara, Dibba vihara, Dhamma vihara dan Arya vihara. Brahma vihara terdiri dari metta, karuna, mudita dan upekha. Metta

berarti cinta kasih yang tanpa batas atau universal. Mencintai siapa saja tanpa ingin memiliki atau melekat kepadanya. Mencintai semua makhluk tanpa memandang latar belakang orang atau makhluk itu. Dengan adanya metta berarti

manusia tidak memiliki perasaan dendam atau benci kepada siapapun.

55

(42)

Sementara itu karuna berarti belas kasihan kepada semua makhluk yang

membutuhkan pertolongan. Sedangkan mudita berarti empati kepada kebahagiaan atau penderitaan orang lain. Empati adalah perasaan yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain seperti dialami oleh diri sendiri. Adapun upekha

berarti keseimbangan batin, selaras, bebas dari keresahan dan kegelisahan. Kelompok kedua adalah Dibba vihara. Kelompok vihara ini terdiri atas

hiri dan ottapa. Hiri berarti perasaan malu, yaitu malu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sedangkan ottapa berarti perasaan takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.56 Kelompok ketiga adalah Dhamma vihara. Kelompok ini terdiri dari

subba papassa akaranami, kusalassu pasompada, socitta panyodapanam dan etam Buddhana Sasanam. Subba papassa akaranami berarti jangan berbuat jahat kemudian kusalassu pasompada berarti berusaha untuk menambah kebaikan, selanjutnya sacitta panyodapanam berarti sucikan hati dan pikiran dan etam

Buddhana sananam berarti inilah ajaran para Buddha. Kelompok keempat adalah Arya vihara. Kelompok vihara ini terdiri atas

sila, samadhi dan panna. Sila berarti latihan kedisiplinan untuk melakukan perbuatan baik yang tidak merugikan orang atau makhluk lain. Adapun samadhi berarti pengembangan batin untuk mencapai ketenangan dan pandangan terang. Sedangkan panna berarti kebijaksanaan yang timbul sebagai reaksi dari

pelaksanaan samadhi.57 Sebagai tempat tinggal bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha, maka

biasanya vihara terdiri dari beberapa bangunan, dan setiap bangunan biasanya

56

Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.

57

(43)

memiliki fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan sangat bergantung kepada kemampuan umat Buddha yang mendirikan vihara tersebut. Seperti biasa pekerjaan membangun vihara ini dilakukan secara gotong royong oleh para umat

yang memiliki keyakinan kepada Sang Triatna.58 Dengan demikian adanya Vihara Buddha Metta Arama ini, diharapkan

selain dapat berfungsi sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha, juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan dan latihan umat, demi lestarinya ajaran Buddha. Secara geografis Vihara Buddha Metta Arama ini terletak di jalan Lembang Terusan D59 Menteng Kode Pos 10310 Jakarta –

Indonesia.

C. Aktivitas Dalam Vihara Buddha Metta Arama

Secara garis besar kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Buddha Metta

Arama dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan.59 Aktivitas keagamaan ini terdiri dari kegiatan rutin, kegiatan berkala dan

kegiatan khusus. Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dalam jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah kebaktian satu minggu sekali. Kebaktian ini dalam bentuk puja bakti dengan membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila bila dihadiri oleh bhikkhu dan mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini bisa dilakukan di

seluruh vihara agama Buddha.

58

Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bakti atau Puja, (Jakarta : Sangha Theravada Indonesia, tth), h. 16 - 17

59

(44)

Aktivitas selanjutnya yang termasuk dalam kategori kegiatan keagamaan

adalah kegiatan berkala. Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti memperingati hari raya Tri waisak, asadha, kathina dan magha puja. Hari raya waisak misalnya dirayakan secara nasional dan

besar-besaran yang bertempat di candi Borobudur. Kemudian aktivitas yang termasuk dalam kategori kegiatan keagamaan

adalah kegiatan khusus. Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus yaitu pabbajja dan upasampada. Pabbajja berarti meninggalkan rumah memasuki kehidupan yang tidak berumah tangga. Orang yang telah mengikuti pabbajja disebut sebagai samanera atau calon bhikkhu. Sedangkan orang yang telah sampai

pada tingkat upasampada disebut sebagai bhikkhu.60 Selain kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di Vihara Buddha Metta

Arama, juga terdapat kegiatan pendidikan keagamaan. Aktivitas pendidikan keagamaan ini terdiri atas kelas dhamma, sekolah pada hari minggu dan belajar kesenian. Dalam ajaran Buddha, pendidikan keagamaan yang pertama dikenal dalam ajaran ini adalah kelas dhamma.61 Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat Buddha tidak cukup hanya

mendengarkan dhamma dasana yang diadakan satu kali dalam satu minggu. Pada sisi lain untuk mengerti ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Dalam acara seperti ini siswa dapat menanyakan dhamma yang belum dimengerti. Hal ini sangat baik bagi siswa pemula yang sedang belajar dhamma,

60

Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.

61

(45)

karena dapat menanyakan secara langsung tentang dhamma yang belum ia ketahui. Sedikitnya terdapat lima manfaat yang dapat diperoleh ketika seseorang

mendengarkan dhamma yaitu assutim sunati, sutam pariyodapeti, kankham viharti, ditthim ujum karoti dan cittamassa pasidati. Assutim sunati berarti mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar dan belajar mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui. Sementara itu sutam pariyodapeti berarti sesuatu yang pernah didengar dan dilaksanakan dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan. Adapun kankham viharti berarti melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang ragu dapat dilenyapkan. Kemudian ditthim ujum karoti berarti pandangan yang benar dan cittamassa pasidati berarti

pikirannya bersih.62 Setelah siswa menyadari akan manfaat belajar dhamma, maka banyak

siswa yang semakin tertarik untuk mengikuti dhamma kelas. Hal ini merupakan aktivitas yang banyak dilakukan oleh vihara Buddha Metta Arama Menteng

Jakarta. Aktivitas pendidikan keagamaan lainnya dapat dilakukan melalui sekolah

minggu. Sekolah pada hari minggu merupakan pendidikan pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak.63 Pengenalan Buddha Dhamma kepada anak-anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian pribadi anak terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan pembentukan pribadi yang baik. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara kebaktian.

62

Pandit Jinaratha Kaharuddin, Kamus Buddha Dharma, (Jakarta : Tri Sattra Budhist Centre, 1994), h. 71 - 72

63

(46)

Kemudian kegiatan pendidikan keagamaan dapat juga dilakukan melalui

kesenian. Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni melalui lantunan sebuah lagu misalnya, dan seseorang dapat menuangkan buah pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan dhamma dengan metode lainnya. Kesenian tersebut dapat berupa lukisan, misalnya lukisan kelahiran Pangeran Sidharta sampai Sang Buddha Parinibbana. Bentuk kesenian lainnya yang dapat digunakan dalam menggambarkan ajaran Sang Buddha dapat dilakukan dengan cara tarian, nyanyian, drama, dan lain sebagainya. Orang yang berjiwa seni dapat membantu menanamkan Buddha

Dhamma kepada umat Buddha melalui jalur karya seninya.64 Selanjutnya aktivitas yang biasa dilaksanakan oleh Vihara Buddha Metta

Arama adalah kegiatan sosial keagamaan. Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Adapun dana yang diberikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain sebagainya. Setelah dana ini terkumpul, kemudian disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial seperti ini dapat dilaksanakan di setiap vihara, termasuk Vihara Buddha Metta Arama. Dengan melakukan kegiatan sosial, maka umat Buddha secara tidak

langsung telah melaksanakan salah satu ajaran Sang Buddha. Ada dua macam aksi sosial yang pernah dilaksanakan di Vihara Buddha

Metta Arama yaitu donor darah dan dana materi.65 Aksi sosial pada Vihara Buddha Metta Arama ini yang utama adalah donor darah. Donor darah

64

Wawancara Pribadi dengan Suddhi Citto.

65

(47)

diselenggarakan tiga bulan sekali, tepatnya pada saat menjelang hari raya agama Buddha. Aksi sosial seperti ini banyak diminati umat, karena acaranya

diselenggarakan di vihara yang berarti umat dapat berpartisipasi secara langsung. Demikian aktivitas-aktivitas dalam Vihara Buddha Metta Arama

Menteng Jakarta. Secara garis besar aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan di Vihara Buddha Metta Arama ini dapat diklasifikikasikan kepada tiga golongan yaitu kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan yang kesemuanya itu diselenggarakan dengan salah satu tujuan untuk menjaga kelestarian ajaran Sang Buddha.

D. Arti Simbol Dalam Vihara Buddha Metta Arama

Simbol-simbol yang terdapat pada Vihara Buddha Metta Arama

dimaksudkan untuk mengingatkan umat Buddha pada ajaran Sang Buddha, umat Buddha merenungkan Buddha dan ajarannya melalui simbol-simbol yang sesuai. Adapun simbol yang digunakan pada Vihara Buddha Metta Arama antara lain rupang, stupa, cakkha dan simbol-simbol yang terdapat pada altar. Arti simbol dalam Vihara Buddha Metta Arama ini akan diuraikan

sebagai berikut :66 1. Rupang

Banyak orang beranggapan bahwa penganut agama Buddha adalah penyembah berhala. Mereka berpikir bahwa di depan Buddharupang umat Buddha menyembah Buddharupang dan meminta-minta segala sesuatu yang

66

(48)

dikehendakinya. Hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh umat Buddha di hadapan Buddharupang. Dalam melakukan puja kepada Sang Buddha sesuai dengan ajarannya, Buddharupang adalah melambangkan kehadiran Sang Buddha. Buddharupang yang menjadi lambang perwujudan Sang Buddha bukan semata-mata berhala yang disembah begitu saja, namun umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang memiliki makna filosofi yang dalam bagi mereka.67 Buddharupang sebagai lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian Sang Buddha yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang dapat membebaskan manusia dari

penderitaan. Meskipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara merangkapkan kedua tangan di depan dada atau bersujud di hadapan Buddharupang. Rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan atas rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu dalam memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kamma baik. Atas jasa-jasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan dan

kebebasan.68 Di sini tampak bahwa umat Buddha membutuhkan wajah sang Buddha Gautama di dalam bakti persembahan, bukan wajah Tuhan, kecuali jika Sang

Buddha Gautama dianggap Tuhan.

67

Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, (Jakarta : Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1997), h. 19

68

(49)

Rupang biasanya diletakkan di setiap bangunan vihara. Hal ini berguna agar umat dapat mengetahui bahwa rupang merupakan simbol yang sering

digunakan dalam agama Buddha. 2. Stupa

Stupa adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk penempatan abu jenazah atau benda peninggalan dari orang suci atau raja sejagat. Stupa sebagai tempat penyimpanan abu jenazah atau benda peninggalan telah ada sejak pada masa Sang Buddha, dan stupa seperti ini

telah dijadikan sebagai obyek penghormatan.69 Puja bakti maupun penghormatan pada stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan perbuatan atau prilaku baik yang telah dilakukan oleh pemilik peninggalan tersebut yang ada dalam stupa, agar umat Buddha dapat meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan

pada stupa tersebut. Adapun stupa yang ada di Vihara Buddha Metta Arama adalah stupa dalam bentuk kecil dan diletakkan di altar. Arti simbol dari stupa ini adalah agar umat Buddha dapat menjadi contoh teladan bagi umat Buddha lain

khususnya, dan di luar umat Buddha pada umumnya. 3. Cakkha

Kata cakkha berasal dari baha Pali yang berarti roda. Setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, beliau menerangkan dhamma kepada lima orang pertapa. Penerangan dhamma yang pertama kali ini disebut

69

(50)

dhammacakkha pavattana sutta atau pemutaran roda dhamma. Sang Buddha mengumpamakan dhamma yang telah beliau terangkan sebagai roda. Dengan berputarnya roda dhamma dimaksudkan agar semua makhluk yang hendak berbuat dengan dhamma akan bebas dari penderitaan. Dari pemutaran roda dhamma tersebut, maka cakkha menjadi salah satu dari simbol yang ada dalam agama Buddha. Ada bermacam-macam cakkha yang digunakan dalam delapan jalan utama adalah dengan delapan jari-jari. Bagaikan sebuah roda dengan porosnya di tengahnya dari jari-jari saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga, jalan mulia berunsur delapan merupakan salah satu jalan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Selain cakkha dengan delapan jari-jari yang digunakan dalam agama Buddha juga ada cakkha dengan dua belas jari. Kebua belas jari-jari ini menunjukkan ciri pengetahuan yang terdapat dalam empat kenyataan

mulia.70 Simbol-simbol lainnya yang berhubungan dengan ajaran Buddha biasanya diletakkan di altar. Ada lima persembahkan di altar sebagai simbol-simbol seperti lampu penerangan, dupa, bunga dan air. Pada altar terdapat beberapa simbol yang dapat dijadikan sarana penghubung bagi ajaran Buddha.

Salah satu simbol tersebut adalah lampu penerangan.71 Dalam melaksanakan puja di depan altar, Sang Buddha sering menggunakan lampu penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang

70

Dwiyanti, Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha, h. 24 -25

71

(51)

memerangi kegelapan. Ruang yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu. Demikian juga dhamma dapat memerangi batin yang gelap menuju penerangan sempurna. Pada saat ini lampu sering digunakan untuk penerangan. Demi menerangi kegelapan, lilin rela mengorbankan dirinya habis terbakar. Demikian juga dengan manusia, hendaknya ia berbuat baik membantu sesamanya tanpa mengharapkan imbalan. Kemudian simbol lainnya yang ada di altar adalah dupa. Jika memaki ruangan yang ada dupanya, maka akan mencium bau harum semberbak yang membuat terpukau untuk tinggal pada ruangan tersebut. Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di tempat khusus di altar.

Demikian dengan Vihara Buddha Metta Arama Menteng Jakarta. Dupa dalam hal ini, melambangkan harumnya kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan arah angin, dan bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan arah angin. Demikian seperti disebutkan dalam kitab dhammapada.72 Dengan adanya dupa ini melambangkan bahwa harum juga nama Sang Buddha, karena beliau penemu jalan kebenaran. Hal inilah yang patut direnungkan dengan obyek

dupa yang ada. Selanjutnya simbol lain yang tidak kalah pentingnya yang ada di altar adalah bunga. Bunga adalah lambang kelemahan dan bunga biasanya cepat layu. Pada saat dipetik dan dipersembahkan di altar Sang Buddha, bunga

72

(52)

tampak segar dan baunya harum membuat altar kelihatan indah dan agung. Setelah beberapa hari bunga tersebut akan menjadi layu dan berguguran. Seperti halnya bunga, manusia juga mengalami proses kehidupan yang terus

berubah tanpa henti yaitu lahir, anak, remaja, tua, sakit dan mati. Setelah manusia dilahirkan, ia akan tumbuh menjadi dewasa, kelihatan cantik atau tampan, namun lama kelamaan ia menjadi tua dan sakit-sakitan lalu akhirnya mati. Untuk itu, setiap manusia hendaknya berusaha menyadari bahwa semua yang ada pada dirinya selalu mengalami perubahan. Manusia selalu cengkram oleh proses yang terus menerus dalam kehidupan ini selama manusia tersebut masih memiliki kegelapan batin. Demikian seperti

disebutkan dalam kitab Paritta Suci Agama Buddha.73 Proses perubahan seperti inilah yang perlu direnungkan dengan

mengambil obyek bunga sebagai simbolnya. Seperti halnya bunga, demikianlah perubahan hidup yang terjadi pada manusia tidak akan kekal

selamanya. Simbol selanjutnya yang terdapat di altar adalah air. Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, karena air memiliki sifat-sifat seperti da

Referensi

Dokumen terkait

1. Harun Joko P,.M.Hum selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah berkenan memberikan izinnya kepada penulis

Dengan demikian, melalui pelaksanaan audit internal diharapkan dapat memberikan informasi serta berbagai alternative solusi yang dapat digunakan untuk memperbaiki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang, peralatan yang digunakan, pelaksanaan prosesi, doa dalam ritual, serta aspek pendidikan spiritual dalam prosesi

demikian, pemilik atau pengelola dapat mengetahui dan memahami kinerja hotel perusahaan selama lima periode yaitu dari periode 2003 sampai dengan 2007 dan diharapkan dapat

"Kita bekerja sama dengan pihak Kantor Urusan Agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya peraturan pemerintah untuk proses pelaksanaan pencatatan nikah di

Dengan demikian dapat diketahui bahwa upaya kelurga dalam memberikan pendidikan agama Islam kepada anaknya dapat dikelompokkan kepada mengajarkan anak membaca

Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlikan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu,

Hasil Penerapan Tata Kelola H* 9 SKAI atau Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi audit intern telah menyampaikan laporan pelaksanaan audit intern kepada