Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
DIMAS ANGGRI WIJI DWI ANGKOSO NIM: 1112048000041
KOSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 86 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari ancaman pidana mati terhadap kasus penyalahgunaan narkotika sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-IV/2007 dalam prspektif hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh begitu maraknya narkotika yang sampai saat ini semakin meluas dan masuk ke elemen-elemen pendidikan dasar yang merusak moral dan mental bangsa ini. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan perlu adanya suatu cara atau metode pemberantasan kejahatan narkotika untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali keadaan masyarakat Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan sistem norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa putuan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tersebut berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan menganalisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya. Serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu hukum positif di Indonesia dapat memberlakukan hukuman mati terhadap pidana narkotika dengan pertimbangan undang-undang narkotika.
Kata Kunci : Pidana Mati, Hak Asasi Manusia, Narkotika, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-IV/2007
Pembimbing : Dr. Burhanuddin, S.H., M. Hum
v
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga
senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya.
Penulisan skripsi ini dalam penyusunannya tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki
penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
vi
dan II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan,
memberikan arahan, saran serta kritik yang membangun demi
terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
ilmu.
5. Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah bersedia memberikan data berupa
putusannya guna kepentingan penulisan skripsi ini.
6. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.
7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sukur Subagyo dan Ibunda Sri
Wahyuningsih yang telah memberikan doa dan dukungannya. Kakak penulis,
Nova Nugroho Cahyo Ardhi, adik penulis, Agam Arif Arakhman, serta
sepupu penulis, Adika Ferdiansyah. Tidak lupa juga keluarga besar di
Purwokerto, Cinere, Purbalingga dan Kutawis yang senantiasa memberikan
vii
angkatan 2012 atas kebersamaannya yang selalu memberikan dukungan dan
doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga silatuhrahmi kita tetap
terjalin.
9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2012 khususnya Cucu-Cucu Dekur
atas kekompakkan dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.
10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, KKN Eternal Wings, Grup GGC
serta teman-teman Remaja Ismaya, terima kasih atas informasi, bantuan,
semangat, dan doa-doa yang telah diberikan. Sukses mulia untuk kita semua.
11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi yang membaca.
Jakarta 13 Oktober 2016
viii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 9
C.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 10
D.Tujuan dan manfaat Penelitian ... 11
E.Kerangka Pemikiran ... 12
F. Kajian (review) Studi Terdahulu ... 13
G.Metode Penelitian ... 17
H.Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PELAKSANAAN HUKUMAN MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA ... 20
A.Sejarah Pidana Mati di Indonesia ... 20
ix
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA ... 49
A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ... 49
B. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 52
C. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ... 56
D. Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif...65
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 ... 70
A.Analisa Pidana Mati Sebelum Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 70
B.Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 72
BAB V PENUTUP ... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
1 A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum dan Negara hukum merupakan istilah
yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah
pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang
terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan
bentuk dan sifat yang saling mengisi antara negara di satu pihak dan hukum pada
pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban umum
(rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula
hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.1
Disini yang akan disinggung adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Hak
Asasi Manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”, yang artinya
hak-hak asasi manusia dan dalam bahasa Inggris disebut “Human Rights”.
Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau
warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi
oleh Pemerintah, oleh sebabnya munculah istilah “Basic Rights” atau
1
“Fundamental Rights”. Dalam bahasa Indonesianya yaitu hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah “Hak Asasi Manusia”.2
Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat
pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan
segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang.
Konsekuensi negara hukum memiliki ciri yang paling fundamental yaitu
jaminan atas pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Jaminan ini, harus terwujud ke
dalam konstitusi, setidaknya terlihat dari implementasi hukum yang memiliki
ajaran yang berlaku sehari-hari. Sebagai salah satu hak, maka Hak Asasi Manusia
tidak terlepas dari kebebasan sekaligus kewajiban setiap individu baik pemegang
kekuasaan maupun masyarakat.3 Karena konstitusi merupakan napas kehidupan
ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia.
Dalam konteks perlindungan terhadap HAM, konstitusi memiliki
peranan penting sebagai dalam mewujudkan negara hukum. Perlindungan HAM
meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya
2
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 97.
3M. Solly Lubis,”Hak
supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya
bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana ditegaskan
oleh Sri Soemantri sebagai berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindang sewenang-wenangnya kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.4
Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi
kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan
kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati yang melekat pada diri manusia
sejak lahir.5 Salah satu diantaranya yaitu tentang hak untuk hidup yang tertuang
di dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta dalam pasal 4 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, disebutkan bahwa ham untuk memberikan jaminan yang melindungi
hak untuk hidup seluruh rakyat Indonesia.
Kini, HAM menjadi perbincangan yang intens seiring dengan intensitas
kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Menjadi aktual karena sering
dilecehkan dalam sejarah kelam hak asasi manusia sejak awal hingga saat ini.
Perjuangan HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas
4
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 74.
5
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
teritorial sebuah negara. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM,
sehingga jika ada negara yang diidentifikasi melanggar HAM, dengan spontan
seluruh negara akan memberikan respon, tidak terkecuali negara-negara “adi kuasa”.6
Dalam konteks Indonesia ada juga yang memberikan sanksi yaitu pidana
mati yang merupakan hukuman yang paling berat dijatuhkan oleh Majelis Hakim
terhadap tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati. Penjatuhan
hukuman mati diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
seperti yag dikutip dalam Pasal 10 tentang jenis hukuman (pemidanaan) dan
diatur dalam undang-undang lainnya yang merupakan hukum positif yang
berlaku di Indonesia.7 Hukuman tersebut bertentangan dengan HAM.
Pidana mati merupakan warisan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial, dan diubah menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1946 Tentang
Hukum Pidana. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang
yang dikeluarkan kemudian, ternyata mencantumkan juga ancaman pidana mati
di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam
6
Jimly Asshidiqie dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 2.
7
W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan
pada antara lain “alasan berdasarkan faktor rasial”.8
Seperti diketahui, dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan
adanya pidana mati. Salah satu diantaranya adalah KUHP Indonesia yang
memungkinkan terpidana dijatuhi pidana mati atas kejahatan yang berat (extra
ordinary crime). Pidana mati yang merupakan salah satu jenis hukuman pidana
(sebagaimana tertulis dalam Pasal 10 KUHP) masih mendapatkan tempat dalam
pemberantasan kejahatan.9
Pasca Reformasi nilai-nilai HAM sudah diakomodir di UUD 1945
sehingga aturan atau norma juga bertujuan memberikan perlindungan terhadap
HAM. Bukan hanya segelintir orang saja yang harus terlindungi haknya namun
semua lapisan masyarakat juga harus terlindungi haknya. Namun yang masih
menjadi masalah adalah pada praktek oleh Undang-undang.
Selain diakomodir dalam bentuk perundang-undangan penjaminan atas
HAM juga telah diterima oleh semua lapisan anggota masyarakat.hal ini
dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok pejuang HAM, untuk
menunjukkan efektivitasnya kelompok-kelompok tersebut melakukan
gerakan-gerakan seperti kegiatan mulai dari memberikan upaya pemahaman dan
8
Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), h. 29.
9
penyebarluasan informasi tentang HAM kepada masyarakat sehinga msayarakat
mulai dapat diterima dan dipahami dan telah dituangkan oleh UU.
Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang
anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak hanya
menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat,
namun tujuan negara tersebut dirasakan kontra produktif dengan masih
diberlakukannya pidana mati dalam KUHP. Sebab, dengan adanya pidana mati
tersebut jaminan hak orang atau terpidana mati telah dirampas oleh negara dan
upaya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat telah gagal.10
Selagi negara masih mempunyai alat-alat lain untuk mempertahankan
keamanan dan menjalankan kewajibannya sebaiknya tidak menggunakan pidana
mati. Ini berarti bahwa selagi negara itu masih merupakan suatu negara yang
teratur, dimana polisi dan pengadilan dapat menjalankan pekerjaan dengan
tenang, maka pidana mati tidak tepat sebagai pidana. Dengan tindakan memidana
mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kalau hanya untuk
memberantas kejahatan. 11 Khususnya tindak pidana mati terhadap
penyalahgunaan narkotika.
10Ing Oei Tjo Lam, “Sekitar Soal Hukuman Mati’
, Varia Peradilan No. 10, 11, 12 Mei, Juni, Juli 1964, h. 184-190.
11
Narkotika menurut UU RI No 22 / 1997 yaitu zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan
dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak
sesuai dengan petunjuk pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran
narkotika secara ilegal akan menimbulkan akibat merugikan perorangan maupun
masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang
lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya
akan dapat melemahkan ketahanan nasional.12
Dalam usaha menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut pada pokoknya
mengatur narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan
pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis
maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda.13
12
Syamsul Hidayat, Pidana Mati di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), h. 1.
13
Selain konteks politik hukum di Indonesia, karena pidana mati tidak
relevan dengan UUD 195. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih
belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan
aparaturnya yang bersih. Serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum
internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional,
khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi , serta UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman
mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh
karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara
penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh apalagi menghilangkan banyak
nyawa lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa
membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara
kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang
merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena
ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada
sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban
Bisa dilihat dari ini sebelum menjatuhkan vonis dan untuk menilai apakah
peristiwa hukum yang dapat menggerakan hukum untuk bekerja lebih lanjut
sampai menjatuhkan sanksi, dilakukan dengan cara meletakkan peristiwa itu ke
dalam undang-undang lewat penafsiran tekstual-gramatikal yang sangat
mekanistik dan legalistik seperti diperagakan model penalaran Positivisme
Hukum. Dengan demikian, di tangan praktisi penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, dan pengacara) semua peristiwa dikonstruksi dengan cara berpikir yang
khas, yang disebut juridisch denken.14
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
jauh bagaimana Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan
Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat
tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi. Hal ini menarik
karena menyangkut kebebasan hidup seseorang. Dengan demikian penulis
tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah
skripsi.
B.Pembatasan dan Rumusan Masalah
14
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan
pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan
masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis
membatasinya dengan pembahasan mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK
No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan
masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
a. Bagaimana implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya
Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?
b. Bagaimanakah implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sesudah
adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?
c. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai
dengan tujuan pemidanaan ?
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin
Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.
b. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin
Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.
c. Untuk mengetahui dan memahami sesuai atau tidak dengan
Undang-undang Narkotika.
2. Kegunaan Penelitian.
Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis.
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi
mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan
Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia.
b. Kegunaan Praktis.
Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi
informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Ancaman
Pidana Mati Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah
perspektif fiqih
kejahatan dan Pelanggaran . Kejahatan-Kejahatan yang berat dan Pidana mati
dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan
yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang
layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka
hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada
hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi
warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati
kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya.
F. Metode Penelitian.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala
bersangkutan.15
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk
memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian
kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
15
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 16
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena,
agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau
mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Penelitian.
Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu
penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam
penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa
pendekatan yuridis normatif perundang-undangan(statute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis
(historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh
kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Hukuman Pidana Mati dan
Hak Asasi Manusia tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu
untuk memastikan bahwa pada dasarnya Hukuman Pidana Mati sangat
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena tidak sesuai dengan
Undang-Undang. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi
penulis sebagai sumber informasi tambahan mengenai Hukuman Pidana Mati
itu sendiri.
16
Pendekatan konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang didalam bidang hak asasi manusia atau dalam
komisi Nasional itu sendiri. Dalam pendekatan konseptual penulis akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun argumentasi hukum
dalam memecah isu yang dihadapi.
Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Hukuman Mati. Pendekatan
historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan
mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia.
3. Sumber Penelitian.
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian
yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum
tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer.
Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat
segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Perundang-Undangan
yang terkait dengan Hukuman Pidana Mati. Bahan hukum primer
merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.17
b. Bahan hukum sekunder.
Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan-bahan yang memuat
segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini,
terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang
berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan
skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
hukum, encyclopedia, dan lain-lain.18
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
17
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51.
18
Dalam penelitian ini, penulis me
mpergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/
kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi
manusia dan hukuman mati, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan
juga berita yang penulis peroleh dari internet.
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode
Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.19
G.Metode Pengolahan dan Analisis Data.
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
19
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan
hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai
Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum
dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. Didalamnya akan membahas mengenai kedudukan Hak Asasi
Manusia, fungsi dan wewenang Negara dalam Menangani Hukuman Pidana
Mati, Dasar Hukum Hukuman Pidana Mati, Bentuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia, lalu Bagaimana penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden
sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dan Bagaimanakah
penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan
MK No.2-3/PUU-IV/2007 serta Apakah penjatuhan pidana mati pada
undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan.
5. Metode Penulisan.
Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
H.Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan
pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi,
dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Studi Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II PELAKSANAAN PIDANA MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA
Sejarah Pidana Mati di Indonesia, Teori Pemidanaan, Pro dan
Kontra Pidana Mati di Inonesia, Proses Pelaksanaan Pidana Mati
di Indonesia, Negara yang Tidak Memberlakukan Hukuman
Pidana Mati.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Pengertian Hak
Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam,
Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Positif.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007
Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Pidana Mati
sebelum dan sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.
BAB V PENUTUP
Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang
berkaitan dengan permasalahan yang penulis dapatkan dari hasil
Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
22
SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bagian dari jenis pidana yang berlaku berdasarkan
hukum pidana Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan
dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana
mati ini juga merupakan hukuman tertua dan mengandung kontroversial jika
dibandingkan dengan bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya
hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh
umum.1
Pidana mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat
itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan
dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati
dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.
Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang
menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan
sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam Wetboek van
Strafrecht (KUHP).
1
Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan
tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira
muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13
tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah
telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan
tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter
Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan
pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek
menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota
untuk santapan burung.
Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal
tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial.
Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat
yang melakukan perlawanan. Dengan pemberlakuan Hukuman mati ini masyarakat
Indonesia dapat diminimalisir kejahatannya.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di
dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum
kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis
hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.2
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada
masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat
represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto.
Fenomena Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara
terselubung.3
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru
di Indonesia. Pidana mati ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau
hukum para penguasa terdahulu, umpamanya:
a) mencuri dihukum potong tangan ;
b) pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan,
kepala ditumbuk, dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar,
dan sebagainya.4
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29.
3
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I... .... h. 29.
4
Dalam sejarah pidana mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpaku pada
keterangan di atas. Misalnya, Pada abad 19 di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan
dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,
sedangkan pada suku Batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila
pembunuh tidak membayar uang denda maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan
berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan
kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada
kita pidana mati sudah dikenal oleh semua suku di Indonesia.
Hukum Pidana sebenarnya cermin dari tingkah laku masyarakat dan
merefleksi nilai yang menjadi dasar dan berlaku di masyarakat. Bilamana
nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. Hukum pidana secara tepat disebut
sebagai one of the most faithful mirrors of a given civilization, reflecting the
fundamental values on which latter rest.5
Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 KUHP
ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan
bersifat politis yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap
negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS)
Belanda, sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak
5
dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI atau
KUHP yang diberlakukan sekarang).6
Undang-undang pidana mati ini ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana
pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan
dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian
dengan Staatsblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda,
pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang
menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana.
Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai
eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak
kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah
dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang telah dijatuhkan dan berkekuatan
hukum tetap, terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada
Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui
fiat executie (persetujuan Presiden).
Menurut Sahetapy, ada tiga alasan utama diberlakukannya pidana mati di
Indonesia, yaitu alasan berdasarkan faktor rasial; alasan berdasarkan faktor ketertiban
6
umum; dan alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi. Pemberlakuan pidana
mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok di dalamnya, yaitu:
1. Masalah landasan filosofis pemberlakuannya,
2. Penentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati,
3. Cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati.7
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya
dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap
orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan
membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.
B. Teori Pemidanaan
Alf Ross mengemukakan bahwa “Concept of Punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu:
1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang
bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering upon the person
upon whom it is imposed);
2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap perbuatan si
pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for wich
it is imposed).8
7
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h.2.
8
Berdasarkan uraian di atas, M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari
unsur-unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu:
a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi
harkat dan martabat seseorang.
b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai
sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh
terhukum maupun oleh korban penanggulangan kejahatan).9
Hukum pidana mendapat pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang
akhirnya menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum pidana untuk
melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu
haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak
hanya semata-mata sebagai pembalasan.
Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah dirumuskan oleh para ahli
untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan dari
dijatuhkannya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga
golongan besar, yaitu:
1) Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien)
9
Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena
seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah
melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan
pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana
mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.
Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana
adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satesfy the claims of justice),
sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi
menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan
dengan melakukan pembalasan.10
Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat
bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya
kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara
yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu
pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan
dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan.
Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan
bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah
10
melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan
kejahatan lagi.11
2) Teori relatif atau teori tujuan
Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi
hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini
menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:
a) Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk
menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap
pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).
b) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik
dalam masyarakat (preventif khusus).12
Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah
merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan
untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana
itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan
menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), h. 20. 12
3) Teori Gabungan
Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori
absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan
dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu dalam
rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar
setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah
meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas
kebenaran.
Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep
yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga
harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.
C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah
menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia,
namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum,
aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan
kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan
Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati
adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada
dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi,
berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan
pelanggaran HAM yang lebih besar.13
Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah
membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan
merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka
akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di
Belanda.14
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan
putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar”.15
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu
adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu
yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.16 Individu itu tentunya adalah orang-orang
yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime).
13
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: CV Rajawali, 1982) h. 66.
14
W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, (Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934), h.15-16.
15
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 25-26
16
Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum
lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa
pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang
berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.17
Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro
dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang
Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu
adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar,
kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan. 18
Pemikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium”
(sebagai obat terakhir). Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan
yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk
mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya
hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di
Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana
mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan
suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana
dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa
17
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13.
18
masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan
dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup
manusia dan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional
Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa
pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional.
Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan:
“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.19
Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum
pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah
hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang
menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau
tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan,
tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan
hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak
efektif.20
19
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 89.
20
Salah seorang pakar hukum yaitu Enrico Ferri seorang berkebangsaan Italia
dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang
mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup,
tidak perlu dengan pidana mati.21
Apa yang disampaikan Enrico Ferri dalam bukunya mengenai kriminologi
tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan kriminologi Oxvord, Roger Hood yang
menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun
pendapatnya yang emosional bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas
pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan
oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.22
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam menurut
Al- Qur’an antara lain adalah :
1. Hak hidup
Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan
karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak
hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan
qishash dan larangan bunuh diri. Jadi islam memperbolehkan adanya pidana mati
21
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 37.
22
karena untuk menjaga keberlangsungan hidup dan demi menjaga nyawa orang
banyak.
2. Hak Persamaan
Menurut Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, tanpa membawa
dosa warisan, dan merdeka tanpa menanggung beban sebagai budak atau dosa orang
lain. Konsep fithrah dan merdeka (free) ini juga memberi arti persamaan derajat
(equality atauequalitarisme bagi setiap manusia yang lahir karena sama-sama lahir
dalam keadaan fithrah dan merdeka tadi. Perbedaan ras, etnik, nasionalisme, atau
golongan justru untuk semakin mewujudkan perkenalan bukan lambang dekradasi
kedudukan.23
3. Hak atas keadilan
Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak
untuk menegakkan kehormatan manusia Keadilan adalah hak setiap manusia dan
menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap
orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah dan menjadi kewajiban
bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan
jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.
4. Hak mendapatkan pendidikan
23
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hanya
merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Pentingnya
pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan
martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran
manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan
manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, dan
dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya.
5. Hak kebebasan beragama
Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memiliki keyakinan atau
ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan
konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim
konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim
Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim
Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena 38 iker membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.”
Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada
konsep hak asasi manusia. Permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati
merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu
pola 38iker yang sama pada setiap orang.
D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Menurut KUHP, ada sembilan (9) Pasal yang menyangkut jenis kejahatan
yang diancam pidana mati, yaitu:
1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104
KUHP);
2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal
111 Ayat 2 KUHP);
3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124
Ayat 3 KUHP);
4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP);
5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3
KUHP);
7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau
mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);
8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);
9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 &
Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).24
Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa ketentuan
ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan
tindak pidana mati, di antaranya adalah:
1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU Nomor 7/Drt/1955 );
2. Tindak Pidana Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009);
3. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001);
4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999);
5. Tindak Pidana Terorisme ( UU Nomor 15 tahun 2003).
Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia
berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan
sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human
rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan
24
pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri
seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati
menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak
berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.25
Tujuan pemidanaan pada hakikatnya memiliki unsur sebagai pencegahan, juga
untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana
mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat
atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang
melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang
diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan
kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah
terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang
paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat
menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam data yang diperoleh
ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat
kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan
pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan
narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan
pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan
25
tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi
kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi
kejahatan narkoba tersebut.26
Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap
bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan
dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran
agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan
Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan
menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain
disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan
manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat
oleh siapa pun.27
Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1
menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur
pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak
asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini
26
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56.
27
di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam
amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk
hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan
jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von
Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat.28
Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai
Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya,
baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai
Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet.29
Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap
bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari Pancasila yang antara lain
mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan
28
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52.
29
Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke
dalam Pasal 28 A itu.
Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana
mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui
banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati.30
Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur
dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain
setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dan Militer(“UU 2/PNPS/1964”).
Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan
pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil
(Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan
pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang
Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat
1 UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana
30
hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah
anaknya dilahirkan (lihat Pasal 7).
Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam
Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
(“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara
lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang
dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan
menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu
dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh
suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara
universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja,
juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut.31
Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan
pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. persiapan;
b. pengorganisasian;
c. pelaksanaan; dan
d. pengakhiran.
31
Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri
12/2010 sebagai berikut:
1) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum
dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;
2) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat
didampingi oleh seorang rohaniawan;
3) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum
waktu pelaksanaan pidana mati;
4) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam
sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;
5) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api
laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima)
meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;
6) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor
dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;
7) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan
persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;
8) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan
memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN”