• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA A.Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

B. Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Pidana mati adalah sanksi pidana atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya

yang dirasa berdampak sangat buruk bagi masyarakat, negara dan bangsa. Pada RUU KUHP Tahun 2013 pidana mati masih termasuk dalam pidana pokok akan tetapi bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan Agama, Pancasila dan UUD 1945, karena hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang tercantum dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya didasarkan atas argumentasi bahwa hidup mati seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan cara untuk matinya ditentukan oleh orang tersebut karena Tuhan telah memberikan pilihan-pilihan dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, ketika seseorang dijatuhi pidana mati oleh negara atas kejahatan yang diatur dalam UU narkotika, tidak berarti bahwa negara yang menentukan hidup matinya seseorang, melainkan bahwa orang tersebut telah menentukan sendiri secara sadar cara untuk matinya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada BAB XV menjelaskan mengenai ketentuan pidana, disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa mengenai sanksi hukum terhadap tindak pidana narkotika. Sanksi yang

dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika itu terdiri dari beragam jenis sanksi pidana, yaitu pidana penjara, hukuman denda, dan hukuman pidana mati.1

Adanya beragam jenis sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan atau pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika sangat terkait pada jenis dan golongan narkotika. Jadi setiap sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dibedakan menurut golongan dari narkotika itu sendiri.

Narkotika sebagaimana dimaksud di dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (contohnya: heroin, ektasi, kokain, ganja, shabu-shabu dan lain-lain).

2. Narkotika Golongan II

Narkotika berkhasiat untuk pengobatan guna sebagai pilihan terakhir dan dapat dipergunakan dalam terapi atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

1

Indra Saputra, Skripsi Dengan Judul Analisis Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika, (Bandar Lampung: Fakultas Hukum, 2014), h. 25.

tinggi mengakibatkan ketergantungan, (contohnya: morfin, petidin, metadon dan lain-lain).

3. Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, (contohnya: kodeina, nikokodina, norkodeina dan lain-lain).

Jenis-jenis dan golongan narkotika tercantum pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara rinci menjelaskan jenis-jenis golongan narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang di dalamnya terdapat ancaman pidana mati. Sanksi pidana mati yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut terdapat pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 113

a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

b. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 114

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana

mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Hukuman mati selama ini digadang-gadang sebagai hukuman yang akan memberi efek jera paling efektif. Seseorang tentu akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatan jika nyawanya jadi taruhan. Jika hanya diberi hukuman penjara atau sanksi denda, seseorang akan dengan mudah mengulangi lagi perbuatannya. Apalagi bagi orang yang memiliki jabatan dan uang. Hukuman kurungan atau denda tidak akan berarti besar.

Penjatuhan pidana mati tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime). Pelaku kejahatan khusus dianggap telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.2

Pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati dengan alasan karena pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan di Indonesia, menurut Mahkamah Konstitusi, pandangan ini telah menyamaratakan semua jenis kejahatan dan sekaligus menyamaratakan pula kualitasnya. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apakah dengan pemberlakuan pidana mati sertamerta berarti mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku

2

tindak pidana. Mahkamah Konstitusi berpendapat, filosofi tersebut adalah prinsip yang bersifat umum. Artinya, ia hanya berlaku terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dan dalam kualitas tertentu yang memang masih mungkin untuk dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelakunya. Sehingga, penerapan pidana mati terhadap jenis dan kualitas kejahatan tertentu tidaklah serta-merta mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia. Selain itu, dalam hukum pidana, sangatlah sulit untuk menghilangkan sama sekali adanya kesan retributif (pembalasan) pemidanaan itu karena aspek retributif tersebut memang melekat pada sifat sanksi pidana itu sendiri jika semata-mata dilihat dari perspektif orang yang dijatuhi sanksi pidana dan korban tindak pidana. Namun, kesan demikian akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali apabila pengenaan suatu sanksi pidana, termasuk pidana mati, dilihat dari perspektif upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu sebagai akibat dari adanya suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Dengan demikian, pendapat para Pemohon dalam permohonan a quo yang mengatakan teori balas dendam “ an eye for an eye ” (vergeldingstheorie, lex taliones) dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika mendapatkan legitimasi, sehingga bertentangan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia, tidaklah tepat.

Ahli dari BNN Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi, S.H., menyatakan bahwa masalah narkotika bukan saja masalah nasional suatu negara, tetapi merupakan maslah internasional dari semua negara di dunia, maka mayoritas anggota PBB telah

menyepakati United Nation Convention Against the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substan tives tahun 1988 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1997 dan UU Nomor 22 Tahun 1997 merupakan penjabaran lebih lanjut dari konvensi tersebut. Sudah barang tentu, sebagaimana konvensi pada umumnya, beratnya hukuman atas kejahatan aquo diserahkan kepada masing-masing negara dan Indonesia mencantumkan hukuman mati dalam UU Narkotika yang karena masih berlaku, maka adalah sah.

Hukuman mati mungkin tidak akan mengakhiri segalanya. Tapi ada kemungkinan bagi si pelaku untuk mengulangi perbuatannya adalah nol persen. Sementara orang lain yang berencana untuk melakukan kejahatan yang sama akan berpikir ulang untuk melanjutkan aksinya karena contoh terhukum mati sudah ada.

Bagi kalangan yang menentang pidana mati berpendapat bahwa pidana mati berlawanan dengan UUD 1945 dan UU No.39 tentang Hak Asasi Manusia. Hak hidup dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU HAM menyatakan, hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Jaminan hak hidup juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9, yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan, bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Penjelasan Pasal 9 UU HAM, diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi. Pertanyaannya, apakah hukuman mati bagi pengedar Narkoba dibenarkan dan masuk dalam batasan keadaan yang sangat luar biasa? Sebagaimana penjelasan Pasal 9 UU HAM merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945, MK dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945, karena

jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain, demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.

Berdasarkan putusan MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan. Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional Narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap Narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti Narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang

paling serius. Dalam pandangan MK, hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM. Ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut. Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.

Secara yuridis, hukuman mati menemukan sandarannya dan konstitusional dalam sistem hukum di Indonesia. Setelah MK memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara sosiologis, hukuman mati terhadap produsen dan pengedar Narkoba menurut penulis masih bisa dibenarkan, mengingat masa depan kehidupan bangsa. Hukuman mati ini apabila dilihat dari UU No.39 Tahun 1999, (sepertinya) suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah merampas hak untuk hidup seseorang. Namun jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, seorang pengedar Narkoba telah merenggut berjuta-juta hak asasi manusia, khususnya generasi muda penerus generasi bangsa. Secara perlahan produsen dan pengedar Narkoba telah melakukan „Pembunuhan’ atau „merampas hak hidup’ para penggunanya secara sistematis dan terencana. Tidakkah merampas hak hidup orang

lain yang dilakukan produsen dan pengedar Narkoba, bukan dari pelanggaran HAM? Ataukan pembunuhan terencana dan sistematis melalui Narkoba bukan kejahatan kemanusiaan serius yang layak diganjar hukuman maksimal? Hak untuk hidup tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat melanggar hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat.

Perbuatan produsen atau pengedar Narkoba menurut penulis, berdampak sistemik, bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial serta mengakibatkan terganggunya tatanan tertib sosial serta konstitusi negara. Inilah yang menurut penulis menjadi alasan dasar, keberadaan pidana mati bagi produsen atau pengedar Narkoba, tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya.

89 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan, yaitu:

1. Implementasi Pidana Mati sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 negara menjalankan pidana mati sangat tidak manusiawi karena bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dan TAP MPR No. VXII/MPR/1998, tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan juga terdapat pada Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

2. Implementasi Pidana Mati setelah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Mahkamah Konstitusi (MK) dan negara berani mengambil tindak tegas yaitu menjalankan pidana mati bagi para produsen, pengedar dan penjual narkotika karena telah memberikan efek yang sangat merugikan bagi umat manusia dan tidak bertentangan dengan Undang-undang HAM serta merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945.

3. Penjatuhan pidana mati kepada penyalahgunaan Narkotika sangatlah sesuai dengan Undang-Undang di Indonesia karena pidana mati tidaklah

bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia dan masih layak dipertahankan keberadaannya dalam hukum pidana positif dan juga sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif demi mencapai tujuan yaitu kemaslahatan umat manusia.

B. Saran

1. Seharusnya Negara harus berani mengambil tindak tegas dengan cara menghukum mati bagi para pengedar Narkotika dan dalam rencana pembaharuan Undang-Undang Pidana di Indonesia, baik tim perumus RUU KUHP maupun tim perumus Undang-Undang bernuansa HAM, perlu duduk bersama untuk berani memutuskan dan Indonesia tetap memasukkan pidana mati dalam KUHP dan non-KUHP dan konsisten dalam pelaksanaannya.

2. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara narkotika hendaknya memperhatikan ancaman pidana pasal yang dipakai untuk mengadili perkara yang bersangkutan, agar tidak terjadi disparitas dalam putusan perkara narkotika. Penjatuhan putusan perkara narkotika oleh hakim yang memeriksa dan mengadili, hendaknya profesional terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak kejahatan narkotik.

1 Al-Qur’an Al Karim

Abidin, A.Z, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Asshidiqie, Jimly dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Audi, Robert dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

Azizy, A. Qodri Abdullah , Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

Bangun, Nata Sukam, Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2014.

Boisard, Marcel A, Humanisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,

2000.

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif , Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Abdoel Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1973. Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina

Ilmu, 2010.

Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Ilyas, Amir dan Yuyun Widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Yogyakarta: 2010. Irmansyah, Rizky Ariestandi, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Ismail, Al-Hasani, Nadlriyyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam Muhammad ath-Thahir bin Asyur, Cairo: IIIT, 1995.

Jonkers, J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Akasara, 1987. Lemaire, W.L.G, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken

met het Ned. W.v.S, Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934.

Lopa, Baharudin, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dasar Bhakti Primayasa, 1996.

Lubis, M. Solly, ”Hak-hak Asasi Menurut Undang-undang Dasar 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.

Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Marlina, Hukum Penitensier, Bandung: Refika Aditama, 2011.

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

Maududi, Abul A’la, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985. Naning, Ramdlon, Gatra Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1982.

Nawawi, Arief barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.

Nowak, Manfred, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary”, Revisi kedua, N.P.Engel, 2005.

Poerwadarminta, W.J.S, ” Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.

Prinst, Darwin, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007. Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982

---, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana,