• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA A.Sejarah Pidana Mati di Indonesia

C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal

dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.13

Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di Belanda.14

Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar”.15

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.16 Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime).

13

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: CV Rajawali, 1982) h. 66.

14

W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, (Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934), h.15-16.

15

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 25-26

16

Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.17 Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar, kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan. 18

Pemikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium” (sebagai obat terakhir). Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa

17

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13. 18

Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 19-20

masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia dan bermasyarakat dan bernegara.

Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan:

“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.19

Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.20

19

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 89.

20

Herliady , Efektivitas Hukuman Mati, http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/. Diakses pada 16 Juni 2016 pukul 21:00.

Salah seorang pakar hukum yaitu Enrico Ferri seorang berkebangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.21

Apa yang disampaikan Enrico Ferri dalam bukunya mengenai kriminologi tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan kriminologi Oxvord, Roger Hood yang menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya yang emosional bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.22

Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam menurut Al- Qur’an antara lain adalah :

1. Hak hidup

Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri. Jadi islam memperbolehkan adanya pidana mati

21

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 37.

22

Todung mulia Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas Media Group 2009), h. 106.

karena untuk menjaga keberlangsungan hidup dan demi menjaga nyawa orang banyak.

2. Hak Persamaan

Menurut Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, tanpa membawa dosa warisan, dan merdeka tanpa menanggung beban sebagai budak atau dosa orang lain. Konsep fithrah dan merdeka (free) ini juga memberi arti persamaan derajat (equality atauequalitarisme bagi setiap manusia yang lahir karena sama-sama lahir dalam keadaan fithrah dan merdeka tadi. Perbedaan ras, etnik, nasionalisme, atau golongan justru untuk semakin mewujudkan perkenalan bukan lambang dekradasi kedudukan.23

3. Hak atas keadilan

Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah dan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.

4. Hak mendapatkan pendidikan

23

A. Qodri Abdullah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), h. 103.

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Pentingnya pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, dan dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya. 5. Hak kebebasan beragama

Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memiliki keyakinan atau ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :

“Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula

dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena 38 iker membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.”

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola 38iker yang sama pada setiap orang.