• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA A.Sejarah Pidana Mati di Indonesia

D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Menurut KUHP, ada sembilan (9) Pasal yang menyangkut jenis kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP);

2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat 2 KUHP);

3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat 3 KUHP);

4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3

KUHP);

7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);

8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);

9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 & Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).24

Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa ketentuan ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah:

1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU Nomor 7/Drt/1955 );

2. Tindak Pidana Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009);

3. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001);

4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999);

5. Tindak Pidana Terorisme ( UU Nomor 15 tahun 2003).

Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan

24

pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.25

Tujuan pemidanaan pada hakikatnya memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam data yang diperoleh ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan

25

tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut.26

Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.27

Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini

26

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56.

27

di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat.28

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet.29

Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari Pancasila yang antara lain mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan

28

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52.

29

Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam Pasal 28 A itu.

Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati.30

Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum

dan Militer(“UU 2/PNPS/1964”).

Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat 1 UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana

30

Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 57.

hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan (lihat Pasal 7).

Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja, juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut.31

Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. persiapan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan; dan d. pengakhiran. 31

Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 12/2010 sebagai berikut:

1) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;

2) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;

3) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;

4) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;

5) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan; 6) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor

dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;

7) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;

8) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”;

9) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;

10) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;

11) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;

12) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak;

13) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;

14) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;

15) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;

16) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;

17) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;

18) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;

19) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;

20) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;

21) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;

22) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;

23) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;

24) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;

25) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;

26) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;

27) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan

28) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.

Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda (lihat Pasal 16 Perkapolri 12/2010).32

Secara Teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Hal ini pada gilirannya akan meurunkan jmlah tindak pidana terkait. Secara logika memang masuk akal, namun tidak terdapat data statistik

32

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati diakses tanggal 14 Mei 2016 Pukul 20:00 wib

(empiris) dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut dan yang terjadi justru sebaliknya.