• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan Mk No.2-3/Puuiv/2007 Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan Mk No.2-3/Puuiv/2007 Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DIMAS ANGGRI WIJI DWI ANGKOSO NIM: 1112048000041

KOSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 86 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari ancaman pidana mati terhadap kasus penyalahgunaan narkotika sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-IV/2007 dalam prspektif hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh begitu maraknya narkotika yang sampai saat ini semakin meluas dan masuk ke elemen-elemen pendidikan dasar yang merusak moral dan mental bangsa ini. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan perlu adanya suatu cara atau metode pemberantasan kejahatan narkotika untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali keadaan masyarakat Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan sistem norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa putuan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tersebut berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan menganalisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya. Serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu hukum positif di Indonesia dapat memberlakukan hukuman mati terhadap pidana narkotika dengan pertimbangan undang-undang narkotika.

Kata Kunci : Pidana Mati, Hak Asasi Manusia, Narkotika, Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-IV/2007

Pembimbing : Dr. Burhanuddin, S.H., M. Hum

(6)

v

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan

Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM

PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga

senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan

pengikutnya.

Penulisan skripsi ini dalam penyusunannya tidak terlepas dari bantuan,

bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki

penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu

(7)

vi

dan II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan,

memberikan arahan, saran serta kritik yang membangun demi

terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan

ilmu.

5. Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah bersedia memberikan data berupa

putusannya guna kepentingan penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sukur Subagyo dan Ibunda Sri

Wahyuningsih yang telah memberikan doa dan dukungannya. Kakak penulis,

Nova Nugroho Cahyo Ardhi, adik penulis, Agam Arif Arakhman, serta

sepupu penulis, Adika Ferdiansyah. Tidak lupa juga keluarga besar di

Purwokerto, Cinere, Purbalingga dan Kutawis yang senantiasa memberikan

(8)

vii

angkatan 2012 atas kebersamaannya yang selalu memberikan dukungan dan

doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga silatuhrahmi kita tetap

terjalin.

9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2012 khususnya Cucu-Cucu Dekur

atas kekompakkan dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.

10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, KKN Eternal Wings, Grup GGC

serta teman-teman Remaja Ismaya, terima kasih atas informasi, bantuan,

semangat, dan doa-doa yang telah diberikan. Sukses mulia untuk kita semua.

11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya

bagi yang membaca.

Jakarta 13 Oktober 2016

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 9

C.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 10

D.Tujuan dan manfaat Penelitian ... 11

E.Kerangka Pemikiran ... 12

F. Kajian (review) Studi Terdahulu ... 13

G.Metode Penelitian ... 17

H.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PELAKSANAAN HUKUMAN MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA ... 20

A.Sejarah Pidana Mati di Indonesia ... 20

(10)

ix

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA ... 49

A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ... 49

B. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 52

C. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ... 56

D. Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif...65

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 ... 70

A.Analisa Pidana Mati Sebelum Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 70

B.Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 72

BAB V PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum dan Negara hukum merupakan istilah

yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah

pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang

terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan

bentuk dan sifat yang saling mengisi antara negara di satu pihak dan hukum pada

pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban umum

(rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula

hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.1

Disini yang akan disinggung adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Hak

Asasi Manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”, yang artinya

hak-hak asasi manusia dan dalam bahasa Inggris disebut “Human Rights”.

Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau

warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi

oleh Pemerintah, oleh sebabnya munculah istilah “Basic Rights” atau

1

(12)

Fundamental Rights”. Dalam bahasa Indonesianya yaitu hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah “Hak Asasi Manusia”.2

Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat

pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai

manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan

segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut

eksistensinya sebagai manusia akan hilang.

Konsekuensi negara hukum memiliki ciri yang paling fundamental yaitu

jaminan atas pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Jaminan ini, harus terwujud ke

dalam konstitusi, setidaknya terlihat dari implementasi hukum yang memiliki

ajaran yang berlaku sehari-hari. Sebagai salah satu hak, maka Hak Asasi Manusia

tidak terlepas dari kebebasan sekaligus kewajiban setiap individu baik pemegang

kekuasaan maupun masyarakat.3 Karena konstitusi merupakan napas kehidupan

ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia.

Dalam konteks perlindungan terhadap HAM, konstitusi memiliki

peranan penting sebagai dalam mewujudkan negara hukum. Perlindungan HAM

meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya

2

Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 97.

3M. Solly Lubis,”Hak

(13)

supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya

bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana ditegaskan

oleh Sri Soemantri sebagai berikut:

Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindang sewenang-wenangnya kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.4

Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi

kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan

kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati yang melekat pada diri manusia

sejak lahir.5 Salah satu diantaranya yaitu tentang hak untuk hidup yang tertuang

di dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

serta dalam pasal 4 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, disebutkan bahwa ham untuk memberikan jaminan yang melindungi

hak untuk hidup seluruh rakyat Indonesia.

Kini, HAM menjadi perbincangan yang intens seiring dengan intensitas

kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Menjadi aktual karena sering

dilecehkan dalam sejarah kelam hak asasi manusia sejak awal hingga saat ini.

Perjuangan HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas

4

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 74.

5

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern

(14)

teritorial sebuah negara. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM,

sehingga jika ada negara yang diidentifikasi melanggar HAM, dengan spontan

seluruh negara akan memberikan respon, tidak terkecuali negara-negara “adi kuasa”.6

Dalam konteks Indonesia ada juga yang memberikan sanksi yaitu pidana

mati yang merupakan hukuman yang paling berat dijatuhkan oleh Majelis Hakim

terhadap tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati. Penjatuhan

hukuman mati diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

seperti yag dikutip dalam Pasal 10 tentang jenis hukuman (pemidanaan) dan

diatur dalam undang-undang lainnya yang merupakan hukum positif yang

berlaku di Indonesia.7 Hukuman tersebut bertentangan dengan HAM.

Pidana mati merupakan warisan yang ditinggalkan oleh pemerintah

kolonial, dan diubah menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1946 Tentang

Hukum Pidana. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang

yang dikeluarkan kemudian, ternyata mencantumkan juga ancaman pidana mati

di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam

6

Jimly Asshidiqie dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 2.

7

(15)

W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan

pada antara lain “alasan berdasarkan faktor rasial”.8

Seperti diketahui, dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan

adanya pidana mati. Salah satu diantaranya adalah KUHP Indonesia yang

memungkinkan terpidana dijatuhi pidana mati atas kejahatan yang berat (extra

ordinary crime). Pidana mati yang merupakan salah satu jenis hukuman pidana

(sebagaimana tertulis dalam Pasal 10 KUHP) masih mendapatkan tempat dalam

pemberantasan kejahatan.9

Pasca Reformasi nilai-nilai HAM sudah diakomodir di UUD 1945

sehingga aturan atau norma juga bertujuan memberikan perlindungan terhadap

HAM. Bukan hanya segelintir orang saja yang harus terlindungi haknya namun

semua lapisan masyarakat juga harus terlindungi haknya. Namun yang masih

menjadi masalah adalah pada praktek oleh Undang-undang.

Selain diakomodir dalam bentuk perundang-undangan penjaminan atas

HAM juga telah diterima oleh semua lapisan anggota masyarakat.hal ini

dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok pejuang HAM, untuk

menunjukkan efektivitasnya kelompok-kelompok tersebut melakukan

gerakan-gerakan seperti kegiatan mulai dari memberikan upaya pemahaman dan

8

Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), h. 29.

9

(16)

penyebarluasan informasi tentang HAM kepada masyarakat sehinga msayarakat

mulai dapat diterima dan dipahami dan telah dituangkan oleh UU.

Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang

anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak hanya

menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat,

namun tujuan negara tersebut dirasakan kontra produktif dengan masih

diberlakukannya pidana mati dalam KUHP. Sebab, dengan adanya pidana mati

tersebut jaminan hak orang atau terpidana mati telah dirampas oleh negara dan

upaya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat telah gagal.10

Selagi negara masih mempunyai alat-alat lain untuk mempertahankan

keamanan dan menjalankan kewajibannya sebaiknya tidak menggunakan pidana

mati. Ini berarti bahwa selagi negara itu masih merupakan suatu negara yang

teratur, dimana polisi dan pengadilan dapat menjalankan pekerjaan dengan

tenang, maka pidana mati tidak tepat sebagai pidana. Dengan tindakan memidana

mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kalau hanya untuk

memberantas kejahatan. 11 Khususnya tindak pidana mati terhadap

penyalahgunaan narkotika.

10Ing Oei Tjo Lam, “Sekitar Soal Hukuman Mati’

, Varia Peradilan No. 10, 11, 12 Mei, Juni, Juli 1964, h. 184-190.

11

(17)

Narkotika menurut UU RI No 22 / 1997 yaitu zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan

dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak

sesuai dengan petunjuk pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran

narkotika secara ilegal akan menimbulkan akibat merugikan perorangan maupun

masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang

lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya

akan dapat melemahkan ketahanan nasional.12

Dalam usaha menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut pada pokoknya

mengatur narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan

pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis

maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda.13

12

Syamsul Hidayat, Pidana Mati di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), h. 1.

13

(18)

Selain konteks politik hukum di Indonesia, karena pidana mati tidak

relevan dengan UUD 195. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih

belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan

aparaturnya yang bersih. Serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum

internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional,

khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi , serta UU No. 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman

mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh

karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara

penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh apalagi menghilangkan banyak

nyawa lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa

membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara

kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang

merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena

ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada

sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban

(19)

Bisa dilihat dari ini sebelum menjatuhkan vonis dan untuk menilai apakah

peristiwa hukum yang dapat menggerakan hukum untuk bekerja lebih lanjut

sampai menjatuhkan sanksi, dilakukan dengan cara meletakkan peristiwa itu ke

dalam undang-undang lewat penafsiran tekstual-gramatikal yang sangat

mekanistik dan legalistik seperti diperagakan model penalaran Positivisme

Hukum. Dengan demikian, di tangan praktisi penegak hukum (polisi, jaksa,

hakim, dan pengacara) semua peristiwa dikonstruksi dengan cara berpikir yang

khas, yang disebut juridisch denken.14

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

jauh bagaimana Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan

Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam

Perspektif Hak Asasi Manusia. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat

tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi. Hal ini menarik

karena menyangkut kebebasan hidup seseorang. Dengan demikian penulis

tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah

skripsi.

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah

14

(20)

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis

pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan

pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan

masalah.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis

membatasinya dengan pembahasan mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK

No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan

masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

a. Bagaimana implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya

Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?

b. Bagaimanakah implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sesudah

adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?

c. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai

dengan tujuan pemidanaan ?

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

(21)

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin

Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

b. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin

Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

c. Untuk mengetahui dan memahami sesuai atau tidak dengan

Undang-undang Narkotika.

2. Kegunaan Penelitian.

Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis.

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi

mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan

Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam

Perspektif Hak Asasi Manusia.

b. Kegunaan Praktis.

Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi

informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Ancaman

Pidana Mati Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah

(22)
(23)

perspektif fiqih

kejahatan dan Pelanggaran . Kejahatan-Kejahatan yang berat dan Pidana mati

dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan

yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam

(24)

HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat

pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari

hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang

layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka

hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada

hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi

warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati

kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala

bersangkutan.15

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk

memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian

kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

15

(25)

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 16

Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena,

agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau

mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan Penelitian.

Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu

penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam

penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa

pendekatan yuridis normatif perundang-undangan(statute approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis

(historical approach).

Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh

kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Hukuman Pidana Mati dan

Hak Asasi Manusia tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu

untuk memastikan bahwa pada dasarnya Hukuman Pidana Mati sangat

bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena tidak sesuai dengan

Undang-Undang. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi

penulis sebagai sumber informasi tambahan mengenai Hukuman Pidana Mati

itu sendiri.

16

(26)

Pendekatan konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana

pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang didalam bidang hak asasi manusia atau dalam

komisi Nasional itu sendiri. Dalam pendekatan konseptual penulis akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut

merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun argumentasi hukum

dalam memecah isu yang dihadapi.

Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui

bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Hukuman Mati. Pendekatan

historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan

mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia.

3. Sumber Penelitian.

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian

yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum

tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan

rincian sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat

segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian

(27)

1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Perundang-Undangan

yang terkait dengan Hukuman Pidana Mati. Bahan hukum primer

merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.17

b. Bahan hukum sekunder.

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai

bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan-bahan yang memuat

segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini,

terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang

berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para

sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium

mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam

penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan

skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

c. Bahan Hukum Tersier.

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, encyclopedia, dan lain-lain.18

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

17

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51.

18

(28)

Dalam penelitian ini, penulis me

mpergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/

kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap

berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi

manusia dan hukuman mati, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan

juga berita yang penulis peroleh dari internet.

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode

Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,

notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.19

G.Metode Pengolahan dan Analisis Data.

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk

menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum

dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

19

(29)

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan

hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai

Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum

dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia. Didalamnya akan membahas mengenai kedudukan Hak Asasi

Manusia, fungsi dan wewenang Negara dalam Menangani Hukuman Pidana

Mati, Dasar Hukum Hukuman Pidana Mati, Bentuk pelanggaran Hak Asasi

Manusia, lalu Bagaimana penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden

sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dan Bagaimanakah

penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan

MK No.2-3/PUU-IV/2007 serta Apakah penjatuhan pidana mati pada

undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan.

5. Metode Penulisan.

Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

H.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan

pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi,

dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

(30)

Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

Studi Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PELAKSANAAN PIDANA MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA

Sejarah Pidana Mati di Indonesia, Teori Pemidanaan, Pro dan

Kontra Pidana Mati di Inonesia, Proses Pelaksanaan Pidana Mati

di Indonesia, Negara yang Tidak Memberlakukan Hukuman

Pidana Mati.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Pengertian Hak

Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam,

Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum

Positif.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007

Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Pidana Mati

sebelum dan sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

BAB V PENUTUP

Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang

berkaitan dengan permasalahan yang penulis dapatkan dari hasil

(31)

Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan

(32)

22

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bagian dari jenis pidana yang berlaku berdasarkan

hukum pidana Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan

dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana

mati ini juga merupakan hukuman tertua dan mengandung kontroversial jika

dibandingkan dengan bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya

hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak

menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh

umum.1

Pidana mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat

itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan

dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati

dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.

Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang

menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan

sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam Wetboek van

Strafrecht (KUHP).

1

(33)

Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan

tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira

muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13

tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah

telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan

tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter

Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan

pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek

menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota

untuk santapan burung.

Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal

tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial.

Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat

yang melakukan perlawanan. Dengan pemberlakuan Hukuman mati ini masyarakat

Indonesia dapat diminimalisir kejahatannya.

Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di

dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum

(34)

kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis

hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.2

Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada

masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat

represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto.

Fenomena Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara

terselubung.3

Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru

di Indonesia. Pidana mati ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini

dapat dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau

hukum para penguasa terdahulu, umpamanya:

a) mencuri dihukum potong tangan ;

b) pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan,

kepala ditumbuk, dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar,

dan sebagainya.4

2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29.

3

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I... .... h. 29.

4

(35)

Dalam sejarah pidana mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpaku pada

keterangan di atas. Misalnya, Pada abad 19 di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan

dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,

sedangkan pada suku Batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila

pembunuh tidak membayar uang denda maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan

berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan

kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada

kita pidana mati sudah dikenal oleh semua suku di Indonesia.

Hukum Pidana sebenarnya cermin dari tingkah laku masyarakat dan

merefleksi nilai yang menjadi dasar dan berlaku di masyarakat. Bilamana

nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. Hukum pidana secara tepat disebut

sebagai one of the most faithful mirrors of a given civilization, reflecting the

fundamental values on which latter rest.5

Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 KUHP

ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan

bersifat politis yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap

negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS)

Belanda, sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak

5

(36)

dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI atau

KUHP yang diberlakukan sekarang).6

Undang-undang pidana mati ini ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana

pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan

dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian

dengan Staatsblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda,

pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38

kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang

menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana.

Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai

eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak

kepolisian.

Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah

dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang telah dijatuhkan dan berkekuatan

hukum tetap, terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada

Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui

fiat executie (persetujuan Presiden).

Menurut Sahetapy, ada tiga alasan utama diberlakukannya pidana mati di

Indonesia, yaitu alasan berdasarkan faktor rasial; alasan berdasarkan faktor ketertiban

6

(37)

umum; dan alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi. Pemberlakuan pidana

mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok di dalamnya, yaitu:

1. Masalah landasan filosofis pemberlakuannya,

2. Penentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati,

3. Cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati.7

Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya

dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap

orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan

membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.

B. Teori Pemidanaan

Alf Ross mengemukakan bahwa “Concept of Punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu:

1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang

bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering upon the person

upon whom it is imposed);

2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap perbuatan si

pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for wich

it is imposed).8

7

Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h.2.

8

(38)

Berdasarkan uraian di atas, M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari

unsur-unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu:

a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi

harkat dan martabat seseorang.

b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar

sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai

sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh

terhukum maupun oleh korban penanggulangan kejahatan).9

Hukum pidana mendapat pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang

akhirnya menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum pidana untuk

melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu

haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak

hanya semata-mata sebagai pembalasan.

Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah dirumuskan oleh para ahli

untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan dari

dijatuhkannya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga

golongan besar, yaitu:

1) Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien)

9

(39)

Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena

seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan

akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah

melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan

pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana

mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana

adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satesfy the claims of justice),

sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi

menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan

dengan melakukan pembalasan.10

Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat

bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya

kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara

yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu

pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan

dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan

beratnya perbuatan yang dilakukan.

Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan

bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah

10

(40)

melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan

kejahatan lagi.11

2) Teori relatif atau teori tujuan

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan

pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi

hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini

menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

a) Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk

menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap

pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).

b) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan

mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik

dalam masyarakat (preventif khusus).12

Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah

merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan

untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana

itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan

menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.

11

Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), h. 20. 12

(41)

3) Teori Gabungan

Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori

absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan

dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu dalam

rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar

setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah

meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas

kebenaran.

Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep

yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga

harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.

C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah

menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia,

namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum,

aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan

kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan

Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati

adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada

(42)

dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi,

berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan

pelanggaran HAM yang lebih besar.13

Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah

membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan

merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka

akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di

Belanda.14

Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan

putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar”.15

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu

adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu

yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.16 Individu itu tentunya adalah orang-orang

yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime).

13

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: CV Rajawali, 1982) h. 66.

14

W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, (Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934), h.15-16.

15

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 25-26

16

(43)

Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum

lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa

pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang

berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.17

Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro

dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang

Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu

adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar,

kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan. 18

Pemikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium

(sebagai obat terakhir). Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan

yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk

mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya

hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di

Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana

mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan

suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana

dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa

17

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13.

18

(44)

masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan

dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup

manusia dan bermasyarakat dan bernegara.

Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional

Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa

pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional.

Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan:

“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.19

Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum

pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah

hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang

menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau

tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan,

tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan

hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak

efektif.20

19

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 89.

20

(45)

Salah seorang pakar hukum yaitu Enrico Ferri seorang berkebangsaan Italia

dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang

mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup,

tidak perlu dengan pidana mati.21

Apa yang disampaikan Enrico Ferri dalam bukunya mengenai kriminologi

tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan kriminologi Oxvord, Roger Hood yang

menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun

pendapatnya yang emosional bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas

pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan

oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.22

Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam menurut

Al- Qur’an antara lain adalah :

1. Hak hidup

Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan

karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak

hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan

qishash dan larangan bunuh diri. Jadi islam memperbolehkan adanya pidana mati

21

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 37.

22

(46)

karena untuk menjaga keberlangsungan hidup dan demi menjaga nyawa orang

banyak.

2. Hak Persamaan

Menurut Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, tanpa membawa

dosa warisan, dan merdeka tanpa menanggung beban sebagai budak atau dosa orang

lain. Konsep fithrah dan merdeka (free) ini juga memberi arti persamaan derajat

(equality atauequalitarisme bagi setiap manusia yang lahir karena sama-sama lahir

dalam keadaan fithrah dan merdeka tadi. Perbedaan ras, etnik, nasionalisme, atau

golongan justru untuk semakin mewujudkan perkenalan bukan lambang dekradasi

kedudukan.23

3. Hak atas keadilan

Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak

untuk menegakkan kehormatan manusia Keadilan adalah hak setiap manusia dan

menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap

orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah dan menjadi kewajiban

bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan

jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.

4. Hak mendapatkan pendidikan

23

(47)

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hanya

merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Pentingnya

pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan

martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran

manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan

manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, dan

dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya.

5. Hak kebebasan beragama

Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memiliki keyakinan atau

ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan

konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim

konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim

Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim

Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :

(48)

dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena 38 iker membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.”

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada

konsep hak asasi manusia. Permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati

merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu

pola 38iker yang sama pada setiap orang.

D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Menurut KUHP, ada sembilan (9) Pasal yang menyangkut jenis kejahatan

yang diancam pidana mati, yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104

KUHP);

2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal

111 Ayat 2 KUHP);

3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124

Ayat 3 KUHP);

4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP);

5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3

KUHP);

(49)

7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau

mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);

8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);

9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 &

Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).24

Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa ketentuan

ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan

tindak pidana mati, di antaranya adalah:

1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU Nomor 7/Drt/1955 );

2. Tindak Pidana Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009);

3. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001);

4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999);

5. Tindak Pidana Terorisme ( UU Nomor 15 tahun 2003).

Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak

Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia

berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan

sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human

rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan

24

(50)

pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri

seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati

menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak

berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.25

Tujuan pemidanaan pada hakikatnya memiliki unsur sebagai pencegahan, juga

untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana

mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat

atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang

melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang

diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan

kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah

terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang

paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat

menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam data yang diperoleh

ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat

kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan

pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan

narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan

pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan

25

(51)

tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi

kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi

kejahatan narkoba tersebut.26

Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap

bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor

XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan

dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran

agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan

Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan

menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain

disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri

manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa

dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan

manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat

oleh siapa pun.27

Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1

menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur

pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak

asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini

26

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56.

27

(52)

di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam

amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang

berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk

hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan

jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von

Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat.28

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang

berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai

Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang

merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya,

baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai

Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet.29

Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap

bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari Pancasila yang antara lain

mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan

28

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52.

29

(53)

Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke

dalam Pasal 28 A itu.

Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana

mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui

banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati.30

Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur

dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain

setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum

dan Militer(“UU 2/PNPS/1964”).

Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan

pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau

peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil

(Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan

pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang

Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat

1 UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana

30

(54)

hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah

anaknya dilahirkan (lihat Pasal 7).

Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam

Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

(“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara

lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang

dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan

menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu

dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh

suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara

universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja,

juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut.31

Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan

pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. persiapan;

b. pengorganisasian;

c. pelaksanaan; dan

d. pengakhiran.

31

(55)

Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri

12/2010 sebagai berikut:

1) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum

dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;

2) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat

didampingi oleh seorang rohaniawan;

3) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum

waktu pelaksanaan pidana mati;

4) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam

sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;

5) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api

laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima)

meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;

6) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor

dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;

7) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan

persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;

8) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan

memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN”

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di

Sebab dengan hadirnya keikhlasan dari para pequrban yang dengan santun membagikan hewan qurban kepada tetangga maupun masyarakat lain yang membutuhkannya, hal positif ini

Bagi mencapai matlamat ini, peruntukan sebanyak RM1.2 bilion telah disediakan di bawah RMKe-9 dalam mana sejumlah 6,300 orang pensyarah akan melanjutkan pengajian di peringkat PhD

Penggunaan CT pengukuran terlentang sebagai penilaian dasar dari lordosis sagital dari torakolumbalis tulang belakang cedera tampaknya tidak cocok ketika tegak radiografi

Oleh karena itu analisis aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial kegiatan penangkapan ikan di kabupaten Bangka Selatan khususnya yang berada di Pulau Bangka

Hal ini juga Puspita dan Dermawan (2017) yang menyebutkan bahwa Dengan diterapkannya akuntansi pertanggungjawaban keuangan atas pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Penerapan dan bentuk metode demonstrasi bermain dalam pembentukan vokal musica sacra merupakan cara yang baik untuk membantu proses latihan pada paduan suara anak khususnya

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan pada penelitian ini adalah : (1) Untuk dimensi percaya diri berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa